10 March 2013

Singgah


Judul Buku: Singgah
Editor: Siska Yuanita & Jia Effendie
Ilustrasi Sampul dan Isi: Hafidh Idris
Tebal: 232 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Januari 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


 



Singgah adalah antologi cerpen yang ditulis oleh sebelas orang penulis. Setiap penulis berupaya memanfaatkan tempat-tempat persinggahan seperti terminal, bandara, pelabuhan/dermaga, dan stasiun, sebagai bagian dari seting ceritanya. 
 
Jia Effendie membuka antologi ini dengan cerpen horor berjudul Jantung. Setelah membunuh kekasih yang mencampakkannya dalam keadaan hamil, perempuan yang menjadi narator cerpen ini merogoh jantung kekasihnya, memasukkannya dalam ice box, dan melakukan perjalanan menumpang kereta api. Ia kemudian tiba di sebuah stasiun asing yang aneh dan sepi. Di sinilah dimulai petualangan horor yang diawali dengan pertemuannya dengan nenek penjual gorengan yang bermata oranye dan bertelinga runcing. Jantung adalah cerpen yang absurd dan terasa tidak cocok dijadikan pembuka antologi ini.
 
Setelah kisah horor di stasiun kereta api, kita dibawa ke dalam suasana sendu di sebuah kapal yang sedang menuju pelabuhan di sebuah pulau. Taufan Gio dengan cerpen Dermaga Semesta menuntun kita pada perjalanan seorang lelaki menapaktilasi jejak kekasihnya yang telah tiada. Ia membawa lima lembar foto yang diambil kekasihnya di pulau itu dan bermaksud menjalankan ritual yang sering dilakukan kekasihnya. Perjalanan ini berakhir menjadi perjalanan pribadi untuk membebaskan dirinya dari kenangan masa lalu. Sederhana tapi memberikan sentuhan yang indah. 
 
Arya dalam cerpen Menunggu Dini karya Alvin Agastia Zirtaf, tiba di Stasiun Tugu di Yogyakarya selewat tengah malam. Saat menunggu teman yang akan menjemputnya, ia terlibat komunikasi dengan seorang lelaki tua. Dari perbincangan mereka, Arya mengetahui kalau lelaki berkopiah tua itu sedang menunggu kedatangan Mardini (Dini), kekasihnya, dari Jakarta. Tapi mengapa Dini tidak kunjung tiba? Alvin akan memberikan jawabannya pada bagian pamungkas cerpennya yang mengharukan. Sayangnya, perpindahan perspektif yang dilakukannya secara tiba-tiba terasa janggal dan dipaksakan.
 
Shivani Gupta, narator  cerpen Moksha karya Yuska Vonita, pergi ke India dengan alasan mencari kebenaran dan pencerahan spiritual. Ia memang sedang dibelit problem yang menciptakan goncangan dalam keluarganya. Shivani yang tanpa direncanakan sebelumnya menggeluti modeling, jatuh cinta pada Panji, seorang fotografer dan tidak berdarah India. Padahal, ia telah dijodohkan dengan Vikram Bhatnagar, dokter lulusan Harvard. Ia berharap, perjalanannnya ke India akan memampukannya menentukan lelaki yang akan menjadi suaminya. Di Indira Gandhi International Airport, Delhi, ia akan bertemu lelaki yang akan menggenapkan reinkarnasinya. 
 
Apuk, seorang anak yatim piatu, bertekad membuktikan kalau dirinya tidak berbeda dengan anak-anak Kapuas lainnya: bisa berenang. Padahal,  sepanjang hidupnya, ia belum pernah berenang di Sungai Kapuas. Santi, sahabatnya, mencoba mengingatkan Apuk, tapi bagi Apuk, tantangan dari teman-temannya adalah masalah harga diri. Meskipun bisa dipahami maksudnya, cerpen Kemenangan Apuk karya Bernard Batubara ini terasa kurang pada bagian penutupnya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Apuk di akhir kisah, tidak dijelaskan dengan memadai, sehingga kita terhanyut dalam kemenangannya.  
 
Dalam film When Harry Met Sally... (Rob Reiner,1989),  tokoh Harry menyatakan kalau seks tidak akan terhindarkan dari persahabatan sepasang insan berbeda gender. Hal inilah yang diangkat Dian Harigelita dalam cerpen Langit di Atas Hujan. Kinan dan Angga bertemu di Yogyakarta, menjalin persahabatan, kemudian berpisah saat Kinan pulang dan bekerja di Jakarta. Ketika bertemu kembali di Yogyakarta,  dan terjadi beberapa kali, mereka akhirnya meneguhkan pendapat Harry. Sayangnya, setelah itu, mereka tetap tidak bisa menjadi sepasang kekasih. Apa yang menjadi rintangan mereka? 
 
Anggun Prameswari menyertakan dua cerpennya yang menyentuh dalam antologi ini. Semanis Gendhis, cerpen pertama, berlatar sebuah terminal yang hendak dipindahkan lokasinya karena akan dijadikan mal. Gendhis yang membuka warungnya di pintu masuk terminal itu memesona Sukro, bocah pedagang asongan. Sayangnya, Gendhis adalah perempuan dewasa yang sudah menikah. Suaminya, Broto, adalah sopir angkot yang memimpin penolakan pemindahan terminal. Ending yang disajikan Anggun cukup memiuhkan hati. Cerpen kedua, Rumah Untuk Pulang, tidak memberikan dampak yang kuat seperti cerpen pertama, tapi tetap menarik. Berkisah tentang Arum, yang setiap hari duduk di bangku peron stasiun, menunggu kereta dengan gerbong kosong yang diharapnya akan membawanya pulang ke rumah. Tapi ia sendiri tidak tahu rumah yang akan menjadi tujuan pulang. Apakah rumah orangtua yang telah dikecewakannya? Atau rumah tempat suami dan anak-anaknya berada? Arum tidak bisa memutuskan, karena hatinya telah hilang. 
 
Memancing bersama adalah ritual yang setia dijalankan selama bertahun-tahun oleh Grace dan Nic, sejoli karakter dalam Memancing Bintang karya Aditia Yudis. Suatu hari, Grace harus pergi karena melanjutkan kuliahnya. Karena ia hanya datang kemudian pergi dan tidak menetap, pelabuhan dengan dermaga yang mereka jadikan tempat memancing akhirnya sekedar menjadi tempat persinggahan baginya. Dalam suatu momen persinggahannya, Grace menemukan kalau Nic sudah memiliki gadis lain yang menemaninya memancing. Apakah tidak ada lagi kesempatan baginya untuk memancing bersama Nic? Kendati ditulis dengan puitis dan rapi, cerpen ini tidak memberikan sentuhan yang mendalam. 
 
Para Hantu & Jejak-Jejak di Atas Pasir karya Adellia Rosa berkisah tentang perempuan yang tidak bisa menghadapi kenyataan. Setelah nelayan yang membesarkannya tidak kembali dari melaut, hidup Roesa hancur. Tidak seperti Rosetta, saudari kembarnya, ia tidak mau menerima kehilangan ini. Cerpen yang dibagi ke dalam delapan bagian ini sulit dinikmati karena ditulis dengan kecenderungan dirumit-rumitkan. 
 
Sebenarnya cerpen Koper karya Putra Perdana cukup menarik. Tapi cara penulis merunyamkan cerita dan enggan memberikan kepastian apa yang sebenarnya terjadi membuat cerpen ini kandas. Sang narator hendak ke Singapura sehubungan dengan penandatanganan kontrak bernilai miliaran rupiah oleh calon partner bisnis kantornya. Tapi setelah melewati detektor logam dan menuju boarding lounge, ia dikejar-kejar oleh petugas bandara. Padahal tidak lama lagi pesawatnya akan berangkat. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah ia lupa telah menaruh sisa ganja yang diisapnya semalam ke dalam koper Samsonite-nya? Setelah adegan kejar-kejaran yang menegangkan, kita dibenturkan dengan pertanyaan menjengkelkan: apakah kejadian yang dialami sang narator benar-benar terjadi? Ataukah hanya mimpi? 
 
Apa maksud Artasya Sudirman memberi cerpennya judul Persinggahan Janin di Pelabuhan Cerita, tidak bisa saya pahami. Untuk mencoba memahaminya, saya berkonsentrasi mengikuti perjalanan Venus di Eropa. Ia pergi ke Athena, lalu Selianitika, dan bermaksud pergi ke Jerman melewati Italia dan Austria. Di Selianitika, ia bertemu Andreas, sahabat mendiang ayahnya sewaktu kuliah di Jerman. Melalui rute berbeda, Venus dan Andreas berencana untuk bertemu di Jerman. Sampai tuntas membaca cerpen ini, saya tetap tidak bisa memahami maksud Artasya. Saya juga tidak bisa menikmati ceritanya karena tidak ada konflik penting di dalamnya. 
 
Jia Effendie menutup antologi ini dengan cerpen Pertemuan di Dermaga. Hilya, karakter perempuan ciptaannya dalam cerpen ini, pergi berlibur sendirian di sebuah pulau setelah dicampakkan kekasihnya. Ketika terkurung di pulau itu karena cuaca buruk, Hilya bertemu Adam, yang bernasib sama dengannya: berlibur saat bukan musim liburan. Apakah Adam mampu mengisi kekosongan yang ditinggalkan kekasih Hilya? Pertemuan di Dermaga yang lempeng dan tidak terarah ini menutup antologi Singgah dengan sebuah kekecewaan. 

1 comments:

k4boel said... Reply Comment

layak dibaca nih, kayaknya bagus ini buku.
http://k-boel.blogspot.co.id/

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan