25 July 2014

The Probability of Miracles




Judul Buku: Promise
Diterjemahkan dari: The Probability of Miracles
Pengarang: Wendy Wunder (2011)
Penerjemah: Nur Cholis
Cetakan: 1, Maret 2014
Penerbit: teen@noura (Noura Books)






Campbell Maria Cooper (Cam) adalah seorang gadis remaja skeptis. Ia tidak percaya Tuhan, surga, Adam dan Hawa, dan semua aspek religiositas. Itulah sebabnya, ia menjadi manusia anti-harapan yang tidak memiliki pegangan setelah didiagnosis mengidap neuroblastoma.  Ketika kankernya bermetastasis dan dokter angkat tangan, sebenarnya -seperti yang dikatakan dokter- hanya keajaiban yang bisa menyelamatkannya. Sayangnya, sebagai remaja ateis, ia tidak percaya keajaiban itu ada. Yang tersisa baginya adalah sebuah daftar yang dibuatnya saat mengikuti perkemahan para gadis pengidap kanker. Daftar Flamingo, berisikan 11 hal yang ingin ia lakukan sebelum mati.

Alicia, ibunya, tidak bersikap pasrah dengan nasib putri sulungnya. Ia tidak akan membiarkan Cam mati, dan ia bertekad mencari keajaiban itu. Maka, Alicia membawa Cam dan Perry, adik tiri Cam yang juga perempuan meninggalkan Florida dan pergi ke Maine. Konon, di Maine, ada sebuah kota mistis bernama Promise yang memiliki kekuatan penyembuh. Tidak semua orang bisa mencapai Promise, dan hanya yang menemukan yang bisa merasakan keajaiban kota itu. Setidaknya, selama musim panas, Alicia memutuskan akan menetap di Promise.

Tidak mendapatkan hotel untuk menginap, Alicia menerima tawaran Asher, pemuda Promise yang bekerja di restoran bernama Pengepulan Lobster (Lobster Pound), untuk tinggal secara gratis di rumah kakeknya, Avalon By The Sea. Asher, sang pemuda tampan, sebenarnya menerima beasiswa untuk kuliah di luar Promise berkat prestasinya sebagai pemain sepak bola. Tapi Promise dan keajaibannya telah menahan langkahnya untuk pergi. Yang tertanam dalam benak Asher, keluar dari Promise berarti keberuntungannya akan berakhir. Kedua orangtuanya tewas dalam kecelakaan ketika meninggalkan Promise untuk berlibur ke Hawaii. Kakeknya yang berduka pergi dari Promise dan tidak pernah kembali lagi.

Meskipun sudah tertarik pada Cam sejak pertemuan pertama mereka -saat Cam masuk Pengepulan Lobster dan mengatakan hendak mengadopsi salah satu lobster, Asher tidak menunjukkan minat berlebih pada Cam. Ia memang sedang menjalin hubungan dengan perempuan yang jauh lebih tua dan matang daripadanya. Hubungan Cam dan Asher baru mulai berkembang menuju tahap serius setelah Lily, teman sesama pengidap kanker Cam yang tinggal di North Carolina, meninggal dunia. Keberadaan Asher di dekat Cam memberikan penghiburan bagi Cam. 

Pertanyaannya, benarkah Promise menyimpan keajaiban dan kekuatan penyembuh? Sebagai kota di tepi Samudra Atlantik yang dingin, Promise adalah sebuah tempat yang indah. Promise memiliki langit senja yang abadi (everlasting sunsets), perbukitan dengan dandelion berwarna ungu, dan pemandangan migrasi kawanan besar flamingo berwarna merah jambu yang cantik. Selain itu, di musim panas, pada bulan Juli, hujan salju turun di kota ini. Bukankah apa yang terjadi Promise ini merupakan keajaiban? Tentu saja. Kecuali, bagi Cam. Ia selalu berupaya mencari penjelasan logis bagi fenomena alam tersebut untuk menghindar ketimbang mengakuinya. Padahal, bagi Alicia dan Perry, keajaiban sesungguhnya memang sudah mulai terjadi semenjak mereka menjenguk ibu Alicia di Hoboken dalam perjalanan menuju Promise. Tweety -burung kenari piaraan Cam- hilang, tapi muncul lagi di Promise, tepat di rumah Asher.

The Probability of Miracles yang judulnya diubah Penerbit Noura Books (teen@noura) menjadi Promise adalah novel pertama Wendy Wunder. Ia mengutip kalimat dari Albert Einstein sebelum memulai kisahnya:

Hanya ada dua cara untuk menjalani hidupmu.
Yang pertama adalah seolah-olah tidak ada keajaiban.
Yang lainnya, seolah-olah segala sesuatu adalah keajaiban

Seperti dalam kutipan tersebut, novel ini memiliki dua jenis orang yaitu yang percaya dan yang tidak percaya adanya keajaiban. Tokoh utama novel, Cam, seperti yang sudah diuraikan sebelumnya, adalah orang jenis kedua. Dan sebagai orang yang tidak percaya adanya keajaiban, Cam bukanlah karakter yang menyenangkan dan dengan mudah dijadikan favorit. Selain keinginan agar Asher bisa meninggalkan Promise, nyaris semua isi benaknya tidak mengundang simpati. Belum lagi kekeraskepalaan dan kekurangjarannya yang bikin antipati. Bayangkan saja, ketika dipergoki seorang pastor hendak mencuri daun mapel ajaib di sebuah gereja di Hoboken, remaja bedebah ini memaki sang pastor dengan kata-kata: "Dasar bangsat! (You asshole!)" (hlm. 127). Penyebabnya hanya gara-gara pada saat yang sama ia menyadari Perry tidak bisa diandalkan menjaga Tweety.

Pada akhirnya, Promise tetap akan menjadi kota yang penuh keajaiban, tapi bukan untuk Cam. Satu-satunya harapan yang mekar dalam jiwanya yang bobrok adalah yang terkait dengan keselamatan Asher. Apa yang diharapkan Alicia dan Perry dimentahkan begitu saja. Tujuan utama kedatangan ke Promise melenceng jauh. Bukan keajaiban yang ditemukan Cam di sana, melainkan cinta dan tentu saja, hubungan badan dengan Asher. Dua hal yang bisa ia temukan tanpa pergi ke Promise.

Setelah membaca edisi Indonesia terbitan teen@noura, saya berkesimpulan, akan lebih baik novel ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Pertama, tentu saja, karena tidak ada hal baik yang bisa dipetik dari tokoh utama novel ini. Sejak awal hingga akhir karakter Cam tidak mengalami perkembangan, tetap saja ia menjadi ateis. Wendy Wunder -yang kemungkinan besar seorang ateis juga- tampaknya kebingungan mengembangkan karakternya. Kedua, adegan seks dihadirkan begitu saja dalam novel konsumsi pembaca remaja sungguh berlebihan. Seharusnya, seks yang dilakukan Cam sudah bisa diantisipasi sejak Bab Satu mengingat hal pertama dalam Daftar Flamingo-nya berbunyi: Lose my virginity at a keg party (yang dengan konyol diterjemahkan menjadi: Berduaan dengan cowok keren pada sebuah pesta). Entah kenapa, elemen penyakit di sini mesti dikombinasikan dengan seks. Seolah-olah kematian tidak akan ada harganya sebelum memiliki pengalaman seks. Ketiga, penerjemah tampaknya kerepotan menerjemahkan novel ini. Kalimat-kalimat yang merangkai adegan seks instan dan adegan ciuman disunat dan menjadi cukup satu kalimat saja. Ketika Cam berhubungan badan dengan Alec, aksi Alec diubah menjadi kalimat: ... hingga akhirnya Alec yang mengambil keputusan dan melakukan semuanya (hlm. 192). Demikian pula saat Asher dan Cam berciuman, aksi Asher cukup menjadi: Kemudian, Asher menciumnya dan mereka berdua tenggelam di dalamnya (hlm. 329). Dialog di antara Asher dan Cam di halaman 345 pun sudah mengalami pemangkasan.   

Juli 2014: Sick-lite


24 July 2014

People Like Us


Judul Buku: People Like Us
Pengarang: Yosephine Monica
Tebal: 330 halaman: 19 cm
Cetakan: 1, Juni 2014
Penerbit: Penerbit Haru





"Kanker dan cinta punya kesamaan, tidakkah kau sadar?"
"Apa itu?"
"Jika mereka terlalu kuat, kau tak bisa menghancurkan mereka, tapi mereka bisa menghancurkanmu." (hlm. 257).





Amelia Collins atau Amy, gadis remaja 15 tahun, dikenal orang-orang karena dua hal. Pertama, ia senang menulis fiksi remaja yang tidak satu pun ditamatkan, tidak pernah dipublikasikan kecuali dimuat di blog. Kedua, ia menyukai anak lelaki sebaya bernama Benjamin Miller atau Ben. Ben, sang cinta pertama, dikenalnya saat berumur 12 tahun, sewaktu mengikuti kursus musik. Setelah Ben dan keluarganya meninggalkan Newton dan pindah ke Boston, Amy tidak pernah lagi melihatnya sampai saat Ben memasuki high school yang sama dengannya di Boston. Sayangnya, ketika bertemu, Ben tidak mengenali Amy.

Pada tahun kedua di high school, Amy didiagnosis mengidap kanker limfa. Ia pun meninggalkan sekolah, dan kelak hanya sempat datang saat menyaksikan pertandingan bisbol dan menghadiri pesta dansa sekolah. Teman-teman Amy yang mengetahui perasaan Amy pada Ben, memaksa Ben untuk menjenguknya di rumah sakit. Mereka ingin Ben menjalin pertemanan dengan Amy, meskipun terasa aneh bagi Ben untuk berteman dengan gadis yang pernah menjadi penguntitnya. Tapi, justru di sinilah tempat disemaikannya benih hubungan mereka.

Pada umur enam tahun (catat: enam tahun!), Ben telah bermimpi menjadi penulis. Ia telah mencoba menulis tapi terbentur pada sulitnya merangkai kalimat. Akhirnya, lantaran tidak mendapat dukungan keluarga, ia berhenti menulis dan mengaktifkan diri dalam klub sepak bola sekolah. Setelah membaca cerita-cerita yang dikarang Amy dan menjalin percakapan dengan gadis itu, keinginan Ben menjadi penulis terbit lagi. Berlawanan dengan keluarganya, Amy menyemangati impian Ben. Bahkan, dengan antuasias ia membantu Ben menulis. Ben yang susah payah menghadapi dunia, merasa tidak ada orang yang pernah mengerti dirinya, terlebih keluarganya, merasa menemukan orang yang dibutuhkannya.

People Like Us ditulis oleh pengarang belia, Yosephine Monica (kelahiran 1997), dan merupakan pemenang kompetisi menulis bertajuk 100 Days of Romance (tahun 2013) yang diadakan Penerbit Haru. Sebagaimana termaktub dalam tajuk kompetisi ini, People Like Us adalah sebuah novel roman yang dalam hal ini melibatkan dua tokoh utama yang masih sangat belia. Tapi, kendati kedua tokoh utama masih berusia 15 tahun, kisah di dalam novel ini tidak terpuruk menjadi kisah remaja yang dangkal. Romansa di antara Amy dan Ben yang tidak segampang membalikkan telapak tangan dijalin bersama impian mereka dan khususnya Ben, hubungan personalnya dengan anggota keluarganya.

Sesungguhnya, meskipun berbakat menulis yang ia sebut sebagai terapi baginya, Amy adalah penulis minder. Ia tidak berani mencoba mempublikasikan karyanya, dan dengan alasan klise, tidak pernah menamatkan cerita-ceritanya. Sedangkan Ben, kendati bermimpi menjadi penulis, belum cukup punya kemampuan menulis dan tidak memiliki kesempatan untuk mengasahnya. Pertemuan mereka menjadi indah karena Ben bisa belajar menulis pada Amy dan sebaliknya, Amy mendapatkan pasangan yang akan menyempurnakan ceritanya. Cinta hanya menjadi bonus, yang bahkan tidak bisa dinikmati Amy sepenuhnya.

Berteman dengan Amy tidak hanya membuat Ben mendapatkan kesempatan mengasah kemampuan menulisnya. Tapi juga memberi energi positif yang membuat Ben bisa menghadapi tantangan untuk bisa dimengerti sekaligus mengerti keluarganya. Dan yang lebih penting dari itu adalah memberi kesempatan bagi Ben untuk meraih masa depannya.

Pada akhirnya kisah remaja yang klise berkembang menjadi kisah yang berbobot dan enak dibaca. Hal ini semakin menarik karena didukung oleh kemampuan Yosephine merangkai kalimat yang kerap membuat kagum saat membacanya. Caranya membuka kisah dalam setiap bab yang seolah-olah menampilkan narator di luar cerita mengesankan kalau sebenarnya kita sedang mendengar cerita yang disampaikan narator tersebut dan bukan membacanya. Setelah awalnya terasa mengganggu, lambat laun kita akan menjadi terbiasa dan menikmatinya.

Sejatinya, kisah di dalam novel ini bisa terjadi di lokasi lain mana pun, bukan hanya di Boston atau Newton saja. Tidak ada elemen di dalam novel ini yang tidak bisa dilepaskan dari seting Amerika yang dipinjam Yosephine. Dan di sinilah anehnya novel ini. Mengapa harus menggunakan Amerika sebagai seting? Apakah Indonesia tidak memadai? Apa pun dalih pengarang, keputusan memakai Amerika sebagai seting tidak lebih dari kelatahan mengikuti apa yang sudah dilakukan pengarang-pengarang novel roman lainnya di Indonesia belakangan ini. Menggunakan seting luar negeri, sekalipun mereka belum pernah menginjak tempat itu. Dan apa pun dalih para pengarang (dan bukan pengarang) yang percaya bahwa seting lokasi bisa diciptakan dengan cara riset (misalnya menggunakan internet), saya belum pernah merasa puas dengan novel-novel dengan seting luar negeri semacam ini. 


24 Juli 2014: Remaja/Keluarga



07 July 2014

The Fall of Five



Judul Buku: The Fall of Five
Pengarang; Pittacus Lore
Penerjemah: Nur Aini
Tebal: 452 halaman
Cetakan: 1, Februari 2014
Penerbit: Mizan Fantasi





Setelah pertarungan melawan Mogadorian dengan pemimpinnya, Setrákus Ra, di New Mexico, para Garde berkumpul di apartemen mewah Nomor Sembilan di John Hancock Center, Chicago. Di sana mereka berlatih untuk menghadapi pertarungan selanjutnya. Hal pertama yang akan mereka lakukan adalah mengumpulkan kekuatan, dan itu berarti menemukan Nomor Lima, Garde yang belum mereka kenal.

Mereka menemukan Nomor Lima di Fouke, Arkansas. Nomor Lima ternyata bukanlah seorang gadis seperti yang disangka Marina (Nomor Tujuh) atau Henri (Cêpan Nomor Empat). Nomor Lima adalah seorang pemuda bertubuh gempal yang memiliki Pusaka bisa terbang dan meniru sifat dari benda apa pun yang dipegangnya (Externa). Ia tidak menyenangkan dan mudah tersulut emosinya dengan keblakblakan Nomor Sembilan yang berengsek.

Sementara para Garde berlatih, Ella belum bisa melepaskan diri dari mimpi-mimpi buruknya yang mendatanginya sesudah pertarungan di New Mexico. Ia mendapatkan visi apa yang akan terjadi di masa depan, hal yang menimbulkan ketakutan dalam dirinya. Sewaktu bertarung dengan Setrákus Ra, John menduga Ella mendapatkan Pusaka baru. Ella mampu menyakiti Setrákus dengan potongan besi yang dilemparkannya pada pemimpin Mogadorian tersebut dan mengaktifkan kembali Pusaka para Garde. Tapi, sebuah keanehan terjadi. Ketika suatu kali Ella mencengkeram pergelangan tangan John, pemuda itu terpuruk ke dalam ketidaksadaran. Itulah yang menyebabkan John tidak bisa ikut ke Everglades untuk mengambil peti Loric Nomor Lima. Untunglah selain Sarah, ada Sam dan ayahnya, Malcolm Goode, yang bisa mengawasi Ella dan John sementara para Garde yang lain pergi.

Sebelumnya, Sam dan Malcolm telah bebas dari tawanan Setrákus Ra. Bukan Garde yang membebaskan Sam dan Malcolm. Adamus Sutekh, putra seorang jenderal Mogadorian, yang datang membebaskan Malcolm. Setelah itu, keduanya pergi membebaskan Sam. Sayangnya, Sam dan Malcolm terpisah dari Adam. Saat pergi ke Arkansas begitu menemukan pesan daring Nomor Lima, Sam dan Malcolm bertemu dengan para Garde yang datang mencari Nomor Lima.

Sesudah Jobie Hughes hengkang dari proyek penulisan seri The Lorien Legacies ada keraguan dalam benak saya pada kelanjutan kisah para Garde. Bisakah penerusnya melanjutkan kisah yang diawali Hughes, tidak menyebabkan inkonsistensi, dan mampu menghasilkan kisah yang menumbuhkan kepenasaranan pembaca? The Fall of Five menjadi salah satu bukti kalau penerusnya berhasil. Kisah para Garde berlanjut, tidak ada inkonsistensi karakterisasi, dan kita semakin terdorong untuk mengikuti perjuangan mereka. Apakah para Garde bisa menaklukkan keangkaramurkaan Setrákus Ra dan membangkitkan kembali Lorien? The Fall of Five memang belum memberikan jawaban. Tapi ada optimisme akan kebangkitan kembali Lorien dengan terasahnya kemampuan para Garde dan keberadaan peti Loric mereka yang menyimpan Batu Phoenix yang diambil dari jantung Lorien. "Saat dikembalikan ke planet kalian, benda itu akan memacu ekosistem. Aku yakin saat ini kalian masing-masing memiliki peralatan yang dapat menghidupkan kembali planet kalian," kata Malcolm (hlm. 199). Pengungkapan Malcolm mengenai misteri peti Loric milik para Garde melahirkan gagasan untuk mengambil peti Loric Nomor Lima di Everglades, Florida. Gagasan yang berakhir menjadi salah satu petaka  dalam sejarah perjuangan para Garde. 

Sejak awal, kita sudah disuguhi ketegangan, yang sedikit demi sedikit mengalami ekskalasi hingga mencapai kulminasinya di penghujung novel ini. Mengapa para Mogadorian seakan-akan tidak mengalami kesukaran untuk menemukan para Garde dan menciptakan ketegangan? Ada pengkhianat, itulah sebabnya. Salah satu dari Garde berkhianat, dan pengkhianatannya akan membuat satu Garde yang lain menemui ajalnya. Setelah berada di Bumi, ternyata, tidak semua Garde memiliki optimisme akan perjuangan dan kebangkitan kembali Lorien. Pengungkapan yang dramatis, yang mungkin sebelumnya, tidak pernah terpikirkan.

Untuk pertama kalinya, Adamus Sutekh atau Adam, diperkenalkan dalam seri The Lorien Legacies (bukan The Lost Files). Kemunculannya menimbulkan paranoia dalam diri para Garde, tapi Adam mempunyai alasan sendiri memihak mereka. Seberapa besar peranannya dalam membantu para Garde, masih menjadi tanda tanya.

Bagian yang paling mencetus rasa penasaran mungkin terkait dengan Ella. Misteri yang menyelubungi kehidupannya memang telah diungkapkan, tapi belum sepenuhnya. Mengapa mimpi-mimpi buruk itu mengunjunginya? Mengapa ia sanggup menyakiti Setrakus Ra? Mengapa pula dengan mencengkeram pergelangan tangan ia mampu memingsankan John? Kita perlu bersabar menunggu pengungkapan seutuhnya misteri kehidupan Ella dalam novel berikutnya.

Menjawab pertanyaan yang timbul saat membaca novel-novel The Lorien Legacies sebelumnya mengenai penampilan Mogadorian, melalui Malcolm Goode diungkapkan ada 2 jenis Mogadorian: Mogadorian-biakan (vatborn) dan Mogadorian-sejati (Trueborn). Mogadorian-biakan dibentuk melalui teknik rekayasa genetika, dikembangbiakkan hanya untuk membunuh, mudah dibedakan dari manusia karena buruk rupa, dan merupakan jenis prajurit Mogadorian yang bisa dibuang begitu saja. Mogadorian-sejati adalah mereka yang memegang kekuasaan dan berpenampilan seperti Adamus Sutekh.

Tetap saja ada yang mengganjal mengenai Pittacus Lore. Membaca Surat dari Tetua Lorien (buku pertama, I am Number Four) kita mendapat informasi tetua terkuat Lorien ini masih hidup, dan dialah yang menyampaikan kisah para Garde dalam The Lorien Legacies. Ia pernah disebutkan sedang bersembunyi di Bumi untuk mempersiapkan pertempuran melawan Mogadorian. Tapi dalam novel ini terungkap jika Pittacus Lore sudah mati. Ia tiba di Bumi dan meminta pertolongan Malcolm dalam keadaan terluka. Kalau Pittacus Lore sudah mati, mengapa nama pengarang (Pittacus Lore) tidak diubah?

Ada romansa yang dimunculkan dan lebih terasa dibandingkan novel-novel sebelumnya. Kemunculan kembali Sarah mau tidak mau menciptakan kecanggungan dalam hubungan John dengan Nomor Enam. Bagaimanapun, John pernah mencium Nomor Enam dan tampaknya Nomor Enam menyukainya. Untunglah Sam muncul kembali juga sehingga John seakan-akan mendapatkan solusi bagi cinta segitiganya. Sam sangat menyukai Nomor Enam dan John mengarahkannya kepada Nomor Enam. Selain itu, ada hubungan manis yang berkembang di antara Marina (Nomor Tujuh) dan Nomor Delapan. Salah satu dari romansa tersebut akan berakhir menyedihkan.

Novel ini dilengkapi dengan The Lost Files. The Last Days of Lorien, The Search for Sam, dan The Forgotten Ones. Ketiganya merupakan prekuel yang menjadi pelengkap bagi kisah utama dalam The Lorien Legacies. Hanya saja, judul ketiga The Lost Files ini bisa dibilang menyesatkan karena tidak sesuai dengan isi ceritanya.

Menyusul The Fall of Five, kita akan mengikuti petualangan para Garde dalam sekuel berjudul The Revenge of Seven. Novel ini direncanakan akan terbit pada bulan Agustus 2014. 


02 July 2014

Jakarta 24 Jam


Judul Buku: Jakarta 24 Jam
Pengarang/Ilustrator: Putra Perdana/Wandy Ghan/Faizal Reza/Feddy F. Bayusegara
Editor: Donna Widjajanto
Tebal: 256 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama






Jakarta 24 Jam adalah sebuah kumpulan cerpen yang diracik oleh tiga pengarang. Mereka adalah Putra Perdana, Wandy Ghani, dan Faizal Reza. Sebagai pengarang cerpen, karya Putra Perdana antara lain bisa dibaca dalam antalogi Perkara Mengirim Senja dan Singgah. Sedangkan karya Faizal Reza, selain dalam kedua antologi tersebut, bisa juga dibaca dalam antologi Cerita Sahabat (bersama Alberthine Endah). Untuk menghiasi cerpen-cerpen yang ada, Feddy Fahdi Bayusegara menyumbangkan ilustrasi karyanya. Itulah sebabnya pada sampul buku, Jakarta 24 Jam dapat dibaca sebagai karya kolaborasi Putra Perdana, Wandy Ghani, Faizal Reza, dan Feddy Bayusegara.

Semua cerpen dalam buku ini memiliki benang merah yang sama, yaitu kafe (kedai kopi) bernama Jakarta 24 Jam yang terletak di Jalan Sabang, Jakarta. Di bagian Exordium (eksordium/pengantar/pendahuluan), kita mengetahui kalau sebelum menjadi kafe, Jakarta 24 Jam adalah toko bernama Tiga Doea milik pasangan Cina-Belanda. Seorang pemuda bertubuh kekar dan pejal, memakai anting dengan tato di lengan dan leher menjadi pemilik sekaligus (salah satu) barista Jakarta 24 Jam.

Setelah Exordium, kumpulan cerpen ini dipecah menjadi tiga bagian yang merupakan tiga penggal waktu dalam satu hari: 06.00 - 14.00, 14.00 - 22.00, dan 22.00 - 06.00. Pembagian ini dimaksudkan untuk menginformasikan kepada kita kalau seting waktu cerpen terjadi pada rentang waktu yang menjadi judul bagian itu. Bagian pertama (06.00 - 14.00) terdiri dari tujuh cerpen, bagian kedua (14.00 - 22.00) terdiri dari 6 cerpen, dan bagian ketiga (22.00 - 06.00) terdiri dari tujuh cerpen. Cerpen dalam bagian pertama -sebagai contoh- terjadi di antara jam 06.00 - 14.00. Ditambah dengan Exordium, berarti terdapat 21 cerpen dalam kumpulan cerpen ini. Semua cerpen yang judulnya hanya berupa satu kata ini diberi seting waktu masing-masing. Exordium, misalnya, berseting Minggu, 1 Oktober 10.03 WIB (jam menunjukkan kapan kisah dimulai). Sayangnya tidak ada informasi mengenai proses kreatif cerpen-cerpen itu. Kita tidak tahu cerpen mana yang ditulis oleh Putra Perdana, Wandy Gani, dan Faizal Reza. Apakah mereka menulisnya bergantian seperti yang dilakukan Djenar Maesa Ayu dan para pengarang laki-laki dalam 1 Perempuan 14 Laki-laki?

Bagian pertama dimulai dengan cerpen bertajuk Narkolepsi. Sebenarnya narkolepsi adalah penyakit kronis yang ditandai dengan serangan kantuk dan ingin tidur, tapi apa yang dialami narator orang pertama cerpen ini agaknya bersifat akut, disebabkan oleh sebuah kejadian. Pada suatu pagi,  ia terbangun di sebuah tempat parkir dekat Jalan Sabang, dan kehilangan ingatan mengenai peristiwa yang membuatnya berada di tempat itu. Cerpen kedua yang berjudul Ketiga berkisah tentang seorang gadis yang menyukai angka tiga, karena menganggap angka tiga sebagai angka keberuntungan. Tapi bukan perkara angka tiga yang kita temukan dalam kisah ini, melainkan dendam gadis yang kehilangan kekasihnya yang bertekad membunuh pembunuh kekasihnya. Alice, cerpen ketiga, jelas-jelas ditulis berdasarkan kisah Alice In Wonderland-nya Lewis Carroll. Gadis SMA dalam cerpen ini pergi ke Jalan Sabang untuk membeli kaset album Indra Lesmana, Mimpi dan Rumah Ketujuh, di toko kaset Duta Suara ( di dalamnya ada lagu Alice In Wonderland). Tapi, sebelum membeli kaset itu, perhatian gadis itu telah teralih dengan kemunculan seorang laki-laki bermantel warna burgundy. Ia pun mengikuti laki-laki itu  seperti Alice mengikuti kelinci putih.

Sting -yang dijadikan judul cerpen keempat- adalah nama musisi sekaligus bintang film. Ia membawakan lagu Englishman In New York yang didengar lalu dimainkan oleh saksofonis tanpa nama yang menjadi narator cerpen ini. Saat ngamen di depan Jakarta 24 Jam, tanpa diketahuinya, sebuah kejadian yang melibatkan dua polisi dan barista dari kafe itu yang akan menentukan nasibnya sedang berlangsung. Dua polisi yang terlibat pengejaran si barista -Rozi dan Tobeng- muncul dalam cerpen Laporan yang merupakan hasil penyidikan terhadap kejadian dalam cerpen Sting.

Alasan adalah cerpen berdurasi terpanjang dalam kumpulan cerpen ini. Terdiri dari lima bagian, yaitu Cinta, Rasa Takut, Nafsu, Neurosis, dan Ketamakan, dan dikisahkan oleh lima orang narator orang pertama. Narator pertama menjadi korban pembunuhan yang direncanakan oleh dua narator lainnya, narator kedua menjadi pembunuh karena keadaan, narator ketiga adalah pembunuh yang menjadi korban pembunuhan, narator keempat menemukan korban pembunuhan narator kedua, dan narator kelima adalah calon korban narator keempat. Berlayar, cerpen penutup bagian pertama, berisikan kenangan seorang perempuan terhadap mendiang laki-laki yang ia cintai. Kenangan itu muncul ketika ia berada di Jakarta 24 Jam dan melihat pasangan di meja sebelahnya.

Parkir -cerpen pertama dalam bagian kedua- dikisahkan oleh Fajar, seorang tukang parkir di Jalan Sabang. Ia memarkirkan mobil pengunjung Jakarta 24 Jam. Salah satu pengunjung adalah perempuan bernama Rima yang memikat hatinya. Mungkinkah ia bisa memiliki Rima mengingat dirinya hanya seorang tukang parkir? Cerpen kedua, Pintu, berkisah tentang Nala yang dipaksa pergi ke Jalan Sabang dan memasuki pintu dengan tanda silang kuning pada permukaannya. Setelah pintu terbuka dan ia masuk ke dalamnya, terungkap pula misteri yang meliputi kehidupannya. Rooney, cerpen berikutnya, berkisah tentang Andre dan Dira yang hendak menikmati kopi di Jakarta 24 Jam. Seperti dalam cerita karangan Andre, mereka melihat tukang gorengan bertampang mirip Sule dengan lengan bertato, memakai baju Manchester United bernomor punggung 10 milik Rooney dan celana army. Benarkah tukang gorengan itu teroris seperti dalam cerita Andre? Cerpen Peringatan berkisah tentang Tommy yang menerima surat kaleng dengan peringatan berbunyi: Kau akan mati besok. Segera Tommy merespons peringatan itu dengan mencari si tersangka pengirim surat kaleng. Apakah ia bisa menemukan dan membunuh pengirim surat kaleng itu, atau malah ia yang mati seperti peringatan itu?

Wira -karakter dalam cerpen Assist- adalah pemain sepak bola yang tidak pernah bisa membuat gol atas namanya sendiri kendati dikenal sebagai bintang lapangan. Dalam 43 laga di sebuah musim pertandingan,  ia membuat rekor 57 assist. Saat hendak pergi ke Kuala Lumpur untuk mengikuti babak final, ia menghilang. Ke mana ia pergi? Ternyata, tidak pernah bisa membuat gol bukanlah masalah terbesar dalam hidupnya. Sebuah artikel majalah menarik perhatian narator cerpen berjudul Pesan. "...Ada kalanya seseorang yang telah mati akan kembali, demi menyelesaikan apa-apa saja yang belum diselesaikannya selama hidup di dunia." (hlm. 186). Mungkinkah hal ini terjadi? Dalam rentang waktu tidak terlalu lama, pertanyaan ini akan terjawab melalui pengalamannya sendiri.

Cerpen pertama dalam bagian ketiga yang bertajuk Kembali merupakan sebuah sci-fi. Seorang laki-laki menggunakan mesin waktu (yang hanya bisa berjalan mundur) untuk pergi ke masa lalu, saat ia berjumpa untuk pertama kalinya dengan istrinya. Mereka bertemu di Jakarta 24 Jam, yang juga menjadi tempat tujuan narator cerpen Kencan. Dalam perjalanan menuju Jakarta 24 Jam menumpang bus TransJakarta (yang juga digunakan sebagai sarana transportasi beberapa karakter cerpen lainnya), pemuda yang hendak berkencan itu melakukan observasi terhadap aktivitas penumpang lain yang mencurigakan. Akankah ia terdorong untuk mencari tahu atau lebih memilih tidak mengingkari janji kencannya dengan calon pacar baru?

Hujan di tanah yang kering akan bersenyawa dengan tumbuhan, bebatuan, bakteri, atau spora dalam tanah, kemudian mengeluarkan aroma yang disebut petrichor (hlm. 215). Katanya, petrichor bisa memacu sisi melodramatik kita hingga di luar kendali. Itulah yang terjadi pada narator cerpen Petrichor yang memiliki rekam jejak yang bagus terkait urusan tepat waktu. Dalam kondisi di luar kendali, ia melawan terpaan hujan deras demi mempertahankan rekam jejaknya. Mindtrick, cerpen berikutnya, dikisahkan oleh narator yang menyukai permainan sulap. Permainan sulap yang idenya datang dari Rolet Rusia dilakukannya untuk mengetahui jati diri seseorang di kehidupan sebelumnya. Ia memainkannya bersama Naya di meja kafe Jakarta 24 Jam. Nah, siapakah dia dan Nala di kehidupan sebelumnya? 

Struktur Kimia Petrichor

Si saksofonis muncul kembali sebagai narator cerpen Adegan. Ia mendedahkan adegan yang terjadi di dalam Jakarta 24 Jam yang ia saksikan melalui jendela besar kafe itu. Tidak hanya menyaksikan, ia pun menciptakan cerita dan dialog yang terjadi di antara sepasang manusia yang sedang berada di dalam kafe. Jika si saksofonis mampu menciptakan cerita dan dialog dalam pikirannya, maka narator dalam cerpen Maria mampu menciptakan percakapan dengan Tuhan. Kepada Tuhan, ia menceritakan keadaan dirinya yang mudah jatuh cinta pada wanita yang sudah dimiliki orang lain.

Addendum, cerpen penutup kumpulan cerpen ini, sepertinya berseting waktu beberapa tahun setelah  kejadian di Exordium. Naratornya mengenang pertemuannya dengan seorang laki-laki, dua tahun setelah mereka bertemu untuk pertama kalinya di Jakarta 24 Jam. Adegan penutup cerpen ini mengejutkan sekaligus membingungkan. Mengejutkan karena adanya pengungkapan jati diri narator menjelang cerpen berakhir. Membingungkan karena menimbulkan pertanyaan-pertanyaan ini: apakah sosok asing yang menjumpai si narator adalah barista yang diperkenalkan di Exordium karena memiliki penampakan fisik yang sama? Bukankah kalau sosok asing itu si barista, si narator telah mengenalnya? 

Pencantuman seting waktu pada setiap cerpen sungguh hal yang mengundang tanya. Pertama, penempatan cerpen dalam ketiga bagian, tidak dibuat berurut. Seting waktu terkesan hanya sekadar pelengkap yang bisa diabaikan (dan memunculkan pertanyaan: mengapa mesti dicantumkan?). Kedua, bukannya tahun kejadian, yang dicantumkan di belakang hari dan tanggal justru jam setiap kejadian dalam cerpen dimulai. Padahal, bukankah hal itu tidak penting mengingat kumpulan cerpen ini telah dibagi dalam tiga penggal waktu? Tahun kejadian sangat penting untuk memperjelas jarak antara setiap kejadian, dari Exordium hingga Addendum.

Hal lain yang mengundang tanya adalah kembalinya si saksofonis menjadi narator dalam cerpen Adegan (bagian ketiga: Selasa, 26 April) setelah tertembak dalam cerpen Sting (bagian pertama: Rabu, 25 April). Apakah kejadian dalam Adegan terjadi beberapa tahun setelah kejadian dalam Sting? Mungkinkah si saksofonis tidak jadi mati? Tidak mau terlalu pusing, saya kembali ke judul setiap bagian. Saya lalu berpendapat kalau kejadian di bagian pertama bisa saja terjadi setelah kejadian di bagian kedua. Jadi, kesimpulan saya, kejadian dalam cerpen Adegan terjadi sebelum kejadian dalam cerpen Sting.

Tidak semua cerpen dalam kumpulan cerpen ini berhasil mengaduk emosi saya walaupun tema yang disampaikan cukup bervariasi. Jika diminta memilih cerpen yang mengesankan, tanpa banyak berpikir, saya akan menunjuk cerpen Alasan. Bukan karena merupakan cerpen berdurasi terpanjang dalam kumpulan cerpen ini, tapi karena mengandung intensitas kengerian yang membuat saya tidak berhenti membaca dan terus terkenang setelah saya menutup buku ini. 

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan