28 February 2013

The Silence of the Lambs


Judul Buku: The Silence of the Lambs
Penulis: Thomas Harris (1988)
Penerjemah: Hendarto Setiadi
Tebal: 480 hlm; 20 cm
Cetakan: 2, November 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama





Clarice Starling yang sedang mengikuti pelatihan untuk menjadi agen FBI di Quantico, Virginia, ditugaskan Jack Crawford, kepala seksi Ilmu Perilaku FBI yang menangani pembunuhan berantai, untuk mendatangi Dr. Hannibal Lecter. Hannibal Lecter, pembunuh serial yang dikenal sebagai Hannibal the Cannibal, sedang ditahan di Baltimore State Hospital for the Criminally Insane. Ia adalah salah satu pembunuh berantai yang menolak diwawancarai dan diperiksa untuk pengembangan database guna menyusun profil psikologis bagi kasus-kasus yang belum terpecahkan. Diharapkan, Starling yang adalah sarjana psikologi dan kriminologi dan merupakan siswa terbaik di FBI Academy bisa membujuk Hannibal Lecter.

Hannibal Lecter, seorang sosiopat sejati, bukanlah nama yang asing. Diketahui, ia telah membunuh sembilan orang selama berpraktik sebagai psikiater. Lecter juga dikenal sebagai psikiater yang kerap menulis untuk jurnal-jurnal psikiatri tapi tidak pernah mengenai kelainan-kelainannya sendiri. Untuk bisa bertemu dengannya dan berkomunikasi, Starling harus mematuhi prosedur yang diterapkan agar tidak terjadi kontak fisik. Ketika sedang berada dekat Lecter dan lengah, seorang juru rawat menjadi korban Lecter. Diketahui bahwa pada saat membunuh, denyut nadi Lecter tidak lebih dari delapan lima.  

Saat bertemu Lecter dan berkomunikasi, perbincangan di antara mereka menjalar ke kasus pembunuh berantai yang diketahui telah membunuh lima korban. Si pembunuh dijuluki Buffalo Bill karena ia menguliti semua korbannya yang bertubuh besar. Lecter tidak mau berterus terang kalau sesungguhnya ia mengenal si pembunuh berantai. Kepada Starling ia hanya memberikan sedikit informasi. Dan untuk informasi yang diberikannya, ia menuntut Starling memberikan informasi mengenai kehidupan pribadinya. Quid pro quo -dalam bahasa Latin, artinya Ini untuk Itu/This for That.

Akhirnya, Starling yang sebenarnya tidak ditugaskan dalam kasus Buffalo Bill –apalagi ia masih peserta pelatihan di FBI Academy- diajak Crawford bergabung dalam investigasi. Ketika jatuh satu korban lagi, dari dalam tenggorokan korban ditemukan pupa -serangga muda yang belum berkembang sempurna di dalam chrysalis, kepompong yang membungkusnya selama proses metamorfosis dari larva ke imago atau serangga dewasa- dari Erebus odora yang dikenal sebagai Ngengat Black Witch. Hal ini mengindikasikan bahwa korban dibunuh oleh seorang yang dengan sengaja memelihara serangga daerah tropis itu. Tapi sebelum wajah sang pembunuh berhasil disingkapkan, ia telah melakukan penculikan lagi. Kali ini korbannya adalah putri seorang senator, Catherine Baker Martin. Dari Lecter, Starling mengetahui kalau sebenarnya si pembunuh berantai sedang membuat baju dari kulit-kulit wanita yang dibunuhnya. Buffalo Bill sedang menuju proses metamorfosisnya sendiri, dari pupa menjadi imago.

Sayangnya, sebelum Starling mendapatkan informasi lebih lengkap dari Lecter, si kanibal dibawa pergi dari Baltimore ke Memphis, Tennessee, untuk bertemu langsung dengan Senator Martin. Tapi Starling tidak tinggal diam. Ia berupaya tetap bisa mendapatkan informasi dari Lecter dengan pergi ke Memphis. Ketika Lecter tidak mau memberikannya lagi informasi, ia harus berpikir keras dan melakukan investigasi sendiri berdasarkan isyarat yang pernah diberikan Lecter. Pada akhirnya, ia akan menatap wajah sang pembunuh, langsung berhadapan. Apesnya, ia tidak mengenal wajah si pembunuh berantai.

The Silence of the Lambs (Domba-Domba Telah Membisu) adalah novel ketiga yang ditulis Thomas Harris dan novel kedua mengenai Hannibal Lecter. Pembunuh serial yang dalam membunuh memakan bagian-bagian tubuh korbannya ini diperkenalkan pertama kali dalam Red Dragon (1981). Sampai saat ini, Harris telah menerbitkan empat novel mengenai Hannibal Lecter. Setelah The Silence of the Lambs, Hannibal Lecter dimunculkannya kembali dalam Hannibal (1999). Menyusul Hannibal, Harris mengungkapkan asal-usul Hannibal Lecter dalam prekuelnya, Hanibal Rising (2006). 

Sebenarnya, The Silence of the Lambs adalah sebuah novel thriller yang dibangun dari kejadian kriminal dan misteri seperti umumnya genre ini. Alurnya tidaklah berbeda dengan kebanyakan novel thriller. Kasus dimunculkan, sang protagonis yang akan menjadi pahlawan ditampilkan, proses rumit untuk menelanjangi wajah si pembunuh dialirkan, dan kasus pun dituntaskan. Penggunaan perempuan sebagai karakter protagonis utama tidak lagi istimewa karena bukanlah sesuatu yang baru. Yang membuat novel ini lesap dalam pikiran pembaca adalah motivasi si pembunuh berantai melakukan tindakan kriminalnya yang tidak terbayangkan. 

Tidak seperti kebanyakan novel thriller, Harris merasa tidak perlu menunggu lama untuk mengungkapkan jati diri si pembunuh berantai. Memasuki bab lima belas, pembaca akan langsung mengetahui sosok yang dijadikan target operasi FBI ini. Ketika seiring perguliran plot, ia akhirnya dipertemukan dengan Starling, kita akan merasakan ketegangan yang kuat dan memuncak. Hal ini dikarenakan Starling tidak tahu sedang berhadapan dengan sosok yang dicarinya. Tapi kita tentu saja sudah bisa menebak hasil akhir. Starling akan bisa keluar sebagai pemenang karena ia akan dimunculkan kembali untuk berhadapan dengan Hannibal Lecter dalam sekuelnya, Hannibal

Mungkin ada yang bertanya-tanya mengenai judul novel yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi Domba-Domba yang Membisu. Apa kaitan judul ini dengan kasus pembunuh berantai yang dilakukan Buffalo Bill? Ketika Starling berumur sepuluh tahun dan tinggal di peternakan bibinya di Montana, suatu malam ia terbangun ketika mendengarkan domba-domba di peternakan itu mengembik-embik. Ternyata domba-domba itu sedang disembelih. Starling kecil menjadi kuatir kuda kesayangannya, Hannah, akan dipotong karena telah menjadi semakin gemuk. Saat domba-domba itu akhirnya terdiam membisu, hal ini mengisyaratkan berakhirnya semua pembunuhan, seperti berakhirnya pembunuhan yang dilakukan Buffalo Bill.

The Silence of the Lambs memenangkan Bram Stoker Award pada tahun 1988 dan Anthony Award pada tahun 1989. Keduanya untuk kategori novel terbaik. Pada tahun 1991, diadaptasi ke dalam film berjudul sama dan memenangkan lima penghargaan dalam Academy Award tahun 1991. Kelima penghargaan itu adalah Film Terbaik, Skenario Adaptasi Terbaik untuk Ted Tally, Sutradara Terbaik untuk Jonathan Demme, Aktor Terbaik untuk Anthony Hopkins yang berperan sebagai Hannibal Lecter, dan Aktris Terbaik untuk Jodie Foster yang berperan sebagai Clarice Starling. Baik novel maupun filmnya, sama-sama sukses di pasaran.


 Cetakan pertama, jauh lebih sedikit typo-nya









* Posting bersama BBI Februari 2013 untuk buku-buku yang diadaptasi ke dalam film yang menjadi pemenang atau masuk nominasi Academy Award (Oscar)



27 February 2013

Rumah Cokelat





Judul Buku: Rumah Cokelat
Penulis: Sitta Karina
Tebal: 226 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, Desember 2011
Penerbit: Buah Hati

 



Hannah adalah perempuan muda Jakarta dengan karier cemerlang di perusahaan multinasional -Bliss & Hunter- tempatnya bekerja. Ia telah menikah dengan Wigraha Andhito, seorang suami yang baik, dan mempunyai seorang anak batita, Razsya. Senin sampai Jumat, Hannah meninggalkan rumah dan bekerja sebagai asisten brand manager. Sabtu dan Minggu, ia berharap bisa menyalurkan bakatnya dalam melukis dengan cat air. Hannah pun kurang bisa memanfaatkan waktu di pagi hari sebelum berangkat kerja ketika Razsya mencoba menarik perhatian dengan tingkah polahnya. Tidak heran kalau Razsya menjadi lebih dekat dengan Upik, pengasuhnya, ketimbang Hannah, ibunya. Upik-lah yang menemukan segala sesuatu terkait dengan tumbuh kembang Razsya. Hannah seolah-olah tidak peduli hingga suatu malam, dalam tidurnya, Razsya mengatakan kalau ia menyayangi Upik. 
 
Kontan Hannah merasa cemburu. Maka, meskipun sulit karena dibebani tuntutan hidup sebagai perempuan modern, Hannah mencoba memberikan perhatian pada Razsya. Ia bahkan sampai membawa Razsya ke kantornya dan menempatkan anak itu bersama pengasuhnya di nursery room
 
Setelah masalah Razsya yang menyayangi Upik menjadi pemicu, Hannah pun menemukan hal lain yang selama ini luput dari pengamatannya. Ibunya, Eyang Putri Yanni, ternyata terlalu memanjakan Razsya. Ibunya mengizinkan Razsya nonton film, nonton televisi sambil ngemil cornflake, makan permen, dan main drum menggunakan panci dan centong -dan tidak mengembalikan ke tempat semestinya. Padahal, Hannah tidak ingin Razsya melakukan hal-hal seperti itu. Tidak bisa dicegah lagi, Hannah pun menyulut perdebatan. Lupa kalau ibunya adalah nenek dari Razsya dan mereka saat ini tinggal di rumah sang ibu. 
 
Pada akhirnya, Hannah harus mengambil keputusan, tetap bekerja atau berhenti dan mendekatkan diri dengan putranya. Ketika Upik harus pulang kampung dan Razsya tidak punya pengasuh, akhirnya Hannah memutuskan meninggalkan pekerjaannya dan bekerja di rumah sebagai watercolorist.
 
Anehnya, setelah berhenti kerja, Hannah tetap tidak bisa sepenuhnya menghabiskan waktunya dengan Razsya. Ia masih belum bisa menolak ajakan Smitha, sahabatnya sejak SMA, untuk menghabiskan waktu di luar rumah. Akhirnya, ia memutuskan untuk menitipkan Razsya di day care selama ia pergi. Ternyata, masih tetap dibutuhkan katalisator lain untuk membuat Hannah benar-benar sadar bahwa rumahnya akan semenyenangkan cokelat hanya jika mereka selalu bersama-sama. 
 
Rumah Cokelat adalah novel karya Sitta Karina Rachmidiharja, yang lebih dikenal sebagai penulis cerita-cerita remaja. Kali ini, ia meninggalkan dunia remaja dan memasuki dunia dewasa dengan menghadirkan tema cerita yang berbeda. Bukan lagi sepasang remaja melainkan keluarga muda. Apa yang diangkatnya, tentu saja bukanlah hal yang asing baginya sebagai seorang ibu muda. 
 
Ketika Sitta memulai ceritanya, sebetulnya ia menjanjikan sesuatu yang menarik. Hannah terbangun tengah malam, menemukan Razsya tertidur dalam pelukan Wigra, kemudian menggendong anaknya itu dan mendengarnya bergumam dalam tidur mengenai rasa sayangnya pada Upik. 
 
Sayangnya setelah bagian menjanjikan itu, tidak ada konflik menarik yang dimunculkan. Cerita menjadi datar dan agak membosankan. Hal-hal yang ditambahkan Sitta kemudian membuat ceritanya menjadi sangat longgar dan tidak padu. Bukannya memperkokoh cerita, malah menciptakan digresi. Misalnya ketika Awang, suami Ria Sugono, tetangga Hannah, harus dibawa ke rumah sakit karena serangan jantung. Atau ketika Hannah dan Wigra pergi ke sebuah restoran dan mendapatkan pelayanan yang buruk.
 
Sitta mencoba memberikan tantangan dalam hal kesetiaan kepada Hannah dengan menghadirkan lelaki muda bernama Banyu yang diperkenalkan Smitha kepada Hannah. Dan seolah-olah hal ini tidak cukup, Wigra pun diberikan tantangan yang sama, dengan memunculkan perempuan bernama Olivia Chow dan kemudian -lagi- mantan kekasihnya, Ara. Kemunculan tantangan terhadap kesetian ini tidak memberikan sengatan bermakna selama pembacaan. Malah semakin menguatkan ketidakpaduan plot dan memunculkan dugaan kalau hal ini dilakukan agar Rumah Cokelat hadir sebagai novel dan bukan novela. 
 
Sebagai kesimpulan dari pembacaan, Rumah Cokelat adalah sebuah novel yang sangat sederhana dan kurang terarah. Sama sekali tidak memberikan pengalaman membaca yang luar biasa dan bukanlah karya yang luar biasa istimewa. Jangan percaya semua testimoni yang disertakan sebelum Anda sendiri membaca isi novelnya. 






Sumber gambar Rumah Cokelat
26 February 2013

Montase


Judul Buku: Montase
Pengarang: Windry Ramadhina
Tebal: viii + 360 hlm; 13 x19 cm
Cetakan: 1, Desember 2012
Penerbit: GagasMedia

 




Perbedaan pilihan jalan yang akan ditempuh menuju masa depan antara seorang anak dan orangtuanya bukanlah topik yang baru dalam dunia fiksi. Windry Ramadhina mengangkat kembali topik yang sudah sangat jamak ini dalam novel keempatnya, Montase. Ia memberikan cita rasa baru dengan memasukkan topik ini ke dalam kisah yang bersinggungan dengan dunia perfilman, khususnya film dokumenter. 

Windry Ramadhina menjadikan anak dalam novel ini -bernama Rayyi Karnaya- sebagai narator orang pertama. Rayyi adalah putra semata wayang Irianto Karnaya, pemilik rumah produksi yang memproduksi sinetron dan film-film yang semata-mata dibuat untuk tujuan komersial. Irianto berkeinginan menjadikan Rayyi sebagai pengganti posisinya di kursi produser dan karenanya memutuskan Rayyi kuliah Peminatan Produksi di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Meskipun masih dalam dunia yang sama, keinginan Rayyi tidak sejalan dengan keinginan ayahnya. Pemuda yang dipanggil dengan nama Bao Bao oleh teman-teman kuliahnya ini sama sekali tidak berkeinginan menjadi produser. Lantaran diperkenalkan mendiang ibunya dengan film dokumenter The Man with a Movie Camera karya sineas legendaris Uni Soviet, Dziga Vertov, Rayyi tertarik menjadi pembuat film dokumenter. Tidak heran ia senang menyusup ke kelas Peminatan Dokumenter. Bersama tiga teman dekatnya -Sube, si bule Makassar; Bevina, gadis dengan kecantikan Natalie Portman; Andre, si pendiam- mereka masuk kelas Dokumenter yang diampu Samuel Hardi, produser sekaligus sutradara film dokumenter terbaik Asia. Sekalipun untuk itu, ia tidak mendapat kredit apa pun. Bagi Rayyi, yang penting adalah bisa belajar film dokumenter sehingga mampu membuat film sekelas The Man with A Movie

Di kelas Peminatan Dokumenter ini, Rayyi bertemu Haru Enomoto, seorang gadis Jepang yang ceroboh. Haru adalah mahasiswi Tokyo Zokei University yang dikirim kampusnya untuk belajar dua semester di IKJ. Ia mengambil Peminatan Dokumenter karena kedua orangtuanya menyukai film dokumenter. Padahal, sebenarnya, Haru lebih senang melukis. Hanya saja, berbeda dengan Rayyi, gadis itu lebih bisa berdamai dengan keinginan orangtuanya. Sebelumnya, Rayyi pernah bertemu gadis mungil dengan senyum perahu naga itu di sebuah festival film dokumenter berskala nasional di Jakarta yang diselenggarakan oleh Greenpeace. Dengan film tentang sakuranya, Haru mengalahkan Rayyi karena berhasil lolos seleksi. 

Oleh Samuel, para mahasiswa diberikan tugas membuat film pendek berdurasi lima sampai tujuh menit sebagai tugas pertama. Secara tidak terduga, Rayyi menemukan kalau Haru bisa dimanfaatkan untuk menjadi objek dalam film pendeknya., dan ternyata Haru tidak keberatan. Setelah berhasil merekam Haru yang sedang mengamati sculpture setangkai lili raksasa di ruang pameran Galeri Nasional, timbul ketertarikan intens dalam hati Rayyi. Pemuda yang awalnya tidak peduli dengan Haru berubah semakin menikmati kehadiran gadis itu dan ketagihan merekam gambarnya. The Girl with a Movie Camera adalah judul film pendek mengenai Haru yang dibuat Rayyi. Dengan film ini, Samuel diam-diam mengakui bakat Rayyi dan menawarinya magang di rumah produksinya. 

Sayangnya, bukannya magang di rumah produksi Samuel, Rayyi malah mengikuti tuntutan ayahnya untuk magang di rumah produksi Karya Karnaya. Ia mesti terlibat pembuatan film yang diproduseri Irianto. Rayyi pun terpaksa menolak saran Samuel untuk bersama Haru mengikuti International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA), kompetisi tahunan yang diadakan oleh Jan Vrijman. Sekalipun materi untuk kompetisi ini telah tersedia. Haru-lah yang mencoba mengingatkannya. "Rayyi, kalau kau menyukai film dokumenter, jangan bersikap setengah-setengah," kata gadis itu (hlm. 123). 

 
Windry Ramadhina
 Sebagaimana ketiga novel terdahulunya, Orange (2008), Metropolis (2009), dan Memori (2012), Montase yang dikembangkan dari cerpen berjudul Sakura di Bulan April merupakan novel yang sedap dibaca. Windry Ramadhina menggerakkan kisahnya menggunakan kalimat-kalimat yang rapi dengan bahasa yang baik dan upaya untuk menghindari narasi yang bertele-tele. Kali ini ia sangat  memahami konsekuensi pemilihan sudut pandang orang pertama untuk menggulirkan kisahnya sehingga sejak awal hingga akhir tidak terpeleset menjadikan Rayyi narator maha tahu. Kendati tidak sangat gamblang, Windry Ramadhina pun bisa  menyajikan proses pembuatan film dokumenter dan jenis-jenis kamera dalam pembuatan film ini dan mampu meyakinkan pembaca. Romansa yang dihidupkannya di antara Samuel Hardi dan Bevani yang bergulir bersamaan dengan romansa Rayyi-Haru mampu disiasati tanpa mennciptakan digresi. 

Konflik di antara Rayyi dan ayahnya akan menerbitkan pertanyaan dalam benak pembaca selama membaca meskipun penyelesaiannya tidak sulit ditebak. Apakah Irianto tetap akan bersikeras menjauhkan Rayyi dari kegemarannya pada film dokumenter? Ataukah Rayyi tetap akan memperjuangkan passion-nya sekalipun berarti harus menentang ayahnya? Dalam penyelesaian konflik itu, Haru akan mempengaruhi keputusan yang diambil Rayyi. Kita akan bisa menebak akhirnya, karena bagaimanapun, Montase tetaplah novel bermuatan cinta. Dan bukankah cinta memiliki kekuatan untuk mencerahkan kehidupan? 

Selain kisah perjuangan menggumuli passion dan meraih mimpi serta cinta, Montase juga bermuatan kisah persahabatan. Momen terindah yang tumbuh dari persahabatan di dalam novel ini muncul di bagian berjudul Semangkuk Internet Asin. Saat itu, Rayyi bersama teman-temannya merayakan ulang tahun Haru yang kedua puluh satu sambil makan mi instan. Sangat mengharukan, apalagi ketika kuah mi instan Rayyi menjadi asin karena bercampur air matanya sendiri.

Dalam skenario film, istilah montase dipakai untuk menunjukkan pengambilan adegan berkesinambungan dan membentuk satu rangkaian kendati diambil dari beberapa lokasi berbeda. Misalnya jika seorang sedang terkenang dengan kekasihnya yang telah tiada, beberapa adegan berdua semasa kekasihnya masih hidup ditampilkan secara berurutan dalam durasi yang singkat. Istilah ini dipakai menggantikan judul awalnya, Sakura Haru. Seperti yang bisa kita baca dalam situs pengarang, Sakura Haru tidak hanya mengalami penggantian judul, melainkan juga perombakan cerita. Menurut Windry, perombakan yang terjadi lebih dari tujuh puluh persen bagian novel mencakup konflik, karakter, seting, dan adegan. Ia dituntut melakukan riset mengenai film dokumenter, berkunjung dan ikut kuliah di IKJ agar bisa membangun suasana perkuliahan di dalam novelnya. Latar belakang fotografi yang dibangun sebelumnya diubah menjadi sinematografi, dan Erod Matin, fotografer yang juga pernah muncul dalam Orange disilih dengan Samuel Hardi. "Pada akhirnya, saya melahirkan novel yang nyaris baru," katanya.

Meskipun terjadi perombakan, sebenarnya tidak perlu terjadi penggantian judul. Judul kedua tidak sekuat judul pertama dalam mencerminkan isi novel. Bukan sekadar karena Rayyi akan membuat film dokumenter dengan judul Sakura Haru, tapi sakura dalam pandangan Haru memiliki makna yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan mereka.

"... Pohon sakura berbunga satu tahun sekali. Calon bunganya mulai terlihat sejak pertengahan Januari, tapi baru akan mekar pada awal April.  Sakura yang telah berkembang bertahan selama satu sampai dua minggu, lalu gugur dan kelopak-kelopaknya terbawa angin. 

Keindahan sakura hanya sebentar, tapi karena itu dia begitu berharga.

Sakura adalah ciri kehidupan yang tidak abadi."

(hlm. 347). 

Saya memberikan apresiasi untuk desain sampulnya yang keren. Sederhana, tapi unik. Ilustrasi sampulnya benar-benar melukiskan kehidupan dua karakter dalam novel ini.  

Tapi harus diakui, terlepas dari semua yang sudah saya sampaikan, Montase tidak menjadi karya terunggul Windry Ramadhina. Dari semua novelnya yang telah diterbitkan, Metropolis masih tetap yang paling istimewa dan menyita perhatian. Meskipun begitu, patut dihargai keinginan Windry Ramadhina yang selalu berupaya menyodorkan hal-hal yang baru dalam novel-novelnya. 




 
Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan