17 June 2012

Akar Pule


Judul Buku: Akar Pule
Pengarang: Oka Rusmini
Tebal: 146 halaman
Cetakan: 1, April 2012
Penerbit: Grasindo


 


Penderitaan perempuan, khususnya perempuan Bali, adalah tema yang sering diangkat Oka Rusmini dalam karya fiksinya. Setelah mendedahkan sekian banyak penderitaan perempuan dalam novel Tempurung (2010) Oka Rusmini kembali lagi dengan tema kesukaannya dalam koleksi cerpen Akar Pule.

Laki-laki merupakan penyebab utama dari penderitaan perempuan. Oka Rusmini langsung menegaskan tesis ini dalam cerpen pembuka yang berjudul Tiga Perempuan. Tidak hanya menderita dalam kehidupan domestik lantaran tindakan ayah yang buruk, dua dari tiga perempuan dalam cerpen ini juga menderita dalam kehidupan rumah tangga mereka sendiri. Perempuan lainnya, saudari lain ibu, juga tidak terlepas dari penderitaan yang disebabkan suaminya. Bahkan perempuan ini mengalami nasib yang jauh lebih tragis.

Sipleg dalam cerpen yang menggunakan namanya sebagai judul tidak semenderita ketiga perempuan dalam Tiga Perempuan kendati ia berasal dari keluarga miskin. Sipleg dikawinkan dengan lelaki yang tidak ia cintai demi mendongkrak kehidupan keluarganya. Tapi perkawinan tidak memberikan jaminan kebahagiaan dan Sipleg malah terpuruk dalam kesengsaraan. Padahal Sipleh tidak ingin menjadi seperti ibunya, Nih Nyoman Songi, yang tidak pernah merasa bahagia dalam kehidupan perkawinannya yang sulit. 

Ibu dari perempuan dalam cerpen Sepotong Tubuh tidak pernah menangis ketika menyaksikan suaminya membawa sejumlah perempuan muda ke dalam rumah dan memelihara mereka. Bahkan ia pasrah saja dipandang oleh semua perempuan muda itu dengan tatapan mengejek. Ibu membiarkan dirinya sibuk membuat perlengkapan untuk upacara atau rangkaian sesaji untuk pura keluarga. Belajar dari pengalaman ibunya, perempuan setengah Baya yang masih perawan dalam cerpen ini tidak pernah berniat kawin. Jadilah dia seorang perawan suci, tempat para perempuan bernasib apes mengadukan hidup. Sebagai simbol perlawanannya pada kesewenang-wenangan kaum lelaki, perempuan itu meloncat dan menari di trotoar dalam keadaan telanjang.

 
"Inilah mungkin wujud sesungguhnya sebuah kesialan. Ketika Pandora membuka peti, seluruh kutukan yang paling mengerikan berlompatan, bergulingan, lalu melekat erat-erat di tubuh perempuan. Seperti uap, kadang baunya menyengat dan memusingkan orang-orang yang berada di sekitarnya. Bahkan membuat mual si pemilik tubuh. Kutukan itu menempel erat. Tak ada sepotong makhluk pun bisa mengupasnya. Semua itu harus dijalani seorang perempuan. Dengan tubuhnya yang indah dan bertaburan aroma, sering mengundang keringat lelaki meleleh," tulis Oka Rusmini dalam alinea pembuka cerpen Seorang Perempuan dan Pohonnya. Dan seolah-olah memang sebuah kesialan, perempuan dalam cerpen ini dituntut mencintai lelaki dan terikat dalam perkawinan sekalipun tidak percaya cinta itu ada. Setelah kawin, perempuan ini menemukan dirinya terjebak dan disesaki oleh keribetan domestik yang tidak ada habis-habisnya.

Dayu Cenana dalam cerpen Pastu tidak pernah merasakan kebahagiaan semenjak ayahnya meninggalkan keluarga dan mengawini janda beranak dua. Ibu Cenana yang tidak mampu menerima kenyataan menjadi gila, lalu bunuh diri dengan mengiris nadinya. Apa yang terjadi dalam hidup ibunya membuat Cenana terluka dan tidak ingin kawin walaupun Cok Ratih, sahabatnya, terus-menerus menganjurkannya. "Kehidupan perempuan baru disebut sempurna jika sudah kawin. Perkawinan membuat perempuan sadar arti menjadi istri, juga arti menjadi ibu," kata Cok Ratih. "Tapi kalau nyatanya kawin malah bikin susah dan rumit, apakah perkawinan masih bisa dijadikan alasan bahwa pohon kebahagiaan itu hanya bisa ditemukan di dalam rumah perkawinan?" tanya Cenana (hlm. 93). 

Dalam cerpen Palung, seorang perempuan ingin menjadi seperti palung di tengah lautan untuk mengatasi perasaan terluka. Keinginannya diwujudkan dengan membunuh secara sadis suaminya yang berselingkuh dan anak-anaknya yang dikhawatirkan tidak akan hidup bahagia. 

"Namaku Lih Luh Putu Grubug," kata perempuan dalam cerpen Grubug. "Namaku sendiri sudah mengandung beragam kutukan, pastu, yang merayap memangkas habis hidupku." Ayahnya dicincang karena dituduh PKI dan ibunya digorok lantaran didakwa sebagai anggota Gerwani. Keduanya tewas dalam tindakan main hakim warga desa tempat mereka tinggal. Setelah orangtuanya dibunuh, tanah berhektar-hektar milik ayahnya dirampas darinya dan Grubug terpaksa membiayai hidupnya dengan menjadi penari. Penderitaan Grubug yang tercipta karena konstruksi sosial seakan-akan tidak pernah berakhir karena kemudian ia diseret ke ruang pengadilan, tanpa melakukan kesalahan. 

Berbeda dengan Ni Luh Nyoman Glatik yang pernah merasakan kesengsaraan karena ulah ayahnya, Saring dalam cerpen yang menjadi judul koleksi cerpen ini, Akar Pule, sengsara karena konstruksi sosial sebagaimana yang dialami Grubug. Ayah Saring, I Wayan Kondra, secara keji dituduh berperan dalam kecelakaan salah satu warga desa. Kondra dibawa ke kuburan lalu diikat pada sebatang pohon pule sampai ia mati menyatu dengan pohon itu bersama istrinya, Luh Sager. 

Cerpen Bunga sungguh membuat terenyuh. Bunga diperkosa beramai-ramai, dibunuh, mulutnya disumpal dengan celana dalamnya dan dibuang ke sungai dengan tubuh penuh bekas gigitan. Setelah ditemukan, vagina Bunga yang robek tidak pernah berhenti mengeluarkan darah. Perasaan Gus Putu, sahabat Bunga yang baik hati, terasa dipiuh-piuh. Apalagi ketika ibunya, seorang perempuan yang mengaku terhormat, malah mengutuk-ngutuk Bunga yang sudah mati. "Perempuan sial itu memang lebih baik mati! Anakku terus-terusan bergaul dengannya. Bisa Aji bayangkan kalau mereka terus berdekatan seperti itu. Apa Aji mau punya menantu dari keturunan tidak jelas!" demikian dikatakan ibu Gus Putu kepada suaminya (hlm. 120). Padahal Gus Putu baru berumur sembilan tahun dan Bunga tujuh tahun. 

Satu-satunya perempuan yang memiliki kehidupan yang berbeda dan nyaman adalah Nih Luh Putu Pudakwangi dalam cerpen Sawa. Setelah lima belas tahun menikah dan mempunyai sepasang anak, doktor antropologi ini bertemu seorang lelaki yang membuatnya jatuh cinta lagi. Padahal perkawinannya adem ayem dan suaminya tidak pernah berselingkuh. Ketika ia semakin masuk ke dalam jerat perselingkuhan, ia bertanya-tanya: apakah Bagas, suaminya, juga melakukan hal yang sama?

Membaca cerpen-cerpen Oka Rusmini dalam koleksi cerpen Akar Pule ini kerap membuat bergidik. Semua kisah didedahkan secara blakblakan dan tanpa basa-basi. Kalimat-kalimatnya tajam menyengat dan bebas lepas melontarkan kecaman.


Simak contoh kalimat racikan Oka Rusmini dalam cerpen Akar Pule:

Ayolah Saring. Tak usah pura-pura suci di hadapanku. Kau sering melihat Barla telanjang, bukan? Tak perlu kaget. Aku tahu berapa kali kau dimakan makhluk itu? Bukannya aku suka mengintipmu. Kau sendiri yang suka sembrono, tidak menutup jendela kamarmu. Urat-urat lelaki itu. Daging yang berdiri tegang di antara kedua kakinya. Napasnya yang memburu. Mendengkur-dengkur seperti babi! Aku tidak melihat cinta dan kasih sayang sedikit pun. Cuma nafsu. Nafsu binatang buas yang memangsamu. Kau merasa kesakitan, bukan? Tapi laki-laki itu tidak mau melepas tubuhnya dari tubuhmu. Dia terus menusukmu, menusukmu, menusukmu. Membenamkan daging hitamnya dalam-dalam ke dagingmu!" (hlm. 130). 

Dari kesepuluh cerita yang ada, saya memilih Grubug dan Bunga sebagai cerpen paling impresif karena tuduhan dan gugatannya yang begitu kuat dan mendesak. Sedangkan cerpen Sipleg dan -terutama- Akar Pule yang menjadi judul koleksi cerpen adalah cerpen paling mengecewakan. Bukan karena ide dan penulisannya tidak bagus. Tapi karena pengarang (dan penerbit) tidak berterus terang bahwa kedua cerpen ini sebenarnya pernah diterbitkan sebagai bagian dari novel Tempurung yang juga diterbitkan Grasindo (2010). 


 Pengunjung

1 comments:

Lukman Khakim said... Reply Comment

Terimakasih postnya sangat bermanfaat. Mari kunjungi juga blog saya https://blog.ppns.ac.id/tl/lukmankhakim/

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan