Judul Buku:
Bulan Memerah
Pengarang:
Abednego Afriadi
Penyunting:
Yashinta
Tebal: x +
134 hlm; 12 x 19 cm
Cetakan: 1,
2013
Penerbit:
Sheila
Sejatinya,
sebuah cerita pendek atau cerpen bisa dihabiskan dalam sekali baca. Tapi
sekarang, kita bisa membaca cerpen-cerpen bermain-main dengan plot yang
memanfaatkan banyak rangkaian kata sehingga tidak langsung selesai dalam sekali baca.
Abednego Afriadi dalam kumpulan cerpennya, Bulan
Memerah, jelas mengindikasikan cerpen sebagai cerita yang bisa dihabiskan
sekali baca. Kelima belas cerpen yang ada benar-benar cerita yang pendek,
setiap cerpen tidak membutuhkan banyak waktu untuk ditamatkan.
Petiklah Gitar Itu, Ayah! yang
dinobatkan sebagai pembuka kumpulan cerpen ini berkisah tentang hubungan
seorang anak perempuan dan ayahnya. Anak perempuan yang menjadi narator orang
pertama cerpen ini bekerja sebagai penyanyi kafe seperti yang dilakoni ibunya. Sementara
ayahnya adalah seorang pengamen yang mengalami kebutaan secara misterius.
Pekerjaan anak perempuan itu akan selalu mengingatkan sang ayah pada apa yang
terjadi dalam hubungannya dengan istrinya. Itulah yang menyebabkan sang ayah
mengambil keputusan yang membuat anak perempuannya dililit kesedihan dan
kenangan.
Petiklah gitar itu, Ayah, biar aku bisa pulas dalam
dekapan mimpi. Biarkanlah rasa letih ini menguap lewat nada-nada yang manis
kudengar. Nada-nada yang akan berhembus menembus celah-celah ventilasi dan jendela
kamar yang lupa kututup malam ini. Anakmu ini telah kehabisan lirik lagu untuk
dinyanyikan. Karena malam-malam yang aku lewati sekarang ini adalah
berlembar-lembar lirik lagu dan nada-nada yang itu-itu saja. (hlm. 1).
Petiklah gitar itu, Ayah, walau dawai terbawah telah
putus. Aku yakin engkau pasti bisa memainkan kunci-kunci dari jemarimu sehingga
tak terdengar sumbang. Kalaupun gitar itu rusak, setidaknya bisa kau lantunkan
nada-nada indah nan lembut hingga aku tertidur, lalu kau mengusap-usap rambutku
ketika kepala ini singgah di pangkuanmu. (hlm. 2).
Sebuah cerpen
yang indah dalam kesedihannya.
Berlatar
Natal, cerpen Kidung Liturgi
mengisahkan tentang seorang wartawan yang tidak pernah mengikuti Misa Malam
Natal sejak menikah. Sebelum terjadi untuk ketiga kalinya, ia mendapat tugas
memotret Misa Malam Natal untuk stok foto feature
edisi akhir tahun. Kesempatan mengikuti
Misa Malam Natal di gereja Santo Antonius pun tiba. Tapi ternyata, ia belum
bisa mengikuti Misa Malam Natal. Apa yang menjadi kendala bagi wartawan yang
berperan sebagai narator orang pertama cerpen kali ini? Perasaan sendu tak
terelakkan ketika cerpen ini dituntaskan.
Nyanyian itu, lembut, memecah bising deru roda kereta
yang menggilas rel tanpa henti. Hujan masih turun. (hlm. 19).
Tenongan yang menjadi
judul cerpen adalah tempat menjual jajanan pasar khas Solo yang terbuat dari
aluminium dan berbentuk lingkaran. Setiap pagi, sembari menggendong tenongan, penjual kue berjalan kali
mengelilingi kampung menjajakan dagangannya. Wiwin, narator orang pertama
cerpen, mengisahkan tentang kebiasaan ibunya yang lebih suka membeli jajanan
pasar tersebut ketimbang nasi atau bubur.
Kata Wiwin:
"Kami merindukan suasana pagi
seperti itu. Bersama-sama berjongkok mengelilingi tenongan yang dibuka itu
seraya memilih makanan yang hendak kami beli. Dan kami semakin merindukannya
semenjak ibu memutuskan untuk pulang ke rumah lama di Solo. Rumah tempat di
mana aku menghabiskan masa kecil hingga menikah." (hlm. 22).
Tapi, apakah
kerinduan itu akan meneguhkan sang ibu untuk kembali tinggal di rumah lama? Terharu
rasanya saat sang ibu berhadapan dengan nihilnya pilihan lain kecuali mengambil
keputusan seperti yang diambilnya di bagian akhir cerpen.
Dengan gaya
berdendang - seorang suami kepada istrinya- kita akan mengikuti kisah pasutri
yang telah menikah 14 tahun. Sang suami melihat istrinya telah berubah, sorot
matanya menjadi terlalu tajam, lebih diam dan marah tanpa sebab.
Bulan memerah, Sayang.
Kau ingin tahu, mengapa bulan memerah? Ya, karena
kemarau terlalu panjang, sedangkan bunga tak lagi kau siram. Rumah juga kau
biarkan penuh dengan sawang, tempat singgasana para serangga. Ya, bulan
terlanjur memerah. Merah, Sayang. (hlm. 31)
Mengapa
istrinya berubah? Apa yang sebenarnya telah terjadi? Pengarang baru akan
mengungkapkannya di bagian akhir. Cerpen ini seolah-olah menertawakan imajinasi
pembaca yang muncul seiring bergulirnya cerita.
Narator orang
pertama dalam cerpen Kereta Terakhir pernah
hidup bersama dengan kekasihnya. Saat kekasihnya hamil, ia meninggalkan
perempuan itu membesarkan anak mereka sendirian. Setelah sekitar enam tahun
berpisah, mereka bertemu lagi, tapi perempuan itu telah berubah. Bahkan,
berselingkuh dengan kenangan mereka saja, perempuan itu tidak mau. Dan seolah-olah
menjadi kutukan bagi sang narator yang telah menyia-nyiakan anaknya dari
perempuan itu, dari pernikahanya tidak kunjung hadir seorang anak. Ending cerpen ini terasa menggelikan
untuk seorang laki-laki yang putus harapan.
Bukankah aku sudah membunuhmu? Mengapa kau selalu
datang setiap malam? Mengajak bercinta, memaki-maki aku. Kemudian pergi lagi.
Datang lagi. Pergi lagi. Datang lagi. Pergi!!!! (hlm. 43).
Narator
cerpen Jendela Kesunyian yang
bertutur sama seperti narator Bulan Memerah
dan Kereta Terakhir mengaku:
Kemurungan dan kesedihanmu adalah kemurungan dan
kesedihanku. Sudah sepuluh tahun ini, ranjang kamar menjadikanmu tulang rusuk
yang menguatkanku ketika rapuh. Maka jangan heran jika aku pun lemah ketika kau
lemah. Maka janganlah terkejut jika aku tertawa ketika kau gembira (hlm.
45-46).
Tapi setelah
sepuluh tahun menikah, istrinya tetap bertanya: "Apa kamu masih merasa bahwa, aku ini tulang rusukmu?" (hlm.
46) Hal yang sungguh lumrah mengingat sang narator tidak pernah mencium
istrinya setelah menikah, kerap meninggalkannya di kamar dan memilih tidur di
kursi tamu, dan terutama, tidak bisa bercinta dengannya. Apa sebenarnya yang
telah menciptakan jurang pemisah di antara mereka sebagai suami istri? Pengungkapan
sang narator hanya menunjukkan kerapuhan dan keanehannya.
Sepuluh tahun
silam, narator cerpen Mata Penambang
Pasir tinggal di bantaran sungai yang berjarak sekitar 30 meter dengan
sebuah pulau di sungai itu. Penduduk pulau itu telah menghilang, dan Sukro
-sahabat masa kecilnya- telah mati di sana, dibunuh karena berebutan sarang
walet. Hal yang tidak bisa diterima sang narator karena seminggu sebelum ia
kembali ke bantaran sungai itu, ia bertemu Sukro di proyek bangunan (hlm.
53). Rupanya, saat ini, ia ke tempat
tinggal masa kecilnya, untuk menawarkan pekerjaan kepada Sukro. Jadi, apakah
Sukro telah mati, atau ia sebenarnya masih hidup? Pengarang melakukan
inkonsistensi yang boleh dibilang mengganggu dalam cerpen ini. Ia menyebut
narator cerpen ini bertemu Sukro di proyek bangunan seminggu sebelum ia kembali
ke tempat tinggalnya sepuluh tahun silam (hlm. 53). Tapi selanjutnya pengarang menyatakan
narator bertemu Sukro 8 tahun setelah pindah rumah (hlm. 59), lalu katanya,
"Sejak saat itu, aku belum bertemu
lagi dengan Sukro." (hlm. 61).
Jalu dalam
cerpen Garong adalah sosok menakutkan
di seluruh penjuru kota. Ia mengisi berita kriminal di koran-koran kota.
Wajahnya terpajang di papan pengumuman, halte, tiang listrik, tembok toko, dan
pasar. Celakanya, ia mencari Bambang, narator orang pertama cerpen ini, yang
pernah dituduhnya sebagai mata-mata polisi. Kontan, Bambang ketakutan dan tidak
mau bertemu Jalu. Apakah Jalu bermaksud menghabisi nyawanya? Seiring
bergulirnya kisah, kita akan menemukan kekecewaan yang mengharukan dan
pengungkapan yang akan menentukan nasib sang garong.
Anda mungkin
akan mati ketawa membaca cerpen bertajuk Inisial
NR. Norma, artis remaja yang sedang naik daun ditangkap petugas satuan
narkoba saat sedang menggelar pesta obat kedaluwarsa (catat, kedaluwarsa!).
Ibunya, Siti, kelabakan dan terpaksa menghubungi Bekti, ayah Norma, yang hampir setengah tahun tidak pulang dan sedang
latihan bercerai. Tujuannya, tentu saja, meminta Bekti membebaskan putri
mereka. Ternyata, kasus putri mereka yang berinisial NR ini, memberikan happy ending bagi mereka. Mungkin benar
seperti kata Norma, "Semua ada
hikmahnya." Hahaha.
Wakil ketua
RT yang menjadi narator cerpen Sarapan
Lumpur Panas melaporkan penangkapan Pak Banu dalam kisahnya. Pak Banu,
seorang guru yang sudah tua, ditangkap dengan tuduhan mencabuli muridnya (yang
tidak dimunculkan jati dirinya). Penangkapan Pak Banu yang adalah tokoh penting
desa itu memunculkan kegemparan lantaran diketahui ia tidak punya musuh, tidak
main perempuan ataupun berjudi. Jadi, siapa yang telah menggiring Pak Banu
sehingga divonis penjara 15 tahun? Meskipun pengarang tidak menyebutkan secara
gamblang, kasus Pak Banu agaknya berhubungan dengan sebuah pabrik di tengah
sawah di desa itu dan penyakit misterius yang melanda setahun sebelumnya.
Bendera Berkibar di Tiang Rapuh yang berpotensi membuat Anda tertawa mengisahkan tentang sering
turunnya bendera di sebuah SMA, setiap hari Senin atau hari raya nasional, saat
bendera itu dikibarkan. Awalnya, disangka, penyebabnya adalah karena talinya
telah rapuh. Namun, setelah diganti tali baru, bendera itu tetap saja turun
secara tiba-tiba, termasuk saat peringatan kemerdekaan. Sesungguhnya judul
cerpen ini merupakan jawabannya.
Nuh -tokoh kitab suci
mengenai air bah yang menggenangi dunia- dijadikan judul cerpen tentang air bah
yang terjadi selama dua minggu di sebuah kota yang dikelilingi empat bukit.
Penyebab air bah adalah air terjun di keempat bukit itu. Orang-orang memutuskan
mengungsi ke gedung-gedung kota. Lalu, pada sebuah dini hari, muncul
burung-burung gagak seukuran manusia dengan sorot mata merah menyala yang mesti
mereka perangi. Kisah menegangkan ini seharusnya dibiarkan berakhir absurd
seperti ketiga cerpen terakhir. Penutup yang dipilih pengarang, jujur saja,
mementahkan ketegangan yang telah dimunculkan sebelumnya.
Dunia butuh
cahaya, itulah yang menjadi sebab kemunculan gadis-gadis bersayap dengan
telunjuk memendarkan cahaya. Salah satu gadis itu, menawarkan cahaya kepada
narator cerpen Gadis-gadis Cahaya
ini. Sang narator tidak menyangka, keputusan menerima cahaya itu menimbulkan petaka
bagi dirinya sendiri. Sungguh mengagetkan.
Setelah
nisan-nisan dalam kompleks pemakaman sebelah kampung hancur terbongkar, liang
kubur terbuka dan kosong, mayat-mayat merajalela, penduduk kampung dalam cerpen
Kubur Kosong memberanikan diri pergi
ke kota yang telah hancur dan dipenuhi mayat. Mereka bertekad memerangi jutaan
mayat, tapi kubur-kubur kosong kian bertambah dan satu demi satu penduduk
kampung itu menjelma menjadi bangkai. Mungkin, Anda akan mengernyit jijik oleh
penggambaran mayat-mayat yang cukup gamblang.
Gerombolan Pengusir yang
menjadi penutup kumpulan cerpen ini mengisahkan penaklukan sebuah kota di
wilayah perbukitan -yang tangis penduduknya mengeluarkan kabut- oleh pasukan
bertopeng baja. Pasukan itu turun membelah langit hitam dengan menumpang kuda
bersayap lalu menyerang para penghuni kota. Bukannya memimpin perlawanan,
pemimpin kota malah mengisi waktunya untuk bertapa.
Kami hanya bisa meratapi tangis kesakitan pepohonan
ketika gergaji-gergaji mesin mereka memotong-motong tubuh mereka. Kami hanya
bisa menangis kala lumpur, dan lahar memuntah. Hingga kabut di kelopak mata
kami mulai menguap. (hlm. 126).
Meskipun bisa
disebut cerita fantasi, cerpen ini bukan sekadar dongeng belaka. Pasukan
bertopeng baja merupakan simbol ketamakan yang menghancurkan hidup orang lain.
Dan pengarang mengingatkan, ketamakan selalu akan mendapatkan ganjarannya.
Secara
keseluruhan, cerpen-cerpen yang semuanya menggunakan perspektif orang pertama
(baik tunggal maupun jamak) dalam Bulan
Memerah ditulis dengan lugas dan cukup enak dibaca. Tema yang diangkat pun
beragam sehingga tidak menjemukan dibaca. Umumnya bisa dikenali dalam
masyarakat kita, kecuali yang memang bertema absurd.
0 comments:
Post a Comment