27 June 2014

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas



Judul Buku: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas 
Pengarang: Eka Kurniawan 
Editor: Mirna Yulistianti 
Tebal: 243 halaman 
Cetakan: 1, Mei 2014 
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




Ajo Kawir mengalami disfungsi ereksi, momok yang paling menakutkan bagi kaum pria. Burungnya tidak bisa ngaceng. Sudah berbagai cara ditempuh Ajo Kawir seperti masturbasi di depan foto artis seksi, mengoles dengan potongan cabai rawit, menyengat dengan lebah, membaca koleksi stensilan Iwan Angsa, bahkan memanfaatkan kemampuan pelacur. Tapi burungnya tetap tidak bisa bangun. 

Si Burung berpikir dirinya seekor burung kutub yang harus tidur lama di musim dingin yang menggigilkan. Ia memimpikan butir-butir salju yang turun perlahan, yang tak pernah dilihat oleh tuannya. (hlm. 1-2). 

Saking frustrasinya, Ajo Kawir hampir memotong burungnya. Untunglah tindakan nekat itu tidak jadi dilakukan karena dipergoki Si Tokek. BFF-nya inilah yang menyadarkan Ajo Kawir untuk tidak telalu mempermasalahkan burung kebluk itu. 

Suatu ketika, burungmu akan berdiri lagi. Percaya saja, Lagipula, kalau sekarang bisa berdiri, memangnya mau kamu pakai untuk siapa? (hlm. 41). 

Bagaimanapun, Si Tokek merasa bersalah kepada Ajo Kawir. Karena dialah burung Ajo lebih suka tidur ketimbang berkicau. Saat berusia awal belasan tahun, Si Tokek mengajak Ajo Kawir mengintip apa yang terjadi di rumah Rona Merah, perempuan yang menjadi sinting setelah kematian suaminya, Anton Klobot, seorang perampok. Meskipun sinting, tidak menghalangi dua polisi -Si Pemilik Luka dan Si Perokok Kretek- untuk memerkosa Rona Merah. Apesnya, mereka ketahuan sedang mengintip. Maka, sehabis memerkosa Rona Merah, kedua polisi cabul itu memaksa Ajo Kawir untuk memerkosa Rona Merah juga. Mungkin karena takut atau terkejut melihat selangkangan Rona Merah, burung Ajo Kawir pun terkulai malu.  ... sejak hari itu kemaluan Ajo Kawir tak pernah bisa berdiri. Tetap tak berdiri meskipun dua belas pelacur telanjang di depannya, dan segala hal telah dicoba untuk membangunkannya.  (hlm. 29-30). 

Bertahun-tahun setelah Si Tokek sukses menenangkan dirinya, Si Burung yang asyik terlelap menjadi masalah lagi. Bagaimanapun, Ajo Kawir laki-laki, sekalipun burungnya tidak bisa berkicau. Makanya, saat ia bertemu cewek petarung bernama Iteung, ia jatuh cinta. Ajo bisa memuaskan Iteung menggunakan jarinya, tapi tidak cukup bagi Iteung. Sesakti apa pun jari Ajo Kawir, Iteung tetap membutuhkan burung yang lincah. Tak pelak lagi, frustrasi menguasainya lagi, dan Ajo Kawir semakin nekat, kepengin menghajar orang. Apalagi setelah mereka menikah, Iteung hamil, padahal mereka tidak pernah bersetubuh. 

Apakah ceritanya berakhir di sini? Oh, tentu saja belum. Setelah Iteung ketahuan hamil karena laki-laki yang bukan dirinya, Ajo Kawir telah menjadi supir truk  antarkota, dari Jawa sampai Sumatra. Ajo telah berubah setelah ditempa oleh sebuah pengalaman hidup yang memisahkannya dengan Iteung. Ia lebih bisa memahami jalan sunyi yang dipilih burungnya.  "Apa kabarmu hari ini, Burung? Jika kau masih ingin tidur, tidurlah yang lelap. Aku tak akan menganggu tidurmu." (hlm. 127). 

Sebagai keneknya, Ajo Kawir memilih Mono Ompong, anak muda bertemperamen tinggi yang selalu penasaran dengan masa lalu bosnya. Mono Ompong memusuhi supir truk lain, Si Kumbang, yang berniat membokongnya.  Saat sesuatu terjadi pada Mono Ompong yang membuatnya istirahat sebagai kenek, posisinya digantikan oleh Jelita, perempuan aneh yang tiba-tiba -entah darimana datangnya- sudah berada dalam truk Ajo Kawir. 

Perempuan itu tak seperti namanya, sama sekali tak bisa dibilang jelita. Siapa pun yang memberi nama Jelita untuk perempuan ini, begitu Ajo Kawir selalu berpikir, pasti sedang membuat lelucon hebat. Perempun ini buruk. Ia tak perlu menggambarkan seperti apa mukanya, tapi menurut Ajo Kawir, perempuan ini buruk. Ia tak yakin perempuan ini berkata jujur. Lari dari suami? Apakah di atas muka bumi ini ada lelaki yang mau kawin dengan perempuan begini? (hlm. 212). 

Siapakah Jelita? Benarkah ia lari dari suaminya? Atau ia orang suruhan Paman Gembul yang juga merasa bersalah karena secara tidak langsung telah membuat Ajo Kawir impoten? Eka Kurniawan membiarkan identitas perempuan itu tak terjelaskan. Ajo Kawir memiliki dugaan sendiri (hlm. 240) tapi tetap tidak memberikan jawaban memuaskan mengenai siapa sebenarnya Jelita. Yang paling penting di sini, Jelita memegang peranan yang sangat signifikan dalam transformasi yang dialami Ajo Kawir. Itulah sebabnya, sebelum ditampilkan orangnya, Eka sudah mengisyaratkan keberadaannya sejak awal. 

Jadi, apakah burung Ajo Kawir akan bangun dari tidurnya yang panjang? Benarkah, seperti yang diyakini Paman Gembul dan Iteung, satu-satunya cara memulihkan Ajo Kawir adalah menemukan kedua polisi cabul yang memerkosa Rona Merah dan menghabisi mereka? Anda bisa menemukan sendiri jawabannya dengan membaca lengkap novel ketiga Eka Kurniawan ini. 

Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas bukanlah novel biasa. Setelah dibuka dengan rangkaian kalimat mengundang yang langsung menohok permasalahan inti, kita akan mengikuti kisah laki-laki impoten yang disampaikan secara blakblakan. Segala perkara mengenai burung  dan memek akan disampaikan apa adanya. Kata-kata seperti ngaceng, pelber (baru nempel langsung nyembur), dan lonte akan disampaikan dengan enteng dan tanpa basa-basi. Demikian pula adegan-adegan seks yang bermunculan memanaskan plot. Vulgar memang, sudah jelas dan tidak bisa disangkal, tapi jujur dan apa adanya. Mungkin, kevulgaran memang tidak bisa dilepaskan dari lingkup pergaulan para tokoh utama novel, karenanya apa yang dibeberkan dalam novel ini bisa dibilang lumrah. 

Bagi sementara pembaca, mungkin akan menganggap gaya berkisah Eka Kurniawan hal yang biasa. Cukup menikmati dan dan tertawa sepuasnya. Tapi mungkin, bagi pembaca tertentu, agak sulit untuk menerima, bahkan merasa jijik. Hal yang lumrah, selumrah kevulgaran novel ini. Saya sendiri merasa jijik -siapa yang tidak?- ketika membaca adegan Ajo Kawir sedang berak dan tainya ke mana-mana. 

Kosakata vulgar, problematika burung yang tidak bisa berkicau, dan kebrutalan yang menyertainya, dimunculkan Eka Kurniawan dalam plot maju-mundur yang bergerak agresif. Perpindahan adegan yang rapat dengan gampang bisa dipahami, memberikan kesan kita sedang mengikuti sebuah film dengan kejutan yang diungkapkan di sana-sini. Penggunaan kalimat-kalimat pendek tapi efektif memperkuat kesan ini. Eka Kurniawan memang tidak mengggunakan kalimat-kalimat panjang seperti dalam Cantik Itu Luka (2002) dan Lelaki Harimau (2004). 

Kebiasaan Eka menggunakan karakter dengan nama-nama yang unik dan sering merupakan julukan ditunjukkan juga di sini. Ajo Kawir, Si Tokek, Iwan Angsa (ayah Si Tokek), Iteung, Jelita, Mono Ompong, Si Kumbang, Si Macan (mantan penjahat), Paman Gembul (yang meminta Ajo Kawir untuk membunuh Si Macan), Rona Merah, Agus Klobot, Budi Baik (sesama petarung yang mencintai Iteung), Si Janda Muda, Perokok Kretek, dan Pemilik Luka adalah nama-nama yang imajinatif. Setiap nama menjadi tidak terlupakan karena punya peran masing-masing. Setiap nama dipertimbangkan dengan baik kemunculannya,dan khususnya nama-nama yang tidak berperan utama, memberikan kontribusi pada tindakan, pemikiran, dan transformasi dalam hidup para karakter utama. 

Judul novel yang panjang dengan mudah akan melekat di lidah dan ingatan. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas sesungguhnya melukiskan problematika yang dialami Ajo Kawir sebagai laki-laki impoten yang menginginkan kemaluannya bisa ereksi lagi (dan digunakan juga, tentu saja). Itulah sebabnya, sampul novel yang dirancang Eka Kurniawan sendiri, termasuk ilustrasinya, sebenarnya termaktub pada truk Ajo Kawir. Gambar seekor burung yang sedang tertidur pulas, nyaris seperti burung mati, dan di atasnya ada tulisan "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas".


23 June 2014

Galila


 
Judul Buku: Galila
Pengarang: Jessica Huwae
Editor: Rosi L. Simamora
Tebal: 336 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Maret 2014
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

  


Bukankah begitu seharusnya cinta? Membebaskan. Berdiri bersama, berpegangan tangan dan menguatkan, bahkan saat hidup seakan tidak mungkin untuk dijalani sekalipun, Cinta mungkin tidak bisa melupakan, namun dia memaafkan (hlm. 256).




Dalam kumpulan cerpen perdananya, Skenario Remang-Remang (2013) terdapat sebuah cerpen tentang seorang gadis kecil yang menjadi anak pertama di kampungnya yang tidak memiliki nama belakang (marga). Cerpen itu berjudul Galila, dan ternyata merupakan salah satu bab dari novel kedua Jessica Huwae yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama yang diberi judul Galila juga.

Galila - sang perempuan tanpa nama belakang- sudah bukan gadis kecil lagi yang memimpikan Jakarta sebagai kota harapan. Saat kisah dalam novel ini dimulai, ia telah menaklukkan ibu kota dan menjadi diva tersohor negeri ini.  Tidak banyak sesumbar mengenai dirinya, Galila dikenal sebagai bintang cantik eksotis asal Saparua, Maluku, yang namanya melejit setelah  menang dalam kontes bakat Indonesia Mencari Diva.

Setelah beberapa kali jatuh cinta dan ditinggalkan laki-laki, Galila bertahan dengan status lajangnya. Ada laki-laki yang mencoba mendekatinya, tapi Galila tidak tertarik. Cinta baru menghuni kembali hatinya setelah ia bertemu Edward Silitonga atau lebih dikenal sebagai Eddie (nama ini  otomatis akan mengingatkan pada salah satu penyanyi top Indonesia di masa lalu). Sepulangnya dari Amerika setelah menuntaskan kuliah, Eddie langsung mendapatkan tanggung jawab menjadi direktur perusahaan keluarganya. Saat syukuran pembukaan cabang baru perusahaannya, Galila diundang menyanyi untuk meramaikan acara tersebut. Di sanalah mereka bertemu, dan memulai hubungan secara diam-diam, tanpa sepengetahuan keluarga Eddie.

Bagi Eddie, cinta bukanlah sesuatu yang rumit. Tapi tentu saja, sebelum Hana, ibunya, mengetahui kalau dirinya berhubungan dengan Galila. Bagi Hana, pasangan tepat bagi Eddie haruslah perempuan yang memiliki iman yang sama, berasal dari suku yang sama yaitu Batak, dan harus memiliki marga (marga Batak, sudah pasti). Galila tidak memenuhi kriteria baginya untuk dijadikan menantu. Hana sudah memiliki kandidat yang dipandangnya sesuai dan sederajat dengan anak laki-laki semata wayangnya. Tanpa memedulikan kebahagiaan Eddie, yang sejak kecil hidupnya sudah diarahkan untuk kepentingan keluarga.

Kebahagiaan itu bukan sesuatu yang statis. Dia harus dicari dan ditemukan terus-menerus. Diusahakan. Diperjuangkan. Komitmen, kata Eddie pada Galila (hlm. 161). Aku cuma mau bilang bahwa kamu adalah sebentuk kebahagiaan yang selama ini aku cari dan akan terus aku perjuangkan. Kebahagiaan kita adalah cita-cita (hlm. 162).

Tapi, dengan sikap Hana yang otoriter, cita-cita itu amat tidak mudah diwujudkan. Eddie harus berjuang keras untuk memiliki Galila. Hingga sebuah realita kejam menghantam hubungan mereka, saat masa lalu kelam Galila, yang sudah dikuburnya, bangkit dan menebarkan tulah ke dalam hubungan mereka. Apakah Eddie akan terus bertahan untuk berjuang memenangkan perempuan yang dicintainya, atau ia malah bertekuk lutut pada kehendak ibunya yang tanpa ampun?

Sebagai pengarang yang memuja cinta -novel pertamanya pun tentang cinta, pada novel ini, Jessica Huwae, masih menawarkan problematika cinta kepada pembacanya. Cinta yang dimunculkannya, dibenturkannya dengan permasalahan yang tak lekang oleh perkembangan zaman: adat -atau sukuisme- dan perjodohan. Semodern apa pun zaman, bibit-bebet-bobot masih dijadikan kriteria penting bagi sementara orang untuk menuju ke pelaminan.

Omong kosong. Apa benar bibit saja cukup untuk menentukan masa depan seseorang? Ada begitu banyak hal yang menyerbu bibit ketika dia baru selesai disemai. Ada yang jatuh di tanah berbatu-batu, yang tumbuh sejenak lantas layu karena tidak berakar. Ada yang jatuh di semak duri yang terus membesar dan mengimpitnya sampai mati - namun ada juga yang jatuh di tanah yang baik dan menghasilkan buah sampai berpuluh-puluh kali lipat. Demikian pun dengan hidup manusia. Manusia tidak pergi sebagaimana ketika dia datang, karena ada begitu banyak hal yang terjadi dalam perjalanan. Yang terdepan menjadi yang terbelakang, yang terdahulu menjadi yang terkemudian. Begitulah cara hidup memelihara dan memberimu kejutan (hlm. 144-145).

Kriteria bibit-bebet-bobot yang dipegang teguh Hanna memang bukan sekadar dalih baginya untuk memisahkan Eddie dan  Galila. Berasal dari suku Batak, menikahi laki-laki Batak, tidak bercerai dalam rentang pernikahan mereka, memberikannya teori bahwa apa yang ia alami dan imani merupakan solusi tokcer bagi masa depan anak laki-lakinya. Tanpa mau menyadari Eddie bukan anak-anak lagi, sudah bisa menentukan siapa yang tepat dijadikan pasangan hidup, dan tidak selalu ingin hidupnya berjalan menurut kuasa orang lain.

Hana tahu bahwa dia harus mengambil tindakan. Eddie tidak boleh dibiarkan sewenang-wenang memutuskan hidupnya sendiri. Dia tidak berani membayangkan anak laki-laki kesayangannya itu terjebak dalam pilihan salah yang harus dijalaninya seumur hidup. Dulu opung-nya selalu berpesan, "Bila salah potong rambut, menyesal hanya sebulan. Bila kau salah makan, perutmu hanya sakit satu atau dua jam. Tapi bila kau salah pilih jodoh, seumur hidup kau tinggal dalam duka dan penyesalan." (hlm. 111-112).

Untuk memperkompleks percintaan Galila dan Eddie, Jessica memberikan Galila sebuah masa lalu kelam. Masa lalu itu menimbulkan pertanyaan: apakah perempuan dengan masa lalu kelam tidak berhak dengan masa depan penuh kebahagiaan? Eddie-lah yang mesti menjawab pertanyaan ini. Seperti apa jawaban Eddie, akan kita temukan sebelum novel ini kita tamatkan.

Membaca Galila merupakan pengalaman baca yang menyenangkan. Selain konflik yang masih cukup menggelitik yang diletakkannya dalam plot yang tidak cuma linier sehingga menumbuhkan kepenasaranan, Jessica menyajikan kisahnya dengan indah. Rangkaian kalimat bernas dimunculkan dengan memanfaatkan diksi yang tepat. Banyak kalimat yang tetap impresif meskipun dibaca beberapa kali. Dialog dan narasi atau deskripsi yang dibuatnya cukup berimbang, tidak ada yang kebanyakan sehingga menjadi mubazir. Dibandingkan dengan novel pendahulunya, Soulmate.com (2006), Galila jauh lebih menarik, baik dari konflik, karakterisasi, maupun penyajiannya.

Jessica sangat mengenal tanah leluhur ayahnya yang dipinjam menjadi tempat asal Galila. Kondisi kehidupan di Saparua dengan kemiskinan dan kesusahan hidup karena tidak adanya pemerataan pembangunan. Mata pencaharian sebagai nelayan yang tidak pernah memakmurkan penduduknya. Dan tidak terlupakan adalah kerusuhan antaragama yang sempat memorakporandakan semua sendi kehidupan masyarakat. Tapi Jessica juga akrab dengan kultur Batak, suku ibunya, yang dijadikan asal-muasal Eddie. Sehingga hasilnya, konflik kesukuan yang ditampilkannya tidak meragukan.

Ada satu karakter yang terus melekat dalam ingatan saya. Ia tidak tampil dominan tapi ia mengingatkan saya pada karakter tidak menyenangkan dalam novel Carrie karya Stephen King. Siapa lagi kalau bukan Greta -ibu Galila- yang memutuskan anak perempuannya tidak membutuhkan nama belakang ayahnya. Religiositasnya yang banal membuat Greta memiliki kesamaan dengan Margaret White -ibu Carrie- yang menjadi sumber masalah dalam hidup Carrie.

Akhirnya -meskipun novel ini masih belum steril dari typo- hanya satu kata yang mencerminkan hasil pembacaan novel ini: memuaskan!

20 June 2014

Surat Untuk Ruth





Judul Buku: Surat Untuk Ruth
Pengarang: Bernard Batubara
Editor: Siska Yuanita
Tebal: 168 halaman; 20 cm
Cetakan: 1, April 2014
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama





Tidak ada korelasi  positif antara durasi sebuah pertemuan dengan mudah-tidaknya melupakan atau meninggalkan kenangan dan ingatan yang tersisa ketika pertemuan tersebut berakhir. Dua orang yang memiliki hubungan selama bertahun-tahun bisa dengan mudah melupakan kenangan hanya dalam waktu satu-dua minggu. Sebaliknya, sepasang manusia yang baru menjalani hubuangan selama dua-tiga bulan, bisa saja memiliki kenangan dan perasaan yang begitu dalam, sehingga melupakan hubungan tersebut adalah mustahil (hlm. 138-139).


Mereka berkenalan di dek kapal feri yang menyeberangi Selat Bali, dari Banyuwangi ke Jembrana. Saat itu Are sedang memotret senja dari pinggir dek kapal, dan melihat Ruth yang hendak melukis senja dalam kanvas (tapi kemudian tidak jadi). Are pergi ke Bali setelah dicampakkan kekasihnya dan menghabiskan cuti untuk urusan komunitas fotografi di Bali. Sedangkan Ruth, perempuan tanpa kekasih setelah putus dengan laki-laki yang menjalin hubungan dengannya selama tiga tahun, pergi ke Bali untuk liburan dengan ibunya.

Momen perkenalan itu tidak menjadi pertemuan terakhir mereka. Are dan Ruth bertemu kembali di sebuah kedai kopi di sudut Legian di mana Ruth diperkenalkan Are dengan Bli Nugraha -temannya dalam komunitas fotografi (LANSKAP) di Bali. Selanjutnya mereka menghabiskan waktu di Kopi Kultur di Sunset Road dan Ruth berkenalan dengan teman Are yang lain dalam LANSKAP, Ayudita. Bli Nugraha dan Ayudita saling jatuh cinta tapi tidak bisa melanjutkan hubungan karena dijurangi perbedaan kasta.  Pertemuan Are dan Ruth di Bali berakhir dengan kunjungan ke Pantai Suluban yang dikenal orang dengan nama Blue Point.

Saat diminta bosnya di kantor untuk pergi ke Malang, Are mengajak Ruth bertemu lagi dan bersama-sama dengannya pergi ke kota apel itu. Di sanalah, Ruth menceritakan kepada Are mengenai hubungannya dengan Abimanyu, laki-laki yang lebih dahulu dari Are memasuki hidupnya. Ruth telah mengakhiri hubungan mereka, tapi  Abimanyu tidak. Sehingga Ruth masih bimbang memproklamasikan Abimanyu sebagai mantan kekasih. Meskipun begitu, Ruth mengiyakan ajakan Are untuk kembali ke Bali, bersama-sama.

Bali menjadi tempat digoreskannya sejarah perjalanan kita, sejarah cinta maupun luka. Keduanya memiliki titik awal di sana, di Bali (hlm. 11). Dalam keheningan Ubud, Ruth mengungkapkan kalau hubungan mereka tidak akan ke mana-mana. Walaupun Are mencintainya, Ruth tidak bisa meneruskan hubungan mereka. Walaupun Ruth akhirnya bisa mengungkapkan rasa sayangnya kepada Are, ia telah setuju untuk menikah dengan Abimanyu, laki-laki pilihan ibunya.

Aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa, Ruth. Kecuali, mungkin, diriku sendiri.

Mengapa? Karena, tentu saja, aku harus menyalahkan diriku sendiri yang tidak membuat persiapan apa pun untuk semua ini. Padahal, aku sudah mendapatkan firasat bahwa hal ini akan terjadi. Tapi, tentu saja aku akan jadi orang yang bodoh kalau belum apa-apa sudah menyiapkan diri untuk berpisah dengan orang yang kucintai. Lagi pula, siapa yang merasa siap dengan perpisahan? Jika ada seseorang yang berkata kepadamu bahwa dia siap untuk berpisah dengan orang yang dia cintai, maka aku akan berkata kepadanya bahwa aku adalah anak kandung presiden Amerika. (hlm. 109-110).

Surat Untuk Ruth -buku keenam Bernard Batubara- berangkat dari cerpen bertajuk Milana (judul aslinya adalah Senja di Jembrana) yang dimuat dalam kumpulan cerpen tunggal perdananya, Milana (Gramedia, 2013). Boleh dibilang, Surat Untuk Ruth adalah prekuel dari kisah dalam cerpen tersebut. Jadi bagi yang sudah pernah membaca cerpen Milana, otomatis sudah mengetahui apa yang terjadi di penghujung Surat Untuk Ruth. Kecuali, tentu saja kejutan yang diungkap Bernard tepat di halaman terakhir novel ini.

Lalu mengapa judulnya Surat Untuk Ruth bukannya Surat Untuk Milana? Milana bernama lengkap Ruthefia Milana dan Are yang bernama lengkap Areno Adamar lebih suka memanggilnya dengan nama Ruth dan bukan Milana. Saya pernah membaca di blog Bernard kalau novel yang ditulisnya ini malah ia beri judul Perempuan Victorinox. Perempuan Victorinox adalah julukan Are kepada Ruth meminjam nama pisau yang ia hadiahkan untuk gadis itu.

Tema utama novel ini adalah cinta dan patah hati. Bukanlah tema yang baru, sudah sangat generik, dan terkadang membosankan dibaca. Tapi di tangan Bernard, cinta dan patah hati menjadi indah lantaran ditulis dalam nuansa sastrawi. Kita bisa mendapatkan kalimat-kalimat yang diuntai dengan indah selama pembacaan. Memang Bernard menggunakan bahasa Indonesia baku tapi masih terasa luwes sehingga tetap enak dibaca.

Karakterisasi sepasang pencinta yang sukar mewujudkan cintanya dikemas dengan baik, hanya saja bukan mereka yang menarik perhatian saya. Bukan juga Bli Nugraha yang bisa memandang perpisahannya dengan Ayudita sebagai realita yang mesti diterima dengan lapang dada. Calon suami Ruth dan saingan Are mendapatkan Ruth yang membuat saya tertarik karena cintanya kepada Ruth yang tidak ada batasnya. Benarkah ia pantas disebut bebal?

"Menurutmu, kenapa ada orang yang bersikeras mencintai orang yang tidak mencintainya?"

Aku berpikir sejenak.

"Mungkin karena orang itu bebal saja. Untuk apa memberikan hati kepada orang yang tidak menginginkannya?" (hlm. 98).

Ada beberapa hal yang mengundang tanya selama pembacaan.

Pada halaman 21 Bernard menulis: Kamu, perempuan yang berhasil menggoyahkan keyakinanku sebelumnya bahwa cinta adalah mitos belaka. Jadi, sebenarnya yang menganggap cinta adalah mitos belaka itu Are. Tapi di halaman 27, malah Ruth yang mengatakan: Menurutku, cinta itu mitos.

Pada halaman 33 Bernard mengatakan: Bli Nugraha lebih senang memanggilku Damar dari Adamar, ketimbang Are dari Areno.  Berpindah ke halaman 67, Bli Nugraha menyapa Are: Halo, Are. Ini Nugra, pakai nomor lain. Lalu, pada halaman yang sama, anehnya, Nugra bertanya: Eh, Damar, kamu baik-baik saja, kan?

Perbedaan umur Abimanyu dan Ruth tidak konsisten. Pada halaman 72, melalui Are, Bernard mengungkapkan bahwa Abimanyu ... cuma setahun di bawah Ayudita, yang ternyata adalah stafnya. Ayudita itu dua puluh empat tahun. Jadi,  artinya Abimanyu berumur 23 tahun. Pada halaman 75, saat Are menanyakan umurnya, Ruth mengatakan ia berumur 23 tahun. Tapi pada halaman 123 ketika Ruth menceritakan tentang pertemuan pertamanya dengan Abimanyu di Bali, Abimanyu berumur 8 tahun dan Ruth 5 tahun (jadi mereka berselisih sekitar 3 tahun dan Abimanyu lebih tua dari Ruth). 

Surat Untuk Ruth ditulis menggunakan teknik epistolari. Bernard memakai surat untuk menggulirkan kisah cinta dan patah hati ini, surat-surat Are yang ditujukan pada Ruth. Karenanya, aneh rasanya membaca halaman 133-137 yang merupakan cerita Ayudita kepada Are mengenai pertemuannya dengan Ruth di  Surabaya. Apakah perlu Are menulis dalam suratnya kepada Ruth adegan pertemuan itu? 

Surat-surat Are yang  semula tidak mencantumkan tanggal,  pada dua bab terakhir mendadak sudah mencantumkan tanggal. Jadi, surat-surat sebelumnya itu kapan ditulisnya? Kapan juga Ruth menerima surat-surat Are pada sekitar satu minggu sebelum pernikahannya dengan Abimanyu? (keputusan Are mengirimkan surat/memoar yang ditulisnya kepada Ruth baru dikatakan Are dalam surat bertanggal 19 Oktober 2012). Awalnya, saya mengira, yang dikirimkan Are tidak termasuk dua bab terakhir, tapi membaca isi surat Ruth, ternyata Ruth membuat daftar juga, meniru yang dilakukan Are. Hal ini menunjukkan kalau Ruth menerima surat bertanggal 15, 17 dan 22 Oktober 2012. 

Menilik daftar yang disusun Ruth, isinya sebetulnya tidak konsisten dengan apa yang disampaikan Are. Nomor 22 dalam daftar itu bukankah seharusnya tidak disampaikan Ruth? Bukan Are, tapi Ruth-lah yang tidak ingin lagi bertemu.

Kemudian, yang paling aneh dan absurd adalah isi surat  bertanggal 26 Oktober 2012 yang merupakan bagian penutup novel ini. Mengapa cerita dalam surat itu masih ditulis sebagai surat Are? Tidakkah lebih masuk jika -misalnya- cerita dalam surat itu disampaikan menggunakan sudut pandang orang ketiga saja? Kesan yang saya tangkap, Bernard kebingungan menyelesaikan novelnya. 

Dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul selama pembacaan ini, Surat Untuk Ruth menjadi tidak cukup memuaskan bagi saya.

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan