30 June 2012

3-Some


Judul Buku: 3-Some
Pengarang: Hendri Yulius, Joe Andrianus, Nunkie Handayani
Tebal: 230 hlm; 13,5 x 20cm

Cetakan: 1, 2012
Penerbit: Elex Media Komputindo


 




Dua lelaki, Hendri Yulius dan Joe Andrianus, dan seorang perempuan, Nunkie Handayani, berkolaborasi menerbitkan koleksi cerpen yang diberi judul 3-Some. Hendri dan Joe menyetor, masing-masing, delapan cerpen, sedangkan Handa cukup lima cerpen. Seluruhnya ada dua puluh satu cerpen.

Pada dasarnya ketiga penulis muda ini adalah penulis-penulis berbakat yang memiliki kecakapan mengobservasi kehidupan dan membekukannya dalam setiap cerpen mereka. Cerpen-cerpen ditulis tanpa beban, merdeka, dan apa adanya. Ketika satu demi satu cerpen berakhir, kita seakan-akan ditinggalkan dalam kejutan orgasmik.

@joeandrianus:
Seperti disebutkan sebelumnya, Joe Andrianus menghadirkan delapan cerpennya dalam koleksi ini. Tiga dari delapan cerpennya memanfaatkan Bali sebagai seting yang kemungkinan besar lahir karena cintanya pada pantai, laut, dan segala isinya. 

Cerpen pertama, Senja yang Mencintai Hujan, mengisahkan kekerasan dalam keluarga yang dilakukan seorang ayah kepada putri tirinya. Cerpen yang bernuansa muram menjadi absurd begitu hujan yang menyaksikan penderitaan gadis bernama Senja itu melakukan interupsi. Sangat imajinatif.

Kekerasan seksual dengan pelaku anggota keluarga ditampilkan Joe dalam cerpen Lovina. Menggunakan Bali sebagai seting, cerpen ini mengisahkan tentang Lovina, seorang perempuan yang belum kawin tapi merasa sudah pernah kawin bahkan memiliki tiga orang anak. Pertanyaan yang membarengi pembacaan cerpen ini adalah: mengapa Lovina punya pemikiran seperti itu?

Masih berseting Bali, Joe menghadirkan cinta tak sampai dalam cerpen Cerita Suatu Pagi. Di pusat kisahnya, ada perempuan bernama Cinta Purnama yang mencintai Oka, seorang lelaki Bali. Cerpen yang cukup sensual ini ditautkan dengan peristiwa bom Bali di Legian. Sebuah cerpen yang mengharukan. 

Menggunakan judul yang unik: 1996-2000-2006, Joe menggulirkan perjalanan hubungan sang narator dengan perempuan bernama Sri, melewati ketiga tahun yang disebut dalam judul. Perjalanan itu meliputi kota Solo, Jogja, dan kemudian Venesia di Italia. Mendekati bagian pamungkas, Joe akan mengejutkan kita dengan pengungkapan identitas sang narator. 

Di Mana Bapak, Ibu?
mengedepankan kisah Darmini, perempuan yang membawa-bawa berbagai lelaki ke dalam kamarnya dan disaksikan oleh anaknya. Setelah mengarungi hidup yang berkelok, Darmini terpuruk menjadi pelacur di sebuah kamar sempit. Tapi mengapa Darmini seolah-olah tidak peduli dengan kehadiran anaknya? Kisahnya sudah sangat sering digarap, tapi naratornya sungguh tak terduga.

Randu menyimpan rahasia dari Sania, istrinya. Setelah tidak berjumpa 20 tahun, ia bertemu teman masa kecilnya, dan tidak bisa menahan diri untuk menggauli gadis itu. Tapi bukan itu rahasia besarnya. Temukan rahasia Randu dalam cerpen bertajuk Reuni Rindu dan Raina.

Sekali lagi mengeset kisahnya di Bali, Joe menyuguhkan kisah menarik mengenai kembar buncing dan nasib kurang beruntung yang dialami salah satunya dalam cerpen Kembar Buncing

Tema berbeda dimunculkan Joe dalam cerpen Bintang Jatuh. Cerpen fantasi ini mendedahkan kisah gadis-gadis yang ingin menjadi bintang jatuh atau meteor. Cukup imajinatif, hanya saja kurang mengesankan dibanding tujuh cerpen Joe lainnya. 

@hendriyulius:
Hendri Yulius adalah pengarang yang paling bersinar dalam koleksi cerpen ini (tanpa maksud menyepelekan yang lain). Ketujuh cerpen garapannya memuat kisah-kisah menggoda yang ditulis dengan unik dan tentu saja, tampil beda. Tiga dari delapan cerpennya membongkar ketidakadilan yang menimpa perempuan sebagai bentuk solidaritasnya terhadap mereka yang mengalaminya.

Terkadang mencintai seseorang bisa menjadi sangat obsesif. Hal ini dialami narator dalam cerpen Mencari Rafael. Setelah sembilan bulan ditinggalkan Rafael, sang narator bertualang di antara para lelaki demi mendapatkan sosok Rafael di dalam diri mereka. Gadis ini sangat mencintai Rafael, dan tidak bisa menerima keputusan Rafael meninggalkannya. Apa sebenarnya yang terjadi pada Rafael? Inilah cerpen obsesif yang membuat hati serasa terpiuh-piuh.

Menggunakan tiga jenis narator, Hendri tampil memukau meskipun menghadirkan kisah stereotipikal. Aku, Kamu, dan Dia, cerpen bertema perselingkuhan, menggelar hubungan yang terjadi di antara "Kamu", seorang suami, "Aku", seorang istri dan "Dia", selingkuhan "Kamu". Agar bisa menghabiskan waktu dengan "Dia", "Kamu" berkali-kali membohongi "Aku". Seperti biasa, kebohongan tidak bersifat kekal. Yang menarik bukan saja naratornya tapi identitas "Dia" yang sebenarnya.  
 
Cerpen XXX memang bermuatan hubungan seksual antara perempuan dan laki-laki, tapi bukanlah cerita stensilan. XXX adalah singkatan dari tiga nama karakter dalam cerpen (yang tentu saja disengaja, tapi tetap terkesan kreatif). Di sini ada perselingkuhan yang tetap tersimpan sebagai rahasia di antara sesama pelaku. 

Imajinasi yang brilian dan komikal mengejawantah dalam cerpen berjudul Monolog Bisu. Naratornya ada lima dan bukan narator biasa. Pintu apartemen, jendela apartemen, jam dinding, televisi, dan ranjang. Kelima narator ini akan menyampaikan laporan 'pandangan mata' mereka kepada pembaca mengenai perempuan penghuni apartemen. Cerpen ini kian asyik lantaran kejutan yang dibeberkan di bagian pamungkas.

Perjuangan Kartini mendobrak tradisi agar kaumnya bisa mengenyam pendidikan tidak sepenuhnya berhasil. Sebab sampai sekarang, tidak semua perempuan muda mempunyai kemapanan finansial yang mampu menopang mimpi atau cita-cita mereka. Begitulah yang dialami para perempuan muda yang terjerumus prostitusi dalam cerpen Tiga Kartini

"Kamera menyorot dari atas, berputar menampakkan gemerlap malam kota Jakarta." (hlm. 165). Kemudian, "Kamera ini bergerak pelan memasuki sebuah kamar apartemen" (hlm. 167). Setelah itu, "Kamera menyorot sebuah mobil sedan hitam yang terparkir di basement gedung. Perlahan-lahan kamera bergerak dan terfokus pada perempuan yang sedang mengeluarkan lipstik dan pemulas pipinya itu." (hlm. 170). Akhirnya, "Kamera bergerak perlahan memasuki ruangan sebuah restoran hotel berbintang, lalu terfokus di sebuah meja yang ditempati oleh sepasang suami-istri yang berpakaian amat rapi dan elegan" (hlm. 172). Bersamaan dengan kegiatan saling kirim BBM, kamera itu merekam empat adegan dalam cerpen Intermezzo. Teknik penulisan mengkombinasikan skenario dan pengambilan gambar film ini menetaskan cerpen yang unik kendati bertema jamak. 

Teknik bertutur yang matang dihadirkan dalam cerpen Dialog Artemis. Hendri membaurkan wawancara seorang sutradara pendatang baru, kisah masa lalu seorang gadis yang kehilangan keperawanan pada usia 15 tahun, dan sebuah kenyataan getir di bagian akhir. Jangan langsung percaya apa yang telah dibeberkan sebelum Anda menamatkan kisah dalam cerpen ini. 

Hingga cerpennya yang terakhir, Hendri Yulius tetap tampil prima. Dongeng tentang Barbie, Nenek Sihir, dan Catwalk menggelontorkan gagasan yang provokatif. Di sini sekali lagi Hendri bereksperimen dalam hal penggunaan narator. Seperti pada judulnya, kisah dalam cerpen ini disampaikan oleh tiga narator: boneka Barbie; boneka nenek sihir; dan catwalk, tempat para model lalu lalang memeragakan busana para desainer. Di titik persinggungan kisah ketiga narator kita akan menemukan seorang anak konglomerat yang bercita-cita menjadi model tapi tidak mampu memperbaiki pola makan yang tidak sehat. Ending-nya cukup mencekam.

@nunkiehanda:
Nunkie Handa menyertakan cerpen-cerpen yang mengandalkan surat sebagai media untuk mengemas konflik. Salah satunya bahkan berbentuk surat utuh. Ia memilih bentuk surat karena menurutnya surat adalah "simbol curahan hati yang tertahan karena keharusan perempuan menjadi pemalu, takut, dan tidak bisa mengungkapkan apa yang mereka mau".  Semua cerpennya mengupas liku-liku kehidupan kaum perempuan.

Setelah sekian lama hidup bersama dengan kekasihnya, Savira dalam cerpen Kala Hujan, Kala Savira memutuskan mengakhiri hubungan mereka. Untuk Boni, sang kekasih, ia meninggalkan sepucuk surat -kalau melihat isinya, semestinya lebih dari sepucuk- sebelum bunuh diri dengan cara menenggak karbol. Simultan dengan pembacaan surat yang dilakukan Boni, kita akan mengikuti kisah cinta obsesif yang menjerumuskan seorang gadis ke titik nadir kehidupannya. Cerpen yang sungguh membuat terenyuh. 
 
Sebuah boneka bernama Rabbi akan menyampaikan kisah tentang gadis 16 tahun bernama Maria Artemis dalam cerpen Sepucuk Surat Penyakitan. "Apakah karena aku punya payudara dan vagina maka mereka menyebutku 'perempuan'? Lalu, apa perempuan itu harus  berpasangan dengan orang berpenis? Apa karena aku yang mereka sebut cantik ini harus punya pasangan untuk menjagaku?' tanya Maria memberondongi Rabbi (hlm. 85). Maria memang tidak mau disebut sebagai perempuan. Tapi mengapa? Ikuti saja cerita si Rabbi yang akan mengantar kita pada sebuah kejutan dalam sepucuk surat.

Sherline dalam cerpen Untuk Ayahku menulis surat yang ditujukan kepada ayah angkatnya. Isi surat yang ditulisnya akan mengungkap perjalanan hidup Sherline semenjak lari dari rumah hingga menjadi pelacur bernasib sial.

Maryam Hasyimah, perempuan dalam cerpen Surat Pertama dan Terakhir, menulis surat kepada Bara Ardhana, lelaki yang pernah ia kecewakan. Sudah tujuh tahun tiga bulan Maryam menanti Bara dalam penyesalan. Ke manakah lelaki yang dicintainya itu? 

Cerpen Handa yang kelima ditulis secara utuh dalam bentuk surat. Sesuai judulnya -Pengakuan- cerpen ini merupakan pengakuan si penulis surat, Jenifer, kepada orang yang ia cintai, seminggu sebelum menikah. Surat itu menyingkapkan sebuah cinta tanpa harapan dan kepasrahan untuk menanggungnya. Kejutan telah disiapkan Nunkie di penghujung surat Jenifer terkait jati diri si penerima surat.

Sepilihan cerpen dalam koleksi ini dikelompokkan dalam delapan bagian yang disebut "Kamar" (maksudnya, sebagai tempat aktivitas 3-some). Setiap Kamar berisi cerpen dengan kesamaan tema atau pengalaman para karakternya. Kamar yang dimaksud adalah:

Kamar #1: Cerita di Balik Hujan
Kamar #2: Kawin Bukan berarti Menikah, Menikah Bukan Berarti Kawin
Kamar #3: Cinta yang Tak Kesampaian
Kamar #4: Tak Pernah Ada yang Salah dalam Cinta
Kamar #5: Kita: Pelacur yang (Kebetulan) Menulis
Kamar #6: Ssst! Ini Rahasia Kita!
Kamar #7: Memilih untuk Tidak Memilih; Tidak Memilih untuk Memilih
Kamar #8: Dongeng (Kegilaan) Metropolitan


Seusai menuliskan kisah-kisah mereka, seperti yang dicantumkan pada sampul belakang, inilah yang mereka katakan:

Hendri Yulius: Menulis cerita di buku ini rasanya seperti dipaksa bertelanjang di depan umum.

Joe Andrianus: Ini cerita tentang saya, kamu, kalian. Cerita kita semua.

Nunkie Handayani
: Detak jantung mendera tiada henti ketika mengetik kata per kata di buku ini.

3-Some yang menjadi judul koleksi cerpen ini memang akan langsung menghubungkan pikiran kita pada aktivitas seksual yang dilakukan bersama-sama oleh tiga orang. Tapi 3-Some di sini bukanlah aktivitas seksual melainkan kolaborasi tiga penulis muda penuh harapan mengkristalkan hasil observasi mereka terhadap liku-liku kehidupan kaun urban yang penuh warna dan rahasia. 



 Pengunjung
29 June 2012

Prophecy of the Sisters (Fiksi Gotik)

Judul Buku: Prophecy of the Sisters
Pengarang: Michelle Zink
Penerjemah: Ida Wajdi
Tebal: 359 halaman
Cetakan: 1, Maret 2011
Penerbit: Matahati


Prophecy of the Sisters adalah karya fiksi yang lagi-lagi mengangkat kisah malaikat terbuang. Kali ini malaikat yang dimaksud adalah Samael, salah satu dari tujuh archangel -yang lain adalah Anael, Gabriel, Raphael, Michael, Oriphiel, dan Zachariel. Umat Yahudi mengenal Samael sebagai malaikat kematian. Menurut legenda, Samael ditipu Maari, salah satu dari saudari kembar, sehingga ia terbuang, dipaksa mengembara sebagai roh yang tersesat ke delapan Dunia Lain untuk selamanya. Tapi ada ramalan yang menyatakan bahwa pengembaraan Samael akan berakhir jika ia masuk ke dunia kita melalui salah satu dari kembar perempuan yang disebut Gerbang. Masuknya Samael ke dunia kita, akan memicu terjadinya Malapetaka Tuhan atau kiamat. Samael disimbolkan dengan tanda Jorgumand, yaitu ular bersayap yang melingkar dan menggigit ekornya.

Ramalan mengenai Samael dan dua saudari kembar di dalam Librum Maleficii et Disordinae atau The Book of Chaos (Buku Kekacauan) yang ditemukan James di perpustakaan ayahnya mengusik kehidupan Amalia Milthrope (Lia) begitu ayahnya meninggal. Hal ini terjadi seiring munculnya tanda Jorgumand di tangan Lia. Tapi ternyata tanda Jorgumand tidak hanya muncul di tangan Lia, melainkan juga di tangan teman sekolahnya, Luisa Torelli dan Sonia Sorrensen, seorang spiritualis muda. Hanya saja, Jorgumand di tangan Lia memiliki tanda huruf C di tengah-tengah. Tanda huruf C itu menegaskan peran Lia sebagai Malaikat Kehancuran yang bisa membawa Samael ke dunia kita.

Ramalan itu mengatakan bahwa kembar yang bukan Gerbang akan berperan sebagai Garda. Lia mengira dirinya adalah Garda dan Alice, saudari kembarnya, Gerbang. Tapi ternyata, proses kelahiran telah membuat takdir Lia terbalik. Sewaktu mereka dilahirkan, ibu mereka menjalani persalinan yang sulit. Dokter memutuskan untuk melakukan operasi caesar. Sebenarnya, jika persalinan normal, Alice yang lebih dekat dengan jalan lahir, namun ketika dikeluarkan dari rahim ibu mereka, dokter mengambil lebih dulu Lia yang berada dekat irisan yang dibuatnya. Alhasil, Lia menjadi si sulung, dan sebagai anak sulung, Lia adalah Gerbang.
  
Lia tidak suka dengan peran yang menjadi takdirnya. Untunglah dari ramalan dalam buku yang sama, Lia mengetahui jika ia bisa mencegah Samael memanfaatkan dirinya. Untuk itu, ia mesti menemukan empat kunci. Secara mengejutkan diungkapkan jika yang dimaksud dengan kunci bukanlah benda, melainkan empat perempuan yang dilahirkan tanggal 1 November, bertepatan dengan Hari Samhain. Hari Samhain adalah hari libur Druid kuno yang menandai periode kegelapan. Luisa dan Sonia adalah dua dari empat kunci yang dimaksud. Keduanya ditemukan dalam pencarian ayah Lia di Eropa.

Di sisi lain, Alice yang ditakdirkan sebagai Garda justru menginginkan Samael dibawa dari Dunia Lain. Akibatnya, mereka berada dalam posisi yang berlawanan.

Untuk melindunginya dari serangan roh yang tersesat, Lia telah diberikan selubung. Seperti kunci, selubung juga bukan benda tapi manusia. Selubung itu mengayomi Lia hingga ia tumbuh dewasa dan bisa menentukan pilihan. Selama selubung itu masih hidup, iblis tidak akan bisa mengusiknya. Salah satu selubung telah meninggal dunia karena tipu daya roh yang tersesat dan tinggal ada satu selubung yang masih hidup. Selubung itu, diketahui belakangan, menyimpan daftar nama para kunci.

Setiap Gerbang memiliki medali yang secara sempurna cocok dengan Jorgumand di tangannya. Berabad-abad para roh yang tersesat telah memanfaatkan banyak Gerbang untuk menyusup ke dunia kita yaitu saat tanda di medali dipersatukan dengan tanda Jorgumand. Para roh yang tersesat melintas ke dunia kita menggunakan tubuh Gerbang. Kawat astral Gerbang akan terputus begitu dikuasai roh yang tersesat dan ia kehilangan tubuhnya untuk selamanya. Hanya saja, Samael cuma keluar dari Dunia Lain dan menyusup ke dunia kita melalui Sang Malaikat Kehancuran. Dan Amalia Mithorpe adalah Sang Malaikat Kehancuran.

Apakah akhirnya Lia akan menyerah dan mengorbankan tubuhnya bagi Samael, si iblis, atau justru ia akan terus berjibaku menghentikan ramalan itu? Jawabannya sudah jelas: Lia tidak akan menyerah. Dan hal pertama yang mesti ia lakukan adalah menemukan dua kunci lainnya.

Prophecy of the Sisters adalah novel pertama dari trilogi gubahan Michelle Zink yang telah diterbitkan. Setelah novel ini, Zink telah menuntaskan kedua sekuelnya, Guardian of the Gate dan Circle of Fire. Sebagai bagian pertama dari trilogi wajarlah kalau novel ini masih menyisakan misteri yang belum terpecahkan. Tapi novel ini bukan sekadar perkenalan para tokoh cerita. Karena tidak lama setelah novel dibuka, Zink langsung mengangkat problem yang mesti dihadapi Lia.

Problem yang paling utama tentu saja adalah keengganan Lia menerima takdirnya sebagai Gerbang. Keengganannya melahirkan perlawanan untuk memutarbalikkan takdir itu. Problem kian menarik lantaran Alice yang ditakdirkan sebagai Garda tidak menerima takdirnya pula. Berdiri berseberangan di dua kutub, satu sama lain menginginkan takdir seterunya.

Karena bertindak sebagai narator orang pertama, pergolakan perasaan Lia mengubah takdirnya menjadi protagonis bagi dunia sangat terasa dan mencekam. Kita akan kurang menyelami pergumulan Alice, namun kehadirannya yang terus membayang-bayangi langkah Lia cukup mengundang perhatian.

Meskipun belum sekental yang diharapkan, sebagai fiksi gotik, Prophecy of the Sisters tetap menciptakan horor. Kehadiran malaikat-malaikat terbuang yang melakoni peran antagonis dalam karya fiksi seperti biasa akan memberi efek horor. Hanya saja karena dalam novel ini Samael masih terkurung di Dunia Lain dan tidak menebar tulah, efek horor yang muncul belum cukup intens.

Sebagaimana unsur horor yang belum kental, romansa yang biasa melengkapi fiksi gotik juga masih terlampau cair. Tokoh James yang berpeluang menciptakan romansa terkesan hanya sebagai ornamen belaka. Sampai novel berakhir saya tetap berkesimpulan bahwa seandainya ia dihilangkan dari halaman-halaman novel, tidak akan membuat perbedaan.

Edisi terjemahan Indonesia terbitan Matahati yang dikerjakan Ida Wajdi tidak mengecewakan. Hasil penerjemahannya terbilang mulus dan bebas dari kalimat-kalimat yang tidak sedap dibaca.

Michelle Zink, sang pengarang, selalu terpikat pada mitos dan legenda kuno serta tidak pernah berhenti mempertanyakannya. Saat ia menemukan jawaban atas apa yang dipertanyakannya, ia akan melahirkan sebuah kisah. Prophecy of the Sisters adalah salah satunya.



Catatan:
Review ini ditulis dalam rangka Posting Bersama BBI untuk kategori fiksi gotik. Ini adalah kali kedua saya membaca Prophecy of the Sisters.





 Pengunjung
26 June 2012

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah


Judul Buku: Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Pengarang: Tere Liye
Tebal: 512 hlm; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, Januari 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
 





Perjuangan Borno menjadi bujang berhati paling lurus sepanjang tepian Sungai Kapuas dimulai pada umurnya yang kedua belas tahun. Bapaknya, tulang punggung keluarga, yang bekerja sebagai nelayan, meninggal dunia karena jatuh dari perahu dan disengat ubur-ubur. Bayangan yang tidak pernah hilang dari benak Borno adalah saat berada di rumah sakit dan mengetahui dada bapaknya dibelah padahal ia yakin bapaknya masih hidup. Jantung bapaknya diambil lalu disumbangkan kepada pasien gagal jantung yang sedang menunggu transplantasi. Menurut dokter yang menangani pembedahan, secara medis bapak Borno sudah meninggal. 

Sepuluh tahun kemudian, Borno sudah lulus SMA. Awalnya ia bekerja di pabrik pengolahan karet yang terkenal dengan baunya yang tidak enak. Ketika pabrik itu terpaksa harus menghentikan operasinya,  Borno memutuskan bekerja di dermaga kapal feri. Kota tempat Borno tinggal, Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat, adalah kota air yang dibelah oleh aliran Sungai Kapuas. Untuk menghubungi kedua bagian kota yang terpotong, penduduk memanfaatkan sepit (dari kata speed), perahu kayu dengan mesin tempel, karena naik bus atau oplet biayanya lebih murah dan perjalanan lebih panjang. Belakangan, reputasi sepit sebagai angkutan umum terancam dengan hadirnya kapal feri atau yang disebut pelampung oleh penduduk. Tidak heran, ketika mendengar Borno bekerja di dermaga feri, Bang Togar, ketua Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta, langsung mencak-mencak. Akibatnya, Borno diboikot dan tidak bisa menumpang sepit lagi.

Situasi yang tidak menyedapkan membuat Borno meninggalkan pekerjaannya di dermaga feri. Jadilah dia mengerjakan berbagai pekerjaan serabutan seperti membantu Cik Tulani di warungnya, menunggui toko kelontong Koh Acong, ikut melaut mencari sotong dan kegiatan remeh lainnya. Semua tidak bisa menjamin kehidupannya menjadi lebih baik. Nasib Borno yang kurang beruntung mendorong Pak Tua Hidir, salah satu pengemudi sepit; Koh Acong, si pemilik toko kelontong, dan Cik Tulani si pemilik warung makan menjadikan Borno sebagai pengemudi sepit. Tentu saja Borno tidak langsung menerima. Pengemudi sepit adalah salah satu dari dua pekerjaan yang tidak diinginkan bapak untuk dilakoni Borno; lainnya adalah nelayan. Bapak Borno tidak pernah berharap putranya akan menjadi seperti dirinya (nelayan) dan kakek Borno (pengemudi sepit). Tapi rupanya Borno memang sudah ditakdirkan untuk pernah menjadi pengemudi sepit. Dan yang namanya takdir tidak mau ditepiskan. Maka akhirnya, sesudah berlatih mengemudi sepit dan menjalankan masa orientasi ala Bang Togar, resmilah Borno menjadi pengemudi sepit. 

Sebagai pengemudi sepit pemula, Borno tidak langsung dipercaya oleh para penumpang sepit. Tapi pada kesempatan perdana membawa penumpang inilah harga diri Borno dilambungkan. Seorang gadis manis, belakangan diketahui bernama Mei, menunjukkan keyakinannya pada Borno dengan tetap berada di atas sepit, sementara yang lain sudah ketakutan kembali ke dermaga. Saat genting inilah untuk pertama kalinya, cinta pertama Borno bersemi, ketika Mei meninggalkan sepucuk angpau merah di sepit Borneo. Angpau merah ini akan menjadi simpul yang mengikat Borno, Mei, dan seorang gadis menarik yang akan muncul ketika Borno sedang patah hati dalam satu jalinan takdir yang tidak terduga ujungnya. 

"Ada tujuh miliar penduduk bumi saat ini, Setiap hari ada berapa orang yang jatuh cinta dan patah hati? Setidaknya setiap detik ada tiga orang yang jatuh cinta. Tiga orang pula yang patah hati. Dengan demikian, satu jam berarti ada sepuluh ribu, satu hari berarti dua ratus ribu pasangan yang jatuh cinta dan patah hati," Pak Tua yang seiring perkembangan waktu menjadi sahabat Borno seperti halnya Andi, sahabat sebaya, menasihatinya (hlm. 256-257). Walaupun tidak menikah dan hidup sendiri, lelaki tua kaya pengalaman hidup itu mahir dalam hal membincang cinta. Karena itu, Pak Tua bisa memahami Borno yang sedang patah hati. Mei meninggalkannya, tidak hanya sekali, tapi dua kali, tanpa alasan jelas.

Pertanyaan yang terus mengikuti pembaca seiring perguliran plot adalah: apakah Borno benar-benar tidak akan berjumpa lagi dengan cinta sejatinya? Di titik kulminasi rasa kecewa dan putus asa yang melanda Borno, hanya satu yang menjadi semangat baginya untuk tetap bertahan: menjadi bujang berhati paling lurus sepanjang tepian Sungai Kapuas.

"Aku bangga sekali dengan kau, Borno. Anak bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian Sungai Kapuas. Kau selalu berbakti dengan kami-kami yang lebih tua, selalu hormat, tidak pernah menolak disuruh-suruh, tidak pernah melawan meski sering diomeli.... Selalu merasa perlu mendengar pendapat kami, padahal semua orang tahu, kau lebih pandai dari siapa pun ...." kata Bang Togar (hlm. 348).

Selain kisah hidup dan cinta Borno, novel ini menyodorkan percabangan kisah terkait orang-orang yang berpengaruh dalam hidup Borno. Borno, sang narator orang pertama, sangat kentara bukanlah manusia bertipe lupa kacang akan kulitnya. Maka kita akan mengikuti kisah pengalaman hidup Pak Tua yang menarik, kisah cinta Bang Togar yang dramatis, dan usaha bengkel ayah Andi yang ditimpa musibah sampai nyaris merenggut kewarasan lelaki Bugis itu. Cabang kisah yang disebutkan terakhir akan meneguhkan tekad Borno untuk membuat keputusan terpenting dalam hidupnya. 

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere Liye adalah buku gemuk yang membutuhkan cukup banyak waktu untuk dikhatamkan. Tapi bagusnya, selama membaca novel ini, ternyata tidak kunjung membosankan. Bukan cuma karena muatan kisah menawan di dalamnya, melainkan juga karena novel ini dihidangkan dengan matang. Tere Liye begitu luwes sekaligus santai dan lepas dalam menggulirkan kisahnya. Ekspresinya yang menggetarkan mampu memerangkap kita untuk kian menyusup ke dalam hiruk-pikuk kehidupan tepian dan sungai terpanjang di Indonesia itu. Kegetiran yang terasa di berbagai tempat berkelindan dengan atmosfer penuh humor hampir di sekujur tubuh novel menghasilkan satu kesimpulan. Sesungguhnya kisah Borno adalah perayaan atas kehidupan yang harus dijalani. Kehidupan yang diracik dari warna suka dan duka. 

Cinta, sudah pasti, menjadi elemen paling krusial yang menghidupkan kisah di dalam novel ini. Cinta menggerakkan optimisme Borno. Cinta membuat Borno menerima keberadaan hidupnya. Cinta mematahkan hati Borno tapi juga menjanjikan pemulihan pada suatu saat dalam kehidupannya. Cinta Borno akan membuat kita enggan melepaskan novel ini sebelum ditamatkan. 

“Kalian tahu, cinta itu beda-beda tipis dengan musik yang indah,” kata Pak Tua (hlm. 166). “Cinta itu macam musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu tetap menari meskipun musiknya telah lama berhenti.” (hlm. 167). “Untuk orang-orang seperti kau, yang jujur atas kehidupan, bekerja keras, dan sederhana, maka definisi cinta sejati akan mengambil bentuk yang amat berbeda, amat menakjubkan.” (hlm. 175).

Oh, tentu saja, cinta bukanlah satu-satunya nuansa yang indah dalam novel ini. Masih ada nuansa lain yang tidak kalah indah. Nuansa yang menyeruak dari sebuah komunitas tepian Sungai Kapuas yang dibuhul semangat kebersamaan karena rasa senasib dan sepenanggungan. Di sini berlaku pepatah: berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Tere Liye mengingatkan, betapa pentingnya nuansa semacam itu tetap terpelihara dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat. 

Selain kisah bernas yang dipintal dengan kepiawaian seorang tukang cerita, hal menarik lainnya adalah penggunaan Kota Pontianak dan Sungai Kapuas sebagai seting. Sampai saat ini, saya belum pernah membaca karya fiksi yang menghidupkan kota dan sungai ini sebagai seting utama. Tere Liye memberdayakan seting ini secara intens sehingga kita seolah-olah dibawa ke kota yang didirikan Syarif Abdurrahman Alkadrie pada 23 Oktober 1771 ini dan mendengar lenguhan burung-burung walet terbang menuju sarang di bangunan paling banyak di Kota Khatulistiwa ini. Sementara di Sungai Kapuas, desau angin menciptakan riak-riak yang menerpa badan sepit yang sedang melenggang membelah permukaan sungai sepanjang 1.143 km. 

Belakangan, Tere Liye mengindikasikan dirinya sebagai salah satu pengarang prolifik di Indonesia. Karya fiksinya semakin banyak meramaikan dunia perbukuan kita. Kelugasan mendedahkan kisah yang kerap terkesan wajar dan membumi membuat karyanya mendapat tempat tersendiri di hati para pembaca buku.

Selain Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah, Gramedia juga telah menerbitkan karya lain Tere Liye yaitu The Gogons : James & the Incredible Incidents, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, dan Ayahku (Bukan) Pembohong. Negeri Para Bedebah diterbitkan menyusul Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah.



 Pengunjung

24 June 2012

Seekor Anjing Mati di Bala Murghab



Judul Buku: Seekor Anjing Mati di Bala Murghab
Penulis: Linda Christanty
Tebal: 128 hlm;13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, Juni 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


 


Seekor Anjing Mati di Bala Murghab adalah koleksi cerpen ketiga Linda Christanty setelah  Kuda Terbang Maria Pinto (Katakita, 2004) dan Rahasia Selma (Gramedia Pustaka Utama, 2010) yang kedua-duanya meraih Khatulistiwa Literary Award. Dalam koleksi ini, ada sepuluh cerpen berseting berbagai negara, termasuk Indonesia. Kesepuluh cerpen ini ditulis menggunakan rangkaian kalimat apik dan matang. Tidak ada kalimat berbunga-bunga yang percuma dan membosankan dibaca.

Ketika Makan Kepiting, cerpen pembuka koleksi, berkisah tentang seorang perempuan yang gemar makan kepiting. Setelah bekerja dan punya penghasilan sendiri, seminggu sekali ia akan memuaskan kegemarannya. Suatu kali, sambil menikmati kepiting di sebuah restoran terapung, ia terkenang masa lalunya,  termasuk saat ibunya berselingkuh dengan guru sekolah kakak tirinya yang bisu dan tuli. 

Seorang istri tidak selalu jujur dan bersepakat dengan pandangan suaminya. Itulah yang tertangkap dalam cerpen Zakaria. Berseting Aceh, cerpen ini mengungkapkan kegagalan Zakaria melaksanakan tugas yang dimandatkan kakak perempuannya.

Cerpen Karunia dari Laut melahirkan tanya. Apa sebenarnya yang terutama hendak disampaikan pengarang pada pembaca? Kakek yang dituduh terlibat partai terlarang atau ibu yang tiga kali menikah? 

Berseting Jepang, Sihir Musim Dingin mengungkit kisah persahabatan dua orang perempuan. Sudah lima tahun Hana kehilangan kabar dan tidak bertemu Keiko, sahabatnya. Pertemuan terakhir mereka terjadi ketika Keiko menceritakan putusnya hubungan cintanya dengan lelaki yang sudah 13 tahun menjadi pacarnya. Pertanyaannya adalah: mengapa Keiko menghilang dan tidak ingin bertemu Hana lagi?
 
Tiga tahun sebelumnya, kendati sudah punya seorang anak perempuan, lelaki 50 tahun dalam cerpen Jack dan Bidadari berpisah dengan istrinya. Si lelaki kemudian menjalin hubungan asmara dengan bidadari, kekasih yang senang menyiksa. Kemungkinan besar hasrat si lelaki pada bidadari inilah yang mengakhiri pernikahannya.

Dalam cerpen Perpisahan, sepasang kekasih bertemu di Berlin, di tepi sungai tempat mayat Rosa Luxemburg dibuang. Hans, si lelaki, kehilangan ibunya, sedangkan si perempuan anonim, kehilangan ayahnya. Hans tidak tahu kalau pertemuan ini menjadi kesempatan terakhir baginya berbincang-bincang dengan kekasihnya.

Erika Sartika, sahabat Tina Wang dalam cerpen Kisah Cinta, ditemukan mati di kolam ikan. Tina Wang memutuskan menghubungi Tiran, adik Erika, untuk mengabarkan kematian sahabatnya. Ternyata, ia sudah pernah bertemu dengan lelaki itu.

Dengan cerpen Pertemuan Atlantik pembaca akan digiring pada pertemuan tiga penulis dalam rangka menghadiri sebuah konferensi di Maroko. Mereka adalah perempuan Afrika Selatan, lelaki Turki, dan perempuan Indonesia. Meskipun tidak berminat, si perempuan Indonesia (yang berbadan gemuk) memutuskan mengikuti kedua penulis lainnya melihat Atlantik pada sore hari.

Cerpen yang menjadi judul koleksi cerpen ini, Seekor Anjing Mati di Bala Murghab, dituturkan oleh saksi mata penembakan seekor anjing yang dilakukan seorang serdadu di Bala Murghab, Afghanistan. Bocah pemilik anjing itu terguncang dan meraung histeris. Tapi si serdadu bersikap seakan-akan tidak pernah melepaskan peluru dari senapan otomatisnya.

Penutup koleksi ini yaitu cerpen Catatan tentang Luta; Manusia yang Hidup Abadi, merupakan kesaksian sang narator mengenai Luta, lelaki Iban yang hidup abadi. Luta yang saat dijumpai sang narator sudah berusia 350 tahun, hidup abadi untuk menjaga sukunya dari kepunahan dan bahaya. Dan ternyata, Luta bukanlah satu-satunya manusia yang hidup abadi.

Jujur saja, tidak semua cerpen dalam koleksi ini meninggalkan kesan mendalam. Linda memang indah dalam bertutur, tapi hampir tidak menyodorkan tema yang orisinil. Umumnya tema yang digarap sudah sering dimanfaatkan oleh banyak pengarang, bahkan dengan konflik yang lebih matang dan solusi yang lebih cemerlang. Tidak datar seperti pada beberapa cerpen Linda. Pernikahan yang rumit, pelecehan anak-anak, pengkhianatan seorang sahabat, percintaan kaum transgender, perpisahan sepasang pecinta adalah berbagai tema yang tidak baru lagi. Linda hanya mengemas kembali tema-tema ini menggunakan karakter ciptaannya dan seting yang baru. Catatan tentang Luta; Manusia yang Hidup Abadi yang ditulis dengan gaya reportase sebenarnya bertema unik, tapi penggarapannya terlalu biasa.

Dari kesepuluh cerpen yang ada, saya memilih Zakaria dan Seekor Anjing Mati di Bala Murghab sebagai cerpen favorit. Saya suka gaya bercerita dengan elemen kejutan di bagian pamungkas cerpen pertama, dan sulit melupakan hancurnya kepolosan anak-anak dalam cerpen kedua.




 Pengunjung



21 June 2012

Sepatu Dahlan

Judul Buku: Sepatu Dahlan
Penulis: Khrisna Pabichara
Tebal: 390 hlm; 14 x 21 cm
Cetakan: 1, Mei 2012
Penerbit: Noura Books

 
"Apakah saya menyesal dilahirkan di keluarga miskin? Sama sekali tidak. Kemiskinan kami adalah kemiskinan struktural. Kemiskinan yang juga dialami banyak orang di lingkungan saya. Bahkan hampir di semua kampung saya. Di kabupaten saya. Juga di negara saya. Kemiskinan rame-rame. Kami bisa menikmatinya bersama-sama," demikian dikatakan Dahlan Iskan dalam bukunya Ganti Hati... Tantangan Jadi Menteri (Elex Media Komputindo: 2012).

Selain ijazah dengan dua nilai merah, kemiskinanlah yang membuat Dahlan Iskan remaja tidak bisa masuk SMP yang ia dambakan. Orangtuanya tidak mampu membiayainya dan memutuskan memasukkannya ke Madrasah Tsanawiyah di Pesantren Takeran atau Pondok Sabilil Muttaqien.

"Hidup, bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya," tulis Dahlan Iskan dalam bukunya Ganti Hati... Tantangan Jadi Menteri dan dikutip Krishna Pabichara dalam novel Sepatu Dahlan (hlm, 322). Karena itu, Dahlan pun bersekolah di Madrasah Tsanawiyah Takeran yang terletak 6 kilometer dari rumahnya di Kebon Dalem (Magetan, Jawa Timur) tempat kisahnya bermula. Setiap hari, ia mesti berjalan telanjang kaki selama satu jam menuju sekolah dan satu jam lagi pulang ke rumah. Tidak heran jika Dahlan ingin mendapatkan sepatu dan sepeda untuk mempermudah perjalanannya. Hanya saja, orangtuanya tidak punya uang untuk memenuhi keinginannya.

Demi mendapatkan sepatu, Dahlan pernah nguli nandur berhari-hari. Sedangkan untuk sepeda, ia pun nguli nyeset. Tapi upah yang ia peroleh selalu digunakan untuk hal-hal lain yang dipandang lebih penting. 

"Kita dapat menjadi orang yang merasa tidak beruntung karena lahir di tengah-tengah keluarga miskin, bermimpi ketiban rezeki semacam "durian runtuh" agar bisa membeli benda-benda idaman, atau membayangkan hal-hal lain yang menggiurkan seperti nasib baik anak-anak orang kaya. Tapi, kita juga dapat memilih menjalani hidup dengan wajar dan penuh keriangan, berusaha membantu orangtua sedapat mungkin, meraih segala yang didamba dengan keringat sendiri, dan tetap antusias memandang masa depan," kata Dahlan yang berperan sebagai narator orang pertama dalam Sepatu Dahlan (hlm. 248).

 
Maka, walaupun tak punya sepeda dan tak mengenakan sepatu, Dahlan tetap menjalani hari-harinya bersekolah di pesantren. Di sana, ia bahkan menjalin persahabatan dengan beberapa anak yang kemudian akan menghiasi masa remajanya. Salah satu ekspresi masa remaja Dahlan dan teman-temannya adalah menjadi anggota tim bola voli sekolah. Kegiatan inilah yang akan membantu menggembleng bakat kepemimpinan Dahlan, apalagi ketika ia diminta melatih anak-anak pegawai perkebunan tebu bermain voli dan pada satu kesempatan harus mengambil keputusan sulit.

Dari pekerjaannya melatih anak-anak pegawai perkebunan tebu, akhirnya Dahlan punya uang untuk membeli sepeda sekaligus sepatu, kendati bekas. Khusus untuk sepatu, dalam Ganti Hati... Tantangan Jadi Menteri, Dahlan mendeskripsikan sebagai "Sepatu kets bekas yang ujung jempolnya sudah bolong dan bagian tumitnya sudah berserabut."

"Mimpi-mimpiku itu, seandainya sepatu dan sepeda tak layak disebut cita-cita, tak jauh berbeda dengan mimpi-mimpi anak-anak di kampungku. Bedanya, sepenuh daya aku berusaha meraih mimpi-mimpi itu, dan tak berhenti sampai aku benar-benar memilikinya." (hlm. 338). Untuk mendapatkan sepatu, sebelumnya Dahlan sempat mengambil uang yang disimpan Bapaknya. Untunglah, saat sudah berada di pasar hendak membeli sepatu bekas, uangnya tidak cukup.

Ketika mimpi memiliki sepeda dan sepatu telah terpenuhi, Dahlan merasa hal ini bukanlah akhir dari apa yang ingin ia penuhi. Ada mimpi baru yang begitu ingin ia raih, mimpi yang sangat biasa dan wajar bagi dirinya yang hidup dalam kemiskinan. Mimpi menangguk rezeki agar bisa makan setiap kali perut melilit kelaparan.

"Saya, waktu kecil, memang hanya punya satu celana pendek dan satu baju, tapi saya masih punya satu sarung! Jangan meremehkan kemampuan sarung ini." kata Dahlan dalam Ganti Hati... Tantangan Jadi Menteri. Sarung baginya tidak hanya menjadi alat ibadah, mencari rezeki, pakaian, atau alat hiburan, melainkan juga untuk membantu saat sedang lapar.

"Kalau perut lagi lapar sekali dan di rumah tidak ada makanan sama sekali, saya ikatkan kuat-kuat sarung itu di pinggang. Jadilah dia pengganjal perut yang andal," katanya dalam
Ganti Hati... Tantangan Jadi Menteri. Itu juga yang ditunjukkan Krishna Pabichara dalam novel ini ketika Dahlan dan adiknya, Zain, kelaparan dan tidak ada sesuap tiwul pun yang bisa mengganjal perut.

Satu yang sangat mengusik saya adalah Bapak yang terkesan diam menghadapi Dahlan dan Zain yang kelaparan. Bahkan digambarkan oleh Krishna Pabichara sewaktu meninggalkan rumah untuk bekerja di luar Kebon Dalem, Bapak tidak mempersiapkan makanan bagi anak-anaknya. Lebih mengusik lagi karena ada kakak Dahlan yang bisa kuliah di Madiun sementara adik-adiknya tetap kelaparan di kampung. Bahkan Bapak pernah berkata, "Kemiskinan yang dijalani dengan cara yang tepat, akan mematangkan jiwa." (hlm. 184).

Novel Sepatu Dahlan tidak hanya mendedahkan perjuangan masa remaja Dahlan untuk bisa tetap sekolah dan mengatasi kelaparan (sampai suatu kali harus mencuri tebu) tapi juga melukiskan interaksinya dengan sang Bapak yang "tidak pernah tersenyum, tidak punya koleksi kata-kata lembut dan sangat pendiam." Dahlan tidak bisa mengharapkan Bapak memahami dirinya dan kebutuhannya, tapi Dahlan yang harus memahami kemarahan yang ditunjukkan Bapak dengan sikap diam. Seperti saat tiga ekor domba yang diangon Dahlan harus dikorbankan demi mengganti sepeda temannya yang ringsek. Atau seperti ketika ia dituduh tidak bisa menjaga Zain, adiknya yang jatuh dari pohon kelapa. Bapak hanya bisa menunjukkan kebanggaan jika Dahlan mencetak prestasi!

Rasanya kurang menarik jika masa remaja Dahlan Iskan digambarkan dengan datar-datar saja. Oleh sebab itu,  Krishna pun menyelipkan kisah cinta masa remaja. Bahwa Dahlan jatuh cinta pada Aisha, gadis lain sekolah dan ternyata anak mandor perkebunan tebu yang ditakutinya. Kisah cinta yang menjadi salah satu pemicu keinginan Dahlan meninggalkan Kebon Dalem pada bagian pamungkas novel ini merupakan bagian yang cukup menghibur disamping balapan kerbau dan lomba voli yang digambarkan secara meriah.

Ada kisah masa SMA (Madrasah Aliyah) yang diluputkan Krishna Pabichara dalam novel ini. Dahlan Iskan sendiri mengakuinya dalam Ganti Hati... Tantangan Jadi Menteri. Bahwa ia pernah tidak naik kelas lantaran nilai rapornya merah semua. Sayang rasanya tidak menjadi bagian dari novel mengingat hal ini cukup menarik dan selanjutnya akan sangat terhubung dengan soal sepatu yang diidam-idamkan Dahlan.

Sekarang Dahlan Iskan, tentu saja, tidak semiskin masa remajanya. Berbagai pekerjaan telah ia tekuni hingga dipilih menjadi Menteri BUMN dalam Kabinet Indonesia Bersatu II menggantikan Mustofa Abubakar (mulai 19 Oktober 2011). Keberadaannya saat ini sudah pasti bisa membuatnya memiliki segudang sepatu yang bagian jempolnya tidak bolong dan tumitnya tidak berserabut. Tapi kenangan tentang sepatu yang sulit dibeli tidak akan pernah terlupakan dalam sejarah hidupnya.

Untuk pembaca, Dahlan tidak menutup-nutupi latar belakang kehidupannya yang miskin. Ia memberikan kesempatan Noura Books melalui Krishna Pabichara untuk menovelisasi kehidupannya dengan membubuhkan sentuhan dramatis yang dibutuhkan sebuah novel.

Semangat Dahlan berjuang meraih mimpi memberikan inspirasi bagi pembaca untuk mensyukuri hidup seperti apapun yang harus dijalani. Semangat yang sama memotivasi pembaca untuk bertekad keluar sebagai pemenang dari berbagai kendala hidup yang dihadapi. Karena keberhasilan -seperti yang diraih Dahlan Iskan- memang hak semua orang, asalkan ada niat untuk merealisasikannya.

Sepatu Dahlan
adalah buku pertama dari trilogi novel inspirasi Dahlan Iskan yang telah direncanakan. Setelah novel ini, akan menyusul Surat Dahlan dan Kursi Dahlan. Sebagai seorang penulis yang antara lain telah menerbitkan kumpulan cerpen Mengawini Ibu: Senarai Kisah yang Menggetarkan (2010), Krishna Pabichara adalah pilihan yang tepat untuk menovelisasi kisah hidup Dahlan Iskan. Ia terbilang sukses mengemas kisah nyata menjadi sebuah novel yang menggugah. Memang tidak ada konflik dan solusi seperti di dalam novel-novel fiktif, tapi kisah dalam novel kisah nyata ini tetap mampu menarik perhatian sampai ditamatkan. Kabarnya, untuk menulis novel ini, Khrisna Pabichara telah melakukan riset yang intensif bahkan sampai tinggal di Kebon Dalem dan mendatangi tempat-tempat yang pernah dikunjungi Dahlan terkait waktu yang menjadi seting novel. 


 
 Sumber gambar: di sini



Foto Krishna Pabichara : Endah Sulwesi 


 Pengunjung
19 June 2012

The Postmistress


Judul Buku: The Postmistress
Pengarang: Sarah Blake (2010)
Penerjemah: Meggy Soejatmiko
Tebal: 588 halaman
Cetakan: 1, 2012
Penerbit: Elex Media Komputindo


 



"Setiap kisah -baik mengenai cinta ataupun perang- merupakan kisah mengenai menoleh ke sebelah kiri ketika kita justru seharusnya menoleh ke kanan," kata Frances Bard alias Frankie, mantan gadis penyiar radio, pada hari tuanya. Lalu, ia memulai kisahnya dari Franklin, sebuah kota pesisir pantai di Massachussetts pada tahun 1940-an. 

Saat bom-bom mulai berjatuhan di London dan sekitarnya ketika Jerman berusaha menginvasi Inggris pada Perang Dunia Kedua, Will Fitch adalah seorang dokter yang baru saja menikah. Dalam tugasnya sebagai dokter, ia membantu persalinan seorang perempuan yang kemudian meninggal dunia setelah melahirkan anaknya. Kematian perempuan itu membuat Will hancur dan bersikeras pergi ke London untuk membantu korban perang. Tanpa sepengetahuannya, ia meninggalkan Emma, istrinya, dalam keadaan hamil. 

Sebelum berangkat ke London dalam penugasan yang tidak resmi dan semata-mata hanya karena keinginan pribadi, Will menitipkan sepucuk surat kepada Iris James, kepala kantor pos Franklin. Will berharap Iris akan memberikan surat itu kepada Emma seandainya ia tewas.

Di London, saat Jerman melancarkan serangan bom malam hari, Will bertemu Frankie Bard di sebuah lubang perlindungan. Sebelumnya, di Franklin, Will telah mendengarkan suara gadis itu menyiarkan berita mengenai pengeboman Nazi Jerman di Inggris. Bahkan suara Frankielah yang meneguhkan tekadnya datang ke London. 

Perjumpaan mereka meninggalkan sepucuk surat yang dialamatkan kepada istrinya di Franklin. Sehingga seperti Iris James, Frankie  pun terbeban untuk meneruskan surat  Will Fitch. 
 
Frankie kembali ke New York setelah melakukan perjalanan menyeberang Eropa dari Inggris dimana ia menyaksikan pengungsian kaum Yahudi yang dipicu oleh tindakan antisemitisme Nazi Jerman. Dalam berbagai kesempatan, umumnya di atas kereta api, Frankie merekam wawancaranya dengan para pengungsi itu. Namun, sekembalinya ke London, ia tidak mampu menyiarkan informasi yang dikumpulnya. Frankie memilih pulang ke Amerika dan  pergi ke Franklin untuk bertemu Emma Fitch.

Selain Emma Fitch, di Franklin, kehidupan Frankie akan bersengkarut dengan kehidupan Iris James, si kepala kantor pos. Juga kehidupan Otto Schelling, Yahudi Austria yang berhasil meninggalkan Eropa dan Harry Vale, pria idaman Iris James, yang sangat yakin akan kedatangan Jerman di Franklin. 

Sebenarnya, apa yang telah terjadi pada Will Fitch? Akankah Will pulang sehingga Iris James atau Frankie Bard tidak usah resah akan menyerahkan surat Will pada istrinya yang tengah hamil? Jauh sebelum The Postmistress ditamatkan, Sarah Blake, sang pengarang novel, telah memberikan kunci jawaban atas pertanyaan ini. Keputusan yang sungguh tidak bijak (dan mengagetkan) mengingat dua pucuk surat Will yang belum tiba di tangan Emma sesungguhnya telah mengiming-imingi pembaca pengungkapan tak terduga di bagian pamungkas novel.

Memang, membaca The Postmistress kita bisa langsung bisa menyimpulkan bahwa efek buruk dari peranglah yang lebih ingin Sarah tonjolkan ketimbang pengembangan alur dan konflik yang sebenarnya akan membuat ceritanya jauh lebih menarik. Padahal, dari bagian "Cerita di Balik Cerita" kita bisa mengetahui jika perang bukanlah titik berangkat novel ini. Tapi untunglah, cara Sarah menggulirkan kisah masih menyimpan daya tarik sampai novel dikhatamkan. Selain itu, ia juga terbilang berhasil menciptakan berbagai karakter yang di dalam kelemahan mereka, tetap mengundang simpati. 

Sewaktu menetap di sebuah kota kecil di ujung Cape Cod, Sarah Blake pernah membayangkan perempuan pengantar pos di kota itu berdiri di depan kotak-kotak penyortiran di ruang belakang kantor pos dengan sepucuk surat di tangannya. Perempuan itu menunduk, memandang surat di tangannya, kemudian memutuskan untuk memasukkan surat itu ke dalam sakunya. Bayangan inilah yang melahirkan karakter Iris James, sang kepala kantor pos (postmistress). Bahkan profesi perempuan itu ditetapkan sebagai judul novel. Padahal novel ini bukan semata-mata mengenai Iris James dan pekerjaannya sebagai kepala kantor pos. Boleh dibilang, judul novel tidak mewakili dengan tepat kisah yang terkandung dalam novel. 

Semua karakter utama dalam The Postmistress adalah karakter fiktif. Kecuali Edward R. Morrow (1908-1965), penyiar radio yang terkenal dengan siaran langsung mengenai pengeboman Jerman di Inggris pada Perang Dunia Kedua. Dalam novel ini, Edward R. Morrow menjadi rekan kerja Frankie Bard di London. 


 Edward R. Morrow

Seperti yang dikatakan Frankie Bard di bagian awal novel saya bersepakat bahwa The Postmistress adalah 'sebuah kisah mengenai menoleh ke sebelah kiri ketika kita justru seharusnya menoleh ke kanan'. Gambaran yang paling nyata dari kesimpulan ini adalah apa yang terjadi pada Will Fitch setelah pertemuannya dengan Frankie Bard di sebuah lubang perlindungan di London. 


18 June 2012

Sunrise Serenade


Judul Buku: Sunrise Serenade
Penulis: Sundea dan Dian Syarief Pratomo
Tebal: xiv + 298 hlm; 14 x 20 cm
Cetakan: 1, 2012
Penerbit: GagasMedia


 




"Ini cerita tentang matahari pagi. Namun, untuk melihat bagaimana ia terbit, cerita ini kita mulai ketika langit masih gulita. Ketika dingin dan suara menjadi runcing menusuk kulit dan telinga. Ketika yang kita miliki hanya janji cahaya dan keteguhan untuk memercayainya. Saat itu kita menanam hidup pada sebuah kata sederhana: harapan." Demikian Sundea memulai kisah persahabatan Dian Syarief Pratomo dengan penyakit lupus yang diidapnya di bagian prolog memoar bertajuk Sunrise Serenade

Sebelumnya, hidup Dian Syarief sangat sempurna. Ia adalah sarjana Farmasi dari Institut Teknologi Bandung yang membangun karier di dunia perbankan. Selepas kuliah, Dian menggeluti bidang marketing credit dan corporate communication di salah satu bank swasta nasional. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia sudah menempati posisi public relations manager. Kehidupan karier yang cemerlang masih ditambah lagi dengan pernikahan yang menjanjikan kebahagiaan dengan Eko Pratomo, presdir salah satu perusahaan terbesar di Indonesia.

Sekonyong-konyong kegelapan mendatangi hidupnya. Diawali dengan bintik-bintik merah di kulit yang diduga dokter sebagai gejala demam berdarah. Kemudian masuk ke dalam kondisi dimana trombosit turun secara drastis tanpa diketahui penyebabnya yang disebut idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP). Lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan sumsum tulang belakang, maka kegelapan itu pun memperkenalkan dirinya: Systemic Lupus Erythematosus alias penyakit lupus. Penyakit ini adalah penyakit autoimun yang sering terbaca sebagai penyakit lain sehingga disebut-sebut sebagai penyakit seribu wajah. Belum ada pengobatan yang mujarab untuk mengatasi penyakit ini. Dan Dian harus menerima kenyataan pahit sewaktu harus mengkonsumsi prednison, salah satu obat dari golongan kortikosteroid, sebanyak 20 tablet setiap hari. 

 


Menenggak prednison yang begitu banyak menimbulkan efek samping yang merenggut kepercayaan diri Dian. Moonface, kulit menggelambir seperti kulit sapi, munculnya flek-flek di kulit, dan kaki serta tangan mengecil. Belakangan ketahuan prednison yang dikonsumsi Dian telah melebihi takaran. Dian menduga, asupan prednison inilah yang membuatnya menderita abses otak yang merampas 95% penglihatannya dan hampir membuatnya mati. Menghilangnya kemampuan melihatnya, menjadikan Dian penderita lupus sekaligus low vision. Ayahnya berkata, "Jika mata kamu tidak bisa melihat lagi, maka fungsinya akan digantikan dengan indra yang lain."  (hlm. 45).
 
Gangguan penglihatan tidak membuat Dian menyerah. Dia berusaha belajar orientasi mobilitas agar tetap bisa beraktivitas. Dia juga menggunakan telepon yang bisa membacakan SMS dan belajar huruf Braille.  

Abses otak yang membuatnya berkali-kali dioperasi dan kehilangan penglihatan seolah-olah belum cukup. Setelah rahimnya dibakar berkali-kali untuk menghentikan vaginal bleeding yang dialaminya, Dian terpaksa harus membunuh keinginan  mempunyai anak. Rahimnya diangkat untuk menyelamatkan hidupnya.
 
Pada situasi seperti itu, Dian berusaha mencegah keruntuhan jiwanya. Beruntung karena ia memiliki keluarga dan suami yang sangat mencintainya. Mereka tidak pernah meninggalkannya dalam keadaan terpuruk. 
 
Dian tidak akan bisa mengusir lupus sepenuhnya dari tubuhnya. Solusi yang harus ditempuh tinggal berdamai dan bersahabat dengan lupus. Seperti yang disampaikan Shania Park, salah satu odapus (orang dengan lupus) dari Korea yang juga Presiden Asosiasi Lupus Korea. "Berhentilah bertanya 'kenapa saya' karena itu hanya akan menimbulkan kemarahan, penolakan, kekecewaan, dan keputusasaan. Karena pengetahuan adalah sumber kekuatan, pelajari lebih banyak mengenai penyakit ini. Batasi aktivitas sesuai kekuatan, pelihara kebiasaan dan pola hidup yang baik, dan jangan lupa lupa untuk selalu berpikir positif dan mencintai diri kita." (hlm. 147). Tidak mudah memang, tapi Dian memang mesti memilih. 
 
Pada akhir tahun 2003, Dian dan suaminya mendirikan Syamsi Dhuha Foundation (SDF) dengan dua divisi utama: Care for Lupus (CFL) dan Care for Low Vision (CFLV). Meskipun dalam kondisi kesehatan yang naik-turun, Dian berusaha mengembangkan SDF. Melaksanan kegiatan dalam rangka sosialisasi lupus dan merangkul sesama odapus. Mengusahakan jalur obat murah bagi odapus. Sementara harus mengatasi deraan sakit akibat macetnya slang VP shunt -slang untuk mengalirkan cairan otak ke dalam perut- yang dipasang di kepalanya sejak operasi abses otak, ia juga memperkenalkan yayasannya ke forum internasional.

 


Atas upaya yang dilakukan Dian Syarief, pada tahun 2010 ia dianugerahi International Lifetime Achievement Award dari International Congress on SLE di Vancouver Canada. Pada tahun yang sama ia juga dihargai Danamon Award. Syamsi Dhuha Foundation yang dikelola bersama suaminya mendapatkan penghargaan Sasakawa Health Prize dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2012.
 
Di bagian epilog Sundea menulis, "Cerita ini dimulai dari kegulitaan dan rasa percaya terhadap janji cahaya. Ketika kita tahu cahaya menepati janjinya, jadilah cahaya juga. Berpendarlah dengan ikhlas dan sebaik-baiknya." (hlm. 289). Bercahaya seperti mentari pagi, itulah yang kemudian dilakukan Dian dengan Syamsi Dhuha Foundation. 

Membaca memoar yang ditulis dengan bahasa yang renyah dan enak dibaca oleh Sundea ini adalah sebuah pengalaman mencerahkan dan penuh inspirasi. Dian, dalam keterbatasannya, memberi teladan bagi kita semua bahwa kendala yang kita hadapi dalam hidup, jika kita mau, tidak akan mencegah kita berbuat baik bagi kemanusiaan. 

 
Sunrise Serenade sungguh sebuah buku yang layak dibaca. Kita mungkin akan merasa iba pada awalnya, tapi semakin ke belakang mendekati akhir kisah, kita akan ikut disuntik semangat hidup sebagaimana yang menyusup dalam diri Dian.

Akhirnya, mau tidak mau, saya harus mengalamatkan salut kepada Eko Pratomo, suami yang telah menemani Dian dengan kesetiaan dan cinta yang tidak pernah terpukul mundur oleh situasi sulit. Pada minggu terakhir di bulan Desember 1990 mereka menikah. Sundea melukiskan harapan Dian pada momen pernikahan itu dengan indah, "Sejak hari itu, perjalanan aku dan Mas Eko sebagai 'kami' yang utuh dimulai.... Tak lagi akan terpisah, tak dapat lagi disapih...." (hlm. 91). 

Dan memang, kendati dalam kesulitan, harapan Dian Syarief Pratomo telah menjadi nyata. 


Pengunjung
17 June 2012

A Single Shard


Judul Buku: A Single Shard
Pengarang: Linda Sue Park (2001)
Penerjemah: Maria Masniari Lubis
Tebal: 191 halaman; 13 x 20,5 cm
Cetakan: 1, Maret 2012
Penerbit: Atria

 





Meskipun lahir dan besar di Amerika, Linda Sue Park tidak pernah melupakan budaya leluhurnya di Korea Selatan. Hal ini dibuktikannya dalam  berbagai karya fiksinya termasuk A Single Shard. Novel yang menggunakan seting Korea abad ke-12 ini menghadirkan salah satu warisan budaya Korea yang sangat tersohor: keramik seladon. Korea memang dikenal dalam sejarah sebagai produsen keramik seladon terindah di dunia pada abad kesebelas dan kedua belas. 

Kisah dalam A Single Shard berpusat pada kehidupan Tree-ear, bocah laki-laki yatim piatu yang tinggal di kolong jembatan di desa Ch'ulp'o bersama Crane-man, lelaki tua berkaki satu.

Ch'ulp'o adalah desa produsen keramik, sehingga tidak mengherankan jika Tree-er pun tertarik menciptakan keramik. Karena memecahkan kotak keramik Min, seorang pengrajin keramik, Tree-ear memutuskan bekerja untuk Min. Memotong kayu bakar yang akan digunakan Min di tungku pembakaran. Mengangkut tanah liat dan mengeringkannya untuk menghasilkan glasir seladon. Mengumpulkan  cangkang tiram yang akan digunakan sebagai penyangga dalam tungku pembakaran. Itulah yang Tree-ear lakukan untuk Min dengan harapan akan diajari membuat keramik seladon. Namun Min bergeming, tidak mau mengajari Tree-ear. Apalagi ada aturan yang menyatakan bahwa seorang pengrajin keramik hanya bisa mengajari anaknya sendiri, dan Tree-ear bukanlah anak Min.

"Api harapan yang berkobar dalam dirinya sekarang telah mengecil, tetapi kecerlangan atau ketajamannya tak berkurang, dan dia menjaganya hampir setiap hari dengan bayangan keramik-keramik yang akan dia ciptakan." (hlm. 65).

Kendati belum diberikan kesempatan belajar membuat keramik, mimpi Tree-ear tidak tergusur. Ia bahkan telah mematri dalam benaknya model keramik yang akan ia ciptakan. "Hasil karyanya nanti akan berupa sebuah vas prunus* -yang paling elegan di antara semua bentuk. Berbentuk tinggi dan berproporsi indah, menjulang dari landasannya untuk berdiri dengan anggun, kemudian membulat di bagian mulutnya." (hlm. 65).

Lalu suatu hari seorang utusan kerajaan datang memilih pengrajin keramik yang akan mendapatkan pesanan dari kerajaan. Min menjadi salah satu pengrajin yang terpilih. Ia diminta membawa karyanya ke ibukota kerajaan, Songdo. Karena Min sudah tua dan tidak mampu melakukan perjalanan, Tree-ear mengajukan diri untuk membantunya. Tree-ear berharap kali ini Min akhirnya mau mengajarinya membuat keramik. Harapannya buyar karena ternyata Min tetap tidak peduli. "Angin yang meniup satu pintu hingga tertutup sering kali membuka pintu lainnya," kata Crane-man (hlm. 122). 

Maka Tree-ear pun membawa sepasang vas keramik seladon karya Min menuju Songdo demi menghargai kebaikan hati istri Min. Namun dalam perjalanan Tree-ear tidak bisa menjaga kedua vas itu tetap utuh untuk disampaikan kepada utusan kerajaan. Karya Min hancur berkeping-keping.


Apakah Tree-ear akan melanjutkan perjalanannya ke Songdo atau malah kembali ke Ch'ulp'o? Secemerlang giok dan sejernih air, kesan yang masih tetap terpancar dari sekeping keramik seladon karya Ming, akan menentukan akhir perjalanan Tree-ear.


"Saat melihat kakiku ketika aku lahir, mereka menduga aku tidak akan selamat. Kemudian, ketika aku bertahan hidup dengan sebelah kaki, orang-orang berkata jika aku mirip seekor burung jenjang. Namun, selain dikenal karena biasa berdiri dengan sebelah kaki, burung-burung jenjang pun merupakan simbol umur panjang," kata Crane-man (hlm. 8-9) mengenai kecacatannya. Rupanya apa yang dikatakan Crane-man ini mengendap jauh di dalam ingatan Tree-ear.  

Sebuah vas prunus istimewa adalah salah satu dari sekian banyak harta karun kultural yang paling berharga di Korea. Benda itu adalah contoh paling indah dari karya keramik seladon tatahan yang pernah ditemukan dan dibuat pada abad kedua belas. 

Penampilan yang paling luar biasa pada vas tersebut adalah karya tatahannya yang sangat rumit. Keempat puluh enam medalion bundar dibentuk oleh sebuah lingkaran luar berwarna putih dan lingkaran dalam berwarna hitam. Di dalam setiap lingkaran, diukir kemudian ditatah dengan keahlian yang mumpuni, ada seekor burung jenjang yang sedang terbang dengan anggun. Gumpalan-gumpalan awan mengambang di antara medalion-medalion itu, dengan lebih banyak burung jenjang yang terbang di antara awan-awan. Dan glasirnya bernuansa kelabu kehijauan yang sangat elok (hlm. 184).

 Vas Seribu Burung Jenjang


Vas prunus ini dikenal sebagai Vas Seribu Burung Jenjang (A Thousand Crane Vase) atau Vas Burung Jenjang dan Awan. Sekarang vas ini bisa dilihat di Museum Kansong di Seoul, Korea Selatan. Penciptanya tidak dikenal, dan hal inilah yang mendorong Linda Sue Park memintal novel historical fiction yang mengedepankan sosok pencipta Vas Seribu Burung Jenjang. 

Seperti umumnya novel yang terutama ditargetkan untuk anak-anak, A Single Shard yang meraih Newbery Award 2002 tetap menyimpan pesan luhur. Bahwa dalam upaya mewujudkan mimpi kita mesti pantang menyerah apapun kendala yang menghadang. Proses Tree-ear mewujudkan mimpinya sama rumitnya dengan pembuatan keramik seladon. Tapi begitu terwujud, akan menampakkan keindahan bagaikan keramik seladon itu sendiri.

Hal menarik lain terkait dengan mewujudkan mimpi digambarkan Linda Sue Park tatkala Tree-ear memvisualisasikan mimpinya. Dalam pikirannya, Tree-ear membayangkan sebuah vas prunus yang elegan. Mungkin tidak banyak orang yang tahu memvisualisasikan mimpi bisa memotivasi seseorang untuk lebih giat meraih mimpi. 

Satu hal lagi yang tersirat dalam novel ini adalah kita tidak boleh melupakan orang yang telah berjasa dalam kehidupan kita. Oleh Linda Sue Park, Vas Seribu Burung Jenjang dijadikan wujud dari kenangan penciptanya terhadap orang yang pernah berperan besar dalam hidupnya.

Menurut catatan penulis, nama baru Tree-ear yaitu Hyung-pil digunakan untuk menghormati Hyung-pil Chun (hlm. 190). Ia menyebutkan kalau Hyung-pil hidup di abad kedua belas. 

Hyung-pil Chun

Padahal Hyung-pil Chun yang dikenal dalam sejarah Korea adalah seorang kolektor barang antik yang berjasa dalam melindungi beberapa peninggalan sejarah Korea. Hyung-pil atau Kansong (1906-1962) mendirikan galeri bernama Bohwagak yang sekarang dikenal sebagai Museum Kansong untuk menampung koleksi barang antiknya. Salah satu koleksi Hyung-pil Chun adalah keramik seladon jenis maebyeong (vas berbahu lebar dan tinggi yang melambangkan wanita) yang dikenal sebagai Harta Nasional Korea Selatan Nomor 68. Keramik seladon setinggi 42,1 cm yang dibeli Hyung-pil dari kolektor barang antik asal Jepang pada tahun 1935 inilah yang dikenal sebagai Vas Seribu Burung Jenjang, vas keramik seladon terbesar di Korea. 



*Vas Prunus : vas yang dirancang untuk menampilkan sebatang ranting plum yang sedang berbunga. Seperti sakura, ceri, peach, aprikot, dan almond, plum masuk dalam genus prunus.


 Pengunjung
Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan