30 June 2013

Me Before You


 
Judul Buku: Me Before You
Pengarang: Jojo Moyes 
Penerjemah: Tanti Lesmana
Tebal: 656 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Mei 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama







Will Traynor sangat menyukai hidupnya. Ia mencintai pekerjaan dan perjalanan-perjalanannya sebagai pengusaha muda di sebuah firma di London. Ia melakukan berbagai kegiatan fisik seperti bungee jumping dari tebing karang, bermain ski, dan mendaki gunung Kilimanjaro. Dan sebagai lelaki muda, ia pun sangat menyukai seks. Tapi itu gambaran Will sebelum terjadinya kecelakaan lalu lintas yang membuatnya terpuruk di kursi roda sebagai penderita quadriplegia C5/6 (mengalami cedera di sumsum tulang belakang pada level C5 dan C6). Setelah kecelakaan lalu lintas, Will tidak lagi menyukai hidupnya. Terikat oleh keterbatasan dan kesakitan yang disandangnya sebagai quadriplegic, Will bertekad mengakhiri hidupnya. 

Menyusul usaha bunuh diri yang ia lakukan, Will mendapatkan persetujuan Camilla Traynor -ibunya- untuk melakukan eutanasia. Ia akan dibawa ke Swiss untuk mengakhiri hidup secara prematur di Dignitas. Organisasi yang didirikan oleh  seorang pengacara Swiss bernama Ludwig A. Minelli (1998) ini memberikan bantuan kepada orang-orang yang ingin mengakhiri hidup karena mengalami sakit fisik atau mental yang tidak bisa disembuhkan. Dosis letal serbuk pentobarbital yang dilarutkan dalam segelas air atau jus akan membawa orang-orang itu tidur abadi.

Will menunda keinginannya selama enam bulan. Dan selama itu ia mendapatkan perawatan di rumah orangtuanya di Stortfold, sebuah kota kecil yang terkenal dengan kastel yang dijadikan lokasi kunjungan wisatawan mancanegara. Selain dirawat oleh perawat laki-laki bernama Nathan, Will membutuhkan asisten perawat yang akan mendampingi dan merawatnya selama Nathan tidak ada. 

Berkebalikan dengan Will, Louisa Clark -gadis menjelang 27 tahun- berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Ia tinggal di rumah orangtuanya yang dipisahkan oleh Kastel Stortfold dari Granta House, kediaman keluarga Traynor. Dengan pekerjaannya di kafe The Buttered Bun, Lou membantu menopang kehidupan keluarga. Tapi ketika kafe itu mesti ditutup oleh pemiliknya, terpaksa ia mencari pekerjaan lain. Setelah tiga kali menekuni pekerjaan berbeda, ia pun diterima bekerja sebagai asisten perawat untuk Will Traynor. Padahal, ia sama sekali tidak memiliki pengalaman merawat quadriplegic. Dan Will yang akan dirawatnya, tidak bisa menggunakan kedua kaki dan hanya sedikit sekali bisa menggerakkan tangan dan lengannya. Selain mendampingi dan merawat Will, tugas Lou adalah memastikan Will tidak mencoba bunuh diri lagi. Lou akan bekerja selama enam bulan sesuai kesepakatan Will dan ibunya.

Awalnya Lou mengira tidak akan bertahan karena Will menunjukkan sikap yang kurang menyenangkan, sinis dan ketus. Tapi lama kelamaan ia mencoba mengenal Will, mengobrol dengannya, dan mulai berempati dengan penderitaan laki-laki yang hidupnya terperangkap di kursi roda itu. Will tidak hanya tidak bisa bergerak bebas, ia mesti hidup bergantung pada orang lain. Belum lagi masalah kesehatan yang tidak pernah berhenti menyerangnya. Dalam kondisi terpuruk, ia pun harus menahan perasaan, ditinggalkan kekasihnya untuk menikah dengan sahabatnya sendiri. Sementara ayahnya menunggu kematiannya untuk bercerai karena hendak menikahi wanita lain. Lou mencoba terus bertahan kendati akhirnya ia mengetahui kalau Will akan dibawa ke Dignitas. Tugasnya pun bertambah, berusaha membuat Will membatalkan keinginannya. 

Keberadaan Lou di dekatnya ternyata membuat Will mengalami perubahan. Lou memang bukan gadis yang menarik. Ia tidak anggun dan luwes, posturnya pun agak pendek dan selera berpakaiannya aneh. Tapi ia mampu membuat Will tertawa, membuat Will lebih banyak bicara, dan merasakan sedikit kebahagiaan. 

Will sendiri sebenarnya seorang yang sangat baik. Ia menumbuhkan semangat Lou untuk memperbaiki kehidupannya. Ia mendorong Lou kuliah lagi, memperluas cakrawala, melampaui kota kecil mereka. Ia menyadarkan Lou kalau dirinya berbakat, cerdas, dan punya potensi. Bahkan, dalam keterbatasannya, ia membawa Lou keluar dari trauma karena pelecehan yang pernah dialaminya di labirin kastel.

Usaha Lou untuk mengubah keinginan Will semakin intens. Ia mencari tahu dan mempelajari semua permasalahan penderita quadriplegia untuk lebih memahami kebutuhan Will dan melakukan hal-hal yang bisa mengalihkan Will dari keinginan untuk mati. Sungguh bukan hal yang mudah karena Will tidak selalu berada dalam kondisi baik. Dan sementara waktu terus bergulir mengikis enam bulan yang ditetapkan, Lou mulai merasakan cinta kepada Will. Perasaan ini kian membuatnya bertekad membuat Will tetap hidup. 

Dari sudut pandang agama, mengakhiri hidup secara prematur adalah dosa. Seperti respons yang diterima Lou di chat room untuk orang-orang yang mengalami cedera tulang belakang:

... Bukan pada tempatnya memutuskan kapan kita dilahirkan dan kapan kita akan meninggalkan dunia ini; hanya Tuhan yang berhak. Tuhan memutuskan untuk mengubah kehidupan temanmu, dalam kasih kebijaksanaanNya, dan mungkin ada suatu pelajaran yang ingin disampaikan Tuhan kepadanya... (hlm. 359).

Tapi dengan keterbatasan, penderitaan, dan kesakitan yang dialami penderita quadriplegia -sehingga menghapus keinginan hidup mereka, eutanasia menjadi solusi terbaik. Sehingga, keinginan Will untuk mengakhiri hidupnya bisa dimengerti dan diterima. Seperti respons lain di chat room itu:

Apa hak orang-orang yang mampu dan berbadan sehat untuk memutuskan seperti apa seharusnya kehidupan kami? Seandainya ini bukan kehidupan yang tepat untuk temanmu, bukankah pertanyaanmu seharusnya: Bagaimana aku bisa membantu dia untuk mengakhirinya? (hlm. 361-362).

Atau ucapan Nathan kepada Lou mengenai Will:

Tapi aku ingin dia hidup kalau dia sendiri ingin hidup. Tapi kalau dia tidak ingin, maka dengan memaksa dia untuk terus menjalani hidupnya, berarti kau, aku -seberapa sayang pun kita padanya- berarti kita menjadi orang-orang brengsek lain yang merampas kebebasannya untuk menentukan pilihan." (hlm. 536)

Kesediaan Camilla membawa Will ke Dignitas bukannya mudah diputuskan. Agama menentang, demikian pula hatinya sebagai seorang ibu. Kariernya sebagai hakim pun sebenarnya terancam dengan persetujuannya ini. Lou sempat merasa syok, Georgina -adik perempuan Will- mengecamnya, begitu pula Josie, ibu Lou. Camilla bersedia membawa Will ke Dignitas setelah usaha bunuh diri yang dilakukan Will. Tapi dengan persetujuannya ini bukan berarti ia tidak berusaha mengubah keinginan putranya. Bahkan, keputusannya mempekerjakan Lou karena ia berharap dalam waktu enam bulan gadis ceria ini bisa mencegah Will menggunakan haknya untuk mati.

Dari sisi Lou, kita akan melihat usaha tak kenal lelah -yang tidak terpicu sekadar karena ingin menolong Camilla melainkan juga karena perasaan cinta yang perlahan muncul- untuk membuat Will kembali bersemangat menikmati kehidupan. Sungguh mengharukan membaca segala upaya yang dilakukannya bahkan sampai tahap persuasi yang bersifat intim. Tapi apakah segala upaya Lou mampu mengubah keputusan Will dalam waktu yang tersisa? Apakah cintanya akan membatalkan keinginan Will menggunakan haknya untuk mati? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang terus berkelebat sementara kita membaca novel Me Before You (Sebelum Mengenalmu) karya Jojo Moyes sampai kesimpulan diungkapkan.  

Apa yang dipilih oleh Jojo Moyes untuk menyimpulkan novelnya ini, saya kira merupakan keputusan yang tepat. Bagi saya, yang paling penting dalam keseluruhan novel ini bukanlah pada berhasil atau tidak Lou mengubah keinginan Will, melainkan pada pertemuan mereka. Karena, pertemuan dan juga interaksi di antara mereka, memberikan pengaruh yang sangat signifikan dalam kehidupan satu sama lain, membuat hidup mereka berbeda dengan saat sebelum saling mengenal. Terutama bagi Lou, pertemuannya dengan Will akan mengubah hidupnya selamanya. 

Secara keseluruhan, meskipun dengan jumlah halaman yang banyak, Me Before You tidaklah sulit ditamatkan. Hasil terjemahannya cukup bagus dan enak dibaca. Yang agak mengganggu justru adalah keputusan Moyes menambah-nambahkan narator orang pertama selain Lou dan kemunculan mereka yang tiba-tiba. Apalagi, apa yang disampaikan Camilla, Steven (ayah Will), Nathan, dan Katrina, sebenarnya bisa diungkapkan melalui penuturan Lou. Ada inkonsistensi mengenai informasi waktu saat Will mencoba bunuh diri. Saat Camilla menceritakan pada Georgina, Camilla menyebut terjadi bulan Desember (hlm. 177), tapi saat Camilla menjadi narator orang pertama ia mengatakan terjadi pada 22 Januari (hlm. 189).

Meskipun bermuatan kisah cinta, sepertinya tidak tepat menyebut Me Before You sebagai novel romansa. 



         Tentang Pengarang


JojoMoyes, pengarang Me Before You (2012) dilahirkan di London, Inggris, pada tahun 1969. Ia menjadi novelis penuh waktu pada 2002, ketika novel perdananya, Sheltering Rain, diterbitkan. Moyes adalah pemenang dua kali Romantic Novel of the Year Awad dari Romantic Novelists' Association yaitu untuk novelnya, Foreign Fruit (2002) pada 2004 dan The Last Letter From Your Lover (2010) pada 2011. Karya lain Moyes adalah The Peacock Emporium (2004), The Ship of Brides (2005), Silver Bay (2007), Night Music (2008), The Horse Dancer (2009), dan The Girl You Left Behind (2012).

28 June 2013

The Time Traveler's Wife


Baca Bareng BBI Juni 2013 kategori Romance

Judul Buku: The Time Traveler's Wife
Pengarang: Audrey Niffenegger
Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno
Tebal: 656 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Mei 2007
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama







Bisakah sebuah novel romansa disajikan secara rumit dan berbelit tapi tetap memikat? Audrey Niffenegger melakukannya dalam novel perdananya, The Time Traveler's Wife (Istri Sang Penjelajah Waktu) dengan memadukan kisah cinta dan fiksi ilmiah.

Henry DeTamble adalah sang penjelajah waktu. Ia tidak menggunakan sarana seperti mesin waktu, mesin antigravitasi, cermin antik, jam atau portal waktu. Juga tidak melakukan teleportasi maupun hipnosis. Henry adalah Chrono-Displaced Person (CDP) atau seorang yang mengalami cacat krono. Kondisi ini membuatnya secara mendadak bisa menghilang dan terlempar ke masa lalu atau masa depan secara acak. Tapi, kendati terlempar ke masa lalu, ia tidak bisa mengubah peristiwa yang telah terjadi. Beberapa kali ia kembali ke masa kecilnya, saat sebelum ibunya tewas dalam sebuah kecelakaan, tapi ia tetap tidak bisa mencegah peristiwa yang menghancurkan kehidupan ayahnya itu. 

Setiap kali menjelajah waktu, Henry akan menemukan dirinya dalam keadaan telanjang bulat. Dalam kondisi seperti itu, ia harus bisa berlari cepat untuk menyelamatkan diri dan terpaksa  mencuri untuk mendapatkan pakaian guna menutupi ketelanjangannya.

Ketika berada di luar sana, di dalam waktu, aku berubah menjadi versi putus asa diriku sendiri. Aku menjadi pencuri, gelandangan, hewan yang lari dan bersembunyi. Aku mengejutkan para perempuan tua dan memukau anak-anak. Aku tipuan, ilusi tingkat tinggi, begitu luar biasa sehingga aku benar-benar nyata. (hlm. 11)

Saat menghilang, tidak ada benda yang melekat di tubuhnya. Ia sama sekali tidak bisa membawa apa pun, termasuk istrinya, Clare Abshire -seorang seniwati patung kertas. 

Aku benci berada di tempat ia tak ada, di saat ia tak ada. Tetapi aku selalu pergi dan ia tak bisa menyusul. (hlm. 13)

Audrey Niffenegger memberi petunjuk waktu, baik yang berjalan secara kronologis maupun yang kacau balau karena Henry sedang berpindah waktu, setiap kali Henry dan Clare bergantian menjadi narator orang pertama. Karena itu, kita bisa mengetahui Henry (lahir 1963) dan Clare (lahir 1971) sedang berada pada waktu normal jika Henry berumur lebih tua 8 tahun dari Clare. Tapi itu pun tidak sepenuhnya tepat, lantaran Henry bisa terlempar ke waktu yang berdekatan dengan waktu normalnya atau saat ia berusia sama tapi pada bulan atau minggu berbeda.
 
Pertemuan pertama Henry dengan Clare terjadi ketika Henry berumur 28 tahun dan Claire 20 tahun (26 Oktober 1991) di tempatnya bekerja sebagai pustakawan, Perpustakaan Newberry, Chicago. Tapi Claire bertemu pertama kali dengan Henry saat Clare berusia 6 tahun dan Henry berumur 36 tahun, yang berarti dalam waktu Henry, mereka sudah menikah (23 September 1977). Dilihat dari sisi Clare, sebelum mereka bertemu di Perpustakaan Newberry, mereka telah bertemu sebanyak 152 kali di Padang Rumput di Michigan, di mana Henry muncul dalam berbagai versi umur. Henry bertemu dengan Clare untuk pertama kalinya pada waktu normalnya, sedangkan Clare pada waktu tidak normalnya (karena Henry sedang menjelajah waktu). Sebelum bertemu di Perpustakaan Newberry, Clare sudah tidak bertemu Henry selama dua tahun. Pertemuan Clare yang terakhir dengan Henry terjadi saat Clare berumur 18 tahun dan Henry 41 tahun. Henry berumur 28 tahun yang dijumpai Clare tidak mengetahui jika pada pertemuan terakhir itu mereka bercinta untuk pertama kalinya bertepatan dengan ulang tahun Clare. 

Henry yang berumur 28 tahun sama sekali tidak mengenal Clare. Tapi tentu saja Clare sangat mengenalnya. Ia tahu Henry menyandang cacat krono dan bisa menerima kondisi Henry sepenuhnya. 

Berat rasanya ditinggalkan. Aku menunggu Henry, tak tahu di mana ia berada, ingin tahu apakah ia baik-baik saja. Berat rasanya menjadi orang yang harus tinggal.  (hlm. 9)
 
Pertemuan di Perpustakaan Newberry berlanjut dengan pernikahan dua tahun kemudian (dalam waktu normal). Bukan hal yang mudah bagi Henry untuk menghadapi hari pernikahan. Ia harus menjalani sekitar delapan jam penuh tekanan hebat yang berpotensi membuatnya sekonyong-konyong menghilang. Dan memang, sebelum pemberkatan nikah, ia sempat menghilang beberapa kali. 
 
Meskipun Heny menyimpan kekhawatiran akan mempunyai anak yang mewarisi cacat krononya, setelah dua tahun pernikahan, anak menjadi tujuan hidup mereka. Tapi ternyata, Clare berkali-kali mengalami keguguran yang membuat Henry khawatir akan keselamatannya. Henry pun melakukan vasektomi. Lalu, mengapa dua tahun kemudian Clare melahirkan seorang anak perempuan? Siapa ayah Alba sebenarnya? 

Kisah kasih Henry dan Clare tidak berhenti di sini. Masih ada berbagai anomali yang terjadi karena penjelajahan waktu yang dilakukan Henry. Masih terdapat kisah-kisah lain di seputar kehidupan mereka, kisah para sahabat, mantan kekasih, dan keluarga yang disfungsional. Niffenegger mengindikasikan usaha untuk mencegah terjadinya retakan dalam rentangan kisahnya yang panjang, sehingga novel ini menjadi sangat komplit dan terkesan berlarat-larat. Membutuhkan kesabaran yang memadai untuk bisa menamatkan novel ini dengan baik. Ada saatnya selama membaca saya berniat menunda pembacaan tapi selalu ada juga dorongan untuk menuntaskannya. Begitu mencapai halaman terakhir, ternyata saya merasa puas dan menyukai novel ini. Secara keseluruhan, The Time Traveler's Wife  sungguh memikat, nakal, sangat imajinatif, dan tentu saja, orisinil. 
 
Setelah membaca novel ini, saya bersyukur penjelajahan waktu hanyalah sesuatu yang fiktif dan mustahil dilakukan. Karena semakin lama membaca saya semakin merasakan tekanan akibat penderitaan dan ketidakbahagiaan Henry dengan kemampuan menjelajah waktunya. Sekalipun lantaran kemampuan ini, akan menetas berbagai adegan yang menimbulkan kelucuan dan melahirkan senyum. 

Satu hal lagi, karena umur dan penunjuk waktu dalam novel ini sangat penting, kesalahan yang ada cukup mengganggu, Kesalahan dilakukan Niffenegger mengenai umur Henry ketika Clare bertemu untuk pertama kali dengannya. Seharusnya Henry berumur 36 tahun (hlm. 55), bukan 38 tahun (hlm. 183). Selain itu, ada kesalahan pada penunjuk waktu di halaman 530 (hanya di edisi Indonesia). Seharusnya 14 April 1990, bukan 1999. 

Yang tidak boleh dilupakan, The Time Traveler's Wife adalah novel yang ditujukan untuk pembaca dewasa, sebagaimana yang disematkan di sampul belakang novel. Meskipun tidak sevulgar dan segamblang novel-novel erotika yang bermunculan saat ini, ada adegan percintaan dan hal-hal nakal yang hanya cocok dikonsumsi orang dewasa. 

The Time Traveler's Wife yang telah memenangkan Exclusive Books Boeke Prize 2005 dan British Book Award for Popular Fiction 2006 telah diadaptasi ke dalam film berjudul sama oleh sutradara Robert Schwentke (2009). Eric Bana berperan sebagai Henry DeTamble dan Rachel McAdams sebagai Clare Abshire. 


Henry DeTamble (Eric Bana) dan Rachel McAdams (Clare Abshire)


            
Audrey Niffenegger dilahirkan pada 13 Juni 1963 di South Haven, Michigan. Ia adalah seorang pengarang, seniwati, dan akademisi. Sebagai pengarang, ia telah menerbitkan dua novel, The Time Traveler's Wife (2003) dan Her Fearful Symmetry (2009). Novel ketiganya yang sedang dalam penuntasan adalah The Chinchilla Girl in Exile. Ia juga menerbitkan novel grafis berjudul The Three Incestuous Sisters (2005), The Adventuress (2006), dan The Night Bookmobile (2008).



27 June 2013

Kaas


Baca Bareng BBI Juni 2013 kategori Sastra Eropa 

Judul Buku: Kaas
Pengarang: Willem Elsschot
Penerjemah: Jugiarie Soegiarto
Tebal: 176 hlm; 11 cm
Cetakan: 1, Mei 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




Secara keseluruhan, kecuali baunya, keju adalah produk terhormat, bukan? Keju telah dibuat selama berabad-abad, dan salah satu sumber kekayaaan orang Belanda, saudara serumpun kita. Keju makanan semua orang, tua-muda, besar-kecil. Sesuatu yang dimakan manusia akan, dengan sendirinya, memperoleh derajat tertentu. (hlm. 47-48).



Fransjes Laarmans ingin  mengubah hidupnya dengan mengejar mimpi keju. Bukan sebagai pemilik perusahaan keju, melainkan sebagai pedagang keju. Dari sampul berwarna kuning laksana keju Edam lengkap dengan lubang-lubangnya, kita akan menemukan karakter utama sekaligus narator orang pertama novel alit berjudul Kaas (Keju) karya Willem Elsschot. Frans sedang memegang dua piring bertatahkan keju seolah-olah hendak menawarkan dagangannya: keju Edam.

Sudah pasti Frans yang berusia hampir lima puluh tahun mengetahui perihal keju. Ia hidup di negara produsen dan konsumen dari produk yang dibuat dari susu itu. Ia adalah pemakan keju walaupun kurang suka pada aroma keju yang menusuk. Tapi sebelumnya ia tidak mempunyai bayangan untuk menceburkan diri dalam perdagangan keju. Albert Van Schoonbeke, bujangan kaya yang mengadakan acara di kediamannya setiap hari Rabu, yang membuatnya terpikat pada dunia keju. Angan-angan keju pun muncul dalam benaknya, memperoleh pendapatan yang lebih besar dari gajinya sebagai kerani di galangan kapal selama tiga puluh tahun.

Frans tidak salah jika ingin mengubah hidup dan meningkatkan status sosialnya. Sayangnya, ia tidak bisa mengukur kemampuan dirinya sendiri. Setelah kerempongan menjadikan rumahnya sebagai kantor dan memilih nama bagi usaha kejunya, ia berhadapan dengan kenyataan kalau keju Edam yang dijualnya tidak laku. 
Keju Edam

Keju berbentuk bundar dan berwarna kuning terang yang dibungkus parafin merah -agar keju tidak menjadi kering- itu adalah produk berkualitas. Tapi harga yang ditetapkan perusahaan keju Hornstra terlalu mahal. Menjadi semakin susah menjualnya karena Frans tidak memiliki pengalaman menjual dan sudah jelas tidak tahu caranya menjual keju. 

Di tengah-tengah cobaan keju yang dihadapinya, ia mendapatkan kabar kalau bos keju, Mijnheer Hornstra, akan menemuinya di Antwerpen. Hornstra hendak membuat perhitungan atas keju Edam yang telah ia kirimkan. Maka, Frans pun dilanda kepanikan. Apa yang harus dilakukannya?  Mampukah ia mengosongkan kelder tempat bola-bola keju Edam itu disimpan?

Sesungguhnya, Kaas (Keju) adalah sebuah novel yang sederhana sebagaimana diindikasikan oleh ketipisannya. Konflik utamanya hanya berpusat pada Frans Laarmans. Tapi dalam kesederhanaannya, Kaas mampu menohok pembacanya. Dengan sinis, Elsschot mengusik perilaku timpang manusia melalui karakter Frans. Frans tidak mampu menjual tapi secara impulsif menggeluti bisnis penjualan keju demi memperoleh pendapatan yang lebih besar. Untuk itu, ia berbohong di tempat kerjanya dan meminta abangnya -seorang dokter- membuat surat keterangan sakit baginya. Tak tanggung-tanggung, ia dinyatakan mengidap penyakit saraf demi mendapat cuti tiga bulan untuk berdagang keju (..penyakit saraf yang terbaik, karena aku masih bisa keluar rumah, tanpa terlihat ada yang berbeda pada penampilanku, hlm. 61). Kebohongan dan ketidakmampuan mengukur kapasitas diri sendiri sudah sangat cukup bagi Frans untuk membawa dirinya ke ujung tanduk. 

Setelah mengalami kegagalan dalam berdagang keju, Frans tidak berani menghadapi Hornstra dan bersikap pengecut. Mencoba lari dari tanggung jawab, ia pun menyalah-nyalahkan Von Schoonbeke. Tapi memang sejak memulai kisahnya, ia telah menuding Von Schoonbeke sebagai penyebab masalah besar yang dialaminya (hlm. 9). Untunglah, meskipun membawa-bawa nama Von Schoonbeke, ia menyadari kepengecutannya.


Aku percaya hal ini terjadi karena aku terlalu penurut. Ketika Von Schoonbeke bertanya apakah aku mau melakukannya, aku tak mampu menentangnya dan menolak keju-kejunya, yang seharusnya kulakukan. Karenanya kepengecutan itu harus kutebus. Cobaan keju ini patut kuterima (hlm. 142).

Tapi tetap saja, pengingkarannya terhadap kenyataan bahwa ia menjadi pedagang keju karena ingin menjadi sosok terpandang cukup menyebalkan. 

Begitu memutuskan menjadi pedagang keju, keluarganya - Fine, istrinya, dan kedua anaknya, Jan dan Ida- memberikan dukungan kepadanya. Karena itu, gemas rasanya saat Frans marah besar karena Ida lupa nama penelepon yang mengabarkan kedatangan keju Edam yang akan dijualnya. Untunglah, seiring perjalanan waktu, dalam tempo yang singkat, ia menyadari dukungan keluarganya dan kualitas yang dimiliki istri dan anak-anaknya. 

Meskipun berdurasi singkat, kita bisa menyari sebuah pesan indah dari novel ini. Bahwa, mensyukuri kehidupan adalah hal yang luar biasa. Mensyukuri kehidupan bisa menyelamatkan kita dari risiko-risiko tidak penting dalam hidup kita. Tentu saja hidup memang tidak pernah steril dari risiko, tapi jika kita berani menghadang risiko, kita harus punya modal untuk mengatasinya. 

Novel berseting tahun 1933 tapi mengusung ide yang tetap segar sampai saat ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan bantuan finansial dari Erasmus Huis dan Erasmus Dutch Languange Centre (Jakarta). Penerbitan novel ini dilakukan dalam rangka ulang tahun ke-40 Erasmus Huis (2010). Sebuah langkah untuk memperkenalkan sastra yang ditulis dalam bahasa Belanda kepada pembaca Indonesia. 

Willem Elsschot (1882-1960) yang bernama asli Alphonsus Josephus de Ridder adalah pengarang Belgia. Belgia adalah negara multilingual yang memiliki perbendaharaan karya sastra yang umumnya ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Belanda dan Prancis. Kaas (Keju) digolongkan ke dalam Flemish Literarure yaitu sastra berbahasa Belanda yang diterbitkan di Belgia (setelah Belgia merdeka dari Belanda pada tahun 1830). Elsschot memulai popularitasnya sebagai pengarang ketika bekerja di Rotterdam (ia pernah bekerja di Antwerpen, Brussels, Rotterdam, dan Paris) di mana ia menerbitkan karya perdananya, Villa des Roses (1913). Itulah sebabnya, meskipun pengarangnya berkebangsaan Belgia, penerbitan Kaas dalam bahasa Indonesia oleh Erasmus Huis dan Erasmus Dutch Language Centre, bisa diterima. 

Kaas adalah karya Willem Elsschot yang paling populer selain Lijmen (1924), Tsjip (1934) dan Het Been (1938). Pada tahun 2008, Kass dialihkan menjadi novel grafis oleh Dick Matena, kartunis dan komikus asal Belanda.
 


Willem Elsschot

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan