30 August 2012

Gadis Pakarena


Judul Buku: Gadis Pakarena
Pengarang: Khrisna Pabichara
Penyunting: Salahuddien Gz
Tebal: 180 halaman
Cetakan: 1, Juli 2012
Penerbit: Dolphin


 



Bagi sang narator, seorang laki-laki Makassar, Kim Mei adalah Gadis Pakarena. Meskipun berdarah Tionghoa, Mei belajar karawitan, bisa memainkan tunrung pakanjarak -tetabuhan kendang asal Makassar- dan menguasai tari Pakarena. Mereka saling mencintai, tapi suku, agama, ras, dan adat mengusik hubungan mereka. Keluarga sang narator membenci keluarga Mei, sedangkan keluarga Mei memandang remeh keluarga sang narator. Tapi kata sang narator, "Sungguh, aku lebih memilih cinta daripada tradisi yang abai meletakkan manusia pada tempat yang sesungguhnya." Maka ia meminta Mei untuk bertemu dua puluh tahun kemudian setelah mereka dipisahkan, di Cina tepatnya di tepi danau Dong Hu, di kota asal leluhur Mei, Wuhan. Akankah ia bertemu dengan sang kekasih? Sebuah luka lama yang masih menganga dalam lembaran gelap sejarah Indonesia diungkapkan dengan bisikan pedih di bagian akhir kisah ini. Inilah sebuah kisah kasih tak sampai yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan tapi memberikan kesedihan yang asing begitu kita menamatkannya.

Kisah di atas terdapat dalam cerpen yang judulnya digunakan sebagai judul kumpulan cerpen karya Krishna Pabichara, Gadis Pakarena. Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini pernah dipublikasikan dalam kumpulan cerpen bertajuk Mengawini Ibu (Kayla Pustaka, 2010). Penerbit Dolphin menerbitkan kembali kumpulan cerpen ini dengan menambahkan dua cerpen baru, Laduka dan Pembunuh Parakang.

Kisah kasih tak sampai tidak hanya terjadi lantaran suku, agama, ras, dan adat. Tutu, narator dalam cerpen Selasar ditinggalkan Lebang, kekasihnya, sebulan sebelum pernikahan mereka. Tutu tidak bisa memahami keputusan Lebang mengkhianatinya dengan melakukan silariang atau kawin lari. Apalagi, Lebang kawin lari dengan Rangka, laki-laki beristri dua dan beranak delapan. Bagaimana mungkin Lebang mau dijadikan istri ketiga? Ada selentingan yang menyatakan bahwa Lebang terkena doti, mantra pengasihan yang dirapalkan Rangka. Setahun setelah Lebang menghilang, Tutu masih menunggu dengan kesetiaan yang tidak mampu dipahami kedua orangtua Lebang. Mungkinkah dia akan bertemu lagi dengan Lebang?  Seperti halnya dalam Gadis Pakarena, dalam cerpen ini pengarang menunjukkan bahwa laki-laki pun bisa patah hati karena asmara.

Lebang, yang meninggalkan Tutu, menceritakan kisah silariang-nya dalam cerpen Lebang dan Hatinya. Cerpen ini akan memperjelas ending dalam cerpen Selasar terkait dengan nasib Lebang. Ada yang sedikit mengganjal dalam cerpen kedua Tutu-Lebang-Rangka ini. Dalam kisah yang disampaikan Lebang, kita mengetahui bahwa ia minggat dengan Rangka pada hari yang sama setelah Tutu dan Rangka terlibat pertikaian. Sedangkan dalam Selasar, sebelum kabur, Lebang masih sempat menulis surat untuk Tutu meskipun hanya berisi dua kata:  Selamat Tinggal. 

Dalam cerpen Pembunuh Parakang, Rangka yang diposisikan sebagai narator orang pertama akan mengungkap alasan di balik tekadnya menghancurkan hidup Tutu yang adalah teman masa kecilnya. Parakang adalah makhluk jadi-jadian yang mengincar orang sekarat, dan Tutu memiliki kemampuan melihat parakang. Gara-gara Tutu, ibu Rangka yang adalah parakang, meninggal. Gara-gara Tutu pula, Rangka kehilangan gadis idamannya, Natisha Daeng Lebang. 

Lebang muncul kembali sebagai narator orang pertama dalam cerpen Hati Perempuan Sunyi. Dalam cerpen ini Lebang akan mengisahkan perkawinannya dengan Rangka yang terjadi di Prancis. Lebang juga akan membeberkan bisnis kotor yang dilakoni Rangka. Cerpen ini sebagaimana tiga cerpen Tutu-Lebang-Rangka lainnya, bisa berdiri sendiri. Tapi jika pengarang meniatkan empat cerpen ini sebagai satu kesatuan, kisah perkawinan di Prancis dan bisnis kotor Rangka, merupakan hal yang janggal. Dalam Pembunuh Parakang, Rangka menyatakan bahwa ia menetap dengan kedua istri dan anak-anaknya di Makalehi, sebuah pulau kecil di utara pulau Sulawesi (hlm. 142). Jadi, bagaimana mungkin mendadak Rangka muncul sebagai pebisnis di Eropa? 

Berbeda dengan Lebang dalam keempat cerpen tentang kehidupannya, Aisha dalam cerpen Silariang melakukan silariang dengan Tola, kekasihnya, sebagai bentuk perlawanan terhadap keluarga. Ketidaksetujuan ayah Aisha menikahkan putrinya dengan Tola disebabkan dendam lama. Ayah Aisha pernah meminang adik perempuan ayah Tola tapi ditolak mentah-mentah oleh kakek Tola. Kendati awalnya tidak merestui hubungan Tola dan Aisha, keluarga Tola akhirnya memutuskan melamar Aisha. Seperti yang sudah bisa diduga, ayah Aisha membalas dendam dengan menetapkan mahar yang tidak bisa dibayarkan keluarga Tola. Karena tidak bisa menikah dengan baik-baik, Aisha dan Tola memutuskan melakukan silariang. Tindakan mereka menimbulkan aib bagi keluarga Aisha yang berarti siri' yang mesti ditebus dengan nyawa. Sedangkan bagi pihak keluarga Tola, tindakan mereka menyebabkan keluarga Tola harus menanggung pacce. Lima tahun setelah meninggalkan Makassar, mereka belum bisa berdamai dengan keluarga. Sampai suatu hari, seorang mendatangi rumah mereka dan berkata, "Tola, kamu pasti tahu, badik yang tercabut dari sarungnya pantang kembali sebelum darah membasahinya!" (hlm. 98). Pembaca sudah bisa menduga apa yang akan terjadi walaupun pengarang tidak menceritakannya. 

Kisah kasih yang diporakporandakan oleh adat kembali dihadirkan dengan latar Turatea dalam cerpen Rumah Panggung di Kaki Bukit. Ada tiga kelas sosial dalam masyarakat Bugis, kelas terendah adalah ata, kemudian daeng, dan yang tertinggi adalah karaeng. Lelaki ata maupun daeng tidak akan gampang menikahi perempuan karaeng, sedangkan lelaki karaeng bisa menikahi perempuan mana pun yang disukai dari ketiga kelas. Lelaki ata atau daeng bisa menikahi perempuan karaeng jika  memenuhi syarat pammole cera' yaitu kaya, berilmu, dan alim. Kana, perempuan karaeng, saling mencintai dengan Bori, lelaki daeng. "Cinta memang tak memandang martabat," kata ayah Kana. "Tapi, pikirkan kehormatan keluarga. Tak layak kamu bersanding dengan Bori." (hlm. 65). Penolakan yang dialaminya memicu Bori mengadu nasib di Jakarta. Kana menunggunya dengan setia hingga lima belas tahun kemudian Bori mengabarkan kepulangannya dan telah memenuhi syarat pammole cera'. Bori pernah berjanji akan membangun bagi mereka berdua sebuah rumah panggung di kaki bukit dengan pelataran laut Makassar dan pemandangan menawan setiap senja. Juga sebuah keluarga bahagia dan cinta sepanjang masa. Tapi, apakah Bori masih tetap Bori yang dikenal dan dicintai Kana? Cerpen ini mengedepankan betapa getirnya pembalasan dendam, dan perempuan yang mesti menanggung akibatnya. 

Pengarang mengangkat kisah kasih yang sederhana dengan pengungkapan yang puitis dan bernas dalam cerpen Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu. Cerpen yang dijadikan penutup kumpulan cerpen ini menyodorkan kisah kasih antara seorang pengarang asal Sumatra dengan gadis Makassar. Sungguh bukan hal yang mudah bagi mereka untuk bersatu lantaran keluarga sang gadis menganggap pengarang adalah pendusta. Kisah kasih mereka hampir berakhir hingga si gadis muncul dan bersedia menikahi si pengarang. Ada satu permintaan sang gadis, permintaan yang sangat sulit bagi si pengarang: jangan mengarang cerita di hari Minggu!

Keluarga juga menjadi tema yang dibesut pengarang, baik yang fungsional maupun disfungsional. Mengawini Ibu menceritakan apa yang terjadi dalam sebuah keluarga disfungsional sehubungan dengan urusan syahwat. Naura Shabina tidak bisa merespons libido tinggi Daen Sambang, sang suami, setelah mengalami kecelakaan. Karenanya, ia tidak protes ketika secara demonstratif Daeng Sambang memuaskan syahwatnya dengan berbagai perempuan yang namanya berawalan huruf N seperti dirinya. Apa yang dilakukan Daeng Sambang memicu kemarahan Rewa, putranya. Di mata Rewa, Daeng Sambang telah mengabaikan tradisi sipakatau -memanusiakan manusia. Lalu apa yang dilakukan Rewa untuk membalas perbuatan ayahnya? Ia meniduri perempuan yang diinginkan Daeng Samba untuk menjadi ibunya. 

Laduka, tokoh utama dalam cerpen Laduka, membangun keluarga disfungsional dengan Tari, mantan kekasihnya. Ketika hendak fokus dengan kehidupannya dan meninggalkan Tari, ia justru terpaksa harus menikahi perempuan itu. Padahal Tari hamil bukan akibat perbuatannya. Setelah menikah, Laduka mengadu nasib ke Jakarta. Ia tidak pernah kembali ke kampungnya, Tamarunang, hingga tiba saatnya Rewa, putranya, disunat. Ia kembali ke Sulawesi Selatan menumpang kapal laut, dan sementara gelombang menghantam kapal yang disesaki penumpang, kita bertanya-tanya: apakah Laduka akan bertemu dengan keluarganya?

Pandangannya mengenai tiga perempuan dalam hidupnya dituangkan pengarang dalam cerpen Riwayat Tiga Layar. "Tiga layar itu hanya dapat kubedakan, tidak dapat ditiadakan," katanya. Layar pertama, yaitu ibunya, adalah tanah, sabar dan tabah. Layar kedua, istrinya, adalah air, sejuk dan meneduhkan. Layar ketiga, putrinya, adalah angin yang sejuk dan menyejukkan. Sebagai laki-laki dalam keluarganya, ia menyebut dirinya layar keempat yang adalah api. "Aku bukan pemusnah karena tanah melemahkanku. Aku berguna karena air mencukupiku. Aku tak pernah mati karena angin menghidupiku," katanya lagi (hlm. 164). Dalam kelugasannya, cerpen ini adalah sebuah kisah keluarga yang manis dan indah.  

Pengarang tidak semata-mata membincang kisah kasih dan keluarga dalam cerpen-cerpennya. Ia juga mengais problematika yang bersumber dari budaya asalnya.  

Dalam kepercayaan tradisional Bugis, terdapat empat macam gender. Keempat gender yang dimaksud yaitu oroane (laki-laki), makunrai (perempuan), calalai (perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki), dan calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan). Kombinasi dari keempat gender tersebut adalah golongan bissu. Umumnya, yang menjadi bissu adalah calabai karena dianggap suci dan tidak kotor karena tidak mendapat haid. Untuk menjadi bissu, seorang calabai harus mendapatkan panggilan spiritual, bisa berupa mimpi, sakit, atau pertanda lain. Apabila si calabai sudah bertekad bulat menjadi bissu, selama beberapa waktu, ia akan belajar di rumah puang matowa, pimpinan komunitas bissu. Ketika lulus, ia akan dilantik menjadi bissu baru dalam sebuah upacara yang disebut mapparebba. Upacara dilakukan sambil duduk mengelilingi arajang (bajak), tempat Tuhan yang mereka imani, Batara, akan muncul. Sebagai bissu, ia akan menjadi penghubung antara Batara, penguasa, dan manusia. Ia bertanggung jawab menentukan kapan musim tanam tiba ataupun tanggal-tanggal baik dan berbagai amanat lainnya. Kisah unik calabai yang menjadi bissu inilah yang dimunculkan pengarang dalam cerpen Arajang

Kulau bassi, batu hitam bertuah yang bisa membuat kebal terhadap segala jenis senjata, menjadi warisan yang tidak diinginkan narator cerpen Haji Baso. Karena tidak ingin menggunakan batu itu untuk kepentingan dirinya sendiri, ia meminjamkan kepada Baso, sepupunya. Begitu kulau bassi berada di tangannya, kehidupan Basso kontan berubah. Ia menjadi penguasa Pulogadung dan kaya raya berkat kemampuan mencopet. Setiap hari ia menampung perantau dari kampungnya dan mendidik mereka menjadi pencopet ulung. Haji Tutu, ayah Baso, ingin Baso naik haji dengan harapan Baso bisa bertobat. Baso merespons keinginan ayahnya, dan jadilah ia Haji Baso. Sayangnya setelah menjadi haji, Baso tetap tidak berubah. Siapa yang salah? Baso atau sang narator yang meminjamkan kulau bassi kepada Baso?     

Setelah ditampilkan dalam cerpen Haji Baso, Silariang, Lebang dan Hatinya, badik dimunculkan lagi dalam cerpen Ulu Badik Ulu Hati. Sebagaimana cerpen Haji Baso, kisah dalam cerpen ini berlatar tempat di luar Sulawesi Selatan. Sampara, seorang lelaki Makassar yang sudah lama menetap di sebuah kampung di kaki Gunung Pongkor, Bogor, kehilangan putri semata wayangnya. Putrinya dibunuh dan ditemukan dengan kelamin koyak dan kepala remuk di mulut kampung. Di dekatnya, ditemukan pula pakaian milik Hasan, jawara yang menjadi sahabat Sampara. Kematian putri Sampara diikuti kematian Hasan, di TKP yang sama. Hasan ditemukan mati dengan badan penuh tikaman badik, dan badik yang tertancap di ulu hatinya adalah badik milik Sampara. Benarkah Hasan yang membunuh putri Sampara sehingga Sampara membalas dengan menikamkan badiknya ke tubuh Hasan? Atau mereka hanyalah korban adu domba terkait tambang emas dan apa yang mereka lakukan sebagai gurandil (penambang emas liar)? Sebuah kisah yang dibuka dan ditutup dengan mengenaskan. 

Gadis Pakarena
karya Khrisna Pabichara kental dengan nuansa lokal Sulawesi Selatan, termasuk dalam cerpen-cerpen yang kisahnya terjadi di luar daerah. Kita akan mengenal lebih dekat kebudayaan Bugis-Makassar sekaligus problematika yang biasa muncul di dalamnya. Menariknya, sebagai orang Makassar, pengarang tidak terlilit semangat menggebu-gebu untuk membela secara mentah-mentah orang-orang sedaerah. Semua karakter ditampilkan secara jujur dan manusiawi. Kebaikan dan kejahatan adalah bagian dari kehidupan mereka sebagai manusia, seperti orang-orang di tempat lain. 

Pengarang mendedahkan kisah-kisahnya dengan cita rasa yang cenderung puitis. Tapi, dalam kepuitisannya, rangkaian kalimatnya tidak menjadi berlebihan sehingga membosankan diikuti. Di tangannya, kisah yang sederhana pun, hadir dengan memukau dan enak dibaca.

Jujur, saya kurang suka dengan kutipan yang diletakkan sebelum cerpen dengan huruf yang dicetak lebih besar dan tebal. Menurut saya hal ini tidak perlu karena malah ada beberapa yang sebenarnya bisa dikategorikan spoiler. Kutipan sebelum cerpen Laduka, Gadis Pakarena, dan Arajang cukup mengganggu kenikmatan membaca.
23 August 2012

All the Flowers in Shanghai


Judul Buku: All the Flowers in Shanghai
Pengarang: Duncan Jepson (2012)
Penerjemah: Istiani Prajoko
Tebal: 476 hlm
Cetakan: 1, Juni 2012
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta


 


Pada galibnya, kisah tentang perempuan dengan muatan perasaan dan pikiran perempuan akan lebih intensif jika disampaikan oleh pengarang perempuan, apalagi ketika mengambil sudut pandang orang pertama. Tapi Duncan Jepson, seorang penulis laki-laki, dalam novel perdananya All the Flowers in Shanghai, ternyata berhasil mengumandangkan suara perempuan dengan nyaris sempurna. 

Dimulai pada tahun 1930-an di Shanghai, kota yang pernah dikenal sebagai "Paris of the East", Duncan Jepson memperkenalkan Xiao Feng, narator yang akan mengisahkan perjalanan hidupnya setelah ia kian menua pada penghujung 1950-an. Kisahnya terbentang melalui sejarah kota Shanghai, sejak pengeboman oleh Jepang, pendudukan Jepang, hingga kekalahan Jepang, dan dikuasainya Shanghai oleh Partai Komunis China. 

Pada tahun 1932, Feng adalah seorang gadis remaja yang hidupnya telah ditentukan. Ia adalah anak perempuan kedua di keluarga kelas menengah China dengan ayah yang pengalah dan ibu yang ambisius. Ibunya yang ingin mengangkat harga diri dan kedudukan sosial keluarga berencana menikahkan kakak Feng dengan laki-laki dari keluarga kaya. Tidak ada rencana menikahkan Feng. Karena sebagai anak bungsu, ia dipersiapkan untuk merawat kedua orangtunya saat mereka lanjut usia. 

Bukan berarti Feng tidak mengenal cinta demi menurutkan plot yang telah ditetapkan baginya semenjak kelahirannya. Saat pernikahan kakaknya dengan putra dari keluarga Sang sedang dipersiapkan, Feng bertemu Bi, cinta pertamanya. Bi adalah anak tunggal dari Madam Zhang, perempuan yang menjahit gaun pengantin kakak Feng. Hubungan mereka tidak berkembang lantaran setelah gaun pengantin itu selesai, Bi pulang kampung bersama ibunya.

Secara mengejutkan, sebelum pernikahan dilaksanakan, kakak Feng meninggal akibat sakit kanker. Keluarga Sang, dengan alasan tidak ingin kehilangan muka, menuntut agar pernikahan tetap dilanjutkan setelah masa berkabung selesai. Mau tak mau, Feng yang masih remaja (17 tahun) harus menggantikan kakaknya: menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Ia pun harus meninggalkan kebiasaan jalan-jalan di taman dengan Kakeknya dan mempelajari nama-nama Latin pohon dan bunga. Ia akan menjadi Istri Pertama Xiong Fa dan diharapkan bisa melahirkan ahli waris bagi keluarga Sang. Ahli waris yang diinginkan, tentu saja, bukan anak perempuan. 

Setelah menikah dengan Xiong Fa, Feng pindah ke rumah besar keluarga Sang. Menjadi bagian keluarga ini berarti ia mesti mengikuti berbagai aturan kaku dan sopan santun dalam keluarga Sang. Ia pun tidak bisa keluar rumah seperti yang kerap ia lakukan dengan kakeknya, tanpa izin kedua orangtua suaminya. Akhirnya, ia lebih banyak menyembunyikan diri dalam kamarnya dan hanya berkomunikasi dengan Yan, pembantunya yang baik hati.


"Aku ingin menjadi bunga kecil di antara pohon-pohon ini, mungkin sejenis Ranunculus acris, yaitu bunga Buttercup mungil yang suka tumbuh di padang rumput. Selama bertahun-tahun, inilah bunga kesayanganku, warnanya cerah tetapi lembut, tampak ceria bersembunyi di tengah rerumputan." (hlm. 169).

Hal yang paling menakutkan bagi Feng adalah melakukan hubungan badan dengan suaminya. Ia tidak punya pengalaman dan tidak pernah mendapatkan edukasi soal seks. Tapi karena harus melahirkan ahli waris bagi keluarga Sang, ia pun menerima suaminya di tempat tidurnya, kendati hal ini merupakan perjuangan berat baginya. Setelah menikah mereka tidak tidur sekamar dan seranjang. Xiong Fa hanya akan mendatangi kamar Feng untuk kepentingan reproduksi, dan begitu selesai, kembali ke kamarnya sendiri. 


"Setiap malam aku merasa seperti tenggelam, bagai makanan yang ditaburkan di dalam kolam ikan porselen besar di tengah-tengah halaman. Rumah ini telah merampas jam-jamku setiap malam dengan tamak sampai serpihan terkecilnya.... Aku merasa tak memiliki tubuhku sendiri; hanya sekerat daging yang merupakan alat bagi otakku untuk kugunakan saat aku memiliki kendali penuh, tetapi semuanya -kulitku, bibirku, kakiku, tanganku, pantatku- bisa digunakan atau diperintah oleh orang lain kapan saja demi kesenangan mereka. Setiap malam, keluarga ini memasuki dari segala arah, meninggalkanku kesakitan dan berdarah. Siang dan malamku luluh lantak." (hlm. 217). 

Feng hamil, dan karena frustrasi dengan nasibnya, ia membuat sebuah keputusan yang mengerikan. "Aku bersumpah akan menjadi perempuan terakhir di keluargaku. Inilah akhir dari impian Ma dan Kakak, kelemahan Ba dan Kakek, akhir dari keluarga kami." (hlm. 235-236). 

Perjalanan hidup yang dikisahkan Feng adalah perjalanan hidupnya dari seorang anak perempuan kedua yang disepelekan hingga menjadi Istri Pertama yang berkuasa. Dari seorang perempuan yang dililit penderitaan menjelma menjadi perempuan yang berkesempatan membuat orang lain menderita. Sayangnya, perubahan ini membuat ia melakukan sebuah kesalahan besar tanpa berpikir panjang. Kesalahan ini akan menghantuinya seumur hidup. Sama seperti ia tidak berkuasa memangkas kehadiran perempuan dalam silsilah keluarganya, ia juga tidak mampu menepis gelombang Revolusi Komunis yang menghempas China dan melemparkannya ke dalam kemelaratan hidup.

Sejatinya, apa yang hendak disampaikan Duncan Jepson melalui All the Flowers in Shanghai termaktub dalam sebuah alinea di bagian Tentang Ibu Saya: Catatan Pengarang (hlm. 474):

"Sebagai seorang Eropa-Asia yang dibesarkan di Inggris dan selama bertahun-tahun bersekolah, berkencan, melakukan perjalanan, dan bekerja di Singapura, Hong Kong, dan China, saya memperhatikan bahwa terkadang kecenderungan memenangkan anak lelaki daripada anak perempuan, atau anak sulung daripada anak bungsu, justru kerap dilaksanakan oleh para ibu itu sendiri. Seakan-akan membesarkan dan mengasuh anak lelaki dan menjaga nama keluarga harus dilakukan, apa pun pengorbanannya, walaupun dalam masyarakat Asia modern pengorbanan itu sesungguhnya tak perlu dilakukan. Seperti halnya panggilan atavistik, tradisi buruk itu terus dipelihara walaupun bertentangan dengan logika dan keadilan dan anehnya justru dilakukan oleh para ibu berdasarkan pengalaman mereka sendiri yang pada masa lalu mendapatkan perlakuan yang sama." 

Membaca novel ini, kita akan menikmati kefasihan seorang pengarang laki-laki mendedahkan suara perempuan. Pikiran dan perasaan seorang perempuan tua yang menghabiskan hidup dalam penyesalan tersalurkan secara intensif dalam lembar-lembar novel. Kita akan diseret arus kekecewaan dan ketidakbahagiaannya kemudian digulung gelombang penyesalan akibat tindakan gegabahnya. Dijamin, kita akan bersimpati pada semua keputusan yang diambilnya, sekejam apa pun itu. Namun ketika novel hampir berakhir, kita akan menemukan harapan untuk mengakhiri penyesalannya. Perca-perca kain putih yang dijahit menjadi buku dan syal bergambar semua bunga yang pernah dilihat perempuan itu di Shanghai. 

Novel diakhiri dengan rangkaian kalimat indah yang merupakan bagian dari sebuah surat. "Aku berharap bahwa dengan segala hal yang telah hilang dan yang masih tersisa bagiku, kakiku yang tidak dapat digunakan lagi, otot-ototku yang robek, dan wajahku yang terasa panas, aku hanya perlu membuka mataku malam itu dan membiarkan diriku mencintai, seperti yang harus dilakukan semua orang. Akhirnya aku dapat tersenyum, bahagia karena kau dapat menemukanku." (hlm. 469).

Saya suka dengan hasil terjemahan edisi Indonesia ini. Istiani Prajoko selaku penerjemah begitu piawai dalam pemilihan diksi dan perangkaian kalimat. All the Flowers in Shanghai terasa sangat indah dalam bahasa Indonesia. 

Duncan Jepson yang berdarah Eropa-Asia (ibunya China-Singapura, ayahnya Inggris) adalah seorang penulis merangkap sutradara dan produser film. Ia telah menyutradarai tiga film dokumenter yaitu Follow My Heart: China's New Youth Movement, Hope without Future?, dan A Devil's Gift. Rice Rhapsody, Perth, dan Return to Pontianak adalah film cerita yang diproduserinya. Jepson yang sebelumnya pernah menjadi editor majalah mode West East mendirikan Asia Literary Review dan menjabat sebagai redaktur pelaksana. Sehari-hari ia menetap di Hong Kong dan bekerja sebagai pengacara.  
 

 Bund, Shanghai, 1930-an

22 August 2012

Smash Cut


Judul Buku: Smash Cut (Dramatis)
Penulis: Sandra Brown (2009)
Penerjemah: Dharmawati
Cetakan: 1, Maret 2012
Tebal: 568 hlm; 18 cm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

 




Biasanya, dalam sebuah novel yang bermuatan misteri pembunuhan, pembunuh ataupun yang menjadi otak dari pembunuhan itu, akan disimpan pengarang untuk diungkapkan dan menciptakan kejutan di bagian pamungkas. Berkebalikan dengan Smash Cut (Dramatis) karya Sandra Brown, pembaca tidak perlu tiba di bagian pamungkas untuk mengetahui siapa pembunuh dan otak dari pembunuhan yang dibeberkan di bagian Prolog. 

Adalah Paul Wheeler, jutawan pemilik Wheeler Enterprises, ditembak mati di sebuah lift di lantai delapan sebuah hotel. Saat itu, ia baru selesai makan siang dengan Julie Rutledge, perempuan cantik yang disebut-sebut sebagai kekasih sang jutawan. 

Julie tahu bukan Creighton Wheeler yang membunuh Paul. Tapi ia yakin keponakan Paul itu bertanggung jawab atas pembunuhan yang terjadi di depan matanya. Creighton yang adalah ahli waris dari kekayaan Paul memang selalu tidak sependapat dengan pamannya. Creighton lebih suka menghabiskan waktu dengan menonton film ketimbang bekerja keras untuk perusahaan. Ketika Paul dibunuh, Creighton mempunyai alibi, ia sedang berlatih tenis di kediaman orangtuanya. Meskipun begitu, keyakinan Julie tidak tergoyahkan.

Sebagai ahli waris dari kekayaan Paul, Creighton berpeluang besar menjadi sasaran penyelidikan polisi. Untuk menjaga Creighton dari intimidasi polisi, Doug berniat menyewa Derek Mitchell, pengacara pidana yang tersohor sebagai pembela orang-orang jahat dengan bayaran besar. Mengetahui hal ini, Julie segera bertindak, dan terjadilah persetubuhan menggairahkan di kamar kecil pesawat dari Paris menuju Atlanta. Julie berharap, hubungan seks yang terjadi karena rayuannya ini akan mencegah Derek menjadikan Creighton sebagai klien. Sementara Derek sendiri, saat berhubungan seks dengan Julie, tidak tahu jika perempuan itu adalah saksi dari kasus pembunuhan yang menghebohkan Atlanta.

Sebenarnya Julie tidak perlu menggoda Derek agar sang pengacara menampik Creighton. Karena setelah bertemu langsung dengan Creighton, Derek memutuskan tidak menyukainya dan tidak bersedia menjadi pengacara pria itu. 

Creighton memang kaya dan luar biasa rupawan. Tapi ia licik, kejam dan manipulatif. Film-film yang ditontonnya, terutama film-film kriminal, memberikan pedoman baginya untuk menyeret orang lain ke dalam skenarionya, tanpa disadari mereka. "Hidup Creghton adalah skenario film, dan skenarionya masih dalam proses. Dia sering menulis ulang skenarionya. Kau berada dalam skenarionya baik kau menginginkannya atau tidak," kata Julie (hlm. 264).

Tidak terelakkan lagi, baik Derek maupun Julie menjadi bulan-bulanan dari kemarahan Creighton. Terutama Julie yang hendak didapuknya menjadi orang yang bertanggung jawab atas setiap perbuatan kotornya. Kemenangan seolah-olah akan berpihak pada Creighton ketika diketahui pada hari kematiannya, Paul telah membuat dan menandatangani surat wasiat baru. Julie adalah ahli waris baru dari semua kekayaan Paul. Pertanyaan yang mungkin berkumandang dalam benak pembaca adalah: siapa sebenarnya Julie? Seberapa besar pengaruhnya dalam kehidupan Paul sehingga Paul menjadikannya ahli waris?

Tapi, sekali lagi, Julie bukanlah pihak yang bersalah, melainkan Creighton. Penulis telah memberi tahu pembaca jauh sebelum novel ini berakhir. Memang benar, bukan Creighton yang menembak mati pamannya. Ada orang lain yang menghabisi Paul ketika Creighton sedang berlatih tenis. Siapakah orang ini, dan mengapa ia mau melakukan apa yang diinginkan Creighton? Bukan hanya para detektif yang harus bersitangkas menangani kasus ini, Julie juga dengan didampingi Derek. Mereka mesti mengungkapkan peran yang dimainkan Creighton dalam skenario imitasi yang dirangkainya berdasarkan film-film kriminal yang ditontonnya. Dan seiring dengan usaha penyelidikan yang dilakukan, hubungan di antara Julie dan Derek berkembang, dari sekadar seks instan, menjadi saling pengertian, kemudian cinta. 

Smash Cut adalah teknik yang digunakan dalam film -bisa ditemukan dalam skenario atau diputuskan ditambahkan sendiri oleh sutradara- di mana sebuah adegan secara tiba-tiba memotong sebuah adegan tanpa transisi dengan maksud untuk mengejutkan penonton. Jika dilihat dari keseluruhan novel, semua kejahatan yang dilakukan Creighton adalah semacam teknik smash cut, pembaca dikejutkan dan mau tidak mau mengikuti usaha para detektif dan pasangan Julie-Derek untuk memergoki kejahatan Creighton Wheeler. 

Sandra Brown dikenal sebagai pengarang yang menambahkan bumbu seksualitas ke dalam kisah-kisah thriller yang ditulisnya. Jadi tidak mengherankan kalau Smash Cut juga bermuatan unsur seks, terutama seks instan. Seks instan semacam ini biasa ditemukan dalam buku-buku Sandra Brown. Yang saya ingat adalah seks instan dalam Exclusive (1996) dan  The Alibi (1999), novel-novel thriller Sandra Brown yang pertama saya baca. Cukup mengagetkan, tapi mungkin saja, dua orang yang baru saja bertemu, terlibat perbincangan, langsung memutuskan untuk bersetubuh (bukan bercinta). Kesannya liar, tapi menggairahkan bagi seorang Sandra Brown. 

Seks hanya bumbu penyedap -bagi para penggemar Sandra Brown, jadi bukanlah unsur yang penting dan menarik dalam novel ini. Kasus pembunuhanlah yang membuat novel ini mampu mengikat perhatian pembaca. Pembaca tahu siapa otak di balik pembunuhan itu, pembaca tahu aksi yang dilakukan Creighton Wheeler untuk memanaskan situasi, pembaca ingin ia dibekuk dan mempertanggungjawabkan perbuatan kotornya. Tapi Creighton seolah-olah melenggang santai sambil menebarkan tulah. Sangat menggemaskan. Semakin menggemaskan karena Creighton selalu berhasil membuat dirinya tetap bersih. Creighton, dalam perannya sebagai karakter antagonis, harus diakui, tampil bersinar dan berhasil memukul mundur semua karakter yang ada, termasuk sejoli antagonis yang diobok-oboknya. 

Jangan kuatir. Sandra Brown tidak pernah memenangkan karakter antagonis untuk selamanya. Sebuah smash cut -bagi Creighton- akan mengakhiri kiprahnya sebagai kriminal yang mengagumi dirinya sendiri.  

Sebagaimana novel-novel thriller karya Sandra Brown, Smash Cut juga ditulis tanpa basa-basi. Plotnya berpilin dan bergerak cepat, menghempas di berbagai bagian. Setiap bab diakhiri dengan cara yang mengundang pembaca untuk melanjutkan pembacaan. Pembaca akan terpacu segera mengelupas semua siung misteri agar bisa menarik napas lega manakala kisah dituntaskan. Bagian pamungkas akan menyingkapkan rahasia yang digenggam erat Julie Rutledge. Rahasia yang berpotensi menyeretnya sebagai tersangka pembunuh Paul Wheeler tapi juga menjadi alasan satu-satunya untuk menghentikan Creighton Wheeler.

Sandra Lynn Brown, kelahiran 1948, memulai kariernya pada tahun 1981 sebagai penulis novel romantis menggunakan pseudonim Rachel Ryan. Pada awal kariernya, ia juga menggunakan pseudonim lain yaitu Laura Jordan dan Erin St. Claire. Ia telah menerbitkan puluhan novel yang masuk dalam daftar buku laris New York Times, termasuk Smash Cut yang diterbitkan pertama kali pada 2009. Dodge Hanley, investigator yang membantu Derek Mitchell dalam novel ini menjadi karakter utama Tough Customer (2010), yang diterbitkan menyusul novel historical fiction berjudul Rainwater (2009).   


 Sandra Brown


15 August 2012

Negeri Para Bedebah


Judul Buku: Negeri Para Bedebah
Penulis: Tere Liye
Tebal:440 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Juli 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


 




Thomas adalah konsultan keuangan profesional yang dikenal secara internasional. Ia lulusan universitas ternama dan kerap melanglang buana sebagai pembicara terkait ekonomi dan keuangan yang dipakarinya. Tidak banyak yang tahu kalau Thomas tergabung dalam sebuah klub petarung semacam dalam film Fight Club bersama sejumlah orang penting, di lantai enam sebuah gedung perkantoran di Jakarta. Dan hampir tidak ada yang tahu siapa sesungguhnya dan dari mana ia berasal. Kecuali, tentu saja, keluarga dan orang-orang yang dekat dengan keluarganya.
 
Bagi keluarganya, Thomas adalah Tommie, keponakan dari Om Liem, pemilik Bank Semesta. Tidak lama setelah tiba di Jakarta setelah perjalanan ke London, ia mengetahui komplikasi yang melanda Bank Semesta. Ram, orang kepercayaan Om Liem, yang memberitahukan kepadanya. 
 
Bank Semesta kalah kliring. Saham Bank Semesta dihentikan perdagangannya di bursa. Nasabah mulai panik dan membentuk antrean panjang di setiap cabang. Jika rush terjadi, semua nasabah akan menarik tabungan dan menyebabkan runtuhnya Bank Semesta. Kabarnya, bahkan jika seluruh aset Om Liem dijual dan seluruh hartanya digadaikan, Bank Semesta tidak akan bisa membayar tabungan nasabah. Semua uang telah dipinjamkan ke pihak ketiga, dan tidak bisa ditarik kembali dengan gampang. Situasi pelik ini kian disorot lantaran Om Liem dikenal terlalu ambisius, terlalu menggampangkan banyak hal, terlalu banyak melanggar regulasi demi pertumbuhan bisnisnya. 
 
Sialnya, tidak ada kenalan ataupun orang penting yang ingin membantu Om Liem menyelamatkan banknya, termasuk Sinpei, rekan bisnis Om Liem selama puluhan tahun. Bahkan, seorang pejabat bintang tiga kepolisian dan petinggi kejaksaan serta salah satu deputi bank sentral terlibat langsung dalam penyidikan Bank Semesta. Thomas mendapatkan informasi jika kasus bank ini mempunyai terlalu banyak kepentingan dan terlalu banyak misteri. Padahal hasil penyelidikan Thomas menunjukkan Bank Semesta hanya kalah kliring lima miliar. 


Thomas dipanggil ke kediaman Om Liem karena rumah Om Liem telah dikepung. Om Liem akan dibawa ke penjara, hanya kondisi istrinya yang sedang pingsan yang menangguhkan. Perintah penangkapan Om Liem sudah efektif. Om Liem memanggil Thomas agar mau menjaga Tante Liem dan adik-adik sepupu Thomas yang semuanya perempuan.
 
Sesungguhnya menolong Om Liem bukanlah hal yang mudah dilakukan Thomas. Ia membenci Om Liem karena menganggap pamannya itu berperan dalam peristiwa tewasnya kedua orang tuanya dua puluh tahun silam. Tapi operasi seluruh cabang Bank Semesta terancam akan ditutup. Dua hari lagi, tepatnya hari Senin, nasib Bank Semesta akan diputuskan oleh otoritas bank sentral.
 
Lalu dua nama dari kegelapan masa silam muncul dalam ingatan Thomas. Maka, sebuah rencana nekat segera dirumuskan dalam benaknya. Ia akan menyelamatkan Bank Semesta meskipun kebenciannya pada Om Liem masih mengendap. Dan sebagai langkah pertama, ia harus melarikan Om Liem. Karena tanpa tanda tangan Om Liem tidak ada satu pihak pun yang bisa membekukan Bank Semesta. Setelah menyembunyikan Om Liem, Thomas akan menjalankan rencananya sambil memosisikan dirinya sebagai pihak yang tidak berkepentingan.
 
Tentu saja apa yang dilakukan Thomas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ia memang akan mendapatkan bantuan dari Julia, wartawati yang pernah diolok-oloknya namun bersedia membantu setelah mengetahui motif Thomas yang sebenarnya. Maggie, sekretarisnya yang cekatan tidak kurang pula peranannya. Demikian juga teman-teman yang dikenalnya di klub petarung. Tapi mereka saja tidak cukup. Thomas membutuhkan para petinggi terkait dunia keuangan dan perbankan nasional serta pihak-pihak yang berpengaruh untuk memuluskan rencananya. Dalam waktu singkat, ia harus menguras energi untuk memanfaatkan setiap peluang yang muncul. Dan seiring dengan usahanya yang pantang menyerah, ia terpaksa jatuh bangun menghadapi para bedebah yang terus-menerus memburunya. Momen-momen tertentu yang pernah ia lewatkan dengan Opa, kakek dari pihak ayahnya, akan berkontribusi memberikan berbagai solusi baginya. Apa pun yang ia lakukan, tidak lain karena sesungguhnya ia juga seorang bedebah. 
 
"Aku adalah anak muda yang dibakar dendam masa lalu. Jiwaku utuh. Seperti berlian yang tidak bisa dipecahkan. Aku selalu menunggu kesempatan ini," (hlm. 118) kata Thomas. "Aku punya rencana. Aku bukan lagi anak kecil enam tahun yang berlari-lari mengantar susu. Akulah bedebah paling besar dalam cerita ini." (hlm. 119).
 
Sebagaimana yang biasa ada dalam kisah-kisah semacam ini, akan muncul aktor intelektual yang mendalangi usaha menghancurkan keluarga Liem. Tetap terkesan tidak terduga ketika diungkapkan, kendati penulis telah memberikan petunjuk sejak awal. Sayangnya alasan yang melatarbelakangi tindakan sang aktor intelektual  terasa tidak cukup menghebohkan. 
 
Membaca bagian-bagian pembuka novel  Negeri Para Bedebah karya Tere Liye, kita akan diperkenalkan dengan teori ekonomi dan keuangan dunia yang digeluti dan dikuasai Thomas. Semakin ke dalam, dunia keuangan itu mengerucut pada dunia perbankan, yang menjadi latar kisah ini. Kemudian, di dunia bergelimang uang ini, Tere Liye mendedahkan segala kecurangan dan kejahatan yang berhubungan dengan eksistensi Bank Semesta. Inilah yang harus diungkapkan Thomas dan dimanfaatkannya dengan menggabungkan kemampuannya berbohong demi tetap berdirinya Bank Semesta, yang sebenarnya sudah tidak layak beroperasi sebelum beralih ke tangan Om Liem. Dan harus diakui, hal ini pula yang menjadi bagian paling menarik dari novel berjudul provokatif dengan sampul yang imajinatif: pria bersetelan jas dengan hidung Pinokio dan seekor musang berbulu domba. Kepiawaian berbohong bersanding secara berbahaya dengan perilaku musang berbulu domba. 
 
Dari sejumlah novel karya Tere Liye yang sudah saya baca, Negeri Para Bedebah adalah novel yang paling mengesankan. Gaya bercerita Tere Liye masih selugas biasanya, tapi plotnya yang berpilin dan bergerak cepat sangat menggugah selera. Saya tidak membutuhkan banyak waktu untuk meludaskan isi novel ini, begitu menemukan ritme yang tepat. Secara keseluruhan, Negeri Para Bedebah jauh dari kesan membosankan (berbeda misalnya dengan Sunset Bersama Rosie, novel lain Tere Liye, yang menurut saya membosankan). 
 
Saya suka dengan berbagai karakter yang dihadirkan Tere Liye, baik protagonis maupun antagonis. Semua karakter dikemas dengan baik, dan kehadiran hampir semua dari mereka memberikan kontribusi signifikan bagi jalan cerita. Tentu saja, karakter sang narator, Thomas, yang paling moncer. Cerdas, menguasai trik kolusi, pintar bersilat lidah, piawai dalam berbohong, penuh dendam kesumat, dan berjiwa petarung. Yang disebut terakhir membuat Thomas pantang menyerah sekaligus memberikannya kekuatan untuk melawan dan mendapatkan teman-teman yang akan membantunya menjalankan rencana nekatnya. Seharusnya, karakter Thomas yang 'tegar' bisa diperlembut, misalnya, dengan menghadirkan kehidupan asmaranya. Lagi pula, aneh rasanya manusia modern seperti Thomas ditampilkan nirasmara. Sayangnya Tere Liye tidak begitu menggubriskan sisi romantisme Thomas, sehingga Thomas, lajang 30 tahun, lelaki dengan kemampuan memanfaatkan potensi perempuan, seakan-akan tidak pernah punya kekasih. 
 
Keasyikan membaca novel ini terganggu oleh perpindahan sudut pandang yang sebenarnya tidak perlu. Sebagai narator orang pertama, semestinya Thomas hanya mengisahkan apa yang dirasakan, dialami, atau disaksikannya. Tapi ada dua kali Thomas melaporkan apa yang tidak disaksikannya. Pertama ketika Thomas mengisahkan apa yang terjadi di di rumahnya saat ia berumur sepuluh tahun (hlm. 110-117; diulang di hlm. 398-402). Kedua, ketika pasukan khusus antiteroris hendak menyergapnya di Bandara Ngurah Rai (Episode 28). Yang pertama masih bisa diterima karena kemudian Thomas menyatakan kalau apa yang ia ceritakan didengarnya dari Opa (hlm. 403). Namun yang kedua, jelas saja tidak bisa diterima. Coba, dari mana Thomas tahu apa yang dilakukan pasukan khusus di bandara saat ia sedang ada dalam pesawat?
 
Novel ini ditutup dengan adegan pamungkas yang cerdik dan sangat efektif. Sebuah tekad dimunculkan Tere Liye dalam kalimat penutup dengan gambaran kejadian ke depan yang sudah jelas: Thomas akan mampu mengatasi semua bedebah yang menantang keluarganya. Apa yang dibuat menggantung di bagian penutup ini berpeluang ditulisnya sekuel. Tapi saya rasa, sekuel akan membatasi imajinasi. Karenanya, saya tidak berharap lahirnya Negeri Para Bedebah 2
09 August 2012

Born Under A Million Shadows

 
Judul Buku: Born Under a Million Shadows (Dalam Sejuta Bayangan)
Penulis: Andrea Busfield (2009)
Penerjemah: Septina Ferniati
Tebal: 376 hlm; 20 cm
Cetakan:1, Mei 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


 

"Namaku Fawad dan ibuku mengatakan aku lahir di bawah bayang-bayang kaum Taliban." (hlm. 3).


 


Berlatar masa setelah Kabul diambil alih Aliansi Utara dan Taliban meninggalkan jalan-jalan Kabul, Born Under a Million Shadows mengisahkan kehidupan seorang anak laki-laki Pashtun bermata hijau besar bernama Fawad. Bersama Mariya, ibunya, Fawad meninggalkan kampung halamannya dan pergi ke Kabul. "Ayahku terbunuh, kakak-kakak lelakiku tiada dan kakak perempuanku hilang. Tapi di Afghanistan, semua itu hanya akan ditanggapi ucapan bernada tinggi "lalu kenapa?" (hlm. 134). 

Georgie, perempuan asal Inggris yang bekerja di sebuah LSM dan memelihara kambing kasmir untuk diambil bulunya, mengajak Mariya untuk mengurus rumah yang ditempatinya. Selain Georgie, di rumah itu juga tinggal May, insinyur lesbian asal Amerika, dan James yang bekerja sebagai jurnalis. Setelah Fawad dan ibunya tinggal di sana, Fawad mendapatkan teman-teman orang dewasa. Ketiga orang asing itu memperlakukan Fawad seperti orang dewasa dan bersikap terbuka, termasuk soal hubungan asmara. 

Fawad mencintai Georgie dan berharap bisa menikahi perempuan cantik itu suatu hari. "Begitu dia berhenti merokok dan pindah ke satu-satunya agama yang benar, tentu saja." (maksud Fawad agama Islam, hlm. 28). Tapi karena Fawad masih anak-anak, ia kalah dengan karisma Haji Khalid Khan, kekasih Georgie. Khalid adalah seorang pria kaya, berkuasa, dan disegani di Afghanistan. Ia memiliki reputasi luar biasa sehubungan dengan usahanya melawan Taliban. Setelah tiga tahun berhubungan, Georgie daan Khalid belum menikah. "Aku seorang kafir yang tak bertuhan, Fawad. Khalid seorang Muslim. Bagaimana kami bisa menikah di Afghanistan saat ini?" kata Georgie (hlm. 170).

Interaksi Fawad dan Georgie, Khalid dan Georgie, adalah sajian utama yang dihidangkan Andrea Busfied dalam novel ini. Dimunculkannya Fawad dalam hubungan Georgie dan Khalid memang ada tujuannya. Georgie dan Khalid harus dipersatukan karena keduanya saling mencintai, dan Fawad akan berperan penting dalam usaha itu. Peran seperti apa yang dimainkan Fawad akan diungkapkan Busfield saat kisah dalam novel ini mencapai klimaks.

Mempersatukan Mariya dengan Shir Amir, penjaga rumah di jalan Wazir Ali Khan, juga membutuhkan peranan Fawad. Seperti yang terjadi di antara Georgie dan Khalid, alasannya juga karena sebenarnya Shir Amir dan Mariya saling mencintai. Hanya saja, ada alasan lain yang membuat Fawad bertekad menyadarkan ibunya soal cinta ini. Fawad takut ibunya menjadi lesbian seperti May. 

Selain kisah cinta orang-orang dewasa itu, novel ini juga menghadirkan persahabatan Fawad dengan anak-anak Afghanistan lain yang lahir di bawah bayang-bayang kaum Taliban. Ada Jamilla, anak perempuan dari keluarga miskin yang selalu dipukuli ayahnya yang keranjingan opium. Fawad membuka jalan bagi Jamilla untuk bekerja di toko tempatnya bekerja. Ada juga Spandi (nama aslinya Abdullah), anak piatu yang mencari uang dengan menjual kartu telepon. Dan tak bisa dilupakan Mulallah, gadis yang dijual ayahnya gara-gara kalah judi. Salah satu dari ketiga sahabat Fawad ini bernasib apes karena tewas dalam ledakan bom bunuh diri. 


Walaupun bukan berwujud persahabatan seperti dengan Jamilla, Spandi, dan Mullalah, interaksi antara Fawad dengan Jahid, sepupunya yang buruk rupa, dan Pir Hederi, laki-laki buta pemilik toko tempatnya bekerja, juga merupakan bagian yang menarik dalam novel ini. 

Yang paling menarik dalam novel ini sebenarnya penggunaan anak-anak sebagai narator. Berapa umur Fawad tidak jelas, kemungkinan besar sekitar sepuluh tahun (di sampul belakang disebutkan sebelas tahun). "Di Afghanistan, kami tidak merayakan ulang tahun. Kami hanya mengenang kemenangan dan kematian," kata Fawad (hlm. 5). Busfield mengindikasikan Fawad sebagai narator anak-anak yang cerdas dan memiliki kemampuan istimewa dalam mengobservasi kehidupan manusia dan negaranya. Sayangnya, pengindikasian ini terlalu berlebihan. Begitu banyak rangkaian kalimat (termasuk kalimat bersayap) dalam kisah Fawad yang sangat diragukan bisa keluar dari benak seorang anak kecil. Bagaimana mungkin Fawad yang tidak tahu apa itu 'kolera' (hlm. 110) dan 'harapan' (hlm. 202) bisa dengan fasih mengelaborasi kondisi sosial-politik Afghanistan dengan bahasa orang dewasa? Akhirnya, bagi saya, Fawad hadir sebagai narator yang tidak meyakinkan. Busfield, seorang pengarang dewasa, boleh dikatakan, tidak berhasil menggunakan anak-anak sebagai narator yang mengobservasi kehidupan layaknya seorang anak-anak.

Menggunakan anak-anak sebagai narator orang pertama untuk menggulirkan kisah bermuatan tema dewasa memang riskan. Mungkin kalau Busfield memilih memanfaatkan perspektif orang ketiga, hasilnya akan terasa wajar, misalnya ketika ia menyampaikan kondisi sosial-politik Afghanistan selepas dihalaunya Taliban dari Afghanistan.

Terlepas dari itu, Born Under a Million Shadows yang diedisi-indonesiakan sebagai Dalam Sejuta Bayangan, adalah sebuah novel yang memiliki tingkat keterbacaan yang cukup tinggi. Penerjemahan yang apik didukung penyuntingan yang prima menghasilkan edisi yang bersih dari typo dan kalimat-kalimat rancu.

Born Under a Million Shadows ditulis Andrea Busfield berdasarkan pengalamannya tinggal di Afghanistan. Pengarang asal Inggris ini pertama kali mengunjungi Afghanistan ketika meliput kejatuhan Taliban pada Oktober 2011 sebagai reporter tabloid News of the World. Pada tahun 2005, setelah bekerja sebagai jurnalis di Inggris selama 15 tahun, ia kembali ke Afghanistan dan bekerja sebagai editor koran di Kabul. Born Under a Million Shadows (diterbitkan pertama kali tahun 2009) adalah novel pertamanya. Ia telah menerbitkan novel keduanya, Aphrodite's War, pada tahun 2010. 


Andrea Busfield
 
08 August 2012

The Tokyo Zodiac Murders


Judul Buku: The Tokyo Zodiac Murders
Judul Asli: Senseijutsu Satsujinjiken (1981)
Penulis: Soji Shimada
Penerjemah: Barokah Ruziati

Desain & Ilustrasi kover: Staven Andersen
Tebal: 360 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Juli 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


 



Pada 26 Februari 1936 Heikichi Umezawa, seorang seniman, ditemukan tewas di studio yang terletak di belakang rumahnya. Ia dibunuh dengan cara dihantam bagian belakang kepalanya dengan benda tumpul. Sebulan kemudian, Kazue Kanemoto, putri tertuanya, tewas dipukul sampai mati dengan vas beling setelah diperkosa. Menyusul kematian Kazue, keenam gadis yang tinggal di rumah keluarga Umezawa, dibunuh secara bersamaan, lalu mayat mereka dimutilasi dan dibuang ke berbagai lokasi. 

Ketiga kasus pembunuhan itu dikenal sebagai Pembunuhan Zodiak Tokyo. Pihak berwenang, para cendekiawan, dan detektif amatir telah berupaya membongkar kasus pembunuhan itu, tapi misteri yang menyelimutinya belum terkuak hingga lebih dari 40 tahun. Kasus itu berlalu setelah ditetapkannya Masako Umezawa, istri kedua Heikichi, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pembunuhan pertama dan ketiga.

Sebelum menikahi Masako, Heikichi pernah menikah dengan Tae dan memiliki seorang anak perempuan, Tokiko. Setelah Heikichi menceraikan Tae untuk menikah dengan Masako, Tokiko tetap tinggal bersama ayahnya. Dari hubungannya dengan Masako, Heikichi mendapatkan seorang putri, Yukiko. Saat menikah, Masako yang adalah mantan penari balet, sudah mempunyai tiga putri dari pernikahan pertamanya: Kazue, Tomoko, dan Akiko. Kazue tinggal sendiri di rumahnya setelah menikah kemudian bercerai dengan suaminya. Ditambah anak dari adik laki-laki Heikichi, Reiko dan Nobuyo, jadilah ada enam gadis di rumah keluarga Umezawa. 

Kasus ketiga dalam Pembunuhan Zodiak Tokyo terjadi persis seperti yang diuraikan dalam catatan yang ditinggalkan Heikichi Umezawa. Dalam catatannya, Heikichi telah merencanakan penciptaan Azoth, sang wanita sempurna, dari potongan-potongan tubuh para gadis dalam rumahnya. Kepala dari Tokiko, dada dari Yukiko, perut dari Reiko, pinggul dari Akiko, paha dari Nobuyo, dan kaki dari Tomoko. Semua akan dibuat berdasarkan prinsip astrologi yang dijelaskan dengan gamblang oleh Heikichi. Azoth akan menjadi sebuah magnum opus atau mahakarya baginya. 

Suatu hari pada tahun 1979, Misako Iida, putri dari polisi yang terkait dengan kasus Pembunuhan Zodiak Tokyo, mendatangi Kiyoshi Mitarai, seorang astrolog, peramal nasib dan detektif partikelir. Misako berharap Kiyoshi Mitarai bisa menemukan penjelasan yang masuk akal untuk keterlibatan ayahnya dengan kasus Pembunuhan Zodiak Tokyo. Kazumi Ishioka, teman Kiyoshi yang sangat menggemari kisah detektif dan bekerja sebagai ilustrator lepas, memperkenalkan kepadanya kasus pembunuhan menghebohkan yang terjadi sebelum Perang Dunia Kedua itu. Maka dimulailah analisis mereka mengenai kasus itu dengan berpatokan pada buku berjudul Pembunuhan Zodiak Tokyo yang merupakan gabungan dari dokumen kasus dan catatan Heikichi. Bagi Kazumi yang berperan sebagai narator, mereka bertindak dan memosisikan diri seperti Sherlock Holmes dan Dr. Watson.

Seiring dengan upaya yang mereka lakukan, pertanyaan demi pertanyaan datang menghampiri dan menciptakan keraguan. Siapakah sebenarnya yang membunuh Heikichi Umuezawa? Adakah hubungan kematian Kazue dengan kematian ayah tirinya dan para gadis di rumah keluarga Umezawa? Benarkah Masako yang bertanggung jawab atas kematian suami, anak-anak mereka, dan keponakan suaminya?  Pertanyaan terakhir, jika Azoth telah diciptakan dari potongan-potongan tubuh para gadis, di manakah Azoth berada? 

Ketika mereka semakin masuk dalam kumparan misteri kasus Pembunuhan Zodiak Tokyo dan seseorang memberi batas waktu bagi mereka untuk menuntaskan penyelidikan, Kiyoshi memutuskan pergi ke Kyoto. Di sana ia bermaksud menggali informasi dari orang yang pernah mengenal Heikichi dan masih hidup. 

Mungkinkah pasangan detektif partikelir ini akan memecahkan misteri seputar Pembunuhan Zodiak Tokyo di Kyoto? Lebih dari empat puluh tahun sebelumnya kasus ini memang tidak bisa dipecahkan, apalagi dengan keterbatasan teknologi dan ilmu pengetahuan. Tahun 1979 seharusnya kasus ini lebih mudah disingkapkan, dan seiring dengan penyelidikan mereka, Kiyoshi mengakuinya. 

"Ada sesuatu yang hilang... Dan kemungkinan itu sesuatu yang sangat, sangat sederhana. Kasus ini memang ganjil dan tidak dapat dipahami, tetapi aku punya firasat bahwa kasus ini sebenarnya tidak terlalu sulit dipahami. Kalau kita bisa menemukan mata rantai yang hilang, kita akan memahami keseluruhan kisah ini. Kita mungkin harus meninjau kasus ini dari awal, terutama setengah bagian pertamanya. Ya, aku rasa jawabannya terletak pada mata rantai yang hilang itu..."
(hlm. 196).

Di mana mata rantai yang hilang itu? Seperti biasa dalam kisah-kisah sejenis, jawabannya akan muncul secara tidak terduga. Kali ini, dimulai dari salah satu lembaran uang kertas seribu yen yang robek dan disatukan kembali dengan selotip. 


The Tokyo Zodiac Murders
(Pembunuhan Zodiak Tokyo) adalah novel perdana Soji Shimada, penulis kisah-kisah detektif-misteri asal Jepang. Novel yang dinominasikan untuk menerima Edogawa Rampo Award ini merupakan kisah pertama dari serial Detective Mitarai's Casebook. Selanjutnya, Shimada telah menulis puluhan kisah lainnya dengan Kiyoshi Mitarai sebagai karakter utama dalam bentuk novel, novela, dan kumpulan cerita pendek. 

Novel ini disusun bagaikan sebuah pementasan drama yang diawali dengan perkenalan nama-nama para pemain, lalu sebuah pengantar, dan dilanjutkan dengan babak demi babak -yang dipecah dalam dua hingga tujuh adegan- hingga lima babak (sangat jelas dalam Daftar Isi yang sayangnya keliru dalam penomoran halaman). Sebelum memasuki babak satu, Shimada menyajikan prolog berjudul Azoth. Di bagian ini, kita akan membaca catatan yang ditulis sehubungan dengan rencana untuk menciptakan Azoth. Setelah babak lima, sebuah epilog berjudul Suara Azoth akan membuhul keseluruhan kisah melalui pengakuan pelaku dari berbagai pembunuhan yang telah terjadi. 

Di setiap pergantian babak Shimada menyelipkan intermeso. Ada empat intermeso yang isinya ditulis secara berbeda. Dua intermeso terakhir adalah tantangan yang dilemparkan Shimada kepada pembaca untuk membongkar misteri Pembunuhan Zodiak Tokyo sebelum tirai pentas ditutup. Silahkan mencoba-coba merangkai jawaban kalau bisa. Tapi kalau tetap terbentur tembok penghalang seperti para detektif di seluruh penjuru Jepang selama lebih dari 40 tahun, lanjutkan saja ke babak lima.

Jadi, siapakah pembunuh yang disebut Shimada sebagai pembunuh siluman ini? Tentu saja saya tidak akan menyebutkannya di sini. Kalau Anda sudah terbiasa membaca kisah-kisah detektif-misteri, Anda mungkin akan dengan gampang dan lekas mendapatkan nama sekaligus motifnya, sebelum diungkapkan oleh Kiyoshi Mitarai. Yang jelas, setelah mengetahui wajah sang pembunuh, saya kembali melembari halaman-halaman novel ini untuk mencari peneguhan bagi karakternya sebagai pembunuh berdarah dingin. Seseorang yang membunuh dan memutilasi beberapa tubuh manusia  harusnya memiliki alasan kuat untuk melakukannya, kecuali dia sakit jiwa. Sayangnya, saya tidak menemukan apa yang saya cari. 

Untuk mempermudah pemahaman, Shimada menyertakan sejumlah gambar. Kita akan menemukan gambar silsilah keluarga, denah studio Heikichi, denah rumah Kazue, peta daerah tambang, posisi garis lintang utara-bujur timur dalam peta, tipuan sulap menggunakan uang kertas, dan ilustrasi keenam tubuh gadis yang dimutilasi. Gambar-gambar itu bekerja sama dengan tulisan yang ada dan menghasilkan karya yang memberikan pengalaman baca yang mengesankan. Tidak hanya dari segi kualitas penyajian, melainkan juga dari tantangan untuk melibatkan pembaca ke dalam pengejaran Azoth. 

Ada bagian menarik terkait kegemaran Kazumi akan kisah-kisah detektif. Sebagai pembaca yang tergila-gila dengan kisah semacam ini, Kazumi adalah pemuja Sherlock Holmes dan mengganggapnya sesuatu yang keramat. Ketika Kiyoshi belum berhasil memecahkan kasus, Kazumi membandingkannya dengan karakter ciptaan Arthur Conan Doyle itu. Kiyoshi, tentu saja, tidak terima. 

"Sherlock Holmes? Siapa itu? Oh, maksudmu pria Inggris yang lucu itu - pembohong, barbar, dan pecandu kokain yang selalu keliru membedakan kenyataan dengan khayalan?" demikian tanggapan Kiyoshi. Dan saat Kazumi protes, Kiyoshi memberikan penjelasan mengenai komentar sinisnya terhadap Sherlock Holmes (hlm. 169-170). Saking kesalnya, Kazumi pun menyebutkan nama-nama detektif yang kisahnya pernah ia baca. Kiyoshi memberikan respons yang membuatnya semakin mendongkol.

"Aku tidak tahu harus berkata apa. Kau tidak pernah membaca satu pun cerita detektif, tapi kau tetap berkeras bahwa kisah Sherlock Holmes itu konyol."

Kiyoshi menyahut, "Aku tidak bilang aku membencinya. Bahkan dia salah satu detektif yang paling aku sukai. Aku suka selera humornya. Kita tidak tertarik pada orang yang bertingkah seperti komputer, bukan? Holmes memperlihatkan kepada kita sifat manusia yang sesungguhnya. Dalam hal itu, dia sangat hebat." 

Oh, tentu saja Kiyoshi Mitarai juga sangat hebat. Ingin tahu kehebatannya? Ayo baca The Tokyo Zodiac Murders dulu. 

07 August 2012

The Reader

Judul Buku: The Reader (Sang Juru Baca)
Judul Asli: Der Vorleser
Penulis: Bernhard Schlink (1995)
Penerjemah: Fransiska Tobing
Tebal:227 halaman
Cetakan: 1, 2012
Penerbit: Elex Media Komputindo


 

Ada berbagai gambaran mengenai Hanna Schmitz yang tersimpan dalam benak Michael Berg. Hanna sedang mengenakan stoking di dapur tempat tinggalnya. Hanna sedang berdiri di depan bak mandi dan merentangkan handuk dengan tangannya. Hanna yang bersepeda dengan rok yang berkibar-kibar tertiup angin. Hanna di ruang kerja ayahnya, mengenakan gaun bergaris-garis biru dan putih, terlihat muda, jari tangan Hanna menyusuri punggung buku dan kemudian berhenti untuk menatap kegelapan dari jendela. Kemudian, Hanna yang menari-nari dalam gaun tidur sutra yang dihadiahkannya.
 
Berbagai gambaran mengenai Hanna itu mengikuti perjalanan kehidupan Michael dan membuatnya sukar mencintai orang lain dengan bebas. Bahkan setelah dewasa dan menikah, Michael tidak mampu melupakan berbagai gambaran itu, dan karena itulah pernikahannya tidak bertahan walaupun sudah punya satu anak perempuan.
 
Michael mengenal Hanna Schmitz pada periode pertama kehidupannya sebagai laki-laki (bukan anak-anak lagi). Saat itu ia adalah murid sekolah menengah berumur lima belas tahun dan Hanna yang bekerja sebagai kondektur trem berumur tiga puluh enam tahun. Ia jatuh cinta pada Hanna dan dari perempuan inilah ia mengenal kenikmatan seksual dalam hubungan laki-laki dan perempuan.
 
Mereka bertemu secara rutin dan menghabiskan waktu di tempat tinggal Hanna dengan mandi, bercinta, dan berbaring bersama. Hanna akan meminta Michael membacakan buku-buku yang dipelajari Michael di sekolah seperti Odysssey, Emilia Galotti, Kabale und Leibe (Intrik dan Cinta), Taugenichts (Orang yang Tak berguna) dan Krieg und Frieden (Perang dan Damai). Kedekatan yang berkembang di antara mereka dituangkan Michael dalam sebuah puisi:

Jika kita membuka diri
dirimu padaku, dan diriku padamu
manakala kita tenggelam
kau ke dalam diriku dan aku ke dalam dirimu,
manakala kita menghilang
kau di dalam diriku dan aku di dalam dirimu

Lalu
aku adalah aku
dan engkau adalah engkau (hlm. 60)

Hubungan cinta mereka berakhir ketika Hanna meninggalkan kota yang telah dihuninya selama delapan tahun. Ia berhenti dari pekerjaan sebagai kondektur trem setelah akan dipromosi menjadi sopir trem. Meninggalkan pekerjaan ketika hendak dipromosikan sudah dilakukan Hanna dua kali. Sebelumnya, Hanna pernah bekerja di pabrik Siemens di Berlin, tetapi ketika hendak dipromosikan sebagai mandor, Hanna meninggalkan Siemens. Setelah perang berakhir, ia mengerjakan pekerjaan apa saja hingga menjadi kondektur trem.
 
Setelah tujuh tahun berlalu, Michael melihat Hanna lagi dalam periode keduanya sebagai laki-laki. Saat itu Michael adalah seorang mahasiswa hukum yang mengikuti perkembangan kasus terkait perempuan-perempuan penjaga kamp konsentrasi Nazi. Hanna yang bergabung dengan SS pada 1943 setelah meninggalkan Siemens adalah salah satu terdakwa dari kasus kematian ratusan perempuan Yahudi. Mereka terbakar di sebuah gereja, dalam perjalanan dari kamp konsentrasi Krakow ke Auschwitz. 
 
Selama mengikuti persidangan, Michael tidak merasakan apa-apa. Ditinggalkan Hanna telah membuatnya mati rasa. Tanpa diketahui Hanna, gara-gara dirinya Michael sulit membina hubungan dengan perempuan lain. Hanna selalu menjadi patokan perempuan dalam hidupnya.
 
Hanna dihukum penjara seumur hidup lantaran dianggap bertanggung jawab atas kematian ratusan perempuan Yahudi itu. Ia tidak membela diri ketika dihadapkan dengan sebuah laporan yang ditemukan dalam dokumen SS terkait kasus itu. 
 
Bagian ketiga dari kehidupan Michael dilaluinya dalam keadaan tetap masih rasa. Ia menikah dan punya keluarga kecil, tapi kemudian bercerai. Ia lulus sekolah hukum tapi alih-alih bekerja sebagai pengacara ia malah menekuni sejarah hukum dan menjadi dosen. Ia tahu di mana Hanna, tapi tidak pernah mengunjungi perempuan yang pernah dicintainya itu. Satu yang ia lakukan bertahun-tahun selama Hanna di penjara adalah merekam suaranya yang sedang membaca berbagai buku dalam kaset kemudian mengirimkannya kepada Hanna. Hingga ia menerima secarik kertas bertuliskan pesan dari Hanna empat tahun kemudian. "Jungchen, cerita terakhir bagus sekali. Terima kasih. Hanna." (hlm. 195).
 
The Reader (judul bahasa Jerman: Der Vorleser) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Sang Juru Baca adalah novel yang ditulis Bernhard Schlink, penulis Jerman yang juga berprofesi sebagai profesor hukum dan hakim. Schlink, kelahiran Bielefeld 6 Juli 1944, memulai kariernya sebagai penulis dengan menerbitkan beberapa novel detektif yang karakter utamanya bernama Selb. The Reader diterbitkan pertama kali dalam bahasa Jerman pada tahun 1995 dan menjadi bestseller di Jerman. Selanjutnya, setelah dipublikasikan di Amerika, novel ini menjadi buku Jerman pertama yang bertengger di posisi nomor satu di daftar buku-buku bestseller New York Times. Pada tahun 1997, novel yang telah diterjemahkan ke dalam 39 bahasa ini memenangkan Hans Fallada Prize, sebuah penghargaan sastra Jerman dan Prix Laure Bataillon untuk edisi bahasa Prancisnya. Kesuksesan The Reader berlanjut hingga diadaptasi ke dalam film layar lebar berjudul sama pada tahun 2008 oleh sutradara Stephen Daldry. Kate Winslet berperan sebagai Hanna, Ralph Fiennes sebagai Michael dewasa, dan aktor muda Jerman David Kross sebagai Michael remaja. 
 
Michael Berg bertindak sebagai narator orang pertama dalam novel yang dibagi dalam tiga bagian yang tampaknya menjadi periode-periode penting kehidupannya sebagai laki-laki (baca: setelah mengenal seks dengan perempuan). Apa yang kita baca adalah usaha Michael untuk membebaskan dirinya dari keterikatan hidup dan emosinya dengan Hanna. Sebuah usaha yang sungguh tidak mudah.
 
The Reader jelas membincang kisah cinta ala Lolita, tepatnya Lolita versi laki-laki. Hanya saja, kita kurang mendapatkan kedalaman ataupun obsesi cinta yang diperlihatkan seorang (perempuan) dewasa pada anak lelaki  bau kencur. Justru kita akan mendapatkan kesan bahwa Hanna hanyalah memanfaatkan tubuh mengkal dan suara indah Michael yang masih remaja. Tidak ada perasaan cinta yang setimpal. Jujur saja, dalam hal ini, karakter Hanna tidak mengundang simpati. Sekalipun kemudian ia difitnah rekan-rekan sesama anggota SS lantaran kelemahan sekaligus keangkuhan dan kebodohannya. Kenapa rela masuk penjara seumur hidup hanya lantaran tidak ingin kelemahannya diketahui orang lain?
 
Yang paling menyebalkan dari Hanna adalah ia telah menghancurkan hidup Michael sebagai laki-laki, dan sialnya, Michael sulit membebaskan diri dari bayangannya. Lalu, apa yang kemudian bisa menyelamatkan hidup Michael? Hanya satu: kematian Hanna.
 
Terlepas dari itu, usaha Hanna untuk membebaskan dirinya dari kegelapan dunia aksara meskipun boleh dibilang terlambat, tak urung akan menyentuh hati kita. Apalagi usaha yang dilakukannya lahir dari dorongan untuk menjalin komunikasi dalam bentuk tulisan dengan Michael yang tidak pernah mengunjunginya di penjara.
 
"Lalu kuamati tulisan Hanna dan melihat betapa banyak energi dan perjuangan untuk membuat tulisan itu. Aku bangga padanya. Pada saat yang sama aku merasa sedih mengingatnya, sedih karena keterlambatannya dan kehidupannya yang gagal, sedih karena keterlambatan dan kegagalan dalam hidup secara keseluruhan. Aku berpikir, kalau saja waktu yang tepat telah terlewat, jika seseorang terlalu lama menolak sesuatu atau ditolak sesuatu terlalu lama, semuanya sudah terlambat, sekalipun jika itu pada akhirnya bisa dilakukan dengan sekuat tenaga dan disambut dengan sukacita. Atau sebenarnya tidak ada kata "terlalu terlambat", dan kata "terlambat" jelas selalu lebih baik daripada "tidak sama sekali"? Entahlah." (hlm. 198-197).

The Reader atau Sang Juru Baca adalah sebuah novel yang indah dan menyentuh hati, terutama kalau kita melihat dari sisi karakter utama laki-lakinya, sang narator. Di penghujung novel, kita akan diharubirukan oleh keputusan terpenting yang dibuatnya: mengakhiri kenangannya terkait perempuan yang telah mengenalkan lalu mengambil, cinta dalam hidupnya.


Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan