31 December 2012

Terompet Tahun Baru







 TEROMPET TAHUN BARU


Aku dan Ibu pergi jalan-jalan ke pusat kota
untuk meramaikan malam tahun baru.
Ayah pilih menyepi di rumah saja
sebab beliau harus menemani kalender
pada saat-saat terakhirnya.

Hai, aku menemukan sebuah terompet ungu
tergeletak di pinggir jalan.
Aku segera memungutnya
dan membersihkannya dengan ujung bajuku.
Kutiup berkali-kali, tidak juga berbunyi.

Mengapa terompet ini bisu, Ibu?
Mungkin karena terbuat dari kertas kalender, anakku.

(Joko Pinurbo: 2006)






The Time Keeper

Judul Buku: The Time Keeper
Pengarang: Mitch Albom (2012)
Penerjemah: Tanti Lesmana
Tebal: 312 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Oktober 2012

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
 


Hanya manusia yang mengukur waktu.
Hanya manusia yang menghitung jam.
Itu sebabnya hanya manusia yang mengalami ketakutan hebat yang tidak dirasakan makhluk-makhluk lainnya.
 

Takut kehabisan waktu 
(hlm. 17).

 
 
Dor, karakter sentral dalam novel The Time Keeper (Sang Penjaga Waktu) karya Mitch Albom adalah Father Time. Disebut Father Time karena Dor yang melakukan pengukuran waktu pertama kali sejak dunia diciptakan. Ia yang menemukan jam matahari, menciptakan jam mula-mula dan kalender pertama. Sebelum membangkitkan murka Tuhan, Dor adalah manusia biasa yang ditakdirkan mati sebagaimana manusia lainnya. Tapi ketika Alli, istrinya, meninggal dunia, Dor bertekad menghentikan perputaran waktu. Sebuah kehendak yang melampaui batas yang membuatnya terperangkap ke dalam sebuah gua selama ribuan tahun dan tidak pernah bertambah usia. Telah ditetapkan, Dor akan hidup di dalam gua hingga misinya dijalankan. Dan sementara berada di dalam gua, ia akan mendengar suara-suara yang melayang dari sebuah kolam di pojokan gua. Suara-suara manusia di Bumi terkait dengan Waktu.
 
Ia juga mendengar dua suara, yaitu suara Sarah Lemon, gadis tujuh belas tahun, siswa tahun terakhir SMA yang lagi jatuh cinta, dan suara Victor Delamonte, orang terkaya keempat belas di dunia yang mengidap kanker dan mengalami kerusakan ginjal. 
 
"Ingat ini selalu: Ada alasannya mengapa Tuhan membatasi hari-hari manusia. Tuntaskan perjalananmu, dan kau akan mengerti," kata lelaki tua yang menjumpai Dor setelah enam ribu tahun berlalu (hlm. 117).
 
Maka, Dor pun dikembalikan ke bumi sambil membawa jam pasirnya untuk menjalankan misi yang telah ditetapkan baginya. Ia bekerja di sebuah toko jam di Lower Manhattan, New York City, tepatnya di Satu-Empat Puluh-Tiga Orchard. Di sinilah ia akan bertemu dengan Sarah yang hendak membeli jam tangan untuk pemuda yang dicintainya dan Victor yang akan membeli jam saku untuk menyertai keabadiannya. Kedua manusia inilah yang menjadi target misi Dor. Sarah yang menginginkan terlalu sedikit waktu akan berniat mengakhiri hidupnya, sedangkan Victor yang menginginkan terlalu banyak waktu bermaksud memanfaatkan teknologi krionika untuk membuatnya imortal. 
 
Apa yang akan dilakukan Dor kepada Sarah dan Victor? Berlomba dengan waktu yang sulit sepenuhnya dihentikan, Dor mesti mengajari keduanya untuk memahami pentingnya waktu. Ia harus berhasil, karena keberhasilannya akan membukakan jalan pada penebusan kesalahannya di masa lalu. Sejalan dengan itu, Dor sendiri akan belajar mengenai alasan Tuhan untuk membatasi hari-hari manusia. 
 
Ada sebabnya Tuhan membatasi hari-hari kita.

Supaya setiap hari itu berharga. (hlm. 288).

Seperti yang disebutkan Mitch Albom di bagian epilog, The Time Keeper adalah kisah tentang makna waktu. Kita sangat mengenal kata "waktu" dan kerap melahirkan berbagai ungkapan terkait waktu. Mitch Albom menyebutkan contoh-contohnya. Merintang-rintang waktu, menghabiskan waktu, membuang-buang waktu, membunuh waktu, kehilangan waktu, sudah waktunya, diburu waktu, menghemat waktu, tepat waktu, mengatur waktu, mengulur-ulur waktu. Ungkapan-ungkapan ini, menurut kisah Mitch Albom, tidak pernah ada sebelum Sang Penjaga Waktu mulai menghitung waktu. Padahal, "Begitu kita mulai menghitung waktu, kita kehilangan kemampuan untuk merasa puas," kata Dor (hlm. 290). "Selalu ada pencarian untuk mendapatkan lebih banyak menit, lebih banyak jam, kemajuan lebih cepat untuk menghasilkan lebih banyak setiap harinya. Kebahagiaan sederhana dalam menjalani hidup antara dua matahari terbit tidak lagi dirasakan... Segala sesuatu yang dilakukan manusia masa kini supaya efisien, untuk mengisi waktu. Itu tak bisa memberikan kepuasan. Justru membuatnya lapar untuk berbuat lebih banyak. Manusia ingin memiliki eksistensinya. Padahal tak seorang pun bisa memiliki waktu."

Kesimpulan dari pembacaan The Time Keeper adalah kita harus menghargai waktu yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita. Seberapa panjang hari-hari yang diberikan dalam kehidupan kita, tetap harus dijalani dengan penuh rasa syukur, dan tidak perlu dipertanyakan. 
  
Ditulis indah serupa dongeng, bermuatan tema yang unik dan mencerahkan, The Time Keeper yang kisahnya berpuncak di malam Tahun Baru, adalah bacaan yang cocok untuk menyongsong Tahun Baru. Maka marilah kita bersyukur untuk waktu yang telah Tuhan anugerahkan kepada kita. 


***



Catatan:
Menurut tradisi, pembangunan menara Babel digagas oleh Nimrod. Alkitab mencatat nama Nimrod sebagai salah satu keturunan Nuh dari putranya, Ham. Alkitab sendiri tidak menyatakan kalau Nimrod yang menggagas pembangunan Menara Babel. Tradisi yang menyatakan Nimrod sebagai pembangun Menara Babel agaknya muncul karena menara Babel dibangun di tanah Sinear yang disebut Alkitab sebagai wilayah kekuasaan Nimrod.

Saya yakin yang dimaksud oleh Mitch Albom sebagai Nim dalam The Time Keeper adalah Nimrod. Nama Dor sendiri adalah Rod yang dibaca dari belakang. 




Father Time



* Novel ini dibaca dalam rangka posting bareng BBI khusus buku-buku Mitch Albom 31 Desember 2012


28 December 2012

Before Us


Judul Buku: Before Us
Pengarang: Robin Wijaya
Editor: Della
Tebal: vi + 298 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2012
Penerbit: GagasMedia


 



Agil sudah bertunangan dengan Ranti dan sedang dalam persiapan pernikahan ketika Radith datang kembali ke dalam hidupnya. Secara tiba-tiba Radith pulang Indonesia setelah tiga tahun bekerja di Korea. Padahal selama kepergian Radith, Agil sudah mencoba melupakannya, bahkan berhasil membawa hubungannya dengan Ranti ke jenjang lebih serius. 

Gema Radith Satya adalah sahabat SMA Agil. Karena keseringan menghabiskan waktu bersama-sama, persahabatan mereka terjalin begitu kuat. Mereka saling bergantung dan menjadi lebih dari sekadar sahabat. Satu sama lain merasa tidak lengkap jika sedang tidak bersama. Ketika mereka mulai mengenal lawan jenis dan berpacaran, mendadak kecemburuan pun muncul. Kecemburuan menjadi penegasan kalau sebenarnya mereka saling mencintai. Tentu saja tidak menjadi masalah seandainya mereka berbeda jenis kelamin. Tapi diam-diam, tanpa diketahui bahkan oleh keluarga mereka, Agil dan Radith menjalin hubungan seperti layaknya perempuan dan laki-laki.

Waktu yang salah, keadaan yang salah. Hanya perasaan yang kami percaya dan kami anggap benar. Kami... saling jatuh cinta (hlm. 87).
 
Hubungan mereka berakhir saat Radith bersikeras bekerja di Seoul. Agil yang memutuskan hubungan mereka karena tidak mau ditinggalkan. Hanya saja, ketika Agil mengabarkan kepulangannya ke Indonesia, Agil menyadari dirinya masih mencintai Radith. Terbukti ia tidak menolak ajakan Radith pergi ke Lombok karena ia punya pekerjaaan di Senggigi. Agil minta cuti dari kantor dan berangkat tanpa sepengetahuan tunangannya. Diam-diam, Agil menerima kembali Radith dalam kehidupannya, tidak peduli dirinya sudah bertunangan. 

Menjauh tak membuat perasaan menjadi nyaman. Aku membawa rindunya ikut serta, ke mana pun. Aku yang memikirkannya, aku yang mengingatnya. Dan aku juga, yang mencintainya. (hlm. 79).

Sekali lagi, hubungan Agil dan Radith tidak bertahan. Radith memergoki Agil sedang berdansa dengan Ranti di apartemennya pada hari ulang tahun Agil. Radith menganggap, Agil lebih memilih Ranti ketimbang dirinya. Mereka berpisah dan tidak bertemu selama berbulan-bulan. Agil mencoba mencari Radith tapi kehilangan jejak. Manakala takdir mempertemukan mereka kembali, Radith telah menjalin hubungan dengan seorang perempuan, Winnie. Perpisahan terjadi lagi: Radith pergi ke Makasar dengan Winnie untuk memulai hidup barunya sedangkan Agil menikahi Ranti.  


Kisah mereka tidak berhenti di sini. Karena, setelah Agil dan Ranti menikah selama empat tahun dan  memiliki seorang anak perempuan, Radith menyambangi kehidupan Agil lagi. Radith ingin menjalin hubungan seperti dulu dan siap menceraikan Winnie yang sudah dinikahinya. Tapi apakah kali ini Agil akan menerima Radith sebagai seorang kekasih? Akankah ia mempertaruhkan keluarganya demi bersama Radith? Keputusan yang diambil Agil merespons permintaan Radith bermuara pada konsekuensi yang menyakitkan. Tidak hanya bagi Radith tapi juga bagi Agil sendiri.


 Cuma ilustrasi, adegan dari film LGBT Bangkok Love Story

 
Dengan kisah semacam ini, Before Us karya Robin WIjaya masuk dalam kelompok fiksi LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender). Agil yang menjadi narator orang pertama jelas tergolong biseksual karena bisa berhubungan seksual baik dengan laki-laki maupun perempuan. Sedangkan Radith, meskipun menikahi Winnie, tampaknya murni seorang gay. Kendati demikian, Robin tidak menampilkan kedua karakter ini sebagai pribadi yang flamboyan nan gemulai. Karenanya, kita tidak akan menemukan mereka bercakap-cakap menggunakan kosakata genit yang serba ajaib. Saya kira hal inilah yang membuat novel ini tetap enak dibaca walaupun bahasa yang dipakai Robin belum bia dibilang istimewa. 

Bagi saya, karya fiksi bukan semata-mata kisah yang dikandung di dalamnya tapi juga bagaimana cara pengarang menyajikan kisah itu. Maka berbicara mengenai teknik penyajian, juga bukan hanya berarti menyoal kecerdikan memilih POV, melainkan juga pada keanggunan penggunaan bahasa. Menurut saya, meskipun bisa mengalirkan kisahnya dengan lancar, Robin belum cukup berkilau dalam hal ini. 

Membaca Before Us, novel romance dewasa pertama Robin Wijaya, akan mengingatkan pada Lelaki Terindah karya Andrei Aksana (Gramedia Pustaka Utama, 2004)) dan The Sweet Sins karya Rangga Wirianto Putra (Diva Press, 2012). Seperti Before Us, kedua buku ini juga menyodorkan problematika homoseksualitas. Tapi bila dibandingkan, saya masih merasa lebih nyaman membaca Before Us. Selain penggunaan kata-kata yang cenderung tidak boros dan santun, Before Us pun tidak royal mengumbar erotisisme. Maksud saya, kita tidak akan menemukan adegan bercinta eksplisit seperti yang dilakukan Rafky dan Valent (Lelaki Terindah). Kita juga tidak akan menemukan frekuensi aktivitas bercinta seperti yang terjadi pada Reino dan Ardo (The Sweet Sins).  

Sama dengan Lelaki Terindah dan The Sweet Sins, Before Us diakhiri dengan solusi -yang menurut saya- pengecut dan sekadar supaya bisa diterima oleh semua masyarakat pembaca. Tidak ada satu pun dari ketiga penulis buku ini berani memberikan akhir bahagia bagi kedua pecinta ciptaan mereka. Sama sekali tidak bermaksud membela siapa-siapa, tapi cara ketiga pengarang ini menuntaskan novelnya hanya menandaskan bahwa: tidak ada tempat bagi pecinta sesama jenis di Indonesia. 

Saya pun kurang bisa bersimpati dengan karakter Agil ketika ia bersikap seolah-olah cuci tangan dalam hubungannya dengan Radith.

Aku sadar sekarang, semuanya harus diakhiri. Selama ini, aku tidak pernah memilih. Aku membiarkan orang lain memilih untuk diriku. Aku tidak pernah memutuskan untuk hidupku, orang lain yang memutuskannya untukku.

Sejak pertunangan itu, sejak kembalinya Radith dari Korea, sejak ia pergi bersama Winnie, sejak aku menikah dengan Ranti, sampai ia datang lagi kemudian. Tidak ada satu perkara pun yang merupakan hasil keputusanku. Seandainya aku memilih untuk 'ya' atau 'tidak'. Semuanya mungkin tidak perlu begini. (hlm. 277 & 278).

 ***


Edisi pertama Lelaki Terindah dan The Sweet Sins



* Ditulis dalam rangka posting bareng BBI dengan fiksi bertema LGBT 28 Desember 2012

27 December 2012

The Christmas Hope


Judul Buku: The Christmas Hope 
Pengarang: Donna VanLiere (2005)
Penerjemah: Rosida W. Simatupang
Tebal: 223 halaman
Cetakan: 1, 2011
Penerbit: Elex Media Komputindo


 



Sean Addison meninggal setelah mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang ke rumah keluarganya pada malam Natal. Ia tertidur ketika mengemudikan mobilnya dan menabrak truk gandeng yang diparkir di tepi jalan. Saat itu Patricia, ibunya, telah mempersiapkan perayaan Natal keluarga. Ia telah memanggang kue cokelat Jerman dan pecan pie cokelat, membuat manisan selai kacang dan kue gula-gula. Tapi Patricia tidak pernah melihat putranya dalam keadaan hidup lagi, setelah delapan belas tahun melahirkannya.

Nathan Andrews sedang bertugas di ruang gawat darurat ketika Sean dibawa ke rumah sakit, dan dialah yang mengabarkan kematian Sean kepada Patricia. Sean mengalami cedera terlalu berat. Ia meninggal di meja operasi sebelum para dokter sempat menolongnya. Tapi, Sean sempat berbicara, memberitahukan siapa dirinya dan pesan yang menyatakan bahwa dia akan selalu mencintai ayah dan ibunya.

Setelah kematian Sean, perubahan besar terjadi dalam keluarga Addison. Kesedihan telah merenggangkan komunikasi di antara Patricia dan Mark. Mereka tidak bisa menyatu lagi, tetap hidup serumah tapi diantarai jurang pemisah. Patricia mencoba pergi ke gereja, berharap hidupnya diubahkan seperti yang dialami ibunya, Charlotte, ketika ditinggalkan ayahnya dalam keadaan terpuruk. Tapi Patricia tidak bertahan karena baginya kematian Sean adalah indikasi bahwa sebenarnya Tuhan tidak mempedulikannya.

Empat tahun telah berlalu sejak kematian Sean, dan tidak ada perubahan ke arah yang lebih baik. Hubungan Patricia dengan Mark kian memburuk, Mark tidak tahan lagi dengan keadaan mereka dan telah mengemas barang-barangnya ke dalam kotak dan koper, memutuskan meninggalkan Patricia seusai Natal.

Tidak ada harapan lagi bagi Patricia. Sukacitanya telah lenyap, kebahagiaan tinggal memori, dan tidak ada alasan baginya untuk mempersiapkan perayaan Natal ketika hari besar itu menjelang. Tidak ada lagi kesibukan menghias rumah ataupun memanggang kue seperti dulu. Kehilangan Sean di malam Natal telah mengguratkan luka yang dalam.

Hanya satu yang tetap membuat Patricia kuat menghadapi kehidupannya. Seperti pesan lain Sean menjelang ajalnya, Patricia tetap mencintai anak-anak. Selama tujuh belas tahun Patricia bekerja sebagai pekerja sosial yang memberi diri dalam pelayanan protektif bagi anak-anak dari keluarga bermasalah. Ia yang menjemput anak-anak dari kediaman mereka ketika ibu-ibu mereka ditangkap karena terlibat tindak kejahatan atau harus dimasukkan ke dalam rehabilitasi. Ia pula yang berupaya mencarikan rumah asuh bagi anak-anak itu sebelum kelak dikembalikan pada orangtua yang sudah mampu merawat mereka.

Menjelang Natal, Patricia harus menjemput Emily Weist, gadis cilik berusia lima tahun, dari tempat tinggalnya. Emily yang manis dan pintar ditinggalkan ibunya yang pergi bekerja. Malangnya, ibunya tewas dalam kecelakaan mobil. Dalam waktu yang tidak lama, Patricia pun harus menjemput Mia, anak berusia dua tahun yang ditelantarkan ibunya, seorang pengedar narkoba berusia delapan belas tahun. Mia harus menjalani rawat inap di rumah sakit karena hasil pemeriksaan Dokter Nathan Andrews menunjukkan kalau Mia mengalami incessant atrial tachycardia (denyut jantung tidak normal karena pembesaran jantung).

Ketika keluarga angkat Emily dirundung masalah keluarga, Patricia menjemput gadis kecil itu dan bermaksud mencarikannya rumah asuh yang baru. Tapi dalam perjalanannya, Patrica membatalkan niatnya dan membawa Emily ke rumahnya. Padahal, tindakan ini merupakan pelanggaran kode etik bagi pekerja sosial.

Tanpa diduga Patricia, kehadiran Emily di dalam rumahnya ternyata membawa atmosfir keriangan yang sudah menghilang. Dengan mudah, Emily meluluhkan hati Mark dan membuat lelaki yang bekerja sebagai pilot itu memutuskan melewatkan Natal di rumahnya. Padahal sudah hampir empat Natal ia tetap bekerja. Bahkan kemudian, Mark mempertimbangkan keinginan Emily untuk tinggal bersama keluarganya. Pelan-pelan Emily berhasil memperbaiki jembatan komunikasi dan pengertian di antara Patricia dan Mark yang sudah runtuh. Dan tanpa disadari, Emily menghangatkan kembali kasih di antara mereka yang sudah dingin, membuat gadis cilik itu menjadi sangat berarti bagi mereka.

Tapi, apakah kebahagiaan yang muncul di musim Natal setelah empat tahun kesedihan itu akan bertahan? Akankah Emily menjadi bagian keluarga Addison? Dari hasil penelusuran yang dilakukan Patricia, ternyata Tracy - ibu Emily- telah menetapkan adik laki-lakinya sebagai wali bagi Emily. Apakah paman Emily akan bersedia mengalihkan hak perwaliannya pada keluarga Addison? Patricia harus bersicepat dalam waktu yang singkat untuk memastikannya.

Sementara itu, menjelang Natal, Nathan Andrews berusaha memecahkan misteri dari sebuah kado Natal tanpa pembungkus yang ditemukannya di rumah sakit. Ketika ia memutuskan membuka kado itu, ia menemukan sebuah jam saku antik  di dalamnya. Siapakah pasien yang telah menjatuhkan kado itu? 

Donna VanLiere, penulis The Christmas Hope (Pengharapan Natal), akan menggiring kita pada pemahaman betapa bernilainya jam saku itu dalam mengatalisasi perubahan kehidupan. Dan bahwa cinta, dalam kerumitan seperti apa pun yang harus ditempuhnya, akan selalu membawa pulang kebahagiaan dalam hidup manusia. Di puncak khidmatnya musim Natal yang menyelubungi keluarga Addison, Patricia memperoleh keyakinannya kembali, bahwa masih ada harapan di dunia ini. Membenarkan kalimat dari Victor Hugo yang dikutip Donna untuk membuka bab delapan (hlm. 171): Pengharapan adalah kata-kata yang ditulis Tuhan di setiap dahi manusia.

The Christmas Hope adalah buku ketiga dari Christmas Hope Series karya Donna VanLiere. Meskipun masih menghadirkan peran Nathan Andrews dan Robert Layton, keduanya bukan lagi fokus utama novel ini. Tapi kehadiran mereka sebagai orang-orang berkebaikan hati yang telah diubahkan, akan tetap terasa menghangatkan hati.

Seperti kedua buku pendahulunya - The Christmas Shoes dan The Christmas Blessing - novel ini ditulis menggunakan perpaduan dua narator, orang pertama dan ketiga. Kali ini, Donna menetapkan Patricia Addison sebagai orang pertama yang akan mencurahkan kisah hidupnya yang menjadi fokus novel ini. Seperti kedua buku sebelumnya, The Christmas Hope yang juga ditulis dengan lembut dan penuh perasaan, akan menerbitkan keharuan dan kehangatan dalam hati selama membaca. Pergumulan keluarga Addison digambarkan sedemikian rupa sehingga kita bisa merasakan hati mereka yang hancur. Kita akan menginginkan mereka mendapatkan kembali kebahagiaan sehingga akan terus melembari halaman buku untuk mencapai bagian pamungkas. Kemudian pada akhirnya, kita akan diyakinkan, bahwa yang terbaik bagi hati yang hancur adalah mempersembahkannya ke atas mezbah Tuhan. 

Ada sesuatu terkait kematian Sean Addison yang membuat saya kembali membuka buku sebelumnya, The Christmas Blessing. Dalam novel ini Donna memberitahu bahwa Nathan menyaksikan kematian dua pasien yang dirawat timnya; seorang anak muda yang mengalami kecelakaan mobil dan seorang perempuan tua yang mengalami peningkatan pecahnya aorta. Karena hanya kedua kematian itu yang terjadi selama masa rotasinya di rumah sakit, saya berkesimpulan anak muda itulah yang dimaksudkan sebagai Sean Addison. Tapi ternyata setelah memeriksa dengan teliti ada perbedaan antara Sean dan anak muda yang mati itu. Dalam The Christmas Blessing disebutkan anak muda itu berusia dua puluh tujuh tahun dan meninggal saat Nathan menjalani rotasi pertamanya, yaitu rotasi bedah. Dalam The Christmas Hope disebutkan bahwa Sean Addison meninggal pada usia delapan belas tahun, dan saat itu Nathan sedang bertugas di ruang gawat darurat. Saya bisa memahami inkonsistensi ini karena terang saja Donna VanLiere belum memikirkan kisah di dalam The Christmas Hope ketika ia menulis The Christmas Blessing

The Christmas Hope telah diekranisasi menjadi film televisi yang ditayangkan pertama kali pada 13 Desember 2009 di Lifetime Television. Madeleine Stowe berperan sebagai Patricia Addison, James Remar sebagai Mark Addison, Ian Ziering sebagai Nathan Adrews, dan Tori Barban sebagai Emily.

"Ada beberapa waktu yang tak dapat kuingat tentang bagaimana aku bisa sampai di sini atau rasa sakit yang kurasakan; ada masanya ketika perasaan itu membanjir dalam diriku. Ini perjalanan panjang. Kadang kala, kupikir aku tidak akan berhasil, atau Mark dan aku tak akan bertahan tapi nyatanya kami bisa. Dan hari ini saat aku melihat seorang malaikat berpakaian putih mengangkat sayapnya dan menyanyi, aku bisa katakan, masih ada Harapan di dunia ini dan kedamaian di hatiku." (Patricia: hlm. 223).


***






The Christmas Blessing


Judul Buku: The Christmas Blessing (Berkat Natal)
Pengarang: Donna VanLiere (2003)
Penerjemah: Antonius Eko
Tebal: 216 halaman
Cetakan: 1, 2011
Penerbit: Elex Media Komputindo


 


Cinta yang datang saat Natal, kata ibuku. Ini adalah mukjizat terbesar dari semuanya. Ini adalah berkat Natal. (hlm. 190).

 





Saat kisah dalam The Christmas Blessing dimulai,  Nathan Andrews telah menjadi mahasiswa kedokteran tahun ketiga. Ia sedang menjalani rotasi di bagian kardiologi  sebuah rumah sakit di bawah pengawasan Dokter Crawford Goetz, saat keraguan mulai menggerogotinya. Ia tidak yakin lagi pada pilihan yang ditetapkannya sejak usia sembilan tahun: menjadi dokter supaya bisa menyembuhkan orang-orang sakit seperti ibunya.

Ada dua hal yang menggoncang keyakinan Nathan dan memunculkan pikiran keluar dari sekolah kedokteran. Pertama, ia merasa diperlakukan dengan tidak baik oleh Dokter Goetz yang selalu menggaungkan masalah keterlambatannya. Padahal  keterlambatan Nathan bukan disebabkan lantaran kemalasannya, melainkan jam yang dihadiahkan ibunya, yang sering bermasalah. Nathan enggan mengganti dengan jam yang baru karena jam itu merupakan salah satu elemen penting yang mengingatkannya pada cinta ibunya. 

Kedua, Nathan tidak tahan menghadapi kematian pasien yang berada di bawah pengawasannya. Sudah dua kali ia menghadapi kematian selama menjalani rotasi di berbagai bagian rumah sakit. Seorang anak muda berusia 27 tahun yang mengalami kecelakaan mobil dan seorang perempuan lima puluh dua tahun yang mengalami peningkatan pecahnya pembuluh balik. Nathan merasa bertanggung jawab atas kedua kematian itu dan tidak sadar kalau sebenarnya ia tidak mungkin bisa menyelamatkan semua orang dari kematian. 

Nathan tidak merespons secara positif pandangan rekannya yang menegaskan kedokteran merupakan profesi yang tepat baginya. Nathan selalu bersikap baik kepada semua pasien, mudah dekat karena mampu memberikan perhatian yang personal, bahkan menjadi favorit, terutama bagi pasien anak-anak. 

Saat dilanda kegalauan, Nathan bertemu Meghan Sullivan, gadis dengan lubang di jantungnya -ventricular septal-nya tidak pernah tertutup dan tidak cukup besar untuk diperbaiki. Meghan telah menjadi pasien langganan Dokter Goetz sejak masih bayi. Kendati bermasalah dengan jantungnya, Meghan adalah seorang atlet lari. Bahkan ia menjadi penggagas lomba lari dalam rangka penggalangan dana beasiswa bagi pasien jantung yang diterima di perguruan tinggi. Terkait dengan kegemarannya berlari, Charlie Bennett adalah penyemangat nomor satu. Charlie,  anak laki-laki berusia dua belas tahun, juga pasien jantung Dokter Goetz. Ia terlahir hanya dengan satu bilik jantung yang berfungsi, dan selama tiga tahun pertama hidupnya telah menjalani tiga kali operasi. Tapi Charlie memiliki semangat berapi-api. Katanya selalu:  "Jangan pernah memalingkan matamu dari garis finish. Kalau kamu berpaling dari tujuan, kamu tidak akan pernah menyelesaikannya." (hlm. 24). 

Tidak terelakkan lagi, sebagaimana yang dirasakan Meghan, Nathan pun jatuh cinta pada gadis itu.  Dan cinta Nathan tidak pernah kandas sekalipun kondisi kesehatan Meghan kian tumbang. Menjelang Natal, Meghan didiagnosis mengidap hepatitis akut, dan berdasarkan hasil biopsi ditetapkan kalau Meghan membutuhkan transplantasi hati. Sebagai organ tubuh, hati bisa beregenerasi sendiri sehingga sebagian saja sudah cukup menjamin kesuksesan transplantasi. Hanya saja Meghan tidak mendapatkan hati dari donor hidup yang kompatibel. Termasuk keluarganya, Dokter Goetz, bahkan Nathan yang telah memeriksakan diri. 

Tapi Meghan adalah seorang gadis yang istimewa. Kendati sakit, ia tetap berusaha menikmati kehidupan dan bersikap optimis. Mukjizat Natal menjadi tempatnya menggantungkan harapan. Ia yakin, selalu ada mukjizat saat Natal.  

Tidak ada yang bisa menyalurkan kekuatan ke dalam diri Nathan tatkala menyaksikan penderitaan Meghan, selain surat-surat dari ibunya. Maggie Andrews telah menulis banyak surat pada minggu-minggu menjelang kematiannya yang ditujukan kepada Nathan. 

"Rasa sakit yang kamu rasakan sekarang akan membantumu peduli pada orang lain, Nathan. Akan membantumu menyayangi mereka melewati saat-saat yang berat. Ingatlah selalu bahwa Cinta yang akan menang.... Abaikan rasa sakit  atau kepedihan yang kamu rasakan ketika berada di lembah, karena pada akhirnya akan selalu ada cinta. Mungkin sulit untuk melewatinya, namun Tuhan akan memakai waktumu untuk sesuatu yang baik. Aku tahu Dia akan begitu." (hlm. 162). 

Ketika donor hati tak kunjung datang Meghan menetapkan cinta Nathan kepadanya sebagai mukjizat Natalnya. "Cintamu untukku, Nathan. Aku tidak bisa pergi tanpa jatuh cinta, jadi Tuhan mengirimkanmu untukku. Dia mengirimkanmu padaku karena kamu tahu bagaimana mencintai orang lain, Nathan. Kamu tahu bagaimana untuk peduli. Itulah sebabnya kamu ditakdirkan menjadi dokter. Karena kamu mendengarkan dari sini -Meghan menyentuh dada Nathan, menaruh tangannya di jantung Nathan- Kamu ditakdirkan bekerja dengan anak-anak karena mereka membutuhkan orang yang bisa mendengarkan mereka dari sini. Tidak semua orang bisa melakukannya, tapi kamu bisa. Itulah talentamu." (hlm. 187).

Apakah untuk kedua kali dalam hidupnya Nathan akan kehilangan wanita yang dicintainya? Atau adakah mukjizat Natal yang telah dirancang Tuhan  dengan indah bagi Meghan? 

Pada puncak pemahaman Nathan mengenai mukjizat Natal, dalam keadaan hancur hati, sebuah kesimpulan menghampirinya. Keyakinan, harapan, dan cinta, itulah mukjizat Natal sebenarnya. Dan cinta, yang datang saat Natal adalah mukjizat terbesar dari semuanya. Cinta ini adalah berkat Natal. Cinta yang mampu mengembalikan perspektif Nathan  untuk meyakini lagi bahwa kedokteran adalah benar-benar panggilan hidupnya. 



The Christmas Blessing adalah sekuel dari novel Donna VanLiere sebelumnya, The Christmas Shoes. Novel ini dikisahkan dengan cara yang sama yaitu memadukan dua sudut pandang pengisahan, orang pertama dan orang ketiga. Kalau dalam The Christmas Shoes, Donna menggunakan Robert Layton sebagai narator orang pertama, dalam novel ini Nathan yang mengambil perannya. Nathan adalah karakter utama The Christmas Blessing, sedangkan Robert Layton hanyalah karakter pelengkap. Tapi ketika Donna memutuskan mempertemukan mereka keharuan yang akan muncul dalam hati pembaca. 

Dalam The Christmas Shoes, tepatnya di bagian epilog, Donna mengungkapkan bahwa Nathan telah kuliah kedokteran, lima belas tahun setelah kematian ibunya dan mempelajari onkologi. Hal ini bisa dimengerti karena Maggie meninggal dunia karena kanker. Meskipun di novel ini Donna sempat menyinggung minat Nathan terhadap onkologi lewat penuturan Meghan (hlm. 96), tapi ternyata minat Nathan justru berkembang di bidang kardiologi.

Sebagaimana The Christmas Shoes, novel ini juga memberikan sentuhan yang sama. Ditulis dengan lembut dan penuh perasaan, The Christmas Blessing mendatangkan keharuan sekaligus kehangatan dalam hati selama membaca. Terkesan sangat intens cara Donna menggalaukan perasaan Nathan sehingga ia begitu tak berjarak dengan kita. Nathan terasa hidup, bisa disentuh, dan membuat kita menyayanginya. Setelah lebih dari lima belas tahun sejak kematian ibunya, ia masih membelikan sepatu bermanik-manik untuk diletakkan di makam ibunya. Kelembutannya pun begitu menyentuh hati, apalagi ketika ia berhadapan dengan kenangan-kenangan dan surat-surat yang ditulis oleh ibunya. Dan tanpa kehadirannya di lembar-lembar halaman novel, Maggie Andrews tetap hidup dan membuat novel ini bergelimang kalimat-kalimat indah yang inspiratif.  

Meghan tidak lupa menghadirkan inspirasi. Bahwa tidak ada cara lain untuk menghadapi penderitaan -atau yang diumpamakan Donna sebagai lembah- selain menjalaninya. Keyakinannya sesuai dengan keyakinan Maggie Andrews. "Waktu di lembah akan mengajarimu menjadi seorang laki-laki sejati, Nathan. Di sanalah karaktermu akan dibentuk. Aku berharap kamu berjalan melalui lembah itu, jadi dengan begitu kamu akan belajar mencintai, merasakan, dan memahami. Dan ketika kehidupan menyakitimu, kuharap itu terjadi karena kamu mencintai sesamamu bukan karena kamu menyakiti mereka. Ingatlah selalu bahwa tanpa menghiraukan apa pun yang terjadi, Nathan, pada akhirnya akan selalu ada sukacita. Pasti." (hlm. 3 & 4).

Cinta, bagian yang disorot paling terang, tidak membuat bosan. Meghan memang menderita karena sakit, tapi Donna tidak menghadirkannya dalam kisah cinta yang cengeng  sehingga membuat kita resah. Kesedihan sudah pasti tidak bisa dihindari, tapi tetap terasa tidak boros. Dan justru, gaya penceritaan seperti ini mampu membujuk kita berlinang air mata. 

Selain penceritaan yang indah, Donna juga memiliki kelebihan dalam membuat pembaca percaya dengan apa yang disampaikannya. Yang saya maksud adalah yang terkait dengan permasalahan medis. Penyampaiannya tidak meragukan karena ia tidak sekadar mengkhayal. Di bagian Ucapan Terima Kasih kita mengetahui bahwa Donna telah melakukan riset, dan bahkan untuk menyelesaikan novel ini telah dibantu tiga orang dokter. 

The Christmas Blessing telah diadaptasi ke dalam film televisi dan ditayangkan perdana pada 18 Desember 2005 di jaringan CBS. Neil Patrick Harris berperan sebagai Nathan Andrews, Rebecca Gayheart sebagai Megan Sullivan, dan Angus T. Jones sebagai Charlie Bennet.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip kalimat dari Erma Bombeck yang dipilih  Donna mengawali Bab  Sebelas dalam novel ini  (hlm. 183).  

"Saat aku menghadap Tuhan di akhir hayatku, aku berharap tidak menyia-nyiakan satu bakat pun, dan mampu berkata, "Aku telah menggunakan semua yang Kau berikan padaku."

Semoga. 







25 December 2012

The Christmas Shoes


Judul Buku: The Christmas Shoes
Pengarang: Donna VanLiere (2001)
Penerjemah: Joas Adiprasetya
Tebal: 198 halaman
Cetakan: 1, November 2005

Penerbit: Gradien Books

 


Jika kita bersikap terbuka, Allah dapat memakai bahkan hal terkecil pun untuk mengubah kehidupan kita ... untuk mengubah kita. Mungkin hal itu adalah seorang anak yang tertawa, rem mobil yang membutuhkan perbaikan, obral daging panggang, langit tak berawan, sebuah perjalanan ke hutan untuk menebang pohon Natal, seorang guru sekolah dasar, sebuah pipa Dunhill Billiard ... atau bahkan sepasang sepatu (hlm. 194).

 


The Christmas Shoes (Sepatu Natal) adalah novel yang ditulis berdasarkan lagu Natal berjudul sama karya Eddie Carswell dan Leonard Ahlstrom (NewSong). Lagu ini mengisahkan tentang seorang yang tanpa semangat Natal sedang antre di sebuah toko untuk mencoba membeli hadiah Natal. Di depannya ada seorang anak laki-laki kecil yang memegang sepasang sepatu yang akan dibelinya untuk ibunya yang sedang sakit. Ketika hendak membayar, ternyata uangnya tidak cukup. Anak itu berpaling dan melihat si aku yang tanpa semangat. Ketika si anak berkata: "'Katakan, pak, apa yang harus kulakukan. Bagaimana pun harus kubelikan Ibu sepatu Natal ini', si Tanpa Semangat Natal memberikannya uang. Akhirnya ia pun berkata: "Kutahu telah kualami sekilas kasih surgawi. Tatkala ia berterima kasih padaku dan berlari keluar. Aku tahu Alah telah mengirimkan anak kecil itu untuk mengingatkanku akan makna Natal sesungguhnya." 
 
Kisah di dalam The Christmas Shoes karya Donna VanLiere adalah kilas balik apa yang terjadi lima belas tahun sebelumnya, pada hari Natal 2000. Saat itu, Robert Layton, salah satu karakter utama, sedang mengunjungi makam ibunya, Ellen Katherine Layton. Meskipun dimaksudkan sebagai kenangan Robert Layton, Donna VanLiere tidak hanya menggunakan sudut pandang Robert sebagai narator orang pertama, tetapi juga sudut pandang orang ketiga.

Robert Layton, pada tahun 1985, berusia tiga puluh delapan tahun. Setelah tujuh tahun bekerja di sebuah firma hukum, akhirnya ia diangkat menjadi partner. Menjadi partner membuat waktu Robert tersita oleh pekerjaannya, yang tidak pernah surut, sekalipun pada musim Natal. "Aku kehilangan kebebasan, demi memperoleh kemapanan bekerja di sebuah firma yang kebih besar," katanya (hlm. 35). Padahal ia memiliki keluarga: seorang istri yang cantik, Kate Abbott, dan dua orang anak perempuan, Hannah dan Lily, yang membutuhkan perhatiannya. Robert nyaris tidak menyadarinya hingga Kate menyarankan perpisahan bila Natal telah usai. "Aku tidak bisa terus berpura-pura bahwa segala sesuatunya baik-baik saja. Itu tidak benar. Kondisi ini sudah berlangsung cukup lama. Hidup di bawah atap yang sama tidak berarti kita hidup bersama. Aku butuh lebih dari itu," kata Kate (hlm. 41).

Meskipun disembunyikan, Ellen tidak sulit menemukan permasalahan yang sedang menimpa Robert. "Penaklukan seksual membuat beberapa laki-laki merasa lebih berkuasa. Tapi penaklukanmu tidak dilakukan di atas ranjang. Penaklukanmu ada di tempat kerja. Kau hanya sebaik kemenanganmu terakhir -namun kemenangan-kemenangan kecil di rumah menjadi tidak berarti- langkah-langkah pertama, coretan-coretan crayon di pintu lemari es, saat gigi putrimu tanggal untuk pertama kalinya dan ia menerima kunjungan Peri Gigi. Tak satu pun dari semua itu berarti bagimu. Momen-momen sepele itu -kemenangan-kemenangan sesehari yang sederhana itu -tidak berarti apa pun bagimu, namun itu semua adalah segala-galanya di dunia bagi Kate," Ellen mencoba membuka pikiran Robert (hlm. 87). "Keberhasilan-keberhasilan sesehari itu tidak pernah cukup untukmu. Kemenangan di tempat kerjalah yang membuatmu merasa seperti seorang laki-laki, bukan gadis-gadis kecil yang melingkarkan lengan mereka di sekeliling kakimu dan memanggilmu Ayah. Kekuatan yang tinggi di tempat kerjalah yang mengisi bateraimu, bukan kekuatan yang kaumiliki saat membantu membentuk kehidupan orang lain." (hlm. 88).  Ellen berkesimpulan, pernikahan Robert gagal tidak lain karena  Robert terlalu mementingkan diri sendiri. Robert memberikan segalanya bagi keluarganya, tapi bukan dirinya sendiri.

"Jangan memperlakukan istri dan anak-anakmu seakan-akan mereka tidak istimewa, Robert," kata Ellen. "Mereka harus menjadi orang-orang yang paling istimewa bagimu di dunia ini." (hlm. 94). Tidak mudah bagi Robert mematuhi perkataan ibunya, hingga ia bertemu Nathan Andrews, seorang anak laki-laki berumur delapan tahun.

Nathan Andrews adalah anak sulung Jack dan Maggie Andrews. Meskipun bukan keluarga kaya -karena Jack hanya bekerja sebagai montir di bengkel mobil lokal, keluarga Andrews hidup bahagia. Mereka selalu ada bagi satu sama lain dan menghadapi hidup dengan apa adanya. Kebahagiaan mereka nyaris merosot ke titik nadir tatkala Maggie didiagnosis mengidap kanker rahim. Tapi meskipun mengalami kelemahan tubuh, iman Maggie tidak pernah goyah. Katanya kepada anak laki-lakinya: "Sebentar lagi, kau mungkin mendengar orang-orang dewasa berkata seperti, 'Kasihan sekali, Allah memanggilnya pada usia begitu muda'. Tapi mereka keliru, Nathan. Mereka keliru, dan ibu tidak ingin kau mendengarkan mereka. Ketika mereka berkata sesuatu seperti itu, Ibu ingin kau selalu ingat apa yang baru kukatakan kepadamu saat ini. Allah tidak mengambil Ibu, Ia menerima Ibu." (hlm. 125).

Menyadari kondisi ibunya, Nathan ingin membelikan sepatu untuk Maggie. Ia mendapatkan sepatu yang diinginkannya di rak diskon yang berantakan: sepatu berwarna cerah keperakan, bersinar dengan batu-batu imitasi berwarna merah, biru, dan hijau, dan hiasan yang berkilauan. Tapi, recehan yang dibawanya tidak cukup untuk membawa pulang sepatu itu. Ia berpaling dan bersirobok pandang dengan Robert Layton yang sedang antre di belakangnya.

"Pak, saya perlu membeli sepatu ini untuk ibuku," katanya dengan air mata menggenangi pelupuk mata. "Ibuku sekarang sedang sakit, dan saat kami makan malam ayahku berkata bahwa Ibu mungkin akan pergi meninggalkan kami menjumpai Yesus malam ini. Aku ingin Ibu tampak cantik ketika berjumpa dengan Yesus." (hlm. 140).

Lalu, terjadilah apa yang dinyatakan dalam syair lagu The Christmas Shoes: 


I knew I caught a glimpse of heaven's love
(Kutahu telah kualami sekilas kasih surgawi)
As he thanked me and ran out
(Tatkala ia berterima kasih padaku dan berlari keluar)
 I knew that God had sent that little boy
(Aku tahu Allah telah mengirimkan anak kecil itu)
To remind me what Christmas is all about
(Untuk mengingatkanku akan makna Natal sesungguhnya)

Robert Layton pun menerima sebuah pelajaran penting di malam Natal, bahwa terkadang hal-hal terkecil, hal-hal yang mungkin akan dianggap tak berarti oleh sebagian orang, bisa mengubah sebuah kehidupan. Itulah makna yang diberikan Sepatu Natal yang dibeli Nathan Andrews untuk ibunya. 

Senyatanya, The Christmas Shoes adalah sebuah novel yang ditulis tanpa berbelit-belit, lugas, gampang dicerna dan langsung membidik sasaran. Tapi ketidakrumitannya membuat novel ini terasa begitu indah, mengharukan sekaligus menghangatkan hati. Begitu meresap, perlahan dan dalam, sehingga tanpa sadar, sambil membaca mata telah berkaca-kaca. Tidak berlebihan kalau saya menyatakan novel ini akan menjadi salah satu hadiah Natal terindah bagi siapa pun yang membacanya.

Secara menakjubkan, kematian menjadi momen yang paling mencerahkan dalam novel ini. Dari dua kematian yang ada, dua karakter utama -Robert dan Nathan- akan menemukan arah hidup mereka. Donna VanLiere menuliskan tentang kematian pada bagian terakhir kilas balik dari Robert Layton (hlm. 181) sebagai berikut:


Kuasa kematian terbatas -  
Ia tak dapat menghapus ingatan
Atau membunuh cinta kasih  
Ia bahkan tak dapat memusnahkan
Sebuah iman yang kecil
Atau, secara permanen menciderai
Pengharapan terkecil kepada Allah
Ia tak dapat menembus jiwa
Dan ia tak dapat melumpuhkan roh   
Ia hanya dapat memisahkan kita untuk sementara
Hanya itu kuasa yang dapat diklaim oleh kematian
- Tak ada lainnya 

(hlm. 181)

The Christmas Shoes telah diadaptasi ke dalam film televisi berjudul sama dan ditayangkan perdana di CBS pada 1 Desember 2002. Rob Lowe berperan sebagai Robert Layton, Kimberly Williams sebagai Maggie Andrews, Maria Del Mar sebagai Kate Abbott, Hugh Thomas sebagai Jack Andrews, dan Max Morrow sebagai Nathan kecil. 

Setelah The Christmas Shoes (2001), Donna telah menerbitkan The Christmas Blessing (2003), The Christmas Hope (2005), The Christmas Promise (2007), The Christmas Secret (2009), The Christmas Journey (2010), dan The Christmas Note (2011). Semua novel Natal yang kemudian dikenal sebagai Christmas Hope Series ini diterbitkan oleh St. Martin's Press. 

 ***


* Novel ini dibaca ulang dalam rangka Natal 2012, sudah pernah di-review sebelumnya, bisa dibaca di sini. Tulisan ini adalah review baru.
** Bagi yang belum pernah mendengar lagu The Christmas Shoes, boleh menyimaknya di sini. Dapatkan Chord-nya bagi yang ingin mencoba menyanyikannya.  


The Christmas Shoes
(Sepatu Natal)
by Eddie Carswell and Leonard Ahlstrom)

 

It was almost Christmas time
(Saat itu Natal hampir tiba)
And there I stood in another line
(Dan di sana aku berdiri di antrean)
Trying to buy that last gift or two
(Mencoba membeli satu atau dua hadiah terakhir)
Not really in the Christmas mood
(Sekalipun tak sungguh memiliki semangat Natal)
Standing right in front of me
(Berdiri di depanku)
Was a little boy waiting anxiously
(Seorang anak kecil yang menanti dengan gelisah)
Pacing 'round like little boys do
(Terus bergerak seperti kebanyakan anak kecil)
And in his hands, he held a pair of shoes
(Dan di tangannya, digenggamnya sepasang sepatu)

And his clothes were worn and old
(Dan bajunya sobek dan usang)
He was dirty from head to toe
(Sekujur tubuhnya kotor)
And when it came his time to pay
(Dan ketika tiba saat baginya untuk membayar)
I couldn't believe what I heard him say
(Tak kupercaya apa yang diucapkannya)

CHORUS


Sir, I want to buy these shoes
(Pak, ingin kubeli sepatu ini)
For my momma, please
(Untuk ibuku, tolonglah)
It's Christmas eve and these shoes are just her size
(Ini Malam Natal dan sepatu ini cocok untuknya)
Could you hurry, sir
(Bisa cepatkah, Pak)
Daddy says there's not much time
(Ayah berkata tak cukup waktu lagi)
You see she's been sick for quite a while
(Kau tahu ibu telah lama sakit)
And I know these shoes will make her smile
(Dan aku tahu sepatu ini akan membuatnya tersenyum)
And I want her to look beautiful
(Dan aku ingin ia terlihat cantik)
If momma meets Jesus tonight
(Jika ibu berjumpa Yesus malam ini)

They counted pennies for what seemed like years
(Mereka menghitung uang receh begitu lama)
Then the cashier said, son, there's not enough here
(Kemudian kasir berkata, Nak, uangmu tak cukup)
He searched his pockets frantically
(Ia merogoh sakunya dengan gugup)
And then he turned and he looked at me
(Dan kemudian ia berbalik dan memandangku)
He said, Momma made Christmas good at our house
(Ia berkata, ibu membuat Natal indah di rumah kami)
Though, most years, she just did without
(Selama bertahun-tahun ia terus melakukannya)
Tell me, sir, what am I going to do
(Katakan, Pak, apa yang harus kulakukan)
Somehow I've got to buy her these Christmas shoes
(Bagaimana pun harus kubelikan Ibu sepatu Natal ini)

So I laid the money down
(Lalu kuletakkan uang)
I just had to help him out
(Aku harus menolongnya)
And I'll never forget the look on his face
(Dan aku tak akan pernah melupakan wajah itu)
When he said Momma's gonna look so great
(Ketika ia berkata ibunya akan terlihat cantik)

REPEAT CHORUS

I knew I caught a glimpse of heaven's love
(Kutahu telah kualami sekilas kasih surgawi)
As he thanked me and ran out
(Tatkala ia berterima kasih padaku dan berlari keluar)
 I knew that God had sent that little boy
(Aku tahu Allah telah mengirimkan anak kecil itu)
To remind me what Christmas is all about
(Untuk mengingatkanku akan makna Natal sesungguhnya)


Review kedua buku di bawah ini akan segera menyusul:








A Christmas Prayer


A Christmas Prayer

 
Dear Jesus,
It’s a good thing you were born at night. This world sure seems dark. I have a good eye for silver linings. But they seem dimmer lately.

These killings, Lord.  These children, Lord.  Innocence violated.  Raw evil demonstrated.

The whole world seems on edge. Trigger-happy. Ticked off. We hear threats of chemical weapons and nuclear bombs. Are we one button-push away from annihilation?

Your world seems a bit darker this Christmas.  But you were born in the dark, right? You came at night. The shepherds were nightshift workers. The Wise Men followed a star. Your first cries were heard in the shadows. To see your face, Mary and Joseph needed a candle flame. It was dark. Dark with Herod’s jealousy. Dark with Roman oppression. Dark with poverty.  Dark with violence.

Herod went on a rampage, killing babies. Joseph took you and your mom into Egypt. You were an immigrant before you were a Nazarene.

Oh, Lord Jesus, you entered the dark world of your day. Won’t you enter ours? We are weary of bloodshed. We, like the wise men, are looking for a star. We, like the shepherds, are kneeling at a manger.

This Christmas, we ask you, heal us, help us, be born anew in us.

Hopefully,
Your Children


Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan