30 July 2013

Dari Jendela SMP



 Baca dan Posting Bareng BBI Buku Anak (Kategori 2)

Judul Buku: Dari Jendela SMP
Pengarang: Mira W.
Tebal: 387 halaman
Cetakan: kelima, November 1990
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama







Dari Jendela SMP adalah salah satu novel yang saya baca pada masa praremaja, umur dua belas atau tiga belas, saya lupa persisnya. Novel karya Mira W. ini meninggalkan kesan yang sangat mendalam karena untuk pertama kalinya saya membaca sebuah kisah cinta remaja yang mengharukan dan mendapatkan sex education. Dari novel inilah saya mengetahui hal-hal mengenai genitalia, menstruasi, ovulasi, onani, terjadinya kehamilan, dan penyakit kelamin. 

Joko adalah anak dari seorang perempuan yang bekerja sebagai pembantu di sebuah SMP swasta. Ia tidak mengenal ayahnya, yang menurut ibunya, sudah meninggal dunia. Untuk bisa bersekolah di SMP dan tidak membayar uang sekolah, Joko harus membantu ibunya, membersihkan kelas setiap pagi. Keberadaannya sebagai anak tanpa ayah dan punya ibu pembantu membuatnya sering menjadi sasaran olok-olok teman-teman sekelasnya. JAB adalah nama panggilannya, singkatan dari Joko Anak Babu. Setelah episode rendah diri karena statusnya, Joko bisa menerima dengan tabah panggilan itu. Dan ia membuktikan bisa melampaui teman-teman sekolahnya dalam prestasi belajar. Tidak seperti Indro, anak Pak Prapto, kepala sekolah sekaligus pemilik SMP itu, yang bodoh. Sampai sebelum terjadi adu jotos dengan Gino yang usil, hidup Joko hanya diisi oleh dirinya sendiri dan ibunya. 

Wulan, teman sekelas Joko, cantik, rajin, dan pintar. Sebagai ketua kelas, ia mencoba melerai perkelahian Gino dan Joko. Tapi justru menjadi sasaran nyasar tinju Gino. Saat itulah Joko mulai menyadari kehadiran Wulan, dan mulai merasa bahwa hidupnya tidak cukup hanya diisi dirinya sendiri dan ibunya. Maka, tanpa disadarinya, ia mulai melakukan pendekatan pada Wulan. Sebagai langkah awal adalah mengunjungi Wulan yang tidak masuk sekolah karena bibirnya membengkak akibat kena tinju Gino. Malu menjenguk Wulan dengan tangan hampa, Joko mencuri mangga arumanis milik tetangga yang sedang ranum. Perbuatannya ketahuan, apalagi dalam pencurian, Joko melibatkan si Pandir Indro. Tahu telah memakan mangga curian, ayah Wulan pun melarang Joko untuk muncul lagi di rumahnya. 

Meskipun dilarang mengunjungi rumah Wulan, Joko tidak tinggal diam. Bagaimanapun, mereka harus tetap mendapat kesempatan untuk berduaan. Selain bersurat-suratan, Joko pun mengajak Wulan bertemu di halaman sekolah setelah sekolah bubar. Wulan menggunting kuku Joko karena tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah bertemu dalam keadaan tersipu-sipu. Kemudian Joko mengantar pulang Wulan naik becak, tiga kali melalui jalanan yang sama lantaran tidak ingin berpisah. Mereka juga saling tukar cincin dimana Joko memberikan cincin pemberian ibunya kepada Wulan yang cuma bisa muat di jari tengah karena kebesaran, sementara Wulan memberikan cincinnya yang cuma bisa muat di jari kelingking Joko karena kekecilan. Untuk merayakan acara tukar cincin, mereka memutuskan nonton film di bioskop. Tapi karena Wulan tidak bisa keluar rumah, Joko harus menunggu berjam-jam, basah kehujanan dan sampai sakit. Akibatnya Joko marah dan ingin putus.

Setelah lulus SMP nanti, ibu Joko ingin anak satu-satunya melanjutkan ke SMA. Ia memang bermaksud membuat anaknya berhasil, punya titel, pangkat, dan kaya. Pak Prapto sudah memutuskan akan membantu kalau Joko lulus tes masuk SMA. Tapi dalam hati kecil Joko, ia ingin bekerja untuk membantu ibunya. Apalagi, setelah masa-masa ujian, Joko telah bekerja membantu Bang Ucok di bengkelnya. Joko memang mengagumi Pak Prapto sejak kecil, dan semakin bertambah ketika laki-laki itu membelanya saat terjadi perkelahian dengan Gino. Tapi Joko tidak ingin hidupnya sepenuhnya tergantung pada uluran tangan Pak Prapto. 

Diolok-olok dan dihina teman-temannya serta tidak punya uang untuk membeli hadiah bagi Wulan saat gadis itu berulang tahun, masih bisa ditanggungkan oleh Joko. Tapi pada hari pengumuman kelulusan SMP, saat terjadi keributan di sekolah, dan seolah takdir sudah menentukan saatnya, Joko mendapatkan pukulan berat: ia mengetahui jati diri ayahnya. Laki-laki itu ternyata belum meninggal, dan ia adalah anak haram sekaligus anak gelap. Lama merindukan limpahan kasih sayang seorang ayah, ia menemukan ternyata ayahnya cuma seorang laki-laki yang tega membiarkan dirinya dan ibunya menderita demi mempertahankan reputasinya. 

Joko tentu saja kecewa pada ayah biologisnya, marah pada ibunya, dan kehilangan harapan akan hidupnya. Dan cuma Wulan yang mencoba memberikan penghiburan di tengah-tengah kegalauan perasaannya. Di tengah kesunyian pondok tempat tinggal Joko dan ibunya, ketika kegelapan malam mulai menyapa, saat mereka berpelukan, saling membelai dan membagi duka, mereka melakukan hal terlarang. Tanpa mereka sadari, mereka telah melompat keluar dari jendela SMP dan langsung menginjak alam dewasa yang seharusnya belum boleh mereka masuki.

Semenjak saat itu, semua yang manis, semua yang lucu dan menggemaskan dari dunia remaja mereka direnggutkan. Prahara pun menghantam menciptakan duka cita, ketakutan, dan rasa malu. Tapi di tengah-tengah gejolak yang terjadi, cinta itu masih ada, dan Joko mesti berjuang keras dalam kedewasaan yang prematur, untuk mempertahankan cinta masa remajanya. 

Dari Jendela SMP, seperti yang telah saya sebutkan, bukan hanya menawarkan kisah cinta mengharukan sepasang remaja yang dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan, tapi juga sex education. Mira W. mengambil kesempatan dengan menghadirkan Bu Sunarti yang menjadi guru olahraga di kelas Joko dan Wulan untuk memberikan sex education. Usaha Bu Narti mendapatkan tentangan yang keras dari guru-guru lain yang menganggap sex education belum saatnya diberikan pada anak-anak itu. Padahal anak-anak gadis umumnya sudah mendapat haid dan belum memahami akibat yang bisa disebabkan oleh kondisi baru mereka. Beberapa dari anak-anak itu mencari tahu tentang seks dengan membaca stensilan ataupun menonton film porno secara sembunyi-sembunyi. Anak laki-laki yang tidak bisa mengendalikan diri terjerumus dalam kehidupan seks bebas, berhubungan dengan WTS, sampai terkena GO (gonorrhoea) dan sifilis. Wulan yang hamil setelah tanpa sadar melakukan hubungan seks dengan Joko adalah contoh kegagalan pendidikan, dan penyebab utamanya adalah kurangnya sex education. Pada gilirannya anak-anak itu diperhadapkan dengan konflik yang tak tertanggungkan saat melompat keluar dari jendela SMP sebelum matang secara psikologis.

Secara keseluruhan, novel ini sangat mengasyikkan dibaca. Sebagai pengarang yang sebelumnya telah menelurkan banyak novel, Mira W. berhasil menghadirkan Dari Jendela SMP dengan karakterisasi yang matang, konflik yang menggugah, dan plot melodramatis yang mengalir mulus minus digresi. Di sana-sini tentu saja bertaburan kelucuan khas remaja yang menggelitik. Bagian pamungkas memang tidak mengunci problematika utama yang ada, tapi mengandung optimisme yang kemungkinan besar didambakan semua pembaca.

Sebagaimana novel-novel Mira W. lainnya, Dari Jendela SMP juga termasuk movieable, dan telah difilmkan oleh PT Gramedia Film dengan sutradara Wim Umboh (almarhum) memakai judul Biarkan Kami Bercinta (1984). Joko diperankan oleh Gusti Randa sedangkan Wulan oleh Dina Mariana. 




Saya kutipkan salah satu adegan tak terlupakan dalam novel ini:

Lalu Joko tidak tahu lagi dari mana datangnya keberanian semacam ini... tiba-tiba saja nalurinya menggerakkan bibirnya untuk mendekati bibir Wulan dan menyentuhnya ....

Hanya sedetik bibir mereka bersentuhan. Karena di detik lain Wulan sudah tersentak mundur dengan kagetnya. Dia jatuh terduduk. Dan Joko yang dikejutkan oleh sentakan kaget Wulan tidak keburu memperbaiki keseimbangan tubuhnya. Karena mundur terlalu tiba-tiba, dia pun ikut jatuh terduduk.

Sekejap mereka saling pandang. Muka Wulan merah padam. Tatapannya berlumur malu dan takut.

"Kok Joko gitu sih," gumamnya tersipu-sipu.

"Nggak apa, kan?" Joko coba membela diri. Padahal dia sendiri sudah merasa panas dingin. Kok cuma sebegitu saja ya rasanya ciuman pertama? "Hari ini kan Wulan ulang tahun."

"Tapi kata Lili kalau ciuman bisa..." Wulan menggigit bibirnya dengan jengah.

"Bisa apa?"

"Hamil."

"Hah?" 

(hlm. 218-219).



Tentang Pengarang:

Mira Widjaja (Wong) atau Mira W., kelahiran Jakarta 13 September 1951, adalah dokter yang lebih dikenal sebagai pengarang roman populer Indonesia. Karya perdana yang diakuinya adalah Benteng Kasih, cerpen yang dimuat di Majalah Femina pada 1975. Novel perdananya adalah Dokter Nona Friska yang dimuat secara bersambung di Majalah Dewi pada 1977 kemudian dibukukan dengan judul Kemilau Kemuning Senja (Gaya Favorit Press, 1985). Dokter lulusan Universitas Trisakti tahun 1979 ini telah menerbitkan puluhan novel (novel kedelapan puluh, Birunya Skandal, terbit pada April 2013), dan banyak diantaranya telah diadaptasi ke dalam film dan sinetron. Karyanya yang paling sukses adalah Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi yang diterbitkan pada 1980. 

 
28 July 2013

Memento





Judul Buku: Memento
Pengarang: Wulan Dewatra
Penyunting: Alit Tisna Palupi
Tebal: vi + 266 hlm;  13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2013
Penerbit: GagasMedia






Shalom, gadis dengan mata berbentuk buah badam, akan segera menikahi Harmein Khagy, tunangannya. Selain bekerja menghasilkan desain yang akan diproduksi Sonya Clothing -tempatnya bekerja,  Shalom juga tak lupa merancang gaun pengantin baginya sendiri. 

Sayangnya, sebelum sketsa yang dibuatnya mewujud dalam sehelai gaun pengantin berbentuk kebaya modern, Harmein meninggalkannya, mati di atas meja operasi dalam sebuah pembedahan yang gagal. Yang tersisa dari Harmein hanyalah kenangan, cincin pertunangan yang tetap melingkari jari manis Shalom, dan telepon genggam dengan SIM card yang tetap diaktifkan -sehingga kalau rindu, Shalom bisa mengirimkan SMS. 

Kematian Harmein dilihat Wirya sebagai peluang untuk memiliki Shalom. Wirya adalah manajer produksi di Sonya Clothing. Lantaran obsesinya pada Shalom, ia memutuskan pertunangannya dengan Dayu dan berharap Shalom bisa meninggalkan Harmein. Bukannya menerima, Shalom malah menganjurkannya untuk kembali pada Dayu. Dilanda kegusaran karena ditolak terus-menerus, Wirya berbuat nekat dan menyerang Shalom. 

Setelah penyerangan yang dilakukan Wirya, membawa kotak mimpi dan ratapan, Shalom meninggalkan pekerjaaan, apartemennya, dan kota Bandung. Ia pergi ke Indihiang 1, peternakan yang diwariskan ayah angkatnya kepadanya. Peternakan itu terletak di provinsi di ujung barat Pulau Jawa yang berpantai (yang dimaksud tentu saja Banten). Selain peternakan, Indihiang I telah berkembang menjadi perkebunan organik pula.  

Sampai di kota kecil dengan sejarah para jawara, ada indikasi kalau Shalom akan terlibat hubungan cinta dengan Teguh Mohesa, manajer Indihang 1. Tapi ternyata ada laki-laki lain yang kehadirannya cukup mencuri perhatian Shalom gara-gara wajah masamnya. Elgar, nama laki-laki itu, adalah putra dari pemilik Indah Katering dan pelanggan Indihiang 1. Ia bekerja sebagai reporter televisi di Ibu Kota, punya kedai ramen dekat daerah kampus, tapi selalu berada di kota kecil itu. 

Dalam tempo singkat, Shalom dan Elgar sudah menjalin cinta, dan tanpa membuang banyak waktu, Elgar pun melamar Shalom menjadi istrinya. Sekalipun tidak direstui ibu Elgar lantaran asal-usul Shalom yang tidak jelas, mereka tetap menikah dan membangun sebuah rumah di dekat laut. Awalnya, pernikahan mereka tampak bahagia. Secara rutin, Elgar pulang untuk menjumpai Shalom. Tapi setelah bertemu lagi dengan Kinanti, mantan kekasihnya, Elgar bermaksud menceraikan Shalom, dan kembali pada Kinanti. Sementara itu, tanpa Shalom sadari, bayangan buruk dari masa lalunya semakin mendekati rumahnya, mengintai untuk merealisasikan dendam kesumat.

Apakah Elgar benar-benar akan meninggalkan Shalom demi Kinanti? Apakah Shalom mampu menepis bayangan buruk dari masa lalunya dan mempertahankan keutuhan rumah tangganya?

Sebenarnya, kisah yang ditawarkan Wulan Dewatra dalam Memento cukup membuat penasaran. Cinta diramunya dengan permasalahan kesetiaaan, obsesi yang mencelakakan, dendam kesumat yang tidak pernah padam, dan kepahitan yang berakar dari masa lalu. Sayangnya, semua elemen yang berpotensi membuat novel ini tampil cemerlang diramu dengan takaran dan adonan yang tidak tepat. Hasilnya adalah jalinan kisah yang melompat-lompat dalam plot yang terburu-buru dan miskin ekplorasi. Keseluruhannya tidak kompak dan sulit menggugah perasaan saat membacanya. Terkesan seperti saduran skenario film dengan penambahan bumbu secukupnya, tanpa mempertimbangkan bahwa bahasa gambar dan bahasa tulisan memiliki efek berbeda dalam mempengaruhi perasaan penikmatnya. 

Kisah dalam plot yang terburu-buru berdampak pada karakterisasi yang timpang dan sangat meragukan. Perkembangan karakter melewati konflik dalam hidup terjadi begitu saja tanpa memerlukan proses yang meyakinkan. Shalom seharusnya sangat mencintai Harmein. Buktinya, ia tetap menyimpan dan mengaktifkan telepon genggam Harmein serta membuat kotak mimpi dan ratapan. Tapi tetap saja, sulit merasakan cintanya kepada laki-laki yang meninggal dunia saat hari pernikahan mereka sudah dekat. Semakin sulit rasanya ketika ia bertemu Elgar dan dengan proses yang lempeng dan cepat, ia pun memindahkan cintanya pada laki-laki itu. Bagaimana mungkin Shalom tidak mengalami sama sekali perbenturan perasaan dan pikiran menghadapi perubahan dalam hidupnya? Apakah tidak pernah ada kebimbangan yang muncul dalam dirinya? Ada kesan Wulan ingin menampilkan Shalom sebagai karakter perempuan yang kuat. Sayangnya, langsung tumbang dengan ketidakmampuan Shalom menahan Elgar tetap setia dengan pernikahan mereka. 

Demikian pula yang terjadi pada karakter Elgar. Ketika ia mulai sering muncul dalam kehidupan Shalom, Wulan tidak pernah menceritakan dampak yang ditimbulkan oleh perpisahannya dengan Kinanti tiga tahun sebelumnya. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Apakah perpisahan mereka terjadi karena keinginan sepihak dan Elgar benar-benar masih cinta mati padanya? Apakah Shalom sekadar pelariannya? Kita tidak akan menemukan jawabannya, sehingga sangat aneh ketika Elgar bertemu kembali dengan Kinanti, ia segera berniat menceraikan Shalom dan berhubungan dengan Kinanti seperti dulu. Alhasil, karakterisasi yang dangkal ini hanya mengesankan kalau disengaja Wulan untuk menciptakan sedikit kerumitan dalam novelnya, yang sebenarnya, mubazir. 

Selain ketimpangan karakterisasi dan kejanggalan yang disebabkannya, novel ini juga mengandung kejanggalan lain yang menimbulkan pertanyaan.

Setelah Harmein meninggal, Shalom tetap mengenakan cincin pertunangannya di jari manisnya. Setelah menikahi Elgar, cincin itu tetap dipakai bersisian dengan cincin pernikahan mereka. Bukankah tetap memakai cincin pertunangan dengan Harmein adalah semacam proklamasi kalau Shalom tidak mencintai Elgar dengan utuh? Bagaimana mungkin Elgar membiarkan hal ini dan tidak menunjukkan kecemburuan sekalipun pada orang yang sudah mati? 

Menjelang novel berakhir, Wulan memunculkan Shalom yang marah pada orangtua kandungnya yang membuangnya di panti asuhan (sebelum diadopsi ayah angkatnya). Apakah sebelumnya Shalom tidak memendam perasan marah karena diabaikan orangtua kandungnya dan baru muncul belakangan? Mengapa perasaan marah itu tidak muncul pada saat pernikahannya dengan Elgar ditentang ibu Elgar karena asal-usulnya yang tidak jelas?  (yang sebenarnya merupakan ide basi yang bikin kening mengernyit). 

Lalu, apa pula yang terjadi dalam hidup Lunar, adik Elgar? Apakah ia akhirnya menikah dan memakai gaun rancangan Shalom? Mengapa setelah Elgar dan Shalom menikah, pernikahan Lunar sedikit pun tidak lagi disinggung? 

Pada akhirnya, sangat disayangkan, ide kisah yang cukup menarik terpuruk menjadi novel yang penuh retakan di sana-sini. Wulan Dewatra yang telah menerbitkan novel Hujan dan Teduh (2011) - juara pertama lomba 100% Roman Asli Indonesia, dan terlibat dalam Gagas Duet bertajuk Harmoni (2012) masih belum mampu mencuri perhatian saya. 

Sejumput pesan indah yang bisa saya petik dari lembar-lembar novel ini adalah apa yang dikatakan Elgar pada Shalom (hlm. 258): 


Memaafkan bukanlah hadiah yang kita berikan pada orang lain. Memaafkan adalah pembebasan bagi diri kita sendiri .



24 July 2013

Evergreen






Judul Buku: Evergreen
Pengarang: Prisca Primasari
Penyunting: Anin Patrajuangga
Tebal: 204 halaman
Cetakan: 1, 2013
Penerbit: Grasindo





Rachel Yumeko River dipecat dari pekerjaannya sebagai editor novel misteri di Sekai Publishing. Kejadian ini bagaikan ganjaran bagi sikapnya yang egois, lalai, dan meremehkan orang lain yang memang telah menjadi bagian dari kepribadiannya. Rachel pun ditinggalkan teman-temannya yang sudah bosan dengan karakternya yang tidak menyenangkan. Sungguh pukulan berat bagi Rachel mengingat reputasinya telah runtuh di semua penerbitan di Tokyo. Ia tidak bisa menekuni pekerjaan di dunia perbukuan kendati editor merupakan keahlian satu-satunya. Dalam keputusasaan yang membuatnya sempat terpikir mengakhiri hidupnya, Rachel memasuki Evergreen.

Evergreen adalah sebuah kedai es krim yang hangat dan nyaman dengan menu berlimpah dan para pekerja yang ramah di Kamazawa-Dori. Lagu-lagu The Beatles akan menyapa telinga para pengunjung saat berada di dalamnya. Yuya Fukushima, pemuda penggemar manga dan memiliki fobia terhadap bebek lantaran pengalaman mengejutkan di masa kecil, adalah pemilik Evergreen. Pemuda yang lebih memperhatikan kebahagiaan orang lain ketimbang dirinya sendiri ini mempekerjakan tiga karyawan yang diberinya gaji tinggi. Fumio Kitahara, Gamma Satyo, dan Akari Nakashima.

Fumio, pemuda dengan senyum menyenangkan, datang ke Tokyo dari Osaka bersama Toshi, adiknya, untuk mencari ayah mereka. Sepuluh tahun sebelumnya, sang ayah meninggalkan Osaka tanpa pamit. Sehari sebelum pergi, ia menitipkan pesan kepada kedua anaknya: Apapun yang terjadi, ingatlah itu Fumio, Toshi. Jika kalian meragukan kasih sayang ayah kalian, ingatlah empat musim. Ingatlah salju, daun mapel, bunga, dan matahari. (hlm. 100).

Awalnya, Toshi juga bekerja di Evergreen, tapi sakit yang diidapnya membuat ia berhenti dan menghabiskan waktunya lebih banyak di rumah. Keluarnya Toshi dari Evergreen menambahkan kesedihan di dalam hati Akari Nakashima, gadis tomboi yang mempunyai pengalaman kehilangan sahabat dalam hidupnya. 

Sementara bekeja di Evergreen, Gamma Satyo yang berdarah Indonesia menyimpan impiannya untuk membuka kedai es krim sendiri. Sesuai kesepakatan dengan Yuya, ia akan membuka kedai es krim setelah Evergreen semakin besar dan membuka cabang di Prancis. Keinginan mempunyai kedai es krim timbul karena mendiang ibu Gamma pernah mendirikan kedai es krim. 

Setiap Jumat di akhir bulan, Yuya dan ketiga karyawannya mengadakan gathering bertema Memories yang dimulai setelah kedai tutup. Diiringi musik oldies, setiap orang akan mendapatkan giliran duduk di dekat perapian dan pohon tiruan tanpa daun tempat bergelantungan kertas berisi testimoni pengunjung, kemudian menceritakan kenangan tak terlupakan yang dialaminya.  

Setelah hadir dalam gathering untuk pertama kalinya, timbul keinginan dalam diri Rachel untuk menjadi bagian dari Evergreen. Kepedulian Yuya terhadap Rachel diwujudkan dengan tawaran untuk bergabung sebagai karyawannya. Kehadiran Rachel disambut hangat, kecuali Kari yang membutuhkan kesamaan kenangan sebelum bisa menerima Rachel. 

Apa yang terjadi pada pemilik dan karyawan Evergreen tidak luput dari perhatian Toda Toichiro. Pemimpin redaksi sebuah penerbitan ini telah lama menjadi pelanggan Evergreen, sering datang sendirian dan dengan setia menghabiskan waktu sambil membaca novel Akutagawa Ryunosuke. Toda yang memiliki kemampuan bermain sulap diterima dengan baik oleh peserta gathering. Tanpa sepengetahuannya, jalinan takdir telah menggiringnya ke tempat di mana ia akan bertemu seseorang yang telah membuat kehidupan pernikahannya terpuruk. 

Setiap karakter dalam novel karya Prisca Primasari ini memiliki problematika kehidupan internal. Rachel menyandang berbagai sifat buruk bukannya tanpa penyebab. Dari seorang gadis yang ramah dan baik hati, setelah perceraian orangtuanya dan ayahnya meninggalkan keluarga, Rachel berubah menjadi gadis yang berperilaku tidak menyenangkan. Orangtua Yuya (tidak disebutkan apakah ayah dan ibunya atau hanya salah satunya) meninggal karena bunuh diri. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, Fumio dan Toshi ditinggalkan ayah mereka yang tidak pernah kembali, sementara ibu mereka telah meninggal saat melahirkan Toshi. Gamma ditinggalkan ayahnya yang kembali ke Indonesia sementara ibunya meninggal karena kecelakaan. Seumur hidup Kari, ia dibebani perasaan sedih karena kehilangan sahabat yang disayanginya, dan sekali lagi ia terancam kehilangan orang yang disayanginya. Sementara Toda Toichiro yang hampir kehilangan istrinya, terombang-ambing dalam ketidakpastian arah kehidupan pernikahannya.

Bagian paling menyentuh dalam novel ini adalah hubungan di antara Fumio, Toshi, ayah mereka, dan kenangan-kenangan dalam hidup mereka. Pada usia 19 tahun, Toshi didiagnosis mengidap Alzheimer. Sebuah kasus langka yang agaknya disebabkan oleh faktor genetis. Alzheimer biasanya menyerang orang-orang berusia lanjut, dan memang benar tidak tertutup kemungkinan dialami orang-orang belia. Pemilihan penyakit Alzheimer pada usia muda langsung mengingatkan pada film drama Korea A Moment to Remember yang mengisahkan tentang perempuan 27 tahun yang mengidap Alzheimer dan melupakan kenangan-kenangan serta orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Sambil bekerja mengumpulkan biaya pengobatan, Fumio harus merawat Toshi. Tapi hal ini tidak menjadi beban bagi Fumio. Kenangan-kenangan Toshi-lah yang menjadi beban baginya dan menciptakan ketakutan serta kepedihan. Fumio telah mencatat, sejak masa kanak-kanak, mereka telah mengumpulkan 70 kenangan. Semakin lama, semakin sedikit kenangan yang bisa diingat Toshi, padahal Fumio hidup dan bertahan karena kenangan-kenangan yang melibatkan Toshi itu. 

Bersama menjadi bagian dari Evergreen atau terkena pengaruh kehangatan Evergreen mereka saling mengenal dan memahami, merasa senasib dan sepenanggungan. Kesedihan dan kegembiraan, kenangan-kenangan pahit dan manis, kebaikan dan keburukan pribadi, diungkap dan dimengerti. Saat memasuki Evergreen pertama kali, Rachel belum tahu, bahwa dalam kenyamanan kedai es krim dengan menu berlimpah dan dalam kehangatan persahabatan dan persaudaraan yang ada, hidupnya akan berubah untuk selamanya. Kebaikan hati yang manis akan menepis egoisme yang telah berkarat semenjak ia menginjak usia tujuh belas tahun.

Evergreen adalah novel dengan kisah indah bermuatan momen-momen spesial yang mengharukan dan menghangatkan hati. Persahabatan dan kehilangan, kesalahan dan keinginan memperbaiki diri, memaafkan dan menerima kehidupan apa adanya, membahagiakan dan mengembalikan semangat hidup sesama, kenangan dan impian serta bagaimana mempertahankannya. Dan tentu saja cinta: orangtua dan anak, suami dan istri, pemilik kedai es krim dan karyawannya. Setelah melewati sederet duka dalam plot yang membuat mata berkaca-kaca, kita akan menemukan kebahagiaan dan tekad mewujudkan impian yang tidak pernah mati. 

Sekali lagi, setelah Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa (2012) dan Paris (2013) yang sudah saya baca, Prisca Primasari membius saya dengan keindahan kisah yang meninggalkan kenangan tak terlupakan. Tema yang diangkatnya memang tidak selalu baru, tapi selalu terasa segar dalam penuturannya yang memikat. Belum lagi seting lokasi mancanegara yang dimanfaatkannya. Sejak menerbitkan novel perdananya, Spring in Autumn (2006) Prisca telah menunjukkan minat dalam memanfaatkan seting lokasi di luar Indonesia. Ia melakukannya lagi dalam novel Will & Juliet: A Love Chronicle in New York City (2008), The Fairy Tale House (2008), Éclair: Pagi Terakhir di Rusia (2011) dan Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa (2012). Seting Jepang sebelumnya pernah dipakainya dalam novela berjudul Chokoréto yang tergabung dalam Gagas Duet Beautiful Mistake (2012). Kali ini, ia menjadikan Jepang sebagai seting, dimulai pada musim semi saat sakura bermekaran dengan keindahan helai-helai tajuknya hingga musim gugur tahun berikutnya yang melankolis. 

Satu hal yang menganggu dalam Evergreen adalah font yang dipakai. Memang setelah terbiasa, pembacaan tidak lagi tersendat, tapi ada baiknya ukurannya dibuat sedikit lebih besar untuk kenyamanan selama membaca. 

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan