31 December 2013

In The Bag




Judul Buku: In The Bag
Pengarang: Kate Klise (2012)
Penerjemah: Nurkinanti Laraskusuma
Tebal: 376 halaman; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, Oktober 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama





Mereka menumpang pesawat yang sama, dari Chicago menuju Paris. Andrew Nelson dan putranya, Webb, yang berasal dari St. Louis, tidak singgah di Paris. Mereka akan melanjutkan perjalanan ke Madrid, Spanyol. Andrew mendapat pekerjaan merancang pameran seni digital di Palacio de Cristal (Crystal Palace), Madrid. Pameran bertajuk Love in the Postdigital Age ini dikuratori Solange Bartel, perempuan asal Paris. Daisy Sprinkle dan putrinya, Coco, singgah di Paris karena mereka memang datang untuk berlibur selama seminggu. Mereka menginap di apartemen Solange yang sedang berada di Madrid. 

Sepanjang perjalanan Chicago-Paris, Andrew menghabiskan waktu untuk mengamati Daisy. Sebelumnya, secara tidak sengaja, Andrew telah menyenggol lengan Daisy dan menumpahkan anggur yang sedang diminum perempuan itu ke blusnya. Saat itu, tentu saja, mereka masih sesama orang asing yang tidak saling kenal. Saking terpikatnya dengan Daisy, Andrew langsung berkeinginan makan malam dengan Daisy. Keinginannya itu dituangkannya dalam selembar kertas yang lalu diselipkannya dalam tas Daisy saat mendarat di Bandara Charles de Gaulle. Ia berharap Daisy akan meresponsnya, dan karenanya ia menuliskan alamat emailnya juga. 


Saat membuka tas di tempat tujuan masing-masing, Webb dan Coco mengetahui kalau tas mereka telah tertukar di Bandara Charles de Gaulle. Webb yang berinisiatif menghubungi Coco begitu menemukan alamat email gadis itu di saku tas. Maka pertukaran tas pun berkembang menjadi pertukaran email rahasia yang mendekatkan mereka dari jauh dan membuahkan keinginan untuk bertemu. Kesempatan bertemu terbuka ketika Solange meminta Daisy membantunya di Madrid. Daisy yang adalah chef terkenal di Chicago akan menyiapkan makanan untuk resepsi pembukaan pameran karena petugas katering yang sebelumnya telah siap berhalangan. Coco yang memang enggan membantu ibunya menghidangkan makanan merasa tidak enak badan sehingga terpaksa Daisy berangkat ke Madrid tanpa putrinya itu. Webb yang lebih suka menghabiskan waktu di depan komputer ketimbang menjelajahi Madrid dan membuat Andrew kurang senang memutuskan pergi ke Paris, naik kereta api selama tiga belas jam. 


Kalau Webb bertemu Coco di Paris, maka perjalanan Daisy ke Madrid mempertemukannya dengan Andrew. Pertemuan mereka terjadi pada saat acara pembukaan pameran. Interaksi dadakan membuat mereka saling terbuka satu sama lain. Diam-diam, seperti yang telah dirasakan sebelumnya oleh Andrew, Daisy pun terpesona pada ayah Webb. Sayangnya, hubungan di antara mereka tidak berjalan sesuai harapan. Daisy kecewa dan menganggap Andrew tidak berbeda dengan laki-laki lain yang pernah dikenalnya. Penyebabnya sebenarnya sepele: Andrew tidak mau memberikan alamat emailnya. Daisy tentu saja tidak tahu jika Andrew memberikan alamat emailnya, maka ia akan mengetahui Andrew adalah laki-laki iseng yang memasukkan pesan ke dalam tasnya. 


Secara bergantian, Andrew, Webb, Daisy, dan Coco akan bertindak sebagai narator orang pertama kisah perjalanan mereka ke Eropa, tertukar tas, dan jatuh cinta. Masing-masing punya gaya sendiri untuk mendedahkan kisah dan observasi mereka terhadap apa yang terjadi, sehingga tanpa mencantumkan nama-nama narator pun, kita sudah mengetahui siapa yang tengah berkisah. Masing-masing berkisah sesuai usia dan gender, Webb dan Coco dengan gaya remaja sedangkan Andrew dan Daisy dengan gaya orang dewasa. Cara berkisah yang khas semakin memperkuat karakterisasi. 


Kebetulan, boleh dibilang, merupakan andalan Kate Klise dalam menulis In The Bag yang adalah novel dewasa pertamanya. Para karakter novel kebetulan bertemu dalam pesawat menuju Paris. Secara kebetulan tas Webb tertukar dengan tas Coco dan Webb menemukan alamat email Coco. Pertemuan Daisy dan Andrew di Madrid pun terjadi secara kebetulan. Bahkan salah satu kebetulan akan menciptakan ketegangan di bagian penutup novel yang menentukan kelanjutan hubungan di antara keempat karakter utama novel ini. Untunglah, Kate Klise berhasil mengemas kebetulan menjadi rangkaian kisah yang menarik dan terasa wajar. Akankah mereka bertemu kembali? Atau kisah perjalanan ke Eropa yang mereka alami hanya akan menjadi salah satu kenangan yang pantas ditinggalkan di belakang? 


In The Bag dipecah ke dalam tujuh bagian yang diberi judul dengan nama-nama hari selama seminggu saat kisah berlangsung. Sebelum membaca kisah yang ada, tidak ada salahnya memperhatikan baik-baik ilustrasi pada halaman judul setiap bagian untuk lebih memahami apa yang dilakukan keempat karakter utama novel dalam perjalanan mereka di Eropa. 


Secara keseluruhan In The Bag adalah sebuah novel yang enak dibaca dan menghibur. Ditulis dengan ringan dan semangat humor yang kerap menggelikan, kita akan bersenang-senang mengikuti perjalanan kerja dan liburan keempat karakter utama novel sekaligus perjalanan dan petualangan menemukan persahabatan dan tentu saja, cinta. 




** Baca dan Posting Bareng BBI Desember 2013 buku dengan tema liburan

 
30 December 2013

Hercule Poirot's Christmas



Judul Buku: Hercule Poirot's Christmas
Pengarang: Agatha Christie (1939)
Penerjemah: Mareta
Sampul: Staven Andersen
Tebal: 304 hlm; 18 cm
Cetakan: 8, Februari 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama








Natal selalu identik dengan damai, sukacita, dan kebaikan-kebaikan. Tapi dalam Hercule Poirot's Christmas, Agatha Christie menggunakan momen Natal untuk mengakhiri kehidupan seorang laki-laki tua dalam sebuah pembunuhan yang sangat brutal. Ia tentu saja punya alasan sendiri, sebagaimana yang dituangkannya dalam kata-kata Hercule Poirot.

"Pada waktu Natal ada suasana kebaikan. Pertengkaran diusahakan diredakan sebisa-bisanya, mereka yang bertentangan bersedia berbaikan walaupun hanya untuk sementara (hlm. 88). Dan sekarang keluarga. Mereka yang berpisah  sepanjang tahun berkumpul lagi. Nah, dalam kondisi seperti itu Anda harus mengakui bahwa sering kali terjadi ketegangan. Orang yang pada dasarnya kurang ramah memaksa dirinya kelihatan ramah! Jadi pada waktu Natal sebetulnya terjadi kemunafikan, kemunafikan terhormat, kemunafikan yang terjadi dengan motif yang baik, tetapi tetap saja namanya kemunafikan (hlm. 89)."

Apapun kata Agatha Christie melalui detektif ciptaannya, tindakan kriminal memang bisa terjadi kapan saja.

Simeon Lee mengundang seluruh keluarganya untuk berkumpul merayakan Natal di kediamannya, Gorston Hall - Longdale, Addlesfield. Kecuali Alfred -anak sulungnya yang selalu mematuhi kehendaknya- dan Lydia, istrinya, yang memang tinggal bersama dengan Simeon. Maka anak-anak yang lain pun berdatangan. George -anggota parlemen Westeringham- datang dengan Magdalene, istrinya yang berusia 20 tahun lebih muda. George selalu meminta uang dari ayahnya untuk membiayai kehidupannya. David, pelukis gagal yang meninggalkan Gorston Hall semenjak kematian ibunya dan menuduh Simeon sebagai pembunuhnya, datang bersama Hilda, istrinya. Selain ingin menjadi pelukis, David lari dari rumah karena tidak ingin bekerja dengan ayahnya. Simeon telah menyatakan akan mencoret namanya dari surat wasiat. Harry, si anak hilang, yang lari dari rumah setelah mencuri uang ayahnya, datang seorang diri dari luar negeri. Ia belum menikah dan kemunculannya membuat Alfred tidak senang. Selain keempat anak laki-laki itu, datang pula Pilar Estravados dari Spanyol. Pilar adalah anak Jennnifer - putri Simeon satu-satunya yang menikahi seorang pelukis Spanyol dan telah meninggal. Pilar datang tidak sekadar untuk merayakan Natal, tetapi juga akan tinggal dengan kakeknya. Dalam perjalanan menuju rumah kakeknya, Pilar bertemu Stephen Farr, seorang laki-laki yang datang dari Afrika Selatan. Stephen mengaku sebagai anak dari kolega Simeon Lee di Afrika Selatan. Saat bertandang di Gorston Hall, Simeon mengajaknya tinggal selama Natal. Mereka semua tidak tahu, Simeon memiliki rencana untuk menciptakan hiburan bagi dirinya sendiri. Ia bermaksud menyenangkan dirinya sendiri dengan cara mempermainkan perasaan anak-anaknya sendiri.  

Maka, pada sore 24 Desember, ia mengumpulkan mereka di dalam kamarnya dan memulai permainannya. Tanpa tedeng aling-aling, Simeon dengan keangkuhannya mempermalukan semua anak laki-lakinya yang tidak memiliki keturunan dan menyatakan niat mengubah surat wasiat. Namun, pada malamnya, Simeon ditemukan digorok dan tewas dalam kubangan darah. Meskipun kurus dan kisut, dalam kematiannya, Simeon ternyata mengeluarkan begitu banyak darah. Ia dibunuh, dan berlian-berlian kasar kesayangannya yang bernilai 10 ribu pound hilang. 

Kebetulan, pada saat terjadi pembunuhan, Hercule Poirot sedang berlibur di rumah temannya, Kolonel Johnson, kepala polisi di daerah itu. Maka, setelah anak buah Jonhson, Inspektur Sugden, mengabari tewasnya Simeon, Poirot pergi bersama Johnson ke Gorston Hall. Tidak bisa dicegah lagi, Poirot pun terlibat dalam pengungkapan kasus pembunuhan Simeon Lee. Anak, menantu, cucu, dan tamu Simeon otomatis menjadi sasaran penyelidikan. Begitu pula Sydney Horbury, pelayan pribadi Simeon, yang meninggalkan rumah pada saat sekitar kematian Simeon, dan Tressilian, kepala pelayan Gorston Hall, yang kebingungan karena apa yang dilihatnya seolah-olah terjadi dua kali. 

Tapi, siapa di antara mereka yang telah mencabut nyawa Simeon? Hingga halaman-halaman terakhir novel ini, tetap sulit memastikan siapa pelakunya. Poirot menghadapi sebuah kasus pembunuhan yang telah direncanakan dengan matang, dieksekusi dengan cara yang sangat mengagumkan, dan berhasil. Tapi bagaimana pun briliannya sang pembunuh, ia tidak akan lolos dari keberhasilan penyelidikan Hercule Poirot. Agatha Christie telah menyiapkan sebuah kejutan yang akan memukul mundur semua perkiraan dan tuduhan kita.

Untuk mengetahui bagaimana cara Poirot mengungkapkan kasus pembunuhan Simeon Lee, sebaiknya Anda membaca sendiri Hercule Poirot's Christmas (Pembunuhan di Malam Natal). Novel detektif ini merupakan salah satu karya Agatha Christie yang pernah meninggalkan kesan yang dalam bagi saya, selain karya lainnya yang berjudul And Then There Were None, Crooked House dan The Murder of Roger Ackroyd





Diikutkan dalam:

Baca dan Posting Bareng BBI Desember 2013 untuk buku bertema detektif

2013 Christmas Reads

25 December 2013

The Christmas Secret




Judul Buku: The Christmas Secret
Pengarang: Donna VanLiere (2009)
Penerjemah: Sophie Febriyanti
Tebal: 304 halaman
Cetakan: 1, 2012
Penerbit: Gradien Mediatama




Setiap batu di jalanan bisa memperbaiki hidup kita tetapi kita mungkin akan sedikit kotor dan berlumpur sebelum itu terjadi. (hlm. 12)








Christine Angela Eisley telah menjadi ibu dari dua orang anak dan orangtua tunggal pada umur 27 tahun. Ia berpisah dari suaminya, Brad Eisley, tidak mendapatkan biaya santunan bagi anak-anaknya, dan harus bekerja sebagai pelayan restoran untuk membiayai keluarga dan mempertahankan anak-anaknya. Setelah berpisah, Brad terus berusaha merebut Zach dan Haley dari Christine, dengan mengincar kelemahan mantan istrinya itu. 

Gara-gara menolong seorang perempuan yang mendapatkan serangan jantung di depan rumahnya, Christine kehilangan pekerjaannya. Ia memang sering terlambat datang bekerja karena harus menunggu penjaga anak-anaknya selama ia bekerja, dan jika penjaga anaknya terlambat, otomatis ia akan terlambat pergi bekerja. Setelah diperingatkan untuk tidak terlambat lagi dan masih terlambat, ia dipecat. Pada hari yang sama ia dipecat dari Patterson's, Christine mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan Betty's Bakery & Restaurant milik Betty Grimshaw, seorang janda yang dicampakkan dan telah kehilangan anak laki-laki satu-satunya. Tak disangkanya, ia mendapatkan pekerjaan di sebuah tempat yang penuh kehangatan, empati, dan kasih sayang. Tapi ia tetap harus bekerja keras, dan memasuki masa-masa menjelang Natal, ia bekerja dua shift untuk mendapatkan tambahan uang. 

Pada umur 24 tahun, Jason Haybert kehilangan pekerjaannya karena di-PHK dari perusahaan akuntan yang melakukan perampingan. Setelah tiga bulan tidak mendapatkan pekerjaan baru, Jason menyanggupi permintaan kakeknya, Marshall Wilson, untuk bekerja di Wilson's -pusat perbelanjaan yang didirikannya dengan Linda, istrinya- selama liburan Natal. Jason boleh pergi jika mendapat pekerjaan baru. Tapi Jason tidak dipekerjakan di bagian pembukuan sebagaimana dugaannya. Marshall menempatkannya di bagian penjualan, sebagai pelayan toko, dan dituntut Marshall untuk mengetahui nama-nama pegawai Wilson's. Karena harus membayar tagihannya, Jason berusaha mematuhi apa yang disuruh kakeknya. Termasuk ketika ia diminta mencari perempuan bernama Christy yang telah menolong Judy, salah satu pegawai Wilson's, saat mendapat serangan jantung. Juga menjadi sukarelawan di Glory's Place, tempat para orangtua kurang mampu belajar beberapa keahlian dan menitipkan anak-anak selama bekerja. 

Kemunculan Jason di Betty's telah mencuri perhatian Christine. Tapi begitu mengetahui kalau pemuda itu sedang mencari Christy, Christine mencoba menyembunyikan identitasnya. Ia mengira Jason disuruh Brad untuk memata-matainya (hanya Brad yang memanggilnya Christy). Meskipun demikian, Christine tidak bisa menolak pesona yang ditebarkan Jason tanpa sengaja. 

Apakah Jason benar-benar tertarik padanya? Bisakah Jason menerima keberadaannya sebagai perempuan beranak dua? 

The Christmas Secret (Rahasia Natal) ditulis Donna VanLiere menggunakan dua sudut pandang seperti dalam novel-novel Christmas Hope Series lainnya. Sudut pandang orang pertama dari sisi Christine dan sudut pandang orang ketiga dari sudut pandang Jason dan tokoh-tokoh penting lainnya. Meskipun jelas-jelas menonjolkan Christine dan Jason (dilihat dari porsi penceritaan), novel ini bukanlah novel romansa yang menggali dalam-dalam kisah cinta mereka. Kita tidak akan menemukan kisah-kisah cinta tidak penting selama membaca novel ini. Christine dan Jason adalah dua karakter yang memancarkan kehangatan Natal tanpa mereka sadari. Kehidupan yang sulit tidak membuat Christine menahan kebaikan pada orang lain, seperti yang dilakukannya pada Tamara, perempuan yang sedang berusaha memulihkan kehidupannya yang hancur. Kebaikan semacam ini yang juga membuat Christine mampu menerima rahasia masa lalu ibunya tanpa menjadi marah dan dendam. Dituntun Marshall, tanpa disadarinya, Jason menjadi pribadi rendah hati yang mudah dekat dengan siapapun, terlebih anak-anak. Cinta mereka akan bersinar terang di bagian penutup novel. Sebagai novel yang menyodorkan keindahan musim Natal, akhir yang membahagiakan memang merupakan pilihan yang paling tepat tanpa membuat kisahnya menjadi basi.

Selain kisah Christine dan Jason, kita akan dihangatkan pula dengan kisah cinta Marshall Wilson dan istrinya, Linda. Setiap minggu Marshall akan mengirimi Linda sekeranjang bunga segar, juga pada setiap kesempatan sepanjang tahun. Bahkan untuk Linda, Marshall membelikan kalung berlian pada ulang tahun pernikahannya. Kita mungkin akan melewatkan petunjuk yang diberikan pengarang mengenai keberadaan Linda saat kisah utama sedang bergulir. Kisah di dalam novel ini akan semakin hangat oleh kehadiran Betty Grimshaw, Nyonya Meredith yang dijuluki Zach dan Haley sebagai wanita kelelawar, serta Gloria dan Miriam. Kebahagiaan menanti di ujung perjalanan mereka bersama keajaiban Natal yang tidak bisa dijelaskan. 

Satu-satunya yang kurang mungkin latar belakang Jason yang tidak disingkapkan.  Di mana orangtuanya? Bahkan, pada momen membahagiakan dalam kehidupan Jason dan Christine, orangtuanya tetap bersembunyi di balik layar. 

Seperti novel-novel Christmas Hope Series lainnya, The Christmas Secret yang merupakan novel kelima ini ditulis dengan indah, manis, penuh perasaan dan kehangatan. Sungguh sebuah kisah Natal yang layak dibaca selama musim Natal yang penuh sukacita dan damai sejahtera.

*


Christmas Hope Series:

4. The Christmas Promise
5. The Christmas Secret
6. The Christmas Journey
7. The Christmas Note



 Diikutkan dalam 2013 Christmas Reads



 
24 December 2013

Home for Christmas



  
Judul Buku: Home for Christmas
Pengarang: Cally Taylor (2011)
Penerjemah: Nurkinanti Laraskusuma
Tebal: 416 halaman; 18 cm
Cetakan: 1, Desember 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama







Hingga berumur 24 tahun, belum ada seorang pun laki-laki yang pernah menyatakan cinta pada Beth Prince. Bukan karena Beth belum pernah pacaran. Tapi karena beberapa laki-laki yang pernah memacari Beth memang tidak ada yang benar-benar mencintainya. Demikian pula Aiden Dowles, pacar terakhir Beth. Setelah sepuluh bulan berpacaran (dan tidur bersama),  belum sekali pun Aiden mengucapkan tiga patah kata itu: aku cinta padamu. Padahal Beth sangat menginginkannya. Itulah sebabnya, Beth memutuskan untuk menjadi yang pertama menyatakan cinta, dan ia berlatih menyatakan cinta pada poster kardus George Clooney di Picturebox, bioskop tempatnya bekerja selama enam tahun. Sayangnya, Beth tidak mendapatkan kesempatan untuk menyatakan cintanya. Karena pada malam Halloween, saat ia telah bersiap pergi ke pesta dengan Aiden, laki-laki itu mengakhiri hubungan mereka. Tanpa penjelasan. 

Beth mau melakukan apa saja, termasuk memakai pencokelat kulit buatan, demi mempertahankan Aiden meskipun wajahnya menjadi sewarna jeruk Satsuma. Tapi menurut teman sekerjanya, Carl Coombes, yang berhati culas dan selalu menghinanya, Aiden sudah menemukan perempuan lain dan akan bertunangan. Tanpa melakukan pengecekan apa yang sebenarnya terjadi, Beth muncul di tengah-tengah acara keluarga Aiden dan mempermalukan dirinya sendiri. 

Cinta bukanlah satu-satunya obsesi Beth dalam hidupnya. Selulus sekolah, ia tidak melanjutkan kuliah dan bekerja di Picturebox. Selama enam tahun bekerja, hati Beth telah tertambat dengan bioskop itu. Bahkan, untuk memperbaiki kinerja Picturebox, Beth telah membuat berbagai rencana -yang dipandang terlalu modern oleh Edna Blackstock, pemilik Picturebox. Beth, sudah pasti kecewa, ketika mengetahui kalau Picturebox akan diakuisisi oleh Apollo Corporation, jaringan bioskop multinasional yang bermaksud merombak bioskop itu. Padahal, Picturebox sudah menjadi warisan budaya setempat yang layak dipertahankan originalitasnya. Matthew Jones, salah satu penduduk Brighton tempat bioskop itu berada, telah berhasil membujuk Edna untuk menjual Picturebox kepada Apollo, dengan membohongi perempuan tua itu. 

Matt Jones adalah salah satu manajer Apollo yang akan memperluas usaha di Brighton. Ia berusaha menyukseskan proses akuisisi karena iming-iming bonus yang akan diperolehnya. Matt memang sangat membutuhkan uang untuk membayar sewa rumahnya dan rumah kakeknya, Jack Ballard. Ditinggalkan kedua orangtuanya yang tidak memedulikannya, Matt dibesarkan oleh Jack. Itulah sebabnya, Matt sangat menyayangi kakeknya, yang telah menjadi sahabat sepanjang hidupnya. Saat mengunjungi Picturebox, Matt memergoki Beth yang sedang berlatih menyatakan cinta pada poster kardus George Clooney. Tanpa disadarinya, pertemuan pertama itu telah memberi kesan khusus dalam hatinya. 

Saat bertemu Beth, Matt tidak sedang menjalin hubungan dengan perempuan. Karena tidak tahan, ia telah memutuskan Alice, pacarnya, yang berkelakuan bagaikan seorang psikopat. Pertemuan pertama di Picturebox tidak menjadi satu-satunya pertemuan mereka. Sesuai kesepakatan dengan Edna, Apollo Corporation akan melakukan rekruitmen untuk satu posisi manajer bagi pegawai Picturebox yang telah bekerja minimal 2 tahun. Beth termasuk salah satu pegawai yang memenuhi syarat sehingga ia pergi ke Wales untuk berkompetisi dengan beberapa temannya. Dengan rencana pengembangan usahanya, Beth merupakan salah satu calon terkuat. Sayangnya, Beth tidak mendapatkan posisi itu. Dan hal ini hanya berarti satu: ia harus pindah ke Australia bersama ibunya. 

Tidak mendapatkan posisi manajer memang menyakitkan hati Beth. Tapi yang paling menyakitkan adalah saat ia terbangun suatu pagi dan menemukan Matt menghilang dari tempat tidurnya. Setelah semalam bercinta dengannya, Matt justru menjauhinya tanpa memberikan penjelasan, menambah daftar laki-laki payah dalam hidup Beth. Tidak diketahui Beth, ketidakberhasilannya mendapatkan pekerjaan sebagai manajer dan menghilangnya Matt dari kehidupannya disebabkan oleh hal yang sama. Sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam benak Beth telah menjadi penghalang kebahagiaannya. 

Home for Christmas adalah novel komedi romantis karya Cally Taylor yang berseting masa-masa menjelang Natal. Meskipun judulnya mengandung kata Natal, Natal bukanlah pusat kisah dalam novel ini. Kita tidak akan menemukan sepotong kisah pun yang terjadi pada hari Natal. Damai, sukacita, kasih, dan kebaikan-kebaikan seputar Natal yang menghangatkan hati tidak menjadi hal-hal yang dirasa perlu oleh sang pengarang. Natal hanya disebut-sebut sepintas lalu dan kehilangan maknanya sama sekali. Judul yang mengandung Natal boleh dibilang merupakan kebohongan yang disematkan di sampul novel.  

Membaca novel ini pun terasa melelahkan. Romansa yang menjadi elemen utama tidak menggugah emosi, terlalu dangkal, dan sangat biasa-biasa saja. Tokoh-tokoh antagonis seperti Alice (mantan pacar Matt), Isabel Ballbreaker (bos Matt), dan Carl Coombes (rekan kerja Beth) terlalu vulgar dan terkesan bukan manusia. Selain kisah tentang bioskop yang akan diakusisi, tidak ada hal yang baru dan menarik dalam novel ini.  Mungkin, kelebihan Cally Taylor yang bisa disebutkan adalah menciptakan adegan-adegan lucu dan memalukan yang dialami kaumnya. Beth Prince yang berlatih menyatakan cinta kepada poster kardus George Clooney dan dipergoki Matt Jones. Lizzie (teman seflat Beth) yang terjepit di jendela toilet sebuah pub saat melarikan dirinya dari kencannya. Beth yang menggunakan pencokelat kulit buatan sampai wajahnya menjadi sewarna jeruk Satsuma. Celana Beth yang jahitannya  robek saat menuruni tebing pada pelaksanaan rekruitmen di Wales sehingga bokongnya kelihatan (dan Beth tidak memakai celana dalam). 

Bagian penutup novel ini sudah bisa ditebak sejak awal. Keputusan penggunaan dua narator orang pertama (Beth dan Matt) yang berkisah secara bergantian kian menandaskan. Cally Taylor bisa dipastikan merupakan penggemar film komedi romantis ala Pretty Woman. Sehingga tidak heran, ia pun menutup novelnya ini persis seperti dalam film-film komedi romantis. Klise sekali. 




Diikutkan dalam  2013 Christmas Reads



Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan