Judul Buku: Orang-Orang Tanah
Pengarang: Poppy D. Chusfani
Editor: C. Donna Widjajanto
Tebal: 200 halaman
Cetakan: 1, Agustus 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Alia
tidak bisa memaafkan perempuan yang dipilih ayahnya menjadi pengganti ibunya. Sejak
kematian ibunya, perempuan itu telah merampas perhatian sang ayah dan menghalau
semua kenangan mengenai ibu Alia. Sebagai anak-anak, Alia tidak bisa melakukan
apa-apa, sampai saat liburan sekolah dan ayahnya memboyong keluarga ke
perkebunan yang baru dibelinya. Di perkebunan itu, Alia bertemu bocah laki-laki
bernama Edi yang menceritakan kepadanya kisah orang-orang tanah -orang-orang
yang tinggal di bawah tanah. Tanpa disangka Alia, pertemuannya dengan Edi melahirkan
solusi untuk merebut kembali perhatian dan kasih sayang ayahnya. Seperti apa
solusinya, hanya bisa diketahui di bagian akhir cerpen horor Orang-Orang Tanah yang mewakili
semua cerpen untuk menjadi judul buku kelima dan kumpulan cerpen
pertama Poppy D. Chusfani.
Jendela
dinobatkan sebagai pembuka kumpulan cerpen ini. Kisah di dalamnya
mengalir dari sudut pandang Dinah, seorang bocah perempuan yang hidup bersama
dengan ibunya yang dipaksa melacur oleh Bang Darwin, anak tirinya. Setiap
malam, ibu Dinah pergi melacur dan hasil pekerjaannya mesti disetor kepada Bang
Darwin. Jika tidak sesuai harapan, Bang Darwin tidak segan-segan menghajar ibu
Dinah. Ditinggalkan setiap malam, dalam keadaan terjaga menanti ibunya pulang,
Dinah akan membuka jendela. Ia akan mengayunkan kedua tangannya naik-turun
secara berulang sampai terbentuk jendela, berupa guratan cahaya di sudut
tergelap di dalam gubuk kumuh tempatnya tinggal, yang bahkan kerap bisa cukup
lebar untuk dilalui. Jendela yang dibukanya, tanpa disadari bocah itu, akan
menjadi jalan keluar bagi dia dan ibunya, dari kesulitan dan kesengsaraan hidup
yang mereka alami. Diakhiri secara tragis dan penuh horor, kisah ini menjelma
kisah absurd yang tidak kehilangan daya tarik sampai kalimat pamungkas.
Lara,
gadis 15 tahun dalam cerpen Pelarian
terlahir berkulit hitam, bisa berlari dengan cepat, dan mahir berenang. Pada
umur tujuh tahun, ia memperlihatkan kemampuan bernapas di dalam air, karena ia
memang memiliki insang. Setelah mengetahui kemampuan Lara, sang Ratu yang
merupakan junjungan gadis itu segera menjadikan Lara sebagai anggota Garda
Laut, pasukan elite yang bertugas menghalau perompak dari perairan kerajaan. Lara digembleng secara berbeda dengan
anak-anak perempuan lainnya. Apa yang mesti dipilih Lara tatkala ibu
kandungnya, perempuan yang membencinya semenjak ia dilahirkan, mengungkapkan
rencana Ratu terhadap dirinya? Tetap
menjalani plot yang telah disusun sang Ratu atau menyelamatkan keluarga yang
tidak dikenalnya? Kisah tentang Lara ini jelas-jelas merupakan kisah fantasi,
tapi lantaran ditulis dari perspektif orang pertama, kisahnya terasa begitu
wajar dan realistis.
Selama
lima hari, pondok paling ujung di sebuah lembah berbentuk kantong menjadi
tujuan Siera untuk menyelesaikan naskahnya. Di sana, ia menyaksikan dan
mengalami berbagai keanehan, khususnya yang terkait dengan tujuan kedatangannya
di pondok terpencil itu. Dapatkah Siera menyelesaikan naskahnya dan meninggalkan
lokasi pondok yang menyimpan horor dan teror itu? Bersiaplah untuk kejutan yang
diungkapkan Poppy di penghujung cerpen Pondok
Paling Ujung ini. Anda mungkin akan tercekam dengan bulu kuduk merinding.
Dalam
cerpen Bulan Merah, sang narator orang
pertama menunjukkan kemampuan mengantisipasi terjadinya bencana. Hidup
mengasingkan diri bersama orangtuanya lantaran menjadi bagian dari sebuah
sekte, pelan-pelan ia mengungkapkan jati diri sebenarnya. Mengikuti munculnya
bulan merah, akan tersingkap alasan kemampuan sang narator yang tidak dimiliki
orang-orang sesekte. Sebagaimana cerpen Pelarian,
Bulan Merah pun merupakan kisah
fantasi yang terkesan realistis karena cara pengungkapannya.
Kita
diposisikan sebagai salah satu karakter dalam kisah berjudul Dewa Kematian. Sang narator seakan-akan
sedang mengungkapkan kepada kita peristiwa yang kita alami tapi tidak kita
sadari. Dalam peristiwa itu ada dua orang perempuan yang sedang bercakap-cakap
yaitu perempuan yang menyebut dirinya Venus dan perempuan lain yang mengenakan
kaus hijau. Ternyata, percakapan di antara mereka akan menuntun pada
pengungkapan kasus yang sedang ditangani pihak kepolisian. Kejutan lain akan
menutup seluruh kisah dalam cerpen ini terkait jati diri sang narator. Ini
adalah sebuah cerpen yang unik dan brilian, singkat tapi menyengat.
Di
tengah padang rumput asing, Kiran dalam cerpen Pintu Kembali menemukan dirinya terjaga. Dari sana, ia meretas
perjalanan bersama seekor anak anjing basset hound sambil dikejar-kejar seekor serigala. Mengapa
Kiran sampai terjebak di tempat asing yang memaksanya bertualang untuk
menyelamatkan diri? Akankan ia menemukan pintu kembali ke tempat asalnya? Ada sebuah
penyingkapan akan menutup kisah di dalam cerpen ini, yang sayangnya, tidak
terlalu mengejutkan lantaran teknik berkisah yang kurang orisinil.
Kisah
utama dalam cerpen Lelaki Tua dan Tikus
berlangsung di sebuah rumah susun. Naratornya bernama Sari, perempuan penghuni
rumah susun yang bekerja di toko kelontong sambil berharap bisa mendapat
panggilan kerja yang lebih baik. Tidak hanya membeberkan masa lalunya yang
kelam dengan pemuda jalanan bernama Dudi, Sari juga akan menceritakan beberapa
kisah yang terjadi di rumah susun itu. Khususnya, tentu saja, kisah lelaki tua
dengan tikus-tikus peliharaannya. Siapa sebenarnya lelaki tua itu tidak akan
pernah terungkap sampai kisah ini berakhir, dan kita cuma bisa menduga-duga
jati dirinya. Sepertinya, bagi penulis, yang terpenting adalah jalan keluar
yang disediakan lelaki tua itu bagi orang-orang tertindas. Dalam situasi
horornya yang pekat, kita akan dibuat tersenyum mengetahui asal-muasal
tikus-tikus yang dikandangi si lelaki tua itu.
Keira
dianggap terkutuk karena dilahirkan berambut hitam legam padahal penduduk
tempatnya tinggal berambut merah atau cokelat. Meskipun terkucil, Keira tidak
bisa menahan kebaikan terhadap orang-orang yang membutuhkan keahliannya dalam
pengobatan. Tanpa disadarinya, kebaikan hatinya mendatangkan malapetaka yang
tak terelakkan. Cerpen Sang Penyihir
dipungkas dalam sebuah pertumpahan darah yang mengerikan sekaligus pengungkapan
sebuah kebenaran terpendam.
Semua
cerpen dalam Orang-Orang Tanah merupakan
pembuktian kalau Poppy D. Chusfani merupakan seorang pengarang berbakat yang
mampu menulis dengan serius. Tema kisah yang diangkatnya variatif, memadukan
elemen realis dan fantasi dalam takaran yang cukup berimbang. Horor menjadi atmosfer dominan
setiap kisah, tapi tidak murahan karena didedahkan dalam penulisan yang tertata
rapi, baik teknik pengisahan maupun alurnya. Setiap mulai membaca satu cerpen,
kita langsung dibuat tak sabar mengetahui apa yang menanti di halaman-halaman penutupnya.
Gaya berkisah, atmosfer kelam yang ditimbulkan, dan imajinasi liar dalam kumpulan
cerita ini mengingatkan pada Malaikat Jatuh, kumpulan cerita karya Clara Ng.
Meskipun
pada sampulnya dihadirkan ilustrasi seorang gadis kecil dan paling tidak
terdapat dua cerpen menggunakan anak-anak sebagai karakter utama, Orang-Orang Tanah bukanlah konsumsi
pembaca anak-anak. Kehidupan manusia yang kelam dan aneh yang diangkat dalam
kumpulan cerpen ini hanya cocok dibaca pembaca dewasa.
Tentang Pengarang:
Sebelum menulis karya-karyanya sendiri, Poppy Damayanti Chusfani Kartadikaria dikenal sebagai penerjemah dan penyunting. Ia telah menerbitkan empat novel untuk pembaca remaja yaitu The Bookaholic Club (2007), Mirror Mirror on the Wall... (2008), Nocturnal (2008) dan The Bookaholic Club: Hantu-Hantu Masa Lalu (2010). Salah satu cerpennya, Sim, dapat dibaca dalam kumpulan cerpen fiksi ilmiah bertajuk Sci-Fi 1.0 (2009).
0 comments:
Post a Comment