29 March 2013

Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa




Judul Buku: Kastil Es & Air Mancur Berdansa
Pengarang: Prisca Primasari
Tebal: viii
+ 292 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2012
Penerbit: GagasMedia



 
Paris, musim dingin 1997, Florence L'etoile Leroy meninggalkan rumahnya, melarikan diri dari Maman dan Papa-nya, dari kencan buta yang dirancang kedua orangtuanya itu. Kelakuannya agak aneh juga mengingat dirinya bukan gadis remaja lagi. Ia sudah menyelesaikan kuliah di jurusan seni, dan menjadi guru di kursus dan workshop kesenian. Tapi begitu mendengar gagasan kencan buta -yang memang diharapkan akan berakhir menjadi pernikahan- ia langsung melarikan diri tanpa peduli salju tengah berguguran dari langit Paris.

Florence memang sedang dalam keadaan patah hati. Ia dicampakkan kekasihnya yang lebih tertarik pada wanita lain. Tapi kencan buta tidak pernah masuk dalam hitungannya. Di Stasiun Saint-Lazare, ia menaiki kereta yang menuju ke Deauville, kemudian akan melanjutkan dengan bus ke Honfleur. Di dalam kereta, ia bertemu dan berkenalan dengan Vinter Vernalae, pria muda yang hendak pulang ke Honfleur.

Monsieur Zima, teman Vinter, membuatnya terpaksa membatalkan janji di Paris dan memutuskan pulang. Zima adalah mantan konduktor yang memperkenalkan dirinya sesuai musim yang sedang dijalaninya. Ia akan menjadi Zima (bahasa Rusia) saat sedang musim dingin, Primavera (bahasa Italia) pada musim semi, Verano (bahasa Spanyol) pada musim panas, dan Herbst (bahasa Jerman) pada musim gugur. Setelah meninggalkan kariernya sebagai konduktor, Zima kembali ke Honfleur, tempat kelahirannya, dan terpuruk sebagai penderita tumor otak. Penyakit ini membuat dirinya terkadang tidak bisa mengendalikan diri dan gampang marah. Karena terbiasa menonton pertunjukan seni di Paris dan luar negeri, ia meminta Vinter mendatangkan kelompok seniman yang akan menggelar rangkaian pertunjukan kecil di rumahnya. Kali ini, kelompok yang disewa Vinter membatalkan pertunjukan secara mendadak. Vinter pulang ke Honfleur untuk memberitahukan secara langsung kepada Zima.

Tanpa banyak berpikir, Florence segera mengajukan dirinya untuk menggantikan kelompok seniman dari Montmarte itu. Maka bersama Vinter, ia mendatangi rumah Zima yang mirip Gereja St. Catherine, dan memeragakan kemampuan seninya. Ia membuat lukisan realis, Un Chariot en Hiver. Ia memperformakan puisi Edgar Allan Poe The Raven yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Ia memainkan dengan rumit lagu La Vie en Rose yang sebenarnya gampang. Saat hendak membaca puisi Poe, dering ponselnya sempat mengusik konsentrasi dan membuat Vinter yang tidak pernah tertawa mengeluarkan tawanya.

Seusai penampilannya di hadapan Zima, Florence semestinya mengakhiri kebersamaannya dengan Vinter. Tapi mendadak ia tidak ingin berpisah dan malah menagih janji Vinter menunjukkan hasil karyanya sebagai pemahat es. Hanya saja, sebelum Vinter membawanya ke galeri esnya, Céline, sahabatnya dari Paris, muncul dan membuat Florence terpaksa meninggalkan Vinter.

Akankah mereka bertemu lagi? Tentu saja. Vinter akan mengajak Florence ke flatnya. Di sana ia akan menyaksikan pahatan Vinter yang sangat indah, karya seni yang membuat Vinter berhasil melupakan kesedihan di masa lalunya dan merasa menjadi manusia yang lebih baik. Galeri esnya telah menjelma serupa kastil es dengan air mancur yang berdansa. Tanpa bisa ditahan-tahan lagi, keduanya harus mengakui bahwa tiga hari bersama telah memunculkan cinta kepada satu sama lain. Sayangnya, seperti Snegurochka si Gadis Salju dalam dongeng Rusia, yang jatuh cinta pada seorang laki-laki lalu meleleh karena kehangatan cinta, demikian pula yang dialami Florence. Ia tidak mungkin mendapatkan cinta Vinter karena lelaki itu sedang terikat janji dengan perempuan lain. Sementara dirinya, agaknya akan sulit menolak pria baik hati yang dipilihkan orangtua baginya.

"Laki-laki itu berkata kepada Snegurochka," ujarnya. "Terima kasih juga telah membuatku tertawa."

"Selamat tinggal, Snegurochka," bisik Vinter. "Kuharap kau tidak akan pernah melupakan kastil es dan air mancur yang berdansa...." (hlm. 177).


Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa adalah novel romantis karya Prisca Primasari, yang sekali lagi, mengambil seting luar negeri dan menggunakan karakter-karakter yang bukan orang Indonesia. Hal yang sama dilakukannya pada novel perdananya yang juga diterbitkan GagasMedia, Éclair: Pagi Terakhir di Rusia (2011). Tapi, meskipun tidak menggunakan orang Indonesia sebagai karakter ceritanya, Prisca cukup berhasil membangun karakterisasi. Ia bisa menghidupkan para karakternya beserta probematika kehidupan mereka dengan baik sehingga tidak menerbitkan keraguan. Setiap karakter diberinya latar belakang yang tidak biasa dan menjadi sangat menarik karena terkait dengan seni. Apalagi untuk seni yang membuat Vinter mendapatkan terapi bagi luka-luka masa lalunya.

Dari segi cerita memang tidak ada yang istimewa. Konflik utamanya pun tergolong generik dan kuno karena sudah kerap diangkat para penulis di berbagai belahan dunia. Seorang perempuan lari dari campur tangan orangtua terhadap masalah cintanya, dan dalam pelariannya menemukan cintanya, bukan hal yang menantang untuk dibaca. Saya memerlukan waktu berbulan-bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk membaca novel ini. Dan ternyata, saya bisa menikmati cara Prisca merangkai perjalanan dan pergolakan pikiran karakter utamanya sehingga berhasil menamatkan dalam waktu tidak terlalu lama.

Membaca Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa bagaikan sedang membaca dongeng tentang cinta. Florence yang digambarkan memiliki kecantikan serupa Snegurochka dan Vinter yang mampu memahat imajinasi pada air yang membeku, seperti menyeruak keluar dari lembar-lembar dongeng. Prisca pun mengukuhkan persepsi ini dengan menambahkan ke dalam novelnya kalimat yang biasa kita baca atau dengar dari kisah-kisah dongeng (hlm. 235).

Sebenarnya, kalau Prisca mengakhiri novelnya setelah bagian Épilogue, kisah dalam novel ini sudah cukup. Tapi dia masih melanjutkan ke dalam bagian berjudul Vinter les odes yang menceritakan tentang kehidupan Vinter sampai ia bertemu Florence di Stasiun Saint-Lazare. Padahal isinya hanyalah informasi yang diulang dan selebihnya akan lebih baik dimasukkan saja ke dalam bagian-bagian sebelumnya yang notabene ditulis menggunakan perspektif orang ketiga.


 Snegurochka karya Viktor Vasnetsov




Salah satu bagian dari Honfleur



 
 Gereja St. Catherine Honfleur

1 comments:

Anonymous said... Reply Comment

i love this book!

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan