30 April 2012

Graceling


Judul Buku: Graceling
Pengarang: Kristin Cashore (2008)
Penerjemah: Poppy D. Chusfani
Tebal: 496 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Desember 2011
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




Dalam novel perdananya, Graceling, Kristin Cashore menciptakan sebuah seting lokasi yang dinamakannya Tujuh Kerajaan. Ketujuh kerajaan itu adalah Nander, Sunder, Estil, Wester, Middluns, Monsea, dan Lienid. Monsea dipisahkan dari kerajaan lainnya dengan pegunungan, sedangkan Lienid dipisahkan dengan laut (peta, hlm 7). Setiap ibu kota kerajaan dinamakan sesuai dengan nama raja yang tengah berkuasa.

Katsa, karakter sentral novel, adalah  seorang perempuan petarung yang termasuk kelompok Graceling –manusia yang dianugerahi Bakat langka dan ditandai dengan sepasang mata berbeda warna (heterochromia iridum). Sejak umur delapan tahun, ia sudah bisa membunuh dengan tangan kosong. Pada umur sepuluh tahun, oleh Randa -paman Katsa yang adalah raja Middluns, Katsa mulai dimanfaatkan sebagai algojo. Ia ditakuti sekaligus dimanfaatkan.

Diam-diam, sambil bertugas sebagai algojo Randa, Katsa memimpin sebuah organisasi rahasia yang disebut Dewan. Organisasi ini membantu pihak-pihak di Tujuh Kerajaan yang membutuhkan. Ketika Pangeran Tealiff, ayah Ror, raja Lienid, diculik, Dewan memutuskan untuk menyelamatkan pria tua itu dan menyembunyikannya di Kota Randa tanpa sepengetahuan raja.

Pada saat menyelamatkan Tealiff di Sunder, kehidupan Katsa bersenggolan dengan Pangeran Greening Grandemalion alias Po, putra ketujuh Raja Ror. Seperti Katsa, Po adalah Graceling yang mahir bertarung. Ia memiliki Bakat membaca pikiran orang. Po sedang mencari Tealiff, kakeknya, hingga di Middluns.

Setelah menemukan kakeknya, Po berkeinginan mengusut dalang peristiwa penculikan itu. Katsa yang baru saja melanggar perintah Randa memutuskan pergi bersama Po. Maka, tidak terelakkan lagi, perjalanan mereka pun dibumbui oleh kisah cinta. Katsa yang tidak pernah berniat menikah dan punya anak mencoba menghalau perasaan itu, kendati seiring perjalanan mereka, tampaknya ia tidak berhasil.

Dalam perjalanan mereka, terungkap pula bahwa penculikan Tealiff sebenarnya terkait dengan hasrat tidak senonoh seorang penguasa yang juga seorang Graceling. Sang penguasa memiliki Bakat memanipulasi orang dengan kata-katanya. Bakat berbahaya ini mampu mengaburkan kebenaran menjadi kebohongan.

Graceling yang lahir dari imajinasi Kristin Cashore mengenai seorang gadis dengan kekuatan luar biasa dan persahabatannya dengan seorang pemuda yang tidak bisa dinikahinya ini adalah sebuah novel fantasi petualangan. Sebagian besar cerita adalah petualangan yang dialami Katsa dan Po serta seorang bocah perempuan yang menginginkan kematian ayahnya. Meskipun menyita porsi terbesar novel, pengarang berhasil menggelontorkan kisah petualangan yang tetap mampu mengikat perhatian pembaca. Pengarang menghidupkan petualangan tidak saja dengan benturan emosi para karakter, tapi juga dengan pengalaman interaksi mereka dengan alam dan orang-orang yang dijumpai dalam perjalanan.

Seiring petualangan mereka, pengarang mulai menguak arah jalan masalah bermula. Sebelum pamungkas membayang, kita sudah mengetahui siapa dalang peristiwa penculikan Tealiff. Sosok karakter antagonis telah diperkenalkan lengkap dengan motifnya. Apalagi dengan kemunculan Bitterblue.

Begitu karakter antagonis disingkapkan, harapan adanya kejutan tinggal bertumpu pada peristiwa yang akan dihadirkan pengarang. Jujur saja, di luar gagasan graceling yang cukup mengundang, tanpa aspek kejutan, Graceling akan terpuruk membosankan.  Maka, di akhir petualangan Katsa, pengarang mencoba menghadirkan peristiwa berpotensi kejutan. Sayangnya, efeknya tidak terlalu menggigit.

Setelah perjalanan melawan kegentaran di mana sang antagonis berulang digambarkan cukup berbahaya, potensi kejutan yang ada berlalu begitu lekas. Padahal peristiwa ini merupakan bagian paling krusial dalam novel. Eksekusi yang dilakukan pengarang terlalu mudah. Kendati sempat terpengaruh Bakat manipulasi sang antagonis, Katsa mampu menaklukkannya tanpa kesukaran berarti. Merujuk Bakatnya, pengarang seyogyanya menyodorkan tingkat kesulitan yang lebih tinggi bagi konfrontasi Katsa dengan sang karakter antagonis. Saya bahkan berharap Katsa berhasil dikendalikan secara penuh sang antagonis dan  Po akan berduet dengannya untuk memenangkan duel.

Sang antagonis berhasil disingkirkan. Namun, pengarang ternyata masih juga berusaha memberikan kejutan. Mungkin ia bermaksud menutup novel secara impresif. Hanya saja, ia terkesan terlalu berlama-lama, sehingga kejutan ini tidak menimbulkan sengatan yang signifikan.

Sampai tiba di bagian pamungkas, belum ada kepastian akhir dari hubungan Katsa dan Po. Apakah mereka akan menutup hubungan dengan pernikahan? Atau tetap cuma menjadi pertemanan yang pada momen tertentu akan diselingi acara bercinta? (Walaupun tidak digambarkan secara vulgar, Katsa dan Po sudah pernah bercinta (hlm. 259-260)). Mungkin, kelanjutan hubungan mereka bisa ditemukan dalam sekuel, Bitterblue (2012) yang berseting delapan tahun setelah Graceling
23 April 2012

Kingdom of the Golden Dragon


Judul Buku: Kingdom of the Golden Dragon
Judul Asli: El Reino del Dragón de Oro (2004)
Pengarang: Isabel Allende
Tebal: 360 hlm; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, Maret 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


 



Pada bagian akhir City of the Beasts, Alexander (Alex) mengatakan kepada Nadia ikhwal Kate Cold yang ditugaskan International Geographic pergi ke Kerajaan Naga Emas. Kingdom of the Golden Dragon (2004) merupakan perwujudan dari apa yang dikatakan Alex, meskipun kejadian pada buku kedua ini baru terjadi berbulan-bulan kemudian dari akhir buku pertama.

Isabel Allende membuka Kingdom of the Golden Dragon langsung di Kerajaan Naga Emas, tepatnya, di pegunungan Himalaya. Kita akan mengikuti perjalanan Tensing, seorang biksu Budha dan muridnya, Pangeran Dil Bahadur, menuju Lembah Para Yeti. Di buku pertama, City of the Beasts, disebutkan bahwa Profesor Ludovic Leblanc telah menghabiskan waktu bertahun-tahun meneliti Yeti di perbatasan Cina dan Tibet. Leblanc tidak pernah menemukan Manusia Salju Buruk Rupa ini dan menyimpulkan bahwa Yeti hanyalah legenda. Rupanya Leblanc mencari di tempat yang salah. Karena Tensing dan Dil Bahadur bisa bertemu langsung dengan para Yeti, bahkan tinggal bersama dengan mereka beberapa hari agar Dil Bahadur bisa mempelajari bahasa Yeti.

Meskipun Allende memunculkan Yeti, perjalanan yang akan ditempuh rombongan Kate Cold bukanlah untuk mencari Yeti. Kate Cold hanya akan menulis tentang Kerajaan Naga Emas.

Karena Kingdom of the Golden Dragon adalah buku kedua petualangan Alex dan Nadia, maka tentu saja, Kate mengajak mereka. Nadia tidak lupa membawa  si monyet Borobá. Ikut bersama mereka Timothy Bruce, si fotografer berkebangsaan Inggris dan asistennya yang pernah dibelit anakonda, Joel Gonzáles, Bagi Kate, Raja Kerajaan Naga Emas adalah pahlawan ekologi, dan karena Raja berlangganan International Geographic, visa mereka disetujui. Raja juga memperbolehkan Kate menggarap artikel tentang Kerajaan Naga Emas.

Dalam perjalanan menuju Kerajaan Naga Emas, Alex dan Nadia bertemu dengan dua orang yang mencuri perhatian mereka. Yang pertama Tex Armadillo, pria Amerika bergaya hippie yang berencana mengunjungi Kerajaan Naga Emas. Yang kedua, Judith Kinski, wanita yang memperkenalkan diri sebagai ahli pertamanan yang diundang secara resmi oleh Raja Kerajaan Naga Emas. Raja ingin menanam bunga tulip di kerajaannya dan Judith menawarkan jasa untuk membantu.

Pada hari terakhir di New Delhi –sebelum terbang ke Kerajaan Naga Emas, Alex dan Nadia mengunjungi Red Fort, benteng kuno dekat hotel tempat menginap. Di sana, keduanya melihat Tex Armadillo bertemu orang-orang dari Sekte Kalajengking. Sekte yang juga dikenal sebagai Pejuang Biru ini memiliki reputasi haus darah, tidak berpendidikan, dan percaya takhayul. Mereka menyambung hidup sebagai bandit, penyelundup, atau pembunuh bayaran.
   

Dari Wandgi, pemandu di Tunkhala, ibu kota Kerajaan Naga Emas, rombongan Kate Cold mengetahui bahwa bagi penduduk kerajaan ini, Raja adalah satu-satunya pemimpin spiritual.  Sebelum menjadi raja, kehidupannya dihabiskan di sebuah biara di Tibet. Setelah masa pemerintahannya berakhir, ia akan digantikan oleh salah satu pangeran yang dinilai memiliki hati paling bersih. Rombongan Kate mengetahui pula jika Naga Emas, si patung misterius, memang bisa meramalkan masa depan. Tapi, keajaiban ini hanya dipakai untuk melindungi negara dan bukan untuk kepentingan pribadi. Naga Emas yang menurut Raja menggambarkan jiwa bangsanya tidak pernah meninggalkan kerajaan. Dan hanya Raja yang bisa menguraikan bahasa sandinya.  

Allende mendeskripsikan Naga Emas itu dengan indah: “Bentuk tubuh mirip singa, cakar-cakar berkuku besar, ekor melingkar seperti binatang melata, sayap-sayap berbulu, kepala menyeramkan dengan empat tanduk, dua mata menonjol, dan mulut menganga dipenuhi dua baris geligi tajam dan lidah bercabang seperti ular. Lapisan emasnya sangat halus dan sempurna, tiap sisik pada bagian tubuh dan ekor terbuat dari permata, bulu-bulu pada sayap dari berlian, bagian ekornya menampilkan pola rumit mutiara dan zamrud, geliginya dari gading, dan kedua mata dari batu delima besar, masing-masing berukuran sebesar telur merpati. Binatang legenda itu dipasang di atas batu hitam, di bagian tengahnya terdapat barisan batu kuarsa kuning.” (hlm. 229).

Sang Kolektor, pria terkaya nomor dua di dunia, mengetahui rahasia Naga Emas yang bisa meramalkan masa depan dan terobsesi memilikinya. Jika Naga Emas berada di tangannya, ia akan bisa memenuhi mimpi terbesarnya: menjadi Nomor Satu. Demi mendapatkan Naga Emas, ia membayar mahal seorang berjuluk Spesialis.

Pada saat perayaan keagamaan yang bertepatan dengan bulan purnama dan hari kelahiran Raja, Pejuang Biru menculik Nadia bersama lima gadis lainnya. Penculikan itu adalah bagian dari rencana sang Spesialis agar tercipta sebuah kondisi yang tepat untuk membawa pergi Naga Emas dan sang Raja dari istana.

Dalam usaha menyelamatkan Nadia, Alexander (dan Borobá) bertemu Tensing dan Dil Bahadur. Bersama-sama, mereka tidak hanya akan membebaskan Nadia dan para gadis yang ditawan, tapi juga akan menghadapi Spesialis dan kaki tangannya.

Sampai di situ, kita akan bertanya-tanya. Apakah Naga Emas bisa dikembalikan ke alas batunya? Apakah Raja bisa diselamatkan? Kedua pertanyaan ini akan bergulung dengan pertanyaan yang paling menggoda: siapakah sosok yang bersembunyi di balik julukan Spesialis? Anda harus membaca habis buku ini agar mendapatkan jawaban yang memuaskan. Yang pasti, Allende telah menyiapkan rangkaian kejutan yang mungkin akan membuat Anda tertegun.

 

Seperti dalam City of the Beasts, di bagian pamungkas novel ini, Allende akan menyisakan cerita sedih. Sebagaimana Mata Dunia tidak bisa menangkal gerusan zaman, demikian pula Kerajaan Naga Emas. Diproteksi dengan cara apapun, Kerajaan Naga Emas tetap harus bersiaga menanti bertiupnya angin perubahan.

Tapi berbeda dengan City of the Beasts, di sini kita akan menemukan sebuah kisah cinta yang manis di antara dua orang yang sangat menarik. Kemunculan kisah cinta ini akan mengobati cerita sedih di bagian pamungkas novel.
 
Sekali lagi, Kingdom of the Golden Dragon (Kerajaan Naga Emas) membuktikan kepiawaian Isabel Allende menghasilkan novel fantasi remaja yang bergizi. Tertangkap jelas bahwa Allende tidak cuma berniat menyajikan kisah yang dibungkusnya dengan selaput fantasi. Sejak perjalanan Tensing dan Dil Bahadur menuju Lembah Yeti sampai sehari sebelum rombongan Kate Cold meninggalkan Kerajaan Naga Emas, kita akan disodorkan berbagai hal yang mengundang perenungan. Bacalah dengan saksama, Anda akan menemukannya, kalau bukan dari perkataan para karakter, dari tindakan mereka. 

Budi yang luhur dalam diri remaja, oleh Allende, masih diawetkan dengan indah dalam novel ini. Sewaktu menginap di sebuah hotel di New Delhi, Alex nyaris remuk terinjak-injak para pengemis. Setelah menukar beberapa dolar dari sedikit yang ia miliki dengan rupee, tanpa memikirkan konsekuensinya, hanya karena didorong kebaikan hati, ia membagi-bagikan uang itu kepada para pengemis. Untunglah Tex Armadillo sempat menolongnya. Demikian pula saat Nadia diculik. Alex tidak tahan hanya berdiam diri, maka dengan nekat, ia pergi mencari Nadia. Alex memang selalu memancarkan kebaikan. Tidak heran ketika mengetahui punya kekuatan menyembuhkan, ia membatalkan niat menjadi musisi dan memutuskan menjadi dokter agar bisa menggunakan kemampuannya untuk kebaikan.

Secara keseluruhan, Kingdom of the Golden Dragon tetap mengikuti pendahulunya. Bila dipaparkan dalam satu kalimat novel ini adalah: sebuah sajian cerdas yang ditulis dengan serius.

Tidak sabar rasanya segera membaca buku terakhir trilogi petualangan Alex dan Nadia, Forest of the Pygmies (El Bosque de los Pigmeos).
22 April 2012

City of the Beasts


Judul Buku: City of the Beasts
Judul Asli: La ciudad de las bestias (2002)
Pengarang: Isabel Allende
Penerjemah: Fanny Yuanita
Tebal: 352 hlm; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, Desember 2011
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


 



Krisis yang menimpa keluarganya membuat Alexander Cold terpaksa meninggalkan rumahnya di pesisir pantai California dan pergi ke rumah nenek dari pihak ayahnya di New York. Kate Cold bukanlah nenek idaman para cucu, sehingga bisa dimengerti jika awalnya Alex keberatan. Untunglah, ia tidak akan menghabiskan seluruh waktunya berduaan saja dengan Kate. Karena Kate mengajaknya ikut dalam ekspedisi menuju jantung hutan Amazon yang dibiayai International Geographic, majalah tempat Kate bekerja sebagai penulis.

Ekspedisi yang dipimpin Profesor Ludovic Leblanc ini bertujuan menemukan Makhluk Buas, makhluk raksasa serupa Yeti di Himalaya (bukan Yeti seperti ditulis di sampul belakang). Leblanc dikenal pernah meneliti Yeti si Manusia Salju Buruk Rupa dan bekerja di antara suku Indian di Amazon.

Selain Kate, Alex, dan Leblanc, dalam ekspedisi tersebut terdapat Timothy Bruce, fotografer Inggris dan asistennya, Joel Gonzáles; Omayra Torres, dokter Venezuela dari Dinas Kesehatan Nasional yang akan memvaksinasi orang-orang Indian. Sebagai pemandu menuju jantung hutan Amazon adalah César Santos yang diekori anak gadisnya, Nadia, yang membawa monyet bernama Borobá. Ikut juga bersama mereka: Karakawe, pria Indian yang ditugaskan untuk menjadi asisten Leblanc; Matuwe, pemandu berkebangsaan Indian yang dipekerjakan César Santos; lima tentara yang disediakan Kapten Ariosto, pemimpin tentara di Santa Maria de la Lluvia

Dalam perjalanan menyusuri Sungai Amazon, tak terelakkan lagi, tim ekspedisi dibayang-bayangi para Manusia Kabut, suku Indian yang bisa membuat diri mereka tidak kasatmata. Lalu kecelakaan dan kematian terjadi sebagaimana diperingatkan Walimai, cenayang Indian yang sudah uzur. Namun perjalanan harus dilanjutkan, karena Makhluk Buas belum menampakkan diri.


Menurut Nadia, semua manusia memiliki roh binatang. Hanya saja, tidak semua manusia bisa menemukan lambang totem binatangnya. Selain cenayang, hanya pejuang hebat yang bisa menemukannya. Sesudah Alex menemukan lambang totem binatangnya, yaitu jaguar, Nadia menyusul menemukan lambang totemnya, elang. Kedua roh binatang ini yang akan menolong Alex dan Nadia ketika diculik para Manusia Kabut dan dibawa ke Tapirawa-Teri, kampung Indian di Mata Dunia.

Pada upacara pemakaman kepala suku Tapirawa-Teri, Walimai, si cenayang, menggunakan ramuan ayahuasca untuk membuka pintu-pintu kerajaan dewa totem. Manakala pintu-pintu terbuka, Alexander dan Nadia masuk dalam wujud binatang yang menjadi lambang totem mereka. Dalam wujudnya sebagai elang, Nadia melihat tiga butir telur kristal di sebuah sarang di puncak tepui (=rumah para dewa) yang paling tinggi. Begitu kembali dari dunia totem, Nadia bertekad menemukan ketiga telur itu. Karena ia tahu, telur-telur itu bisa menyelamatkan para Manusia Kabut. Maka, bersama Walimai, Alex dan Nadia pergi ke gunung keramat mencari ketiga telur kristal itu. 


Untuk mendapatkan tiga butir telur itu, mereka harus mencapai El Dorado, kota para Makhluk Buas -yang pernah menjadi kota emas impian para penakluk. Di sana, hukum pertukaran berlaku tegas: setiap permintaan harus diimbangi dengan sebuah penawaran. Saat akhirnya mereka meninggalkan El Dorado, Rahakanariwa, roh burung kanibal yang ditakuti suku Indian, telah siap menyerang Mata Dunia. Dan sebagaimana keduanya telah dipanggil masuk ke dalam dunia Manusia Kabut karena kemurnian jiwa mereka, mereka pun harus menyelamatkan suku Indian tersebut. 

City of the Beasts yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Negeri Yang Buas -sungguh bukan judul yang tepat, karena tidak ada Negeri Yang Buas di sini, melainkan Kota Para Makhluk Buas- adalah novel young adult (YA) pertama yang ditulis Isabel Allende. Setelah City of the Beasts, Allende telah menggiring Alex dan Nadia ke dalam petualangan selanjutnya dalam Kingdom of the Golden Dragon (El Reino del Dragón de Oro, 2004) dan Forest of the Pygmies (El Bosque de los Pigmeos, 2004). 
 
Menulis novel YA ternyata tidak membuat kemumpunian menulis Allende menurun. City of the Beasts tetap ditulis dengan keseriusan yang sama dengan novel-novel dewasanya. 

Ada beberapa kelebihan novel YA satu ini.

Pertama, bagi Allende keluhuran budi sangat penting tumbuh dalam diri remaja, dan hal ini ditampakkannya dalam diri Alex dan Nadia. Mendekati puncak petualangan mereka, Alex teringat pada ibunya yang sakit kanker, sedangkan Nadia pada nasib Manusia Kabut di Mata Dunia. Hanya cinta kasih dan kepedulian yang membuat Nadia mampu memanjat ke bagian tepui yang paling tinggi dan Alex sanggup menuruni kedalaman bumi. Di sana mereka akan mempersembahkan pengorbanan masing-masing, bagi kemanusiaan.

Kedua, setiap karakter dirancang solid dan digerakkan dengan cermat. Karakter Alex dan Nadia memang akan jadi favorit, tapi Kate Cold dan Ludovic Leblanc sungguh tidak bisa diabaikan. Dari semua karakterisasi yang dibangun Allende, keduanya yang paling solid. Kate Cold ditampilkan sebagai wanita tua nyentrik, sinis, ketus, tapi diam-diam menyayangi cucunya. Sedangkan Ludovic Leblanc diindikasikan sebagai pria pengecut dan banyak tingkah. Sepanjang perjalanan mereka akan memicu perang mulut dengan gampang, dan tentu saja, Kate yang selalu menang setelah menghempaskan harga diri Leblanc. Dalam ketegangan meretas Amazon, keduanya memberikan sentuhan humor.

Ketiga, cerita dituturkan dengan berbagai kejutan tersimpan di uliran plot. Memang awalnya cerita terkesan lamban, tapi cara bercerita yang prima akan menarik pembaca hingga menemukan ritme yang pas dan mampu menyantap habis novel ini. Di tengah-tengah narasi yang ciamik, Amazon bak mengambang di pelupuk mata dengan kegarangan hutan dan kekayarayaan koleksi flora dan fauna yang luar biasa.

Keempat, novel fantasi petualangan ini juga berkembang menjadi novel ekologi. Di sini, Allende menggelitik kesadaran ekologis pembaca melalui kedua karakter remaja –terutama Nadia- yang melahirkan gagasan mencagaralamkan Mata Dunia sehingga bisa dicegah dari pengrusakan akibat keserakahan manusia. Memang, selain menyimpan pepohonan yang bisa dijadikan kayu, Amazon juga menyembunyikan emas dan permata yang memprovokasi ketamakan. Tanpa disadari hampir semua anggota ekspedisi, perjalanan mereka sedang diboncengi sebuah rencana berbahaya yang dilandasi oleh ketamakan.

Kesimpulannya, City of the Beasts adalah sebuah novel yang sangat layak baca dan memberi nuansa segar dalam dunia fiksi fantasi yang disesaki para vampir, manusia siluman, manusia berkemampuan adikodrati, dan para penyihir yang saling cekcok.

Ada satu yang ingin saya koreksi. Di halaman 192, Nadia mengatakan bahwa ada wanita lain yang sangat hebat –maksudnya Omayra Torres- yang punya serum yang bisa mencegah wabah penyakit. Di banyak halaman lain disebutkan bahwa yang dibawa Omayra adalah vaksin. Terlepas dari apa sesungguhnya yang dibawa Omayra, dari tujuan yang ia sebutkan, yang benar adalah vaksin dan bukan serum. Vaksin dan serum tidak sama dan tujuan penggunaannya juga berbeda.

 
21 April 2012

Lenka


Judul Buku: Lenka
Penulis: Sarekat Penulis Kuping Hitam
Penyunting: A.S. Laksana & Yusi Avianto Pareanom
Tebal: 262 hlm, 14 x 21 cm
Cetakan: 1, Juli 2011
Penerbit: Banana


 



Lenka diawali dengan kematian dan ditutup juga dengan kematian, orang yang berbeda. Hidup ini indah karena ada kematian, begitulah yang dipikirkan satu karakter yang sesungguhnya terkait dengan kematian Lenka. Kematian Lenka yang bernama lengkap Magdalena Anjani Sukmajati ini pun dijuluki kematian yang indah. Itulah sebabnya, kematian digambarkan dengan indah oleh si pembuka cerita:

Lima belas menit lagi kepala indah Lenka akan menghantam lantai dasar Jakarta Art Exhibition Center. Bagian belakang tengkoraknya akan pecah dan darahnya menggenang seperti saus vla merah. Serpihan daging merah jambu dan otak putih keabu-abuan akan bercampur dengan kepingan kecil mengkilap dari patung kristal yang pecah terhantam oleh tubuh Lenka yang meluncur dari lantai lima.” (hlm. 7).

Sarekat Penulis Kuping Hitam* menyebut malam kematian Lenka sebagai “Malam Pesta”. Benar, pada saat Lenka mati, sedang digelar pesta. Tapi karena novel ini semacam perayaan kematian, maka tepatlah menyebut malam kematian Lenka dengan “Malam Pesta”. Dari malam pesta inilah serombongan cerita ditarik, berpilin maju-mundur untuk melengkapi biografi Lenka.

Sebenarnya rangkaian kalimat yang membuka kisah Lenka ini merupakan pengantar yang layak. Kita langsung dijitak dengan berbagai pertanyaan. Siapa Lenka? Mengapa ia mati? Apakah ia dibunuh? Atau bunuh diri? 


Maka nama-nama unik (atau aneh) pun disodorkan. Tiung Sukmajati, ayah Lenka, komposer yang mengagas acara penggalangan dana Pustaka Bunyi Indonesia. Luisa Báthory, istri Tiung yang berasal dari
Csongrád, Hongaria. Pandan Salas, abang Lenka, pecatur genius dengan sederet prestasi mengagumkan. Meimei Pikatan, tunangan Pandan Salas. Amir Sambaliung, politisi yang mensponsori acara Tiung. Liman Pamalayu, konglomerat yang dekat dengan keluarga Sukmajati. Komang Arwasanti, mantan model kenamaan yang dinikahi Liman. Jabar Kamus, wartawan Koran Metro Baru. Helong Lembata, fotografer yang menyebut karyanya sebagai Fotografi Pembebasan.

Mereka semua bisa saja menjadi pembunuh Lenka, si model papan atas Indonesia. Tapi kalau Lenka dibunuh, siapa di antara mereka yang nekat merampas nyawa Lenka? Meskipun AKP Diah Maduratna menyusup ke dalam cerita dan melakukan investigasi terkait kematian Lenka, novel ini bukanlah novel detektif. Dan tanpa mengetahui hasil investigasi pun, pembaca akan menjadi lebih tahu ketimbang Diah.

Sejatinya Lenka adalah kisah orang-orang bermental amburadul. Dan Lenka menempati posisi teratas karena dia yang menjadi penampung keamburadulan mental orang-orang di sekelilingnya.

Tiung Sukmajati, seorang ayah yang gemar memaksakan kehendak. Ia ingin Lenka dan Pandan menjadi musisi seperti dirinya. Tentu saja, kedua anaknya tidak menjadi musisi. Namun, dibandingkan Pandan, jalan yang ditempuh Lenka tidak pernah mendapatkan penghargaan Tiung. Bagi Tiung, model adalah pekerjaan tanpa otak, dan ia tidak pantang mengingat-ingatkan Lenka soal pendapatnya. Sikap Tiung yang tidak menyiratkan figur kebapakan memang bisa ditelusuri dari ayahnya. Sedangkan Luisa yang tidak pedulian dan lebih asyik menghadiri acara-acara para sosialita Jakarta, telah mengalami serangkaian panjang kekerasan mental dan fisik. Setelah jatuh dalam perangkap trafficking dan dipaksa menjadi stripper, ia jatuh dalam perangkap pernikahan dengan Tiung dan sempat kehilangan kewarasan. Pandan Salas, anak sulung Tiung dan Luisa, sejak kecil terpikat pada kekerasan, membunuh banyak hewan peliharaan. Kekerasannya diwujudkan juga dengan menghamili Lenka yang baru berusia 14 tahun. Luisalah yang membawa Lenka ke klinik aborsi untuk mengenyahkan janinnya. 

Setelah menjadi model kenamaan, Lenka tidak hanya dilecehkan di rumah, melainkan juga di luar rumah. Amir Sambaliung, tanpa tedeng aling-aling, menyatakan hasratnya untuk meniduri Lenka. Danny Amsterdam, pemilik agensi model Asia Jewel, tempat Lenka bernaung, mencoba menggagahi Lenka. Seolah-olah apa yang dialami Lenka belum cukup, para penulis mempertemukannya dengan Helong Lembata.

Helong Lembata yang menyatakan dirinya sebagai materialis murni adalah seniman sinting yang terobsesi dengan luka. Sejak kecil ia telah menciptakan banyak luka di tubuhnya. Usaha yang semula ia lakukan untuk mendapatkan perhatian ayahnya berubah menjadi kecanduan yang sukar direhabilitasi. Ia tidak saja membuat Lenka mau disetubuhi, tapi sukses menyeret si jelita ke dalam ambisi gila berkedok Fotografi Pembebasan. Helong membiarkan dirinya ditelanjangi agar luka di sekujur tubuhnya bisa dikagumi Lenka. Lenka terprovokasi, tidak sekadar menciumi ataupun mengigit gurat luka Helong, tapi juga menciptakan luka-luka di tubuh moleknya. Lenka tidak sadar, ia telah terperangkap pusaran manipulasi Helong. Semua foto sadis yang menampakkan luka-luka di tubuh Lenka dijadikan komoditas untuk konsumsi manusia-manusia tidak waras yang tergabung dalam kelompok Ascetic Art.

Pelecehan yang dialami Lenka, apesnya, tidak hanya terjadi semasih hidup. Saat ia mati dan tubuhnya dibongkar di atas meja autopsi, dokter yang menangani autopsi pun melecehkan Lenka.

Tidak hanya dilecehkan. Dalam kematiannya juga, Lenka menjadi sasaran makian. Komang Arwasanti mengatakan: “Perempuan piyik tak punya otak, mati saja nyusahin banyak orang.” (hlm. 14). Sedangkan Tiung, ayah Lenka, menyebut kematian Lenka: Membuat malu nama besar Sukmajati!

Lalu, manakala kita tiba di bagian pengungkapan sebab-musabab kematian Lenka, kita segera disadarkan kalau ada manusia yang tidak pernah menghargai kehidupan. Tapi apa mau dikata? Tidak ada kehidupan beragama di sini. Tidak ada syukur atas kehidupan yang Tuhan berikan.

Ditinjau dari proses kreatifnya, senyatanya, Lenka karya yang unik. Tiga puluh empat bab, dua interlude, dan satu apendiks membangun novel yang digarap oleh 17 orang. Setiap bab digarap satu atau dua orang berdasarkan gagasan semua yang terlibat dalam proyek penulisan novel. Kemudian, garapan 17 orang ini disunting oleh dua orang, A.S. Laksana dan Yusi Avianto Pareanom.

Sarekat Penulis Kuping Hitam yang adalah peserta Bengkel Penulisan Novel DKJ 2008 dan 2009 ini pun bukanlah deretan penulis yang bisa disepelekan. Mereka berkemampuan unggul dalam meramu kata-kata untuk menghasilkan rangkaian kalimat bernas, tajam, dan enak dibaca. Meskipun cerita dalam novel melata-lata ke berbagai penjuru, cara penulisan mereka mampu mengikat perhatian.

Hanya saja, harus diakui, tidak semua gagasan yang digelontor dalam Lenka bisa diterima pembaca. Kematian, kekerasan, pelecehan, dan keamburadulan mental, apalagi terbuhul pada satu orang (gadis remaja pula) bukanlah tema yang sering disukai. Bagaimana pun, novel semacam Lenka, berpotensi membuat pembaca frustrasi atau bahkan, depresi.




* Sarekat Penulis Kuping Hitam: Andina Dwifatma, Apendi, Dini Afiandri, Fanny Fajarianti, Laire Siwi Mentari, Miftah Rahman, Nia Nurdiansyah, R. Mailindra, Regina Kalosa, Reno Puti Bulan, Rizki Amalia, Sitta Taqwim, Sulung Siti Hanum, Utami Diah Kusumadewi, Wahyu Heriyadi, Wiwin Erikawati, Yuki Anggia Putri Ritonga.

17 April 2012

Gadis Kretek


Judul Buku: Gadis Kretek
Penulis: Ratih Kumala
Penyunting: Mirna Yulistianti
Tebal: 275 halaman
Cetakan: 1, Maret 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama





Sejarah rokok kretek di Indonesia diawali dengan penggunaan minyak cengkeh untuk mengatasi sesak napas. Djamari (hidup tahun 1880-an), warga Kudus yang menderita sesak napas, mencari cara memasukkan cengkeh ke dalam paru-parunya. Ia merajang cengkeh dan mencampurkannya dengan tembakau. Hasil rajangan dilinting dengan klobot (daun jagung). Ketika disulut dan api menghabiskan batang lintingan, akan terdengar suara ‘kretek-kretek’ akibat terbakarnya cengkeh rajangan.

Dalam novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala, perkembangan usaha rokok kretek dikaitkan dengan kehidupan Idroes Moeria. Pulang ke Kota M (terletak di perbatasan Magelang dan Jogjakarta) setelah ditahan Jepang di Surabaya, Idroes berniat melanjutkan usaha rokok klobotnya, Rokok Djojobojo. Sebelumnya, setelah Jepang menduduki Kota M, ia telah memulai usaha rokok klobotnya dengan membeli sisa tembakau majikannya yang terpaksa menutup usahanya. Ketika ditangkap tentara Jepang, usahanya sebetulnya tidak mati, tetap dijalankan Roemaisa, istrinya. Begitu Idroes pulang setelah Proklamasi, ia beralih memproduksi rokok kretek. Sesuai situasi Indonesia saat itu, ia menamakan rokok kretek perdananya Rokok Kretek Merdeka! (dengan tanda seru).

Tidak mudah bagi Idroes menjadi pengusaha rokok kretek. Selain ia bukanlah satu-satunya produsen, Soedjagad, teman masa kecil yang sama-sama pernah bekerja sebagai buruh linting, terus-menerus berusaha menyainginya. Soedjagad memang dendam pada Idroes karena berhasil memperistri Roemaisa, gadis idamannya.
 

Pada saat Idroes membuat Klobot Djojobojo, Soedjagad membuat Klobot Djagad. Setelah Idroes memproduksi Rokok Kretek Merdeka!, Soedjagad memproduksi Rokok Kretek Proklamasi. Idroes mangkel, tapi terus menciptakan produk baru sampai enam nama dagang. Bahkan, demi mendapatkan nama dagang yang lebih unggul, Idroes pergi ke Gunung Kawi. Di sana, ia mendapat ilham nama produk baru, Kretek Dasiyah.
  

Ratih Kumala

Dasiyah adalah putri sulung Idroes Moeria. Pada umur 10 tahun, Dasiyah sudah mahir melinting kretek. Bila banyak yang dilinting, telapak tangannya lengket dengan sari-sari kretek. Ia mengumpulkan sari-sari kretek dan membuat tingwe (ngelinting déwé) yang pangkal papier-nya dijilat agar ludah menahan kretek dan sari di dalamnya. Bagi para laki-laki yang menyukai tingwe-nya, Dasiyah adalah Rara Mendut.

Ketika namanya akan dipakai sebagai nama dagang, Dasiyah menolak. Sebagai seorang gadis, ia malu dijadikan nama dagang dan mukanya dipajang di etiket rokok. Tapi justru dari alasannya bahwa ia sudah gadis itulah yang membuat Idroes memutuskan nama untuk rokok kretek barunya. Kretek Gadis. Sebagai ganti mukanya, Idroes menggambar seorang gadis berkebaya dengan rambut. Dalam gambar itu, si gadis sedang menjepit sebatang kretek yang menyala, tampak dari asap yang mengepul dari ujung kretek itu (seperti pada gambar sampul yang dikerjakan Iksaka Banu).

Untuk meningkatkan cita rasa Kretek Gadis, Dasiyah meracik saus dengan bahan dasar saus Kretek Merdeka!. Saus itu menghasilkan cita rasa setara tingwe buatannya. Dalam pembuatan kretek, saus (tobacco flavor) adalah resep rahasia terpenting selain tembakau dan cengkeh. Saus merupakan kunci yang membedakan rasa rokok kretek yang satu dengan yang lain. Selain memberikan berbagai efek cita rasa dan meningkatkan cita rasa tembakau, saus yang dipakai terutama akan meningkatkan efek salivatif pada rokok yang dihasilkan. Dengan iklan yang menggoda di majalah (tidak diberi tahu nama majalah dimaksud), penjualan Kretek Gadis pun meningkat. Kali ini, Soedjagad tidak berhasil menyaingi popularitas kretek buatan Idroes.

“Romo sekarat. Berhari-hari dia mengigau-igau sebuah nama: Jeng Yah.”  Kalimat ini dijadikan kalimat pembuka novel yang dinaratori Lebas, putra bungsu Soeraja, pemilik pabrik sigaret kretek Djagad Raja. Kalimat yang sangat jitu karena langsung menjitak pembaca dengan satu pertanyaan besar: mengapa si Romo pada waktu sekarat mengigaukan nama perempuan lain, dan bukan nama istrinya?

Pertanyaan pembaca akan diikuti dengan reaksi sang istri yang meradang mendengar nama Jeng Yah. Baginya, Jeng Yah adalah perempuan pencemburu yang telah ditolak suaminya. Saking geram ditolak suaminya, Jeng Yah melakukan sesuatu yang tidak beradab. Bayangkan, pada hari pernikahannya, Jeng Yah menghantam jidat suaminya dengan semprong petromaks.

Lebas tidak ingin Romo-nya meninggal dalam keadaan tidak tenang. Ia pun bertekad mencari Jeng Yah, meskipun tidak mengenal perempuan itu. Menurut Romo, ia terakhir kali bertemu Jeng Yah di Kudus, tempat kelahiran Rokok Kretek Djagad. Untunglah kedua kakak Lebas, Tegar dan Karim, mau mendukung pencarian itu. Maka, mereka pun meninggalkan Jakarta dan berpacu dengan Malaikat Maut menuju Kudus, untuk mencari Jeng Yah.

Seiring dengan perjalanan ketiga pewaris pabrik kretek Djagad Raja itu, pengarang menyajikan pula perjalanan kehidupan Idroes Moeria, sejak memulai usaha Klobot Djojobojo hingga melahirkan Kretek Gadis. Perjalanan yang ditempuh Idroes Moeria dimulai sejak zaman penjajahan Belanda, melewati pendudukan Jepang,  menembus Kemerdekaan RI, tersendat di masa-masa seputar G30S PKI, dan berakhir di masa kini. Perjalanan itu akan digurati persaingan, baik cinta maupun usaha rokok. Pada titik singgung persaingan itu, muncullah seorang laki-laki yang berlakon dalam sebuah cinta tak sampai dan pengkhianatan yang diendapkan sejarah.

Pertanyaan pertama yang mengikuti kita selama membaca novel ini adalah: apakah Lebas dan kedua kakaknya berhasil menemukan Jeng Yah?  Pertanyaan kedua dan yang terpenting, adalah: mengapa Jeng Yah memukul jidat ayah mereka dengan semprong petromaks pada hari pernikahan orangtua mereka? Kedua pertanyaan ini akan terjawab pada bagian pamungkas novel, dan berbarengan dengan itu, sebuah penebusan dosa akan dilakukan, dan martabat si kambing hitam keluarga pun akan terdongkrak.

Ratih Kumala mengindikasikan keberhasilannya melinting novel ini menjadi sebuah sajian nikmat dari sari-sari sejarah Indonesia, persaingan usaha dan cinta, dan merekatkan semuanya dengan satu jilatan manis Rara Mendut, yang membuat ketagihan pembacanya. Sama seperti tulisan di sampul belakang novel: Gadis Kretek memang kaya wangi tembakau dan sarat aroma cinta. Jangan sampai Anda mengabaikannya.

Ditulis dengan alur sebagian besar kilas balik, dikembangkan dengan detail dan peristiwa menggugah, dikemas dengan sampul menggoda, seharusnya Gadis Kretek bisa hadir lebih prima. Sayang sekali novel ini masih membutuhkan penyiangan, masih bertaburan typo dan kalimat yang tidak sedap dibaca. Juga ada inkonsistensi yang luput dari sensor pengarang dan editor. Setelah Idroes menikahi Roemaisa, Soedjagad menikahi Lilis, perempuan Madura bertubuh subur. Pengarang menyebutkan bahwa Lilis melahirkan lima orang anak (hlm. 122). Lalu, pada saat ketiga cucu Soedjagad (Mbah Djagad) bercakap-cakap dalam perjalanan, Karim mengatakan kalau ibu mereka adalah satu-satunya anak Soedjagad (hlm. 196). Selanjutnya, pengarang menyatakan lagi kalau Soedjagad memiliki lima orang anak; tiga perempuan dan dua laki-laki (hlm. 235). Pengarang lupa kesalahan sebelumnya.

Satu lagi. Kalau dalam film, ini disebut blooper. Pada bab 11 (Djagad), Karim yang sebelumnya menyetir, meminta Lebas menggantikannya, dan Lebas akhirnya duduk di kursi pengemudi (hlm. 189). Masih dalam satu adegan –artinya Lebas masih menyetir- tiba-tiba Lebas meminta Karim menghentikan mobil karena mau membeli rokok KW sekian Kretek Djagad Raja (hlm. 197). Pengarang lupa setir telah ia alihkan kepada Lebas. Tapi sebelumnya, pengarang memang sempat memunculkan kalimat rancu (hlm. 194):

Karim dan Lebas lanjut tertawa sampai-sampai saking gelinya ia harus memperlambat laju mobil. Matanya sampai basah karena saking keras tertawa.” Siapa yang pengarang maksud dengan “ia” dan “nya” di sini? Kalau membaca kalimat selanjutnya, ketahuan maksudnya “Karim”.

“Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.” Tulisan ini harus disematkan para produsen rokok pada rokok produksi mereka. Ratih merasa berkewajiban mengutip dan menaruhnya pada bagian awal novel. Keputusan yang tepat mengingat Ratih mengisahkan dunia rokok Indonesia, perkembangan, dan kelezatan cita rasanya. Selain itu, dalam novel kita akan menemukan anak remaja yang diajak ayahnya merokok dan perempuan yang punya kebiasaan merokok.

Rokok selalu menimbulkan kontroversi. Ditentang dengan alasan merusak kesehatan. Direstui karena merupakan sumber mata pencaharian.  “Kalau pabrik ini mati, maka orang-orang ini akan nganggur, ndak bisa makan, ndak bisa nyekolahi anak-anaknya, mereka jatuh miskin,” kata Soeraja terkait pabrik rokok kreteknya (hlm. 37).

Bagi sebagian kalangan, rokok sudah menjadi kebutuhan. Hal ini juga yang menjadi penyebab rokok masih diproduksi. Efek salivatif yang disebabkan oleh berpadunya cita rasa saus rokok dan cita rasa tembakau memang mendatangkan kecanduan. Persis seperti Gadis Kretek
15 April 2012

The Power of Six


Judul Buku: The Power of Six
Penulis: Pittacus Lore
Penerjemah: Nur Aini
Tebal: 427 halaman
Cetakan: 1, November 2011
Penerbit: Mizan Fantasi


 




Mereka siap bertarung. Mau tidak mau. Nomor Satu ditangkap di Malaysia. Nomor Dua di Inggris. Nomor Tiga di Kenya. Mereka mencoba menangkap Nomor Empat di Ohio, tapi gagal. Nomor Enam mendatangi Nomor Empat dan bekerja sama melawan para Mogadorian. Dalam perlawanan yang sengit, keduanya tidak bisa mengabaikan Sam Goode, sahabat Nomor Empat, dan Bernie Kosar, Chimæra yang mendampingi Nomor Empat.

Nomor Empat, yang sedang menyandang nama John Smith, meninggalkan Paradise, Ohio, bersama Nomor Enam dan Sam Goode. Tujuan utama mereka adalah berkumpul dengan Garde yang lain untuk membalas kekalahan Lorien. Baik John maupun Nomor Enam, telah ditinggal mati Cêpan atau pelindung mereka.

Kekacauan yang terjadi di Paradise berakhir pada ditetapkannya status John (dan Henri) sebagai buronan karena disangka teroris. Hal ini semakin membuat berat perjalanan tiga sekawan ini. Karena, Mogadorian pun bisa muncul sewaktu-waktu tanpa diprediksi sebelumnya.

Selama perjalanan John dan Nomor Enam terus melatih Pusaka mereka. Keduanya sama-sama memiliki kemampuan telekinesis. John yang Pusaka utamanya belum muncul, juga sudah memiliki Pusaka Lumen dan berkomunikasi dengan binatang. Sedangkan Nomor Enam dianugerahi Pusaka paling langka dari bangsa Lorien yaitu membuat dirinya tidak kasatmata. Nomor Enam kian dahsyat karena ia pun mampu mengontrol dan memanipulasi cuaca. Setiap kali memanipulasi cuaca, di awan akan muncul seraut wajah laki-laki berusia sembilan puluh tahunan.

Seiring perjalanan mereka, John kembali mendapatkan berbagai penglihatan. Sebelumnya, John mampu melihat Lorien sebelum dan pada saat invasi Mogadorian. Kali ini, ia mendapatkan penglihatan terkait Mogadorian. Dari penglihatan, John mengetahui kalau binatang-binatang buas yang menyerang mereka di Paradise adalah piken dan kraul. Dari penglihatannya pula, ia mengetahui jati diri pemimpin Mogadorian.

Pada saat bersamaan, di Santa Teresa, Spanyol, Nomor Tujuh merasakan kebutuhan mendesak untuk bertemu Garde lain yang masih hidup. Selain memiliki kemampuan telekinesis, Marina –nama Nomor Tujuh saat ini- mampu melihat dalam gelap, bernapas dalam air, berlari sangat kencang, dan menyembuhkan makhluk hidup yang sakit atau terluka.

Berkebalikan dengan Marina yang sangat sadar siapa dirinya, Adelina, Cêpannya, sudah meragukan apa yang mereka perjuangkan. Setelah tinggal di biara, Adelina ingin menjalani hidup untuk membantu manusia dengan doa dan pelayanan. Tapi Marina tidak bisa menerima. Apalagi suatu hari, ia melihat kemunculan seorang laki-laki yang diduganya sebagai Mogadorian di Santa Teresa. Tekadnya pun kian menggelegak, ia harus meninggalkan Santa Teresa dan berjumpa Garde lain. Meninggalkan Santa Teresa saat ini, berarti juga membawa pergi Ella, gadis cilik yang belum lama tinggal di biara.

The Power of Six adalah buku kedua dari The Lorien Legacies yang ditulis pengarang berpseudonim Pittacus Lore. Sebenarnya, kendati mengetengahkan Nomor Enam dalam judul, buku ini tidak hanya berfokus pada Nomor Enam. Jika dalam buku pertama, I Am Number Four, John Smith adalah narator tunggal, kali ini John berbagi dengan Marina. Karena kedua narator sama-sama sedang diburu Mogadorian, cerita dalam buku ini berkembang lebih seru dibandingkan buku pertama. Secara bergantian, kita akan mengikuti perjalanan kedua karakter, dibantu teman-teman mereka, bertarung melawan Mogadorian dalam aksi yang kian mendebarkan. Pertarungan ini menyadarkan mereka pada perubahan situasi. Mantra pelindung yang dimeteraikan Tetua terakhir Loridas, telah dipatahkan. 

Dalam buku ini pengarang mengungkapkan bahwa sebenarnya ada sepuluh Garde yang datang ke Bumi. Hanya saja, salah satu Garde belum mempunyai Cêpan. Selain Nomor Tujuh, kita juga akan mengenal dua Garde lain. Yang satu memiliki kemampuan antigravitasi, berpendengaran super, dan mampu memindahkan kekuatannya kepada manusia. Lainnya, belum muncul Pusakanya, tapi sudah memiliki kemampuan mengubah usia, menjadi lebih tua atau lebih muda.

Diungkapkan pula bahwa saat tiba di Bumi sepuluh tahun silam, ada sembilan manusia sekutu Loric yang menjemput mereka. Para sekutu Loric ini memberi mereka pedoman mengenai budaya dan mencarikan rumah pertama untuk mereka tempati. John akan mengetahui siapa sekutu Loric-nya dalam buku ini.

Pengarang juga memberi tahu kita bagaimana para Mogadorian bisa berbaur di Bumi. Ternyata tidak semua mereka berpenampilan seram dengan kulit sangat putih serta gigi dan mata yang berbeda. Hanya pengintai dan prajuritlah yang berpenampilan seram.  Mogadorian lain tampak seperti manusia biasa.

Ada hal yang mengundang pertanyaan dalam buku ini. Di buku pertama, dalam bagian “Surat dari Tetua Lorien” Pittacus Lore mengatakan kalau jarak Lorien dari Bumi 50 juta km (Edisi Indonesia, hlm. 489). Di buku ini, ketika John Smith diinterogasi Detektif Murphy (hlm. 319), ia mengatakan kalau jarak Lorien dari Bumi 480 juta km. Jadi, mana yang betul?

Edisi Indonesia The Power of Six dilengkapi bonus The Lost Files: Six’s Legacy. Di bagian ini, kita akan mengetahui kehidupan Nomor Enam sebelum bertemu dengan Nomor Empat. Kabarnya, setelah dokumentasi kehidupan yang hilang dari Nomor Enam, akan muncul juga dokumentasi kehidupan tiga Grade yang telah dibunuh (The Lost Files: The Fallen Legacies) dan Nomor Sembilan (The Lost Files: Nine’s Legacy).
 

Website Jobie Hughes (saat tulisan ini dibuat)
Jika Anda membaca dalam website Jobie Hughes, di sana Anda akan membaca dalam biografi singkatnya ditulis: "He is the co-author of two previous novels, both of which were #1 New York Times Best Sellers and have sold over a million copies worldwide". Baik I Am Number Four maupun The Power of Six tidak disebutkan sebagai karyanya. Sesuai isi kontraknya dengan James Frey, ia memang kehilangan hak cipta atas karyanya. Padahal ia yang menulis kedua buku itu, dan James Frey hanya memberikan konsep cerita. 

Hughes melanggar kontrak dengan mengungkap keterlibatannya dalam proyek The Lorien Legacies kepada publik. Kontrak yang merugikan Hughes pun diketahui banyak orang. Merumitnya permasalahan kontrak ditambah frustrasinya Hughes karena tidak bisa menerbikan bukunya tanpa persetujuan Frey, berakhir dengan keminggatannya dari proyek ini. Buku ketiga, The Rise of Nine, yang akan diterbitkan tahun 2012 ini, tidak lagi melibatkannya. 

Dengan menggantung cerita para Garde di bagian pamungkas The Power of Six, pengarang berhasil memerangkap kita dalam keinginan untuk terus mengikuti sekuel buku ini. Tapi dengan minggatnya Hughes dari proyek The Lorien Legacies lanjutan cerita para Garde akan ditulis pengarang lain. Hal ini sudah pasti memunculkan pertanyaan: bagaimana pengarang sekuel mengembangkan karakter dan peristiwa yang telah diciptakan Hughes? Semoga saja, tidak muncul berbagai inkonsistensi pada dua buku terakhir. 

14 April 2012

I Am Number Four


Judul Buku: I Am Number Four
Penulis: Pittacus Lore (2010)
Penerjemah: Nur Aini
Tebal:493 halaman
Cetakan: 1, Januari 2011
Penerbit: Mizan Fantasi



 



Tiga sudah mati. Kematian mereka dikabarkan kepada yang masih hidup dengan bekas luka berbentuk goresan di sekeliling pergelangan kaki kanan. Daniel Jones, salah satu Garde, mendapatkan goresan pertama pada umur sembilan tahun di Arizona. Goresan kedua muncul pada umur  dua belas tahun di Colorado. Sudah dua puluh satu kali ia berpindah tempat tinggal dengan Henri, Cêpan-nya. Seiring dengan itu, namanya pun berganti-ganti. Goresan ketiga menyusul pada umur lima belas tahun ketika ia bermukim di Florida.

Mulanya mereka bersembilan manakala meninggalkan planet mereka, Lorien. Mereka bersembunyi di Bumi, berpencar ke berbagai tempat, tumbuh, dan mengembangkan kekuatan yang disebut Pusaka. Untuk membiayai hidup mereka di Bumi, mereka dibekali dengan berbagai macam permata dari Lorien. Suatu hari nanti, jika mereka tidak dibunuh, diharapkan mereka bisa membalas kekalahan Lorien. 

Lorien adalah salah satu dari delapan belas planet di jagat raya yang bisa ditempati (termasuk Bumi dan Mogadore). Sebelum hancur, Lorien adalah planet yang kaya dengan sumber daya alam. Mereka menghasilkan berbagai permata dan logam berharga. Lalu ras Mogadorian dari planet Mogadore melakukan invasi. Demi merampas sumber daya alam mereka, Mogadorian berniat membasmi semua penduduk Lorien.

Mengetahui kekuatan sembilan Garde, para prajurit Mogadorian memburu mereka ke Bumi. Sebuah mantra melindungi sembilan Garde. Sebelum mantra itu dipatahkan, mereka tidak bisa dibunuh, kecuali secara berurut.

Menghadapi ancaman prajurit Mogadorian, para Garde hidup nomaden. Daniel Jones yang kini bernama John Smith pindah ke Ohio bersama Cêpan-nya. “Aku  Nomor Empat,” kata John. “Berikutnya adalah giliranku.” (hlm. 17).

Saat berpindah tempat tinggal, barang-barang mereka ditinggalkan. Mereka hanya membawa Peti Loric yang berisi warisan John. Kecuali Cêpan-nya mati, peti itu hanya bisa dibuka bersama-sama.

Hari pertama bersekolah di SMA Paradise, Ohio, Pusaka pertama Nomor Empat muncul. Kemampuan yang disebut lumen membuat tangannya bisa mengeluarkan cahaya. Ia akan menjadi tahan api dan tahan panas. Selanjutnya, ia juga ditakdirkan memiliki kemampuan telekinesis.

Tinggal di Paradise, John menjalin persahabatan dengan Sam Goode, yang kehilangan ayahnya pada umur tujuh tahun. Untuk pertama kalinya pula, John jatuh cinta pada Sarah Hart, yang menyukai fotografi. Masa remajanya mungkin akan terasa indah jika ia tidak sedang menjadi target pembunuhan. Para Mogadorian tetap bisa melacak keberadaannya. Sehingga tidak terhindarkan lagi, ia harus bertarung dengan kemampuannya yang ada. Selain Sam Goode, John akan mendapat bantuan dari Garde lain, gadis jelita yang adalah Nomor Enam. Tidak hanya memiliki kemampuan telekinesis, Nomor Enam juga bisa memanipulasi badai, dan membuat dirinya tidak kasatmata. Trio ini akan didukung Bernie Kosar, anjing beagle yang mengikuti Nomor Empat.

Bagi manusia di Bumi, penghuni Lorien maupun Mogadore adalah alien. Alien Lorien digambarkan sama dengan manusia sehingga bisa berbaur dengan manusia. Hanya saja, mereka berumur lebih panjang. Di samping itu, mereka memiliki Pusaka berupa kekuatan supranatural. Alien Mogadorian bertubuh jangkung hingga mencapai 2,5 meter, berotot dengan urat-urat lengan bertonjolan. Mereka berkulit pucat dan berambut panjang. Paras mereka tampak berbeda karena dilengkapi mata tanpa pupil dengan lingkaran tebal dan gelap serta gigi seperti dikikir yang berkilat dengan bentuk tidak wajar pada bibir yang tampak tidak bisa ditutup. Di sini tidak diceritakan cara Mogadorian yang dalam jumlah banyak bisa berbaur di Bumi dengan penampilan  semenakutkan itu.

Kisah Garde dalam novel I Am Number Four, buku pertama The Lorien Legacies, diceritakan oleh salah satu dari sepuluh Tetua Lorien, Pittacus Lore. Pittacus adalah Tetua terkuat dan merupakan pemimpin para Tetua. Sebagai Tetua, ia menguasai semua Pusaka Lorien. Janggal rasanya, sepuluh Tetua Lorien yang menguasai semua Pusaka Lorien, bisa ditaklukkan oleh Mogadorian dan hanya berharap pada Sembilan Garde. Bukankah Sembilan Garde dengan beberapa Pusaka masih kalah unggul dibandingkan Sepuluh Tetua dengan semua Pusaka? Dalam novel, dikatakan bahwa sebelum Lorien dihancurkan prajurit Mogadorian bersama koleksi binatang buas mereka, Pittacus mengumpulkan para Tetua dan menghilang. Sungguh sangat pengecut, dengan kemampuan luar biasa dahsyat, mereka tidak melakukan apa-apa. Seperti yang disampaikan Pittacus Lore dalam Surat dari Tetua Lorien (hlm. 489-493), rupanya mereka bersembunyi di Bumi.

Nama Pittacus Lore juga disematkan sebagai penulis novel. Dengan memakai pseudonim, jati diri penulis sebenarnya disembunyikan, dan menjadi ghostwriter
 
Novel ini ditulis untuk usaha penerbitan milik James Frey, penulis yang menghebohkan dengan skandal memoar penuh kebohongan berjudul A Million Little Pieces (2003). Sebagai pemilik Full Fathom Five, Frey menjaring penulis muda yang belum pernah menerbitkan buku untuk menghasilkan novel fantasi Young Adult (YA). 
 
Jobie Hughes telah menuntaskan novel pertamanya yang bertajuk At Dawn ketika bergabung dengan proyek Frey. Jobie belum lama menyabet gelar Master of Fine Arts (MFA) di bidang creative writing dari Universitas Columbia. Sesuai isi kontrak, karena gagasan The Lorien Legacies berasal dari Frey, Hughes hanya akan mendapatkan 30% dari semua pendapatan proyek ini. (Frey akan memberikan 40% jika gagasan datang dari penulis yang direkrutnya). Kontrak juga menyebutkan bahwa Hughes tidak boleh membocorkan proyek ini kepada publik. Bila melanggar, Hughes terancam denda 250 ribu dolar.

Menerima isi kontrak tanpa konsultasi sebelumnya dengan pengacara, membuat Hughes kehilangan hak cipta atas karyanya. Ia tidak akan disebut sebagai (salah satu) penulis I Am Number Four. Mungkin, karena Hughes yang berperan besar dalam menghasilkan novel ini (dan bukan James Frey), Full Fathom Five memilih menggunakan pseudonim.

Diam-diam (tapi bisa jadi atas persetujuan Frey), Hughes menempatkan nama James Frey dan namanya ke dalam novel. Seperti rencana Henri, Cêpan-nya, Nomor Empat akan bernama James Hughes pada umur 16 tahun, dan bernama Jobie Frey pada umur 18 tahun (hlm. 298).

I Am Number Four adalah buku pertama dari The Lorien Legacies yang rencananya akan terbit sebanyak empat buku. Memilih alien sebagai karakter utama, merupakan ide James Frey untuk menelurkan novel fantasi yang berbeda. Alien mungkin telah banyak muncul dalam berbagai film, tapi tidak sering digarap dalam novel fantasi remaja. Dengan mengedepankan alien, Frey berharap akan menghadirkan karya yang tidak seperti Twilight Saga, tapi bisa mengikuti kesuksesan tetralogi Stephenie Meyer itu. 

Buku pertama Sembilan Penerus Pusaka Lorien ini ternyata menuai sukses. Bahkan diadaptasi ke dalam film. Cerita mereka pun dilanjutkan ke dalam buku kedua, The Power of Six (2011). Buku ketiga, The Rise of Nine, direncanakan terbit pada Agustus 2012.
 
I am Number Four mungkin belum terlalu seru untuk ukuran novel fantasi. Tapi kisah Sembilan Penerus Pusaka Lorien merupakan gagasan yang sangat menarik. Gagasan ini memberikan sentakan awal yang akan membuat pembaca tergerak tetap mengikuti buku berikutnya. Sehingga mau tidak mau, penulis tertantang lebih piawai mengembangkan intensitas problematika dengan bumbu aksi  yang kendati tidak terjangkau nalar, mampu melambungkan imajinasi pembaca.

Belum terlalu seru bukan berarti daya pikat novel ini berkurang. Cerita tetap mengalir lancar. Romansa berbalut cemburu  yang ada tepat dosis. Kemunculan Nomor Enam semakin memancing harapan akan cerita yang lebih seru. Keseluruhannya enak dibaca.

Edisi Indonesia hadir cukup mengesankan. Terjemahannya enak dibaca, font-nya ramah mata, dan sampulnya menghadirkan Alex Pettyfer, si tampan yang memerankan Nomor Empat dalam versi film.

Setelah menulis buku kedua, The Power of Six, Hughes hengkang dari proyek The Lorien Legacies. Buku ketiga, The Rise of Nine, yang direncanakan terbit Agustus 2012, diselesaikan tanpa campur tangan Hughes.


Catatan:
Novel ini telah saya khatamkan pada 2011, tapi tidak membuat ulasan. Awal 2012, saya membaca kembali dan menulis ulasan ini, karena telah menamatkan dan ingin mengulas buku keduanya, The Power of Six.
 
12 April 2012

Nyonya Besar


Judul Buku: Nyonya Besar
Penulis: Threes Emir
Tebal: 272 hlm; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, Januari 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

 
 




Nyonya besar adalah nyonya kaya atau istri orang berada (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Nyonya Besar menjadi judul kumpulan kisah para nyonya besar Ibu Kota yang ditulis Threes Emir berdasarkan kisah nyata. Selain kaya menurut definisi di atas, badan besar, ego besar, hati besar, sarat empati, dan penuh simpati pada sesama, mendukung para perempuan dalam buku ini untuk menjadi nyonya besar.

Ita (Nyonya Besar 1) yang kaya dan berperawakan besar, penuh simpati pada orang lain. Merasa telah diberkati, Ita ingin memberkati orang lain. Ita mirip dengan Valencia (Nyonya Besar 3), yang berbuat baik kepada sopir pribadinya. Isti (Nyonya Besar 8) membagi-bagikan ratusan nasi bungkus kepada orang-orang susah. Ia menolak ketika ketulusan hatinya hendak diperdagangkan dalam dunia politik. Sedangkan Mirna (Nyonya Besar 20), penyantun yayasan panti jompo dan yayasan pendidikan anak-anak keluarga miskin, mau belajar dari orang-orang tak berpunya dan mengkaji kembali gaya hidupnya yang mewah.

Arlin (Nyonya Besar 18), janda kaya nan cantik menikahi seorang pria yang kecanduan narkoba. Kebesaran hati Arlin membuatnya menerima ulah suaminya tanpa membuat keributan. Wita (Nyonya Besar 5), seorang dosen, menikahi laki-laki yang tidak bisa diharapkan. Sambil menerima kondisi suaminya, Wita mensyukuri kasih Tuhan yang luar biasa. Novita yang cantik (Nyonya Besar 6) bersuamikan laki-laki tidak menarik. Ia tidak menduga sebelumnya, penampilan suaminya yang mengecewakan akan menyelamatkannya dari godaan. Parni (Nyonya Besar 10) harus menerima suaminya yang menyukai dangdut, meskipun ia hanya berminat pada musik-musik mancanegara, terutama musik klasik.

Kinanti (Nyonya Besar 17) memiliki hati besar. Walaupun suaminya berselingkuh, ia menghadapi dengan sabar. Ia berniat menangani suami dan kekasih suaminya, dengan caranya sendiri. Asih (Nyonya Besar 24) merasa bosan di rumah karena tidak kunjung hamil. Sementara ia bergelut mencari kesibukan, suaminya bergelut meniduri perempuan lain. Suami Kinanti dan Asih setali tiga uang dengan suami Wiwin (Nyonya Besar 21). Suami Wiwin tidak hanya berselingkuh dengan sahabat putrinya, tapi juga berniat mencelakakan Wiwin.

Pratiwi (Nyonya Besar 13) seorang ibu yang peka terhadap kehidupan anak-anaknya mendapati putri bungsunya menjadi simpanan pejabat. Tidak ada hal lain yang akan ia lakukan, kecuali memulangkan anaknya, dan tetap merahasiakan aib yang terjadi. Tabita (Nyonya Besar 12) diajak putranya tinggal di Amsterdam. Ia menolak, karena merasa lebih cocok tinggal di Jakarta yang kumuh. Sedangkan Ulfah (Nyonya Besar 14) telah delapan tahun menikah, belum dikaruniai anak. Kejengkelannya kepada teman arisan hampir terbayar, sebelum sesuatu mencegahnya. Tante Norma (Nyonya Besar 12) diceraikan suaminya dan harus bekerja keras membiayai keluarga. Ia menikah lagi, dan karena hidup membuatnya tidak perlu membanting tulang, ia berkeinginan memuluskan wajahnya. Sedangkan Marni (Nyonya Besar 2) hidup mewah tapi masih mampu mengontrol gaya hidup mewahnya.

Ada juga perempuan lain yang belum (atau tidak) berkeluarga yang dinobatkan sebagai Nyonya Besar. Ranti (Nyonya Besar 4) selalu melakukan hal-hal besar dalam hidupnya, termasuk membesarkan tubuhnya. Ully (Nyonya Besar 19) tidak berhenti berdagang sekalipun sudah bekerja di sebuah perusahaan, dan menimbulkan iri hati rekan kerja. Winda (Nyonya Besar 25) yang memiliki hati besar, belum menikah pada usia 37 tahun, dicurigai sebagai lesbian dan simpanan suami orang. Sedangkan Kirana (Nyonya Besar 15) adalah pewaris sebuah bisnis percetakan besar yang sangat pelit.

Tidak semua Nyonya Besar di sini sikapnya bisa diteladani. Sheila (Nyonya Besar 9) tidak jahat, tapi egonya yang raksasa menjadikannya gila hormat dan haus publikasi. Nana (Nyonya Besar 11) juga tidak jahat, ia hanya terlalu nekat dan oportunis. Kirana (Nyonya Besar 15) sangat menjengkelkan karena sifat pelitnya yang keterlaluan. Suli (Nyonya Besar 16) sangat sulit mendapatkan simpati. Setelah membuat pernikahannya yang penuh kepalsuan kandas, ia bersiap mengamblaskan pernikahan anaknya, yang juga penuh kepalsuan. 

Penulis sempat kebingungan saat menyandingkan dua perempuan dalam satu cerita. Siapakah yang berhak mendapatkan predikat Nyonya Besar? Kirana yang super pelit atau Mia, si janda cerai yang menjadi sekretarisnya (Nyonya Besar 15)? Ully, yang membanting tulang dan sukses mengumpulkan uang atau Ibu Manajer Umum yang kata-katanya menghasilkan tas impiannya (Nyonya Besar 19)?

Dalam kesusastraan Melayu Klasik, nyonya besar berarti perempuan yang berlagak seperti orang kaya (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Winny (Nyonya Besar 23) adalah Nyonya Besar yang dimaksud. Sebagai seorang follower yang luar biasa, Winny tidak ingin ketinggalan gaya yang sedang ngetrend. Ia akan menghalalkan segala cara untuk menciptakan citra palsu Nyonya Besar dalam dirinya.

Meskipun mengangkat kehidupan kaum perempuan metropolis, cukup mengejutkan buku ini dimasukkan dalam kelompok metropop. Mungkin, sementara pembaca metropop akan kecewa setelah membeli dan membaca buku ini. Bukan saja karena buku ini dikemas sebagai koleksi cerpen -genre yang tidak lazim untuk metropop, juga karena cerita dalam buku ini tidak terduga dan melenceng dari tradisi metropop. Mendengar kata metropop, pembaca yang pernah membaca buku dari kelompok ini akan segera membayangkan salah satu dari hal-hal ini: novel, makhluk cantik dan tampan nan modern, cinta berbelit, atau bahkan seks ekstramarital.

Senyatanya, koleksi Threes Emir ini sangatlah berguna. Kisah-kisah yang ada inspiratif dan mendorong pembaca, khususnya para Nyonya Besar, untuk mawas diri. Sebab mungkin, mereka akan melihat diri mereka berada di antara 25 Nyonya Besar di sini, dengan nama berbeda. Mereka mungkin akan suka, atau mungkin juga tidak, tapi mereka harus belajar. Bahwa menjadi Nyonya Besar yang baik tidak gampang. Nyonya Besar yang baik tidak sekadar karena kaya atau bersuami kaya (dan berperawakan besar), melainkan juga karena diri mereka menyimpan hati yang besar, mampu mengendalikan ego, sarat empati, dan penuh simpati pada orang lain.  

Hidup, Nyonya Besar!

11 April 2012

Please Look After Mom


Judul Buku: Please Look After Mom (Ibu Tercinta)
Penulis: Kyung-Sook Shin (2008)
Penerjemah: Tanti Lesmana
Tebal: 296 hlm; 13,5 x 20cm
Cetakan: 1, September 2011
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



 


NAMA: Park So-nyo
TANGGAL LAHIR: 24 Juli 1938 (69 tahun)
CIRI-CIRI: Pendek, rambut keriting beruban, tulang pipi menonjol, terakhir kali terlihat memakai baju warna biru langit, jaket putih, dan rok lipit warna krem.
TERAKHIR TERLIHAT DI: stasiun kereta bawah tanah Seoul


 



Di stasiun kereta bawah tanah Seoul, mereka bergegas naik gerbong. Tangan Park So-nyo terenggut dari tangan suaminya. Ketika kereta telah bergerak, suaminya baru sadar kalau So-nyo tertinggal. Sang suami kembali ke Stasiun Seoul setelah melewati beberapa stasiun. Tapi So-nyo sudah tidak ada di sana.

So-nyo hilang. Meskipun secara rutin datang ke Seoul, ia tidak mengenal seluk-beluk Seoul. Semakin sulit baginya, lantaran buta huruf. Anak-anak gempar, saling menyalahkan satu dengan yang lain. Mereka lalu mengerahkan segala upaya. Melapor ke polisi. Membagi-bagikan selebaran dengan janji imbalan uang. Menjelajahi berbagai tempat di Seoul. Bahkan, kembali ke tempat ibu mereka tertinggal. So-nyo bagaikan ditelan bumi.

Menghilangnya So-nyo membuka kenangan anggota keluarganya. Penulis memberikan tempat secara khusus kepada Hyong-chol, si anak sulung; Chi-hoon, anak ketiga sekaligus anak perempuan pertama, dan suami So-nyo. Entah kenapa, penulis tidak memberikan kesempatan anak-anak lain membocorkan kenangan mereka kepada pembaca. Selain Hyong-chol dan Chi-hoon, ada tiga anak lain. Anak kedua, seorang laki-laki; anak keempat, seorang perempuan berprofesi sebagai apoteker; dan anak kelima, seorang laki-laki, mempunyai toko pakaian online.

Chi-hoon, si novelis, menjadi bulan-bulanan cerita yang disajikan menggunakan sudut pandang orang kedua dalam bab pertama (Tak Ada yang Tahu) dan epilog (Rosario dari Kayu Merah). Ketika ibunya hilang, Chi-Hoon sedang berada di Beijing. Ia baru tahu ibunya hilang setelah lewat empat hari. Ibu, dalam pandangan Chi-hoon, sudah menjadi ibu sejak lahir. Sebagai ibu, bagi Chi-hoon, sudah menjadi tugas So-nyo mencukupkan kebutuhan keluarga dan mencari solusi bagi setiap permasalahan anak-anaknya. Setelah dewasa dan tinggal di Seoul, Chi-hoon menciptakan keterasingan antara dia dan ibunya. Ia berubah dingin, ketus, dan tidak acuh pada semua keinginan ibunya.
 
Nanti, kalau kita sudah menemukan Ibu, aku akan kawin dengan Yu-bin. Sejak dulu Ibu kepingin aku menikah,” kata Chi Hoon. “Setelah Ibu hilang, aku baru sadar bahwa semua hal ada jawabannya. Bahwa sebenarnya aku bisa memenuhi semua keinginannya. Cuma urusan remeh-temeh. Entah kenapa aku selalu membuat Ibu kesal gara-gara hal-hal seperti itu. Aku juga tidak akan bepergian naik pesawat lagi.” (hlm. 135).

Menggunakan perspektif orang ketiga pada bab kedua (Maafkan Ibu, Hyong-chol), penulis mengajak kita mengikuti kenangan Hyong-chol, si direktur pemasaran perusahaan pengembang apartemen. Hilangnya Ibu memicu berbagai peristiwa dalam ingatan Hyong-chol, momen-momen tertentu, seperti pintu-pintu yang dihiasi daun mapel itu, yang semula dia pikir telah terlupa dari ingatan (hlm. 124). Ia adalah anak kesayangan ibunya, tapi ia mengecewakan ibunya. Bukannya jadi jaksa seperti keinginan ibunya, ia malah jadi penjual apartemen.

Sekarang Hyong-chol merenung-renungkan hal ini. Sewaktu masih agak muda, Ibu-lah yang terus-menerus menjadi pendorong semangatnya dan meneguhkan tekadnya untuk menjadi seorang laki-laki, dan menjadi manusia (hlm. 112).

Di akhir ketidakbisaan Hyong-chol menemukan sang ibu, penulis menuturkan: “Tak ada hasrat lain di hatinya selain untuk mengurus Ibu baik-baik kalau nanti Ibu diketemukan. Tetapi kini kesempatan itu telah hilang darinya.” (hlm. 142).
 

Karena cerita kemudian digelontor kembali menggunakan perspektif orang kedua, kita seperti mendengar Ayah sedang didakwa pada bab ketiga (Aku Pulang). “Sejak istrimu lenyap, hatimu seolah-olah akan meledak setiap kali kau teringat langkahmu yang cepat. Kau selalu berjalan di depan istrimu. Kadang-kadang kau berbelok tanpa menoleh ke belakang. Kalau istrimu memanggil-manggil dari jauh di belakang sana, kau menggerundel dan bertanya kenapa dia berjalan begitu lambat.” (hlm. 173). Merenungkan apa yang terjadi di stasiun kereta bawah tanah Seoul, ia sadar kebiasaannya selalu berjalan cepat telah membuat So-nyo tertinggal di stasiun bawah tanah.

Serangkai dakwaan kembali diarahkan padanya. “Sebelum istrimu hilang, kau tidak pernah memikirkan dia dalam menjalani hari-harimu. Kalaupun kau teringat padanya, itu sekadar untuk menyuruhnya melakukan sesuatu, atau untuk menyalahkannya, atau tidak mengacuhnya. Kebiasaan kadang-kadang menjadi sesuatu yang menakutkan. Kau berbicara dengan sopan kepada orang-orang lain, tetapi kepada istrimu kata-katamu selalu ketus. Kadang-kadang kau bahkan memakinya. Kau bersikap seolah-olah sudah diputuskan bahwa kau tidak bisa berbicara baik-baik kepada istrimu. Itulah yang kaulakukan.” (hlm. 150).

Sebelum kau kehilangan istrimu di peron stasiun bawah tanah Seoul, bagimu dia hanyalah ibu dari anak-anakmu. Dia ibarat sebatang pohon yang kokoh, sampai kau mendapati dirimu berada dalam situasi di mana kau mungkin tidak akan pernah melihatnya lagi –sebatang pohon yang akan tetap di tempatnya, kecuali kalau ditebang atau dicabut dari akar-akarnya. Setelah ibu anak-anakmu hilang, baru kausadari bahwa yang hilang itu adalah istrimu. Istrimu, yang telah kauabaikan selama lima puluh tahun, ternyata hadir di dalam hatimu. Setelah dia hilang, barulah keberadaannya terasa begitu nyata, seolah-olah kau tinggal mengulurkan tangan untuk menyentuhnya.” (hlm. `152).

Sesungguhnya, anggota keluarga tidak begitu mengenal So-nyo. Si apoteker menyampaikan pendapatnya: “Walaupun aku seorang ibu, aku memiliki begitu banyak impian, dan aku masih ingat hal-hal dari masa kecilku, masa remajaku, dan sewaktu aku beranjak dewasa. Tak ada satu pun yang kulupakan.  Jadi, kenapa sejak semula kita melihat Ibu hanya sebagai Ibu? Dia tidak mempunyai kesempatan untuk mengejar impian-impiannya, dan seorang diri dia menghadapi segala sesuatu yang ditimpakan zamannya, kemiskinan dan kesedihan; dia tidak bisa berbuat apa-apa tentang beban sangat berat yang mesti ditanggungnya, selain memikulnya dengan tabah, mengatasinya, dan menjalani hidupnya sekuat kemampuan, menyerahkan jiwa-raga sepenuhnya. Kenapa selama ini aku tidak pernah terpikir tentang impian-impian Ibu? “ (hlm. 271). Lalu ia menyimpulkan: “Sungguh tidak adil bahwa selama ini Ibu mengorbankan segala-galanya untuk kita, tetapi tidak seorang pun yang bisa memahami dirinya.” (271).

Sambil bertanya-tanya kemana perginya dua anak laki-laki yang lain (Anda seharusnya juga bertanya-tanya :)), kita dibawa ke hadapan patung Pieta di Basilika St. Peter dan mengetahui, lewat narator orang kedua, salah satu anak berdoa. “Kumohon, kumohon jagalah Ibu” (hlm. 293).

Saat membaca dari bagian pertama hingga bagian ketiga kita akan (pasti!) digedor pertanyaan: apakah Ibu bisa ditemukan? Masuklah ke bagian keempat (Perempuan Lain) yang dinaratori sang ibu, di sana penulis telah menyiapkan jawaban. Namun, epilog tetap mesti dituntaskan karena di sana kita juga akan dihadang sebuah kejutan.
 

Kyung-sook Shin, penulis Please Look After Mom, adalah salah satu penulis Korea Selatan yang karyanya paling banyak dibaca. Ia menulis novel, cerita pendek, dan karya nonfiksi. Berbagai penghargaan sastra telah ia terima di negaranya. Ia mendapatkan penghargaan Prix de l’Inapercu untuk terjemahan bahasa Prancis novelnya yang berjudul A Lone Room. Pada 15 Maret 2012, ia dinobatkan sebagai perempuan pertama yang memenangkan Man Asian Literary Prize untuk Please Look After Mom. Popularitasnya sebagai penulis yang naik dengan cepat dikenal sebagai Kyung-sook Shin Syndrome.

Ibu dalam Please Look After Mom terinspirasi sosok ibunya sendiri yang bekerja sebagai petani di Chongup. Ibunya ingin ia memiliki kehidupan berbeda dan lebih baik dari ibunya. Pada usia 16 tahun, orangtuanya tidak mampu menyekolahkannya lagi. Kyung-sook dikirim ibunya ke Seoul untuk tinggal dengan kakak laki-lakinya dan bisa melanjutkan sekolahnya.

Membaca Please Look After Mom, bisa dipastikan, kita yang masih punya ibu, akan semakin berempati dan semakin mencintai ibu kita. Sekalipun ibu kita mungkin tidak pernah mengatakan kata-kata semacam yang diucapkan So-nyo ini: “Ibu rasa, menjalani hidup dari hari ke hari saja sudah cukup menakutkan. Yang paling menakutkan adalah kalau sudah tidak ada lagi yang tersisa di dalam pedaringan. Waktu kupikir aku terpaksa membiarkan kalian kelaparan… bibirku menjadi kering ketakutan.” (hlm. 277).
 
08 April 2012

Raise the Red Lantern


Judul Buku: Raise the Red Lantern
Penulis: Su Tong
Penerjemah: Rahmani Astuti
Tebal:136 halaman
Cetakan: 1, November 2011
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta


 




Pada usia sembilan belas tahun, Teratai dibawa ke taman keluarga Chen untuk menjadi istri muda Tuan Besar Chen Zuoqian. Teratai berhenti kuliah dan lebih memilih menikahi orang kaya ketimbang bekerja, setelah ayahnya mati bunuh diri gara-gara pabrik tehnya bangkrut. “Kau ingin menikah dengan orang biasa atau orang kaya?” tanya ibu tirinya (hlm. 16). Teratai menjawab,”Tentu saja orang kaya. Haruskah kau bertanya?” Ibu tirinya menimpali. “Tidak akan sama. Jika kau menikahi orang kaya, kau akan menjadi kecil. Maksudku, dengan menjadi istri muda, statusmu akan menjadi lebih rendah.” Teratai tertawa dingin. “Apa itu status? Apakah status itu sesuatu yang dikhawatirkan oleh orang-orang sepertiku? Bagaimanapun aku sudah menyerahkan diriku kepadamu untuk dijual. Jika kau masih menghargai kasih sayang ayahku, juallah aku kepada seorang tuan yang baik.” (hlm. 17).

Memilih menjadi istri keempat menegaskan eksistensi Teratai sebagai korban dalam keluarganya. Keluarganya mendapat uang, dan hidupnya sendiri terjamin. Sebagai kompensasi, ia mesti melayani kebutuhan seks Tuan Chen yang tidak terpuaskan. Pada usia lima puluh tahun, sesungguhnya keperkasaan Tuan Chen sudah meluntur. Tapi, seks tidak berhenti menjadi obsesinya.

Memasuki keluarga Chen, Teratai meninggalkan posisinya sebagai korban, dan berubah menjadi penindas. Seolah-olah sudah ditakdirkan menjadi target penindasan, Walet, pelayan pribadi Teratai, selalu menunjukkan perilaku menggeramkan. Maka, Teratai pun mulai beraksi. Ia memanipulasi situasi agar Walet menuruti keinginannya. Ia menuduh Walet sebagai pencuri seruling peninggalan ayahnya. Ia menjambak dan membentur-benturkan kepala Walet ke dinding saat curiga Walet mengguna-gunainya. Puncaknya, ia mengultimatum Walet memakan kertas toilet yang ditemukannya mengapung di toilet.

Tinggal di taman keluarga Chen, Teratai mesti menyaksikan ketiga istri beradu siasat merebut perhatian Tuan Chen. Mereka saling menjatuhkan, saling fitnah, menjadi korban dan dikorbankan. Saat dua dari para istri hamil secara bersamaan, salah satunya berusaha mengaborsi kandungan yang lain. Lalu, sewaktu Tuan Chen tidak mampu menuntaskan persetubuhan, ada istri yang mau diperlakukan seperti anjing demi membangkitkan syahwat Tuan Chen. Tidak heran, Teratai segera menjadi bahan pergunjingan manakala secara tidak sengaja, ia melukai telinga Mega, istri kedua. 


Secara fisik, Tuan Chen sesungguhnya bukanlah pria yang menarik. Ia tidak bertubuh kekar dengan kemampuan berhubungan seks yang luar biasa. Sebagai kepala keluarga pun, ia sudah tidak bisa diandalkan. Sementara ia memuaskan kebutuhan seksnya, Feipu -anaknya dengan Sukacita, istri pertama- yang bekerja menghidupi keluarga. Tapi, ketika ia menderita lemah syahwat, Karang, istri ketiga, menanggapi ketidakmampuan Tuan Chen dengan mengatakan: “Tak peduli sebagus  apa pun lampu minyak, selalu datang hari di mana dia tidak bisa mengeluarkan api lagi. Yang aku takutkan hanya jika dia tidak bisa lagi punya minyak. Prinsip wanita terlalu kuat di taman ini; dia hanya akan menjadi apa yang diperintahkan oleh takdir jika melanggar prinsip pria. Sekarang keadaannya benar-benar luar biasa: Chen Zuoqian, Tuan Besar Chen, tidak bisa buang air. Tapi kitalah yang menderita dan mengering, tidur di kamar kosong setiap malam.”(hlm. 96)

Para wanita dalam kisah Raise the Red Lantern memang hidup dalam cengkeraman budaya patriarkal. Mereka tidak mampu menentang dan telah dikondisikan untuk hidup sesuai prinsip Tuan Chen bahwa wanita tidak bisa lebih penting daripada pria (hlm. 12). Laki-laki yang memberi mereka jaminan kehidupan menjadi pusat kehidupan mereka, sehingga termasuk dalam hal seks, mereka di bawah kendali laki-laki itu.

Teratai sangat tidak memahami keberadaannya sebagai wanita. ”Makhluk jenis apa sih wanita itu? Kita sama seperti anjing, kucing, ikan mas, tikus…kita hanya seperti sesuatu, sesuatu selain manusia,”  katanya. (hlm. 74). Saat memergoki Tuan Chen mendatangi kamar Walet dan meraba-raba buah dada si pelayan, Teratai berkomentar: “Bahkan seorang gadis pelayan juga paham bagaimana bergantung pada sedikit rabaan untuk membangun kepercayaan dirinya. Wanita memang makhluk semacam itu.” (hlm. 26). Saat tertentu, Teratai pernah mencoba membangkitkan sisi feminisnya. Manakala Tuan Chen ingin menyetubuhinya dan ia sedang merasa tidak siap, ia menolak laki-laki itu. Selanjutnya, waktu Tuan Chen memintanya melakukan seks yang tidak lazim, ia menolak. Sekalipun suaminya mengatakan: “Aku tidak pernah melihat wanita sepertimu. Sudah jadi pelacur dan kau masih ingin punya kesucian yang paling penting dalam kehormatanmu?” (hlm. 91). Sayangnya, hanya sampai di situ. Sebagai wanita yang memasuki lingkaran poligami, ia dituntut memberikan suaminya anak. Dan untuk bisa hamil, ia membutuhkan tubuh suaminya. 


Akhirnya, nasib Teratai terpuruk seperti istri-istri sebelumnya. Tuan Chen bahkan menghinanya dengan mengatakan: “Bagaimana bisa aku mencintaimu seperti ini? Lebih baik aku mencintai seekor anjing!” (hlm. 122). Saat itu, setelah berusaha meninggalkan posisi korban, Teratai kembali menjadi korban. Dan, sebagai korban, ia tidak punya nyali membalas perlakuan suaminya dengan mencari kepuasan seksual di luar rumah. Usahanya merayu Feipu pun gagal. Karena walaupun tidak disampaikan secara gamblang, Feipu jelas homoseksual. 

Pada saat Teratai memilih menjadi istri muda orang kaya, dan bukan istri orang biasa, ia telah menentukan alur hidupnya. Mungkin, jika ia menikahi orang biasa, hidupnya akan menjadi sangat berbeda. Mungkin ia akan lebih bahagia. Hidupnya berantakan, sesak oleh ilusi dan halusinasi. Kondisi semacam ini lalu menggiringnya pada ketidakmampuan menghadapi kenyataan yang membuat kehidupannya terputus di sini.

Mengiringi pergerakan plot dalam novella ini, kita dibayang-bayangi dengan keberadaan sebuah sumur di taman belakang kediaman keluarga Chen. Kabarnya tiga wanita dari generasi sebelumnya bunuh diri dengan melompat ke dalam sumur. Sebelum cerita berakhir, Teratai akan mengetahui apa sebenarnya kegunaan sumur itu. Sebelumnya, ia berhalusinasi melihat dua wanita mengambang di dasar sumur. Kedua wanita itu berparas mirip dengannya. Namun, lebih dari pada itu, tanpa sumur itu pun, dengan menjadi istri muda Tuan Chen, Teratai telah menceburkan dirinya ke dalam sumur kematiannya sendiri.

Raise the Red Lantern adalah novella karya Su Tong, pengarang Cina bernama asli Tong Zhonggui. Lulusan Beijing Normal University ini mulai mempublikasikan karyanya pada 1983 dan dikenal dengan gaya penulisan yang kontroversial. Ia telah menulis tujuh novel dan dua ratus lebih cerita pendek yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Italia, dan Prancis. Ia terkenal karena karyanya yang berjudul Wives and Concubines (Qiqie chengchun, 1990). Pada 1991, karyanya yang berbentuk novella ini diadaptasi ke dalam film dengan judul Raise the Red Lantern (Dahong denglong gaogao gua) yang disutradarai Zhang Yimou dengan aktris utama, Gong Li. Sejak kesuksesan film itu di berbagai festival film terkemuka dunia, edisi terjemahan bahasa Inggris menggunakan judul filmnya. Judul Raise the Red Lantern mengacu pada adegan pemasangan lampion merah setiap malam di depan kamar salah satu istri Tuan Chen yang akan ia kunjungi. Adegan ini tidak terdapat dalam novella.

Selain Raise the Red Lantern, Su Tong telah menghasilkan karya lain seperti Rice, My Life as Emperor, Binu and the Great Wall, Madwoman on the Bridge and Other Stories, dan Tattoo: Three Novellas. Pada 2009, ia mendapatkan penghargaan Man Asian Literary Prize untuk karyanya yang berjudul The Boat to Redemption. Pada 2011, ia dinominasikan untuk menerima Man Booker International Prize. Raise the Red Lantern adalah karya pertamanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sayangnya, novel terbitan Serambi ini diterjemahkan dari edisi Inggris hasil terjemahan Michael S. Duke dari bahasa Mandarin (2004).

“Ketika seorang kaya menjadi semakin kaya, dia menginginkan wanita, begitu menginginkannya sehingga dia tidak akan pernah merasa cukup” (hlm. 32). Inilah pandangan Teratai terkait kegemaran Tuan Chen akan wanita. Bila dilihat dari sisi tokoh laki-laki utama, inilah yang menjadi penyebab lahirnya novella Raise the Red Lantern.
 
Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan