Showing posts with label Prisca Primasari. Show all posts
Showing posts with label Prisca Primasari. Show all posts
24 July 2013

Evergreen






Judul Buku: Evergreen
Pengarang: Prisca Primasari
Penyunting: Anin Patrajuangga
Tebal: 204 halaman
Cetakan: 1, 2013
Penerbit: Grasindo





Rachel Yumeko River dipecat dari pekerjaannya sebagai editor novel misteri di Sekai Publishing. Kejadian ini bagaikan ganjaran bagi sikapnya yang egois, lalai, dan meremehkan orang lain yang memang telah menjadi bagian dari kepribadiannya. Rachel pun ditinggalkan teman-temannya yang sudah bosan dengan karakternya yang tidak menyenangkan. Sungguh pukulan berat bagi Rachel mengingat reputasinya telah runtuh di semua penerbitan di Tokyo. Ia tidak bisa menekuni pekerjaan di dunia perbukuan kendati editor merupakan keahlian satu-satunya. Dalam keputusasaan yang membuatnya sempat terpikir mengakhiri hidupnya, Rachel memasuki Evergreen.

Evergreen adalah sebuah kedai es krim yang hangat dan nyaman dengan menu berlimpah dan para pekerja yang ramah di Kamazawa-Dori. Lagu-lagu The Beatles akan menyapa telinga para pengunjung saat berada di dalamnya. Yuya Fukushima, pemuda penggemar manga dan memiliki fobia terhadap bebek lantaran pengalaman mengejutkan di masa kecil, adalah pemilik Evergreen. Pemuda yang lebih memperhatikan kebahagiaan orang lain ketimbang dirinya sendiri ini mempekerjakan tiga karyawan yang diberinya gaji tinggi. Fumio Kitahara, Gamma Satyo, dan Akari Nakashima.

Fumio, pemuda dengan senyum menyenangkan, datang ke Tokyo dari Osaka bersama Toshi, adiknya, untuk mencari ayah mereka. Sepuluh tahun sebelumnya, sang ayah meninggalkan Osaka tanpa pamit. Sehari sebelum pergi, ia menitipkan pesan kepada kedua anaknya: Apapun yang terjadi, ingatlah itu Fumio, Toshi. Jika kalian meragukan kasih sayang ayah kalian, ingatlah empat musim. Ingatlah salju, daun mapel, bunga, dan matahari. (hlm. 100).

Awalnya, Toshi juga bekerja di Evergreen, tapi sakit yang diidapnya membuat ia berhenti dan menghabiskan waktunya lebih banyak di rumah. Keluarnya Toshi dari Evergreen menambahkan kesedihan di dalam hati Akari Nakashima, gadis tomboi yang mempunyai pengalaman kehilangan sahabat dalam hidupnya. 

Sementara bekeja di Evergreen, Gamma Satyo yang berdarah Indonesia menyimpan impiannya untuk membuka kedai es krim sendiri. Sesuai kesepakatan dengan Yuya, ia akan membuka kedai es krim setelah Evergreen semakin besar dan membuka cabang di Prancis. Keinginan mempunyai kedai es krim timbul karena mendiang ibu Gamma pernah mendirikan kedai es krim. 

Setiap Jumat di akhir bulan, Yuya dan ketiga karyawannya mengadakan gathering bertema Memories yang dimulai setelah kedai tutup. Diiringi musik oldies, setiap orang akan mendapatkan giliran duduk di dekat perapian dan pohon tiruan tanpa daun tempat bergelantungan kertas berisi testimoni pengunjung, kemudian menceritakan kenangan tak terlupakan yang dialaminya.  

Setelah hadir dalam gathering untuk pertama kalinya, timbul keinginan dalam diri Rachel untuk menjadi bagian dari Evergreen. Kepedulian Yuya terhadap Rachel diwujudkan dengan tawaran untuk bergabung sebagai karyawannya. Kehadiran Rachel disambut hangat, kecuali Kari yang membutuhkan kesamaan kenangan sebelum bisa menerima Rachel. 

Apa yang terjadi pada pemilik dan karyawan Evergreen tidak luput dari perhatian Toda Toichiro. Pemimpin redaksi sebuah penerbitan ini telah lama menjadi pelanggan Evergreen, sering datang sendirian dan dengan setia menghabiskan waktu sambil membaca novel Akutagawa Ryunosuke. Toda yang memiliki kemampuan bermain sulap diterima dengan baik oleh peserta gathering. Tanpa sepengetahuannya, jalinan takdir telah menggiringnya ke tempat di mana ia akan bertemu seseorang yang telah membuat kehidupan pernikahannya terpuruk. 

Setiap karakter dalam novel karya Prisca Primasari ini memiliki problematika kehidupan internal. Rachel menyandang berbagai sifat buruk bukannya tanpa penyebab. Dari seorang gadis yang ramah dan baik hati, setelah perceraian orangtuanya dan ayahnya meninggalkan keluarga, Rachel berubah menjadi gadis yang berperilaku tidak menyenangkan. Orangtua Yuya (tidak disebutkan apakah ayah dan ibunya atau hanya salah satunya) meninggal karena bunuh diri. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, Fumio dan Toshi ditinggalkan ayah mereka yang tidak pernah kembali, sementara ibu mereka telah meninggal saat melahirkan Toshi. Gamma ditinggalkan ayahnya yang kembali ke Indonesia sementara ibunya meninggal karena kecelakaan. Seumur hidup Kari, ia dibebani perasaan sedih karena kehilangan sahabat yang disayanginya, dan sekali lagi ia terancam kehilangan orang yang disayanginya. Sementara Toda Toichiro yang hampir kehilangan istrinya, terombang-ambing dalam ketidakpastian arah kehidupan pernikahannya.

Bagian paling menyentuh dalam novel ini adalah hubungan di antara Fumio, Toshi, ayah mereka, dan kenangan-kenangan dalam hidup mereka. Pada usia 19 tahun, Toshi didiagnosis mengidap Alzheimer. Sebuah kasus langka yang agaknya disebabkan oleh faktor genetis. Alzheimer biasanya menyerang orang-orang berusia lanjut, dan memang benar tidak tertutup kemungkinan dialami orang-orang belia. Pemilihan penyakit Alzheimer pada usia muda langsung mengingatkan pada film drama Korea A Moment to Remember yang mengisahkan tentang perempuan 27 tahun yang mengidap Alzheimer dan melupakan kenangan-kenangan serta orang-orang yang mencintai dan dicintainya. Sambil bekerja mengumpulkan biaya pengobatan, Fumio harus merawat Toshi. Tapi hal ini tidak menjadi beban bagi Fumio. Kenangan-kenangan Toshi-lah yang menjadi beban baginya dan menciptakan ketakutan serta kepedihan. Fumio telah mencatat, sejak masa kanak-kanak, mereka telah mengumpulkan 70 kenangan. Semakin lama, semakin sedikit kenangan yang bisa diingat Toshi, padahal Fumio hidup dan bertahan karena kenangan-kenangan yang melibatkan Toshi itu. 

Bersama menjadi bagian dari Evergreen atau terkena pengaruh kehangatan Evergreen mereka saling mengenal dan memahami, merasa senasib dan sepenanggungan. Kesedihan dan kegembiraan, kenangan-kenangan pahit dan manis, kebaikan dan keburukan pribadi, diungkap dan dimengerti. Saat memasuki Evergreen pertama kali, Rachel belum tahu, bahwa dalam kenyamanan kedai es krim dengan menu berlimpah dan dalam kehangatan persahabatan dan persaudaraan yang ada, hidupnya akan berubah untuk selamanya. Kebaikan hati yang manis akan menepis egoisme yang telah berkarat semenjak ia menginjak usia tujuh belas tahun.

Evergreen adalah novel dengan kisah indah bermuatan momen-momen spesial yang mengharukan dan menghangatkan hati. Persahabatan dan kehilangan, kesalahan dan keinginan memperbaiki diri, memaafkan dan menerima kehidupan apa adanya, membahagiakan dan mengembalikan semangat hidup sesama, kenangan dan impian serta bagaimana mempertahankannya. Dan tentu saja cinta: orangtua dan anak, suami dan istri, pemilik kedai es krim dan karyawannya. Setelah melewati sederet duka dalam plot yang membuat mata berkaca-kaca, kita akan menemukan kebahagiaan dan tekad mewujudkan impian yang tidak pernah mati. 

Sekali lagi, setelah Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa (2012) dan Paris (2013) yang sudah saya baca, Prisca Primasari membius saya dengan keindahan kisah yang meninggalkan kenangan tak terlupakan. Tema yang diangkatnya memang tidak selalu baru, tapi selalu terasa segar dalam penuturannya yang memikat. Belum lagi seting lokasi mancanegara yang dimanfaatkannya. Sejak menerbitkan novel perdananya, Spring in Autumn (2006) Prisca telah menunjukkan minat dalam memanfaatkan seting lokasi di luar Indonesia. Ia melakukannya lagi dalam novel Will & Juliet: A Love Chronicle in New York City (2008), The Fairy Tale House (2008), Éclair: Pagi Terakhir di Rusia (2011) dan Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa (2012). Seting Jepang sebelumnya pernah dipakainya dalam novela berjudul Chokoréto yang tergabung dalam Gagas Duet Beautiful Mistake (2012). Kali ini, ia menjadikan Jepang sebagai seting, dimulai pada musim semi saat sakura bermekaran dengan keindahan helai-helai tajuknya hingga musim gugur tahun berikutnya yang melankolis. 

Satu hal yang menganggu dalam Evergreen adalah font yang dipakai. Memang setelah terbiasa, pembacaan tidak lagi tersendat, tapi ada baiknya ukurannya dibuat sedikit lebih besar untuk kenyamanan selama membaca. 

29 March 2013

Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa




Judul Buku: Kastil Es & Air Mancur Berdansa
Pengarang: Prisca Primasari
Tebal: viii
+ 292 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2012
Penerbit: GagasMedia



 
Paris, musim dingin 1997, Florence L'etoile Leroy meninggalkan rumahnya, melarikan diri dari Maman dan Papa-nya, dari kencan buta yang dirancang kedua orangtuanya itu. Kelakuannya agak aneh juga mengingat dirinya bukan gadis remaja lagi. Ia sudah menyelesaikan kuliah di jurusan seni, dan menjadi guru di kursus dan workshop kesenian. Tapi begitu mendengar gagasan kencan buta -yang memang diharapkan akan berakhir menjadi pernikahan- ia langsung melarikan diri tanpa peduli salju tengah berguguran dari langit Paris.

Florence memang sedang dalam keadaan patah hati. Ia dicampakkan kekasihnya yang lebih tertarik pada wanita lain. Tapi kencan buta tidak pernah masuk dalam hitungannya. Di Stasiun Saint-Lazare, ia menaiki kereta yang menuju ke Deauville, kemudian akan melanjutkan dengan bus ke Honfleur. Di dalam kereta, ia bertemu dan berkenalan dengan Vinter Vernalae, pria muda yang hendak pulang ke Honfleur.

Monsieur Zima, teman Vinter, membuatnya terpaksa membatalkan janji di Paris dan memutuskan pulang. Zima adalah mantan konduktor yang memperkenalkan dirinya sesuai musim yang sedang dijalaninya. Ia akan menjadi Zima (bahasa Rusia) saat sedang musim dingin, Primavera (bahasa Italia) pada musim semi, Verano (bahasa Spanyol) pada musim panas, dan Herbst (bahasa Jerman) pada musim gugur. Setelah meninggalkan kariernya sebagai konduktor, Zima kembali ke Honfleur, tempat kelahirannya, dan terpuruk sebagai penderita tumor otak. Penyakit ini membuat dirinya terkadang tidak bisa mengendalikan diri dan gampang marah. Karena terbiasa menonton pertunjukan seni di Paris dan luar negeri, ia meminta Vinter mendatangkan kelompok seniman yang akan menggelar rangkaian pertunjukan kecil di rumahnya. Kali ini, kelompok yang disewa Vinter membatalkan pertunjukan secara mendadak. Vinter pulang ke Honfleur untuk memberitahukan secara langsung kepada Zima.

Tanpa banyak berpikir, Florence segera mengajukan dirinya untuk menggantikan kelompok seniman dari Montmarte itu. Maka bersama Vinter, ia mendatangi rumah Zima yang mirip Gereja St. Catherine, dan memeragakan kemampuan seninya. Ia membuat lukisan realis, Un Chariot en Hiver. Ia memperformakan puisi Edgar Allan Poe The Raven yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Ia memainkan dengan rumit lagu La Vie en Rose yang sebenarnya gampang. Saat hendak membaca puisi Poe, dering ponselnya sempat mengusik konsentrasi dan membuat Vinter yang tidak pernah tertawa mengeluarkan tawanya.

Seusai penampilannya di hadapan Zima, Florence semestinya mengakhiri kebersamaannya dengan Vinter. Tapi mendadak ia tidak ingin berpisah dan malah menagih janji Vinter menunjukkan hasil karyanya sebagai pemahat es. Hanya saja, sebelum Vinter membawanya ke galeri esnya, Céline, sahabatnya dari Paris, muncul dan membuat Florence terpaksa meninggalkan Vinter.

Akankah mereka bertemu lagi? Tentu saja. Vinter akan mengajak Florence ke flatnya. Di sana ia akan menyaksikan pahatan Vinter yang sangat indah, karya seni yang membuat Vinter berhasil melupakan kesedihan di masa lalunya dan merasa menjadi manusia yang lebih baik. Galeri esnya telah menjelma serupa kastil es dengan air mancur yang berdansa. Tanpa bisa ditahan-tahan lagi, keduanya harus mengakui bahwa tiga hari bersama telah memunculkan cinta kepada satu sama lain. Sayangnya, seperti Snegurochka si Gadis Salju dalam dongeng Rusia, yang jatuh cinta pada seorang laki-laki lalu meleleh karena kehangatan cinta, demikian pula yang dialami Florence. Ia tidak mungkin mendapatkan cinta Vinter karena lelaki itu sedang terikat janji dengan perempuan lain. Sementara dirinya, agaknya akan sulit menolak pria baik hati yang dipilihkan orangtua baginya.

"Laki-laki itu berkata kepada Snegurochka," ujarnya. "Terima kasih juga telah membuatku tertawa."

"Selamat tinggal, Snegurochka," bisik Vinter. "Kuharap kau tidak akan pernah melupakan kastil es dan air mancur yang berdansa...." (hlm. 177).


Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa adalah novel romantis karya Prisca Primasari, yang sekali lagi, mengambil seting luar negeri dan menggunakan karakter-karakter yang bukan orang Indonesia. Hal yang sama dilakukannya pada novel perdananya yang juga diterbitkan GagasMedia, Éclair: Pagi Terakhir di Rusia (2011). Tapi, meskipun tidak menggunakan orang Indonesia sebagai karakter ceritanya, Prisca cukup berhasil membangun karakterisasi. Ia bisa menghidupkan para karakternya beserta probematika kehidupan mereka dengan baik sehingga tidak menerbitkan keraguan. Setiap karakter diberinya latar belakang yang tidak biasa dan menjadi sangat menarik karena terkait dengan seni. Apalagi untuk seni yang membuat Vinter mendapatkan terapi bagi luka-luka masa lalunya.

Dari segi cerita memang tidak ada yang istimewa. Konflik utamanya pun tergolong generik dan kuno karena sudah kerap diangkat para penulis di berbagai belahan dunia. Seorang perempuan lari dari campur tangan orangtua terhadap masalah cintanya, dan dalam pelariannya menemukan cintanya, bukan hal yang menantang untuk dibaca. Saya memerlukan waktu berbulan-bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk membaca novel ini. Dan ternyata, saya bisa menikmati cara Prisca merangkai perjalanan dan pergolakan pikiran karakter utamanya sehingga berhasil menamatkan dalam waktu tidak terlalu lama.

Membaca Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa bagaikan sedang membaca dongeng tentang cinta. Florence yang digambarkan memiliki kecantikan serupa Snegurochka dan Vinter yang mampu memahat imajinasi pada air yang membeku, seperti menyeruak keluar dari lembar-lembar dongeng. Prisca pun mengukuhkan persepsi ini dengan menambahkan ke dalam novelnya kalimat yang biasa kita baca atau dengar dari kisah-kisah dongeng (hlm. 235).

Sebenarnya, kalau Prisca mengakhiri novelnya setelah bagian Épilogue, kisah dalam novel ini sudah cukup. Tapi dia masih melanjutkan ke dalam bagian berjudul Vinter les odes yang menceritakan tentang kehidupan Vinter sampai ia bertemu Florence di Stasiun Saint-Lazare. Padahal isinya hanyalah informasi yang diulang dan selebihnya akan lebih baik dimasukkan saja ke dalam bagian-bagian sebelumnya yang notabene ditulis menggunakan perspektif orang ketiga.


 Snegurochka karya Viktor Vasnetsov




Salah satu bagian dari Honfleur



 
 Gereja St. Catherine Honfleur

14 March 2013

Paris

 
Judul Buku: Paris
Pengarang: Prisca Primasari
Tebal: x
+
214 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2012
Penerbit; GagasMedia

 




Memanfaatkan Paris sebagai seting utama, Prisca Primasari dalam novelnya yang berjudul Paris menceritakan kisah cinta anak muda asal Indonesia yang menimba ilmu di kota itu.  Aline Ofeli berada di Paris karena kuliah S2 di Sejarah Pantheon-Sorbonne, sesuai dengan keinginan mendiang ayahnya, yang selalu menganggapnya inferior. Ia meninggalkan Indonesia, ibunya, dan mengalami kesulitan beradaptasi di Paris. Sebenarnya ia lebih berbakat menggambar ketimbang belajar sejarah, dan terbukti dengan IP yang tidak pernah bagus. Sambil kuliah, Aline bekerja di Bistro Lombok, restoran makanan Indonesia milik Monsieur Borodin, pria Prancis yang menikahi perempuan Indonesia. Di restoran ini, ia bertemu Putra, pemuda Indonesia yang bekerja sebagai koki. Aline menyukai Putra sejak pertama melihatnya, tapi perasaannya bertepuk sebelah tangan. Putra yang digelarinya Ubur-Ubur tidak menyukainya dan tidak jarang meremehkannya. Yang paling membuat Aline mutung, Putra kemudian memacari Lucie François, gadis Prancis secantik Marion Cottilard, rekan sekerja di Bistro Lombok.

Dalam keadaan patah hati, saat sedang berada di Jardin du Luxembourg, Aline menemukan sebuah porselen yang sudah pecah. Setelah mencoba menyatukan pecahannya, Aline menemukan nama Aeolus Sena dimaktubkan pada porselen itu. Penelusurannya di dunia maya berakhir pada janji untuk bertemu.
 
Anehnya, Sena ingin mereka bertemu di Place de la Bastille -lokasi yang dulunya dijadikan tempat para tahanan menerima hukuman pemenggalan kepala- pada jam 12 malam. Saking penasarannya, Aline setuju dengan janji pertemuan ini. Sayangnya, kendati Aline telah berjibaku melawan rasa takutnya, Sena tidak muncul. Ia baru menampakkan diri pada malam ketiga. Porselen yang ditemukan Aline di Jardin du Luxembourg itu ternyata dibuat oleh Marabel, kakak perempuan Sena yang menikahi pria Prancis.

Aeolus Sena sendiri sudah menetap di Paris selama delapan tahun. Ia pun sudah dua tahun menyelesaikan kuliahnya di jurusan perfilman di Eicar International. Saat ini, bukannya membuat film, Sena mengaku bekerja paruh waktu di tempat reparasi mesik tik. Anehnya, bertahun-tahun menetap di Paris, ia tidak mengindikasikan keakraban dengan kota ini. Tidak kalah anehnya, ia tidak pernah bertemu Marabel yang sama-sama berada di Paris. Mereka hanya berhubungan melalui surel. Setelah bertemu Aline, Sena bersemangat mengunjungi beberapa tempat yang ingin dikunjunginya. Bukan cuma Place de la Bastille, tapi juga Maison Victor Hugo -kediaman pengarang Victor Hugo yang dijadikan museum- dan Cimetière du Père-Lachaise.

Untuk apa yang telah dilakukan Aline, Sena memberikan Aline kesempatan untuk mengajukan tiga permintaan. Diberi kesempatan seperti itu, Aline jadi ingin pulang ke Indonesia, dengan harapan, Sena akan membiayai perjalanannya. Dua tahun bermukim di Paris, tidak pernah bisa membuatnya betah. Tapi bukannya menyanggupi permintaan ini, Sena malah mengarahkan Aline untuk tetap menuntaskan kuliah dan mengundang ibu Aline berkunjung ke Paris dengan biayanya.

Saat berdua akhirnya pergi ke Bistro Lombok, Aline mendapatkan kesempatan mengajukan permintaan kedua. Ia ingin Sena melakukan sesuatu yang akan memisahkan Lucie dan Ubur-Ubur. Meskipun menyanggupi permintaan Aline, Sena merasa perlu mempelajari situasi. Alhasil, ia malah mengecam Aline yang  begitu terobsesi pada Ubur-Ubur. "Pikiran sempit. Nggak percaya diri, tapi sok kuat. Melankolis tidak pada tempatnya. Suka berjibaku pada hal-hal tidak penting," katanya (hlm. 97).

Sebenarnya cerita berpotensi menjadi lebih menarik karena Prisca memunculkan karakter pemuda kedua, Ezra Yoga. Ezra yang bekerja di Musèe de Cluny adalah pemuda Indonesia yang mengambil peminatan yang sama dengan Aline di Pantheon-Sorbonne, setahun di atas Aline. Diam-diam, Ezra mencintai Aline tapi tidak menemukan cara untuk secara langsung menunjukkan kepada gadis itu. Senalah yang menemukan cara paling jitu agar Ezra bisa mengekspresikan perasaannya, dengan kemampuan yang ia miliki. Hal ini dilakukan Sena karena sebenarnya ia memang tidak tertarik pada Aline kendati pernah menciumnya. Sebaliknya, tanpa bisa dikekang, kebersamaan dengan Sena telah memunculkan perasaan cinta di hati Aline. Potensi ini tidak begitu digali oleh Prisca sehingga kehadiran Ezra pun menjadi tidak cukup signifikan.

Selain masalah percintaan dan masalah pribadi Aline, Sena, dan Ezra, Prisca juga menghadirkan permasalahan yang dialami Sêvigne Devereux, sahabat Aline. Sêvigne berbakat membuat vignet tapi tidak dihargai oleh ibunya sehingga nyaris membuatnya putus asa. Menuju ke bagian-bagian akhir novel, Prisca menghadirkan permasalahan lain, yaitu permasalahan yang merundung pasutri Apollinaire dan Nelly Poussin. Semua permasalahan yang dimunculkan Prisca ini mempengaruhi kehidupan karakter utama novel.

Seiring perguliran plot akan muncul pertanyaan demi pertanyaan dalam benak pembaca. Mengapa porselen karya Marabel ditemukan Aline di Jardin du Luxembourg? Apa yang membuat Sena kerap bersikap aneh? Mengapa ia tidak pernah bertemu Marabel, kakaknya, walaupun tinggal sekota? Siapa yang akhirnya menggantikan Ubur-Ubur di hati Aline? Aeolus Sena atau Ezra Yoga?  Jangan lupa, Aline masih menyimpan permintaan terakhir dari tiga permintaan yang disanggupi Sena. Apakah yang akan menjadi permintaan terakhir Aline?

Paris menambah perbendaharaan koleksi novel romantis Indonesia. Tema utamanya tergolong generik, kisah cinta anak-anak muda Indonesia di perantauan. Sebagaimana jamaknya novel romantis, para pencinta ini dipertemukan, berinteraksi, dibubuhi konflik secukupnya, kemudian diberi kesempatan untuk memilih pendamping hidup. Prisca menambahkan konflik yang tidak biasa ke dalam novel ini, menarik tapi sayangnya kurang meyakinkan dan terasa aneh bagi seorang Aeolus Sena yang sudah dewasa. Penuntasan konflik pun terlalu gampang dan tidak menimbulkan sengatan berarti.

Sesuai judulnya, ibukota Prancis itu tetaplah menjadi daya pikat novel ini. Prisca memang tidak lagi mengagung-agungkan Menara Eiffel -yang disebutnya klise, tapi ia tetap memunculkan tempat-tempat yang bisa kita kunjungi saat berada di Paris. Place de la Bastille, Maison de Victor Hugo, Cimetière du Père-Lachaise, Mariage Frères, toko buku Shakespeare and Company, dan Boulangerie Patisserie Beaumarchais. Dengan cukup meyakinkan, Prisca membingkai perjalanan para karakternya melalui tempat-tempat itu.

Hampir semua kisah yang kita baca disajikan dalam bentuk catatan harian, lengkap dengan tanggal dan perasaan Aline -si penulis catatan harian- pada saat ia menulisnya. Setelah kembali ke Indonesia, Aline mengirimkan catatan hariannya kepada Sêvigne Devereux dengan harapan bisa dijadikan vignet atau novel oleh sahabat Prancisnya ini. Aline memiliki bakat menggambar sehingga kemungkinan besar ilustrasi cantik karya Diani Apsari yang bertaburan dalam novel ini dimaksudkan sebagai gambar-gambar buatan Aline. Karena kisah mengenai Aline Ofeli yang kita baca merupakan isi dari catatan hariannya yang dibaca Sêvigne -Prisca memulai dengan kalimat "Sêvigne mulai membuka halaman pertama." (hlm. 3)- semestinya Prisca mengakhiri novel ini dengan mengembalikan ceritanya pada Sêvigne, yang telah menamatkan catatan harian Aline. Tapi anehnya, bukan itu yang dilakukan Prisca.

Paris adalah novel pertama dari proyek kolaborasi GagasMedia dan Bukune, Setiap Tempat Punya Cerita, yang diterbitkan GagasMedia. Seri ini ditujukan untuk memberikan pembaca novel-novel terbitan kedua penerbit ini fiksi dengan pengalaman traveling ke mancanegara. Saat GagasMedia menerbitkan Paris, Bukune menerbitkan Last Minute in Manhattan *) karya Yoana Dianika. Menyusul kedua novel ini, akan terbit Roma (Robin Wijaya, GagasMedia) dan Barcelona Te Amo (Kireina Enno, Bukune).

Paris adalah buku keempat Prisca Primasari yang diterbitkan GagasMedia setelah Éclair, Beautiful Mistake (Gagas Duet dengan Sefryana Khairil), dan Kastil Es dan Air Mancur Berdansa. Ini adalah novel Prisca Primasari yang sudah bisa saya tamatkan, dan dalam waktu tidak terlalu lama. 


*) sedang dibaca 












Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan