25 November 2012

Ricochet


Judul Buku: Ricochet
Pengarang: Sandra Brown (2006)
Penerjemah; Fahmy Yamani
Tebal: 568 hlm; 11 x 18 cm
Cetakan: 2, Februari 2010
Penerbit: Gramedia  Pustaka Utama



 



Bagaimana mungkin Detektif Sersan Duncan Hatcher dari Departemen Kepolisian Savannah (Georgia) tidak merasa geram? 

Robert Savich, gembong narkoba dan dalang berbagai tindakan kriminal selalu bisa lolos dari jerat hukum. Setelah berharap akhirnya bisa memenjarakan Savich, ia kembali dibuat terperangah. Savich dibebaskan dalam persidangan kasus pembunuhan mantan kaki tangannya, Freddy Morris. Cato Laird, hakim yang memimpin persidangan, membebaskan Robert dengan alasan pengadilan atas Robert Savich tidak sah. Kegeraman Duncan kian bertambah begitu tiba di rumahnya selesai persidangan, ia menemukan lidah Freddy Morris tergeletak di dalam lemari esnya.

Pada usianya yang ke-38 tahun, Duncan masih lajang. Ia tinggal sendirian di rumah warisan neneknya dan diam-diam menyembunyikan kebiasaannya bermain piano dari orang lain, termasuk rekan detektifnya, DeeDee Bowen. Di acara malam penghargaan yang dilaksanakan pada hari yang sama dengan persidangan Robert Savich, ia melihat seorang perempuan cantik yang membuatnya terpesona dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Dari DeeDee, ia mengetahui kalau perempuan itu bernama Elise, istri Cato Laird.

Pada malam yang sama, Elise menjadi tersangka kasus pembunuhan. Elise memergoki dan menembak Gary Ray Trotter yang menyusup ke dalam ruang kerja suaminya. Menurut Elise, ia membunuh Trotter untuk membela diri. Tapi diam-diam, Elise menemui Duncan dan mengatakan jika sebenarnya Gary Ray Trotter bermaksud membunuhnya. Trotter adalah pembunuh bayaran yang disewa Cato. Kontan Duncan merasa jengkel dan tidak percaya dengan pernyataan Elise. Apalagi ia telah menyaksikan sendiri betapa posesifnya Cato terhadap Elise. Lagi pula, Cato tidak punya motif untuk menghabisi Elise.

Dari Cato sendiri, Duncan mendapat informasi kalau Elise bukan istri yang setia. Cato telah menyewa Meyer Napoli, seorang detektif swasta, untuk mengikuti istrinya, dan menemukan fakta Elise berselingkuh dengan Coleman Greer. Informasi ini semakin membuat Duncan tidak mempercayai Elise. Sekalipun Elise membela diri dan menyatakan tidak ada perselingkuhan. Ia  hanya bersahabat dengan Greer, dan sebenarnya pemain bisbol terkenal itu seorang homoseks.

Merasa putus asa, Elise mengundang Duncan untuk bertemu secara pribadi. Ia meminta Duncan berhenti menyelidikinya dan mengalihkan penyelidikan kepada Cato. Tapi Duncan tetap tidak bisa mempercayainya, bahkan setelah mendapatkan kesempatan melakukan seks kilat dengan Elise. Hanya saja, karena telah berhubungan intim dengan tersangka kasus pembunuhan, Duncan berencana mengundurkan diri dari penyelidikan.

Rencana Duncan tidak pernah direalisasikan. Sebab beberapa saat kemudian, Meyer Napoli yang sebelumnya dinyatakan hilang ditemukan tewas. Ia berada di dalam mobil milik Cato yang dikendarai Elise saat bertemu Duncan. Elise juga menghilang, diduga terjatuh ke dalam sungai di bawah jembatan yang menjadi TKP. Pencarian jasadnya yang tidak membawa hasil  dihentikan. Tinggallah Duncan terpuruk dalam penyesalan.

Ricochet (Pantulan Gairah) karya Sandra Brown -penulis yang mengawali kariernya dengan menerbitkan novel-novel romantis- adalah novel suspense. Sandra Brown berhasil meracik unsur kriminal, persekongkolan, dan dendam kesumat ke dalam plot menegangkan yang cukup berpilin. Seiring perguliran plot, pertanyaan demi pertanyaan akan bertebaran. Benarkah Elise tidak bersalah? Apakah ia menembak Trotter hanya untuk membela diri? Apa sebenarnya rahasia yang disimpan Elise yang enggan disampaikannya kepada Duncan? Lalu, tanpa Duncan sadari, ia sedang berhadapan dengan para manusia kejam dan manipulatif yang tidak segan mempermainkan kehidupan manusia lain.

Seperti dalam novel-novel suspense Sandra Brown lainnya, unsur romantis tetap ditambahkan ke dalam novel ini. Begitu Duncan melihat Elise untuk pertama kalinya, kita sudah bisa menduga apa yang akan terjadi di antara mereka. Tinggal menunggu waktu saja, Duncan akan lepas kendali dan mendapatkan kesempatan mengeloni Elise. Elise pun sama sekali tidak menunjukkan keberatan. Penggambaran hubungan intim mereka tidak cukup gamblang, tapi tetap menggairahkan. Hubungan intim mereka yang pertama akan memunculkan pertanyaan: apakah Duncan masih memiliki kesempatan bercinta dengan Elise lagi? Masalahnya, tidak lama setelah Duncan meninggalkan Elise, perempuan itu dinyatakan hilang. 

Ricochet mau tidak mau mengingatkan pada novel Sandra Brown sebelumnya, Fat Tuesday (1997). Novel berlatar New Orleans ini berkisah tentang polisi bernama Burke Basil yang jatuh cinta kepada Remy Lambeth, istri dari seorang pengacara yang membela para pembunuh. Hanya saja, selain tema cinta terlarang itu, kisah dan plot di dalam Fat Tuesday berbeda dengan Ricochet.

Pada tahun 2011, Ricochet diadaptasi ke dalam film televisi berjudul sama yang diproduksi TNT (Turner Network Television) untuk program Mystery Movie Night. Film yang ditayangkan pada 30 November 2011 ini dibintangi John Corbett sebagai Duncan, Julie Benz sebagai Elise, Gary Cole sebagai Cato Laird, dan Kelly Overton sebagai DeeDee Bowen. 


Julie Benz (Elise) dan Gary Cole (Cato)

Kelly Overton (DeeDee) dan John Corbett (Duncan)


Catatan:
Buku ini dibeli di Gramedia Matraman November 2012 dengan diskon 40%.
24 November 2012

Trash


Judul Buku: Trash
Penulis: Andy Mulligan (2011)
Penerjemah: Nina Andiana
Tebal: 256 hlm, 20 cm
Cetakan: 1, Juli 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama





Andy Mulligan dalam novelnya Trash (Anak-Anak Pemulung) menciptakan tiga remaja kencur sebagai karakter utama. Ketiganya adalah pemulung di sebuah tempat pembuangan sampah bernama Behala yang sekaligus menjadi tempat tinggal mereka. Sebagai pemulung, mereka memilah-milah sampah untuk mendapatkan barang seperti plastik, kertas, ban bekas, kaleng, atau kaca yang masih bisa dijual. Menurut Mulligan, Behala didasarkan pada sebuah lokasi pembuangan sampah di Manila, Filipina. Di lokasi pembuangan sampah ini, terdapat sekolah dan anak-anak yang merangkak di antara tumpukan sampah. 

"Behala memang tempat pembuangan sampah akhir yang sangat luas, mengerikan, kotor, dan penuh sampah, tempat yang kau takkan percaya boleh dijadikan tempat kerja banyak orang, apalagi tempat tinggal. Behala juga membuatmu ingin menangis, karena tempat itu tampak seperti hukuman abadi yang mengerikan. Kalau kau punya sedikit imajinasi, kau bisa melihat seorang anak dan kutukan pekerjaan apa yang akan dilakukannya seumur hidup." (hlm. 99).

Karakter pertama adalah Raphael Fernández, empat belas tahun, yatim-piatu, tinggal di Behala bersama bibinya yang juga seorang pemulung. Ia telah mengacak-acak sampah semenjak berumur tiga tahun. Suatu hari, saat sedang menggerayangi timbunan sampah, ia menemukan sebuah tas kulit kecil berisi dompet. Di dalam dompet terdapat peta yang terlipat, sebuah kunci dengan gantungan bertuliskan angka 101, uang sebesar 1100 peso, foto seorang anak perempuan memakai seragam sekolah, dan sebuah KTP atas nama José Angelico.

Raphael memberitahukan penemuannya sekaligus membagi uang dalam dompet kepada Gardo. Karakter kedua yang juga berusia empat belas tahun ini adalah sahabat dan rekan kerja Raphael. Keduanya mengetahui kemudian, tas kecil yang ditemukan Raphael adalah barang yang sedang dicari-cari polisi. Polisi mendatangi Behala dan menjanjikan uang kepada yang menemukan dan mengembalikan tas itu. Tidak hanya yang menemukan, setiap keluarga di Behala pun akan diberikan uang. Raphael tidak mau mengaku lantaran ia curiga motif di balik tindakan para polisi itu. Bersama Gardo, ia menyimpan tas kecil itu di tempat tinggal Jun-Jun, karakter ketiga yang berusia lebih muda dari mereka. Jun-Jun lebih sering dipanggil Tikus karena ia tinggal di lubang yang penuh tikus. 

Setelah berembuk, diputuskan mereka akan mengadakan penyelidikan. Tindakan pertama yang dilakukan adalah membuka loker bernomor 101 di stasiun kereta api (Tikus yang pernah tinggal di stasiun kereta api yang mengidentifikasikan kunci itu). Di dalam loker milik José Angelico, mereka menemukan sebuah amplop cokelat berisi surat yang siap diposkan, barisan angka yang tidak mereka pahami artinya, dan nama Gabriel Olondriz, seorang tahanan di Penjara Colva. 

Penyelidikan lebih jauh mengungkapkan kalau sebenarnya Angelico telah tewas selagi diinterogasi di kantor polisi. Angelico ditahan karena diduga mencuri enam juta dolar dari rumah majikannya, Senator Regis Zapanta, yang sedang menjabat sebagai wakil presiden. Ketiga anak miskin yang pintar itu kemudian menemukan bahwa Angelico adalah anak adopsi dari putra Gabriel Olondriz. Gabriel Olondriz telah mendekam selama 35 tahun di Penjara Colva, dipenjarakan seumur hidup karena pernah mengajukan tuntuan korupsi atas Senator Zapanta. Lima tahun sebelum dipenjarakan, ia menemukan fakta penggelapan uang sebesar tiga puluh juta dolar yang dilakukan Zapanta. Uang itu merupakan uang bantuan internasional, paket hibah yang diorganisir Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akan dipakai membangun rumah sakit dan sekolah. Sebagai balas dendam atas dipenjarakannya Gabriel Olondriz, Angelico mencuri uang dari Zapanta. Sekarang ia telah mati, dan Zapanta menggunakan para polisi untuk mendapatkan kembali uang itu. 

Pertanyaan besar dalam novel yang sedang dalam proses adaptasi ke dalam film oleh sutradara Stephen Daldry ini adalah: di manakah José Angelico menyembunyikan uang yang dicurinya? Jawabannya berada di barisan angka yang ditemukan bersama surat yang ditulis José Angelico untuk Gabriel Olondriz. Barisan angka itu adalah kode-buku, kode yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang memiliki buku yang sama dengan edisi yang sama persis pula. Angelico mengirimkan kode-buku itu kepada Gabriel Olondriz karena Gabriel Olondriz bisa memecahkannya. Sayangnya, sebelum berhasil dipecahkan, lelaki tua itu ditemukan mati dalam penjara. Maka menjadi tugas ketiga remaja kencur itu untuk memecahkan kode-buku Angelico dan menemukan lokasi penyembunyian uang curiannya.

Berlatarkan negara Dunia Ketiga dengan plot yang bergerak cepat, Trash dikisahkan oleh banyak narator. Setiap narator seolah-olah sedang memberikan pengakuan kepada para pembaca secara bergantian, dengan Raphael sebagai narator utama. Dari apa yang disebutkan beberapa narator, pergantian narator ini tampaknya sengaja dilakukan penulis agar bisa mengisahkan, tetap dengan sudut pandang orang pertama, peristiwa yang tidak bisa dikisahkan sendiri oleh Raphael. Maka Gardo dan Tikus juga mengambil bagian sebagai narator. Selain mereka ada narator lain yaitu Pastor Juilliard, pengelola Sekolah Misi Behala, dan Olivia Weston, rekan kerjanya; Grace, rekan pelayan Angelico, dan Frederico Gonz, pembuat batu nisan.

Trash yang telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 20 bahasa ini tergolong unik karena hadir sebagai novel thriller dengan remaja kencur sebagai karakter utama. Mereka masih kekanak-kanakan tapi berani menghadang tantangan yang melibatkan hal-hal seperti korupsi, pembunuhan karakter, dan pembunuhan manusia. Kendati tinggal di tempat pembuangan sampah dan tidak betah sekolah, mereka dikaruniakan kecerdasan alamiah oleh penulis. Kecerdasan yang membuat mereka kritis dan skeptis, membuat mereka tergelitik melakukan investigasi layaknya detektif sambil menyongsong bahaya sampai semua misteri yang melingkupi kematian Angelico bisa dipecahkan. Ini adalah kisah para remaja kencur yang cerdas, disuguhkan secara cerdas, ditujukan terutama untuk pembaca muda, yang cerdas  pula. 

Beberapa tahun sebelum menulis novel ini, Andy Mulligan pernah menjadi pengajar bahasa Inggris dan drama di negara-negara seperti India, Brazil, Vietnam, dan Filipina. Saat berada di Filipina dan mengunjungi sebuah lokasi pembuangan sampah, ia mengaku merasa jatuh cinta. Persis seperti yang dialami kedua karakter dewasa dalam novel ini, Pastor Juilliard dan Olivia Weston. Bisa dikatakan novel ini merupakan wujud cinta sekaligus bentuk keprihatinannya dengan apa yang terjadi, khususnya pada anak-anak, di negara-negara Dunia Ketiga. Bukannya mengenyam pendidikan di sekolah, anak-anak 'dipaksa' bekerja untuk bisa hidup. Sekolah tidak menjadi fokus utama mereka, dan pemerintah tidak menunjukkan kepedulian. Bahkan, bantuan pendidikan untuk anak-anak seperti ini dikorupsi demi kepentingan pribadi. 

"Namaku Pastor Juilliard, dan akulah yang mengumpulkan semua catatan ini -semua nama sudah diganti, karena alasan-alasan yang jelas. Kau akan mengerti betapa pentingnya urusan ini pada akhirnya, tapi kisah lengkapnya harus diceritakan," kata Pastor Juilliard (hlm. 55). Dengan kalimat ini, kita bisa menyimpulkan bahwa karakter Pastor Juilliard adalah penjelmaan penulis dalam kisah ini. 

Selain Trash, Andy Mulligan telah menerbitkan novel trilogi Ribblestrop yang terdiri dari Ribblestrop, Return to Ribblestrop dan Ribblestrop Forever!. Novel berikutnya, The Boy with Two Heads, rencananya akan diterbitkan pada musim semi 2013. 

21 November 2012

Lalita


Judul Buku: Lalita
Penulis: Ayu Utami
Tebal: x + 251; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, September 2012
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
 

 




Lalita Vistara, pemilik sebuah galeri, adalah perempuan setengah baya yang memesona. Ia berhasil menyembunyikan bercak dan kerut penuaan di balik kosmetika berat yang digunakannya setiap hari. Lalita percaya pada reinkarnasi dan yakin kalau dirinya terlahir  kembali setiap sekitar lima abad.  Pertama, ia terlahir sebagai perempuan yang mempelajari Budhisme di Sriwijaya-Nepal pada abad ke-5. Kedua, menjelang abad ke-10, ia terlahir sebagai seorang putri dari wangsa Syailendra yang terlibat dalam pembangunan Candi Borobudur di Jawa Tengah. Ketiga, pada abad ke-15, ia menjadi putri Pangeran Vlad Dracula di Transylvania. Dan pada abad ke-20, ia terlahir di Indonesia dengan nama Ambika Putri Nataprawira sebelum menggantinya dengan Lalita Vistara -dari Lalitavistara, biografi Siddharta Gautama yang adalah relief di candi Borobudur. Lalita abad ke-20 adalah cucu Anshel Eibenschutz, seorang lelaki Austria yang mengalami moksa di candi Borobudur. 

Lalita memiliki sebuah rencana terkait apa yang telah ditemukan kakeknya, sejak di Wina, Austria, hingga candi Borobudur di Jawa Tengah. Anschel Eibenschutz, lelaki berkepala miring dengan sikap kaku dan telapak kaki yang mengarah ke depan itu telah mendalami berbagai ilmu. Tanpa memberitahukan kepada dunia, Anschel telah menemukan hal-hal seperti memori nirsadar kolektif dan arketipe sebelum Carl Gustav Jung, kimatologi sebelum Hans Jenny, dan bahwa manusia mempunyai aura. Di Jawa Tengah, Anshel menemukan bahwa candi Boroubudur dengan tiga tingkatan dunianya -kamadatu, rupadatu, dan arupadatu- memberi satu model peta jiwa yang dicari oleh para psikonalis. Selain itu, ia telah menemukan gelombang tak terdeteksi yang menciptakan mandala Borobudur, apa yang telah menjadi obsesi Lalita Vistara, cucunya.

Tapi keinginan Lalita agar kakeknya diakui dunia bukanlah usaha yang gampang. Karena ada pihak yang tergiur pada iming-iming banyak uang untuk sejilid kertas yang ditinggalkan Anshel pada cucu perempuannya. Lalita mencoba mempertahan dan terus menggeluti peninggalan kakeknya, bahkan mencoba memindahkannya ke dalam bukunya sendiri. Akibatnya ia mesti menerima penghinaan dalam bentuk pemerkosaan dan penghapusan kosmetika yang menyembunyikan kerut dan bercak penuaannya dalam sebuah perampokan di rumahnya. Kemudian, setelah itu, ia meninggalkan rumahnya, galerinya, pekerjaannya, dan Jakarta, lantas menghilang tak tentu rimbanya.


Bagi Sandi Yuda, Lalita adalah Perempuan Indigo, perempuan yang memiliki kemampuan membawanya ke dalam petualangan seks yang baru. Dengan pesonanya, Lalita yang menyukai lelaki muda,  berhasil menghalau Marja dari pikiran Yuda dan memenangkan tubuh Yuda. Ia menuntun Yuda mencapai apa yang ia sebut axis mundi, sebuah poros dunia, yang adalah celah kecil lembut di antara tonjolan leher rahim dan dinding terdalam vaginanya. Yuda berhasil mencapai poros dunia kecil itu dalam sensasi serupa tutup sampanye yang disumbatkan di leher botol. Setelah pengalaman persetubuhan yang disebut Yuda sebagai dialog seks yang utuh itu, berulang terjadi pencapaian axis mundi yang membuat Yuda tergila-gila. Saat ia mencoba mencapainya dalam persetubuhan dengan Marja, ia gagal dan Marja justru menganggapnya seperti robot. Sampai novel berakhir, Yuda tidak bisa melupakan perempuan itu. 

Gara-gara pencapaian axis mundi yang berulang itu, hubungan Yuda dengan Marja, juga dengan Parang Jati, tergantung di ujung tanduk. Parang Jati marah, sebab ia sendiri telah menahan-nahan hasrat untuk menyetubuhi Marja. Demikian pula Marja yang seperti Parang Jati nyaris tak mampu menahan gairah pria dengan jari tangan sejumlah dua belas itu. Namun, karena Seri Bilangan Fu masih akan berlanjut dengan ketiga karakter ini, penulis memutuskan merahibilitasi hubungan mereka sambil tetap menyimpan gairah Marja dan Parang Jati serupa api dalam sekam. 

"Kalau aku mencintai seseorang, aku mau melekat, aku mau mencintainya tanpa jarak," kata Marja kepada Parang Jati. "Aku mau... tidak takut untuk menderita." (hlm. 197). Prinsip inilah yang membukakan jalan pengampunan Marja bagi Yuda. 

Sebenarnya Lalita karya Ayu Utami adalah sebuah novel yang tidak cukup istimewa. Isinya hanyalah perselingkuhan dan misteri yang menyelubungi kehidupan seorang cendekiawan dengan semua penemuannya. Masih terdapat hal-hal yang menimbulkan pertanyaan. Masa lalu Lalita -apalagi jika benar dirinya perempuan yang diindikasikan Janaka terlibat dalam kematian empat pria asing- dan hubungannya dengan saudara laki-lakinya tidak terjelaskan secara memadai. Dampaknya, kisah mereka di masa kini kurang bisa diterima sepenuhnya. Ayu, tampaknya, telah melakukan sejumlah riset untuk mendapatkan berbagai informasi yang ia paparkan dalam novel ini dan berhasil menghidangkan dengan cara berkisahnya yang khas. Ia, boleh dikata, mampu membangun kisah dengan konflik dan misteri dengan baik sehingga pembaca akan tetap melanjutkan pembacaan. Sayangnya, setelah berbagai informasi -yang akhirnya menjadi terkesan dilekatkan begitu saja ke dalam novel- kisahnya terasa kandas. Penyelesaian terlampau gampang dan terburu-buru, dengan motivasi kriminal seputar Buku Indigo yang tidak terlalu mendebarkan pula.   

Dibagi ke dalam tiga bagian yaitu Indigo, Hitam, dan Merah, tanpa tedeng aling-aling Ayu menyatakan bahwa buku ini ditulis dengan sebuah pola konsentris, sebagaimana Buku Indigo versi Lalita Vistara. Kira-kira seperti penjelasan Ayu berikut, yang kalau tidak bisa Anda pahami, tidak apa-apa, lewatkan saja.

"Ini perjalanan dari kehidupan sehari-hari yang riuh, masuk ke wilayah dalam yang semakin tenang, dunia lain yang lebih luas, atau melihat struktur jiwamu. Kepada memori kolektif bawah sadar. Perjalanan yang belum tentu menyenangkan seleramu. Setelah itu orang kembali ke dalam hidup sehari-hari dengan membawa pengertian yang diambilnya dari alam mimpi. Jika kita tidak menyadari apapun dari alam itu, maka itu berarti kau kini berjalan mundur." (hlm. 155).

Lalita adalah buku kedua dari Seri Bilangan Fu setelah pendahulunya, Manjali dan Cakrabirawa. Penulis,  tentu saja, bisa menyinggung-nyinggung apa yang terjadi pada buku pertama karena buku ini merupakan lanjutannya. Tapi tidak perlu sampai menulis kalimat seperti ini: 

"Dan aneh sekali, seperti cerita terdahulu, tepat pada akhir bab tujuh dari belakang, dialog itu terjadi lagi. Nyaris persis; hanya dengan sedikit pengurangan dan penambahan." (hlm. 205). Ayu, dengan kalimat  'tepat pada akhir bab tujuh dari belakang' sudah pasti merujuk pada percakapan Marja dan Parang Jati dalam bab 32 Manjali dan Cakrabirawa

Sebagian pembaca mungkin akan terkagum-kagum dengan berbagai informasi yang dijejalkan Ayu dalam novel ini, terutama pada bagian kedua, Hitam. Tapi sebagian mungkin merasa sesak dan mengalami kesulitan, apalagi ketika dipaksa memahami berbagai pemikiran Anshel Eibenschutz. Tidak heran kalau muncul kecurigaan hal ini dilakukan sekadar untuk membuat novelnya terkesan berbobot dan tidak semua orang bisa membacanya. Sangat disayangkan jika hanya Ayu yang benar-benar paham dengan apa yang sebenarnya ia ingin dipahami pembaca bukunya.

Omong-omong, saya suka ilustrasi sampul Lalita yang langsung mengingatkan saya pada gambar-gambar dalam buku botani. Ternyata, ilustrasi yang dikerjakan sendiri Ayu Utami ini memang dibuat untuk mengenang dan menghormati para pelukis botani, yaitu Amir Hamzah dan Mohamad Toha. Walaupun, tetap saja, buah bergetah dengan lapisan dalam berwarna merah di tengah-tengah itu mengingatkan pada ilustrasi sampul Bilangan Fu, yang juga dikerjakan sendiri oleh Ayu Utami.

Berhasil atau tidak Lalita di mata para pembaca, Ayu Utami tetap memikat dengan cara berkisah menggunakan kalimat-kalimat matang dan pemilihan diksi yang mumpuni.



19 November 2012

Tabir Nalar




Judul buku: Tabir Nalar
Penulis: Rynaldo Cahyana Hadi
Penyunting: Louis Javano
Tebal: 304 hlm
Cetakan: 1, 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama





Hebat. Itulah kesimpulan saya setelah menamatkan Tabir Nalar, salah satu novel dari seri Kristal Merah Vandaria Saga, yang ditulis oleh Rynaldo Cahyana Hadi. Sang penulis berhasil menghadirkan novel ini sebagai kombinasi kisah fantasi, misteri, dan thriller dalam takaran yang cukup.

Sebagian besar kisah dalam Tabir Nalar disampaikan oleh Cervale Irvana sebagai narator orang pertama. Cervale adalah separuh frameless, anggota Agen Khusus sekaligus anggota Dewan Majelis Raja Tunggal. Mengapa Cervale bukan frameless dapat diketahui dari deskripsi mengenai Cervale: "Rambutnya yang berwarna perak kini tertutup sebagian, sementara beberapa helai rambutnya yang bersembur warna merah tampak menyembul dari celah kerudungnya." (hlm. 5-6). Ia seorang lelaki bersenjatakan bilah mana, tampan, percaya diri, dan sedikit arogan. Sebagaimana marganya, Irvana, Cervale memiliki kemampuan membaca pikiran. 

Bagi Cervale, yang paling penting bukanlah ras, melainkan karakter. Tidak heran jika ia setuju dengan upaya  Raja Tunggal untuk menciptakan persamaan derajat frameless dan manusia. Dan karenanya, ia tidak bisa menghargai ajaran Vanaadinnahkah, religi pada masa kekuasan Ratu Seraph, yang mengajarkan bahwa frameless lebih suci dibandingkan manusia. 

Kisah berseting masa setelah enam tahun Raja Tunggal meninggalkan Nirvana dan menunjuk Tyrannos Eriskagel, frameless yang menjabat sebagai Perdana Menteri, untuk memegang pemerintahan Nirvana. Kepergian Raja Tunggal dengan tujuan yang tidak jelas memang membuat suasana Nirvana rentan konflik. Raja Tunggal telah mendirikan organisasi Majelis Raja Tunggal yang bertugas menjaga kedamaian hubungan antara frameless dan manusia, tapi mereka pun tidak bisa menjamin terpeliharanya kedamaian. Situasi kian merisaukan karena Tyrannos Eriskagel masih berpegang pada ajaran Vanaadinnahkah dan tidak menerima ajaran Vhranas -mengajarkan persamaan derajat manusa dan frameless- yang disebarkan Raja Tunggal.  

Memang benar, kedamaian terancam dengan terjadinya tindakan kriminal di Kota Edenia, ibu kota Nirvana. Dalam tempo dua hari, dua anggota Majelis Raja Tunggal ditemukan tewas dibunuh. Sebuah emblem Majelis berupa ukiran  timbangan dengan perisai dan kristal ditemukan di samping mayat. Emblem itu sengaja ditinggalkan oleh pembunuh untuk menegaskan bahwa pembunuhan yang terjadi telah direncanakan dan Majelis merupakan sasarannya. 

Dalam luka salah satu korban, Cervale menemukan pecahan logam yang dilapisi rune. Hasil penelitian Rilsia Alass, gadis peneliti di Akademi Penelitian Rune & Relikui yang dikagumi Cervale, menunjukkan bahwa pecahan logam itu bagian dari radas jenis baru yang menggunakan rune yang telah dimodifikasi sebagai pelapis. Rune ini telah diberi muatan magis yang membuat siapa saja yang memegangnya akan mendapatkan kekuatan, kecepatan, dan daya tahan terhadap sihir. Dengan radas rune, manusia bisa menandingi frameless yang diberkahi kemampuan alamiah memanfaatkan sihir. 

Cervale menemukan fakta bahwa radas rune ini dikembangkan di sebuah pusat penelitian rune oleh gadis bernama Loretta Rothrad, sahabat Rilsia. Empat tahun silam, Loretta tewas tatkala pusat penelitian tempatnya bekerja terbakar dan meledak. Fakta berikutnya adalah bahwa hampir seluruh peneliti yang terlibat dalam penelitian radas rune itu berasal dari suku Bedina (Bedina adalah suku yang memproduksikan rune secara besar-besaran). Masih ada fakta lain. Loretta Rothrad adalah tunangan Barad Turvor. Dan Majelis, berada di balik peristiwa kematiannya. 

Barad Turvor, manusia yang menjadi satu-satunya sahabat Cervale, adalah pemimpin Kesatria Konklaf, pasukan penjaga Edenia. Lelaki yang selalu bersikap santai dan gampang terpikat keindahan wanita ini, diam-diam menyimpan kesedihan dari masa lalu. Ternyata, Loretta tewas seminggu sebelum pernikahan mereka. Walaupun bersahabat dengan Barad, Cervale tidak bisa mencegah munculnya kecurigaan keterlibatan Barad dalam pembunuhan anggota Majelis. Apalagi ketika Cervale mengetahui kalau Barad mempunyai arsip kasus pusat penelitian rune dan radas rune yang disebut-sebut berpotensi sebagai senjata antiframeless. Sementara itu, pembunuhan terjadi berulang sampai Cervale mengetahui bahwa Kanselir Shah Azhad -pemimpin tertinggi Majelis Raja Tunggal dan pemimpin marga Olacion- adalah korban berikutnya. Lalu, pada saat hampir bersamaan, para pembunuh dari suku Bedina menyerang gedung Majelis. 

Cervale tidak hanya harus memanfaatkan kemampuannya melemparkan bilah mana menjadi cakram berputar untuk mencegah pembunuhan berikutnya. Tapi ia juga harus menggunakan kemampuan menyingkap tabir nalar untuk menelanjangi wajah sang dalang pembunuhan berantai. Bahkan untuk itu, ia  juga mengizinkan tabir nalarnya ditembus dan mempertaruhkan nyawanya.

Rynaldo C. Hadi adalah salah satu pemenang Kontes Cerpen Vandaria (2012) yang diadakan untuk menjaring penulis yang diharapkan bisa ikut mengembangkan hikayat ciptaan Ami Raditya ini. Ia menulis cerita pendek fantasi-misteri berjudul Relik Agung Gallizur yang memiliki ending yang mengejutkan. Tabir Nalar adalah novel pertamanya yang telah diterbitkan dan boleh dikata semacam peragaan bakat kepenulisan yang mulai digosok dan terasah. 

Dari segi penulisan, Tabir Nalar sudah jauh lebih meningkat dibandingkan Vandaria Saga sebelumnya (setidaknya yang sudah saya baca). Kalimat-kalimatnya sudah lebih sedap dibaca. Masih ada beberapa yang belum sempurna, tapi tidak terlalu mengganggu. Perguliran plotnya sangat menarik karena terbilang cepat dan tangkas, setiap akhir dari bab disusun dengan piawai sehingga berpotensi mendorong pembaca untuk terus melanjutkan pembacaan. Alhasil, Rynaldo sukses menetaskan sebuah novel yang tidak membutuhkan banyak waktu untuk menamatkannya.

Yang sangat memikat adalah puntiran yang dilakukan Rynaldo di ujung plot menjelang novel berakhir. Ia akan membonuskan sebuah kejutan yang sama sekali tidak terduga. Dan yang paling dahsyat adalah paparan motif sang dalang yang dikisahkan dengan gamblang dan emosionil. Bagian ini merupakan bagian paling megah dari keseluruhan novel Tabir Nalar.

Saya suka dengan karakterisasi semua tokoh penting yang dibangun Rynaldo. Sekalipun mayoritas isi novel dibeberkan oleh narator orang pertama, setiap karakter terdedahkan dengan cukup baik. Kita akan mudah bisa mengimajinasikan seperti apa Cervale Irvana, Barad Turvor, Rilsia Alass, Alevor Irvana, dan Kanselir Shah Azhad Olacion, tanpa melihat ilustrasi yang dikerjakan Felix Adrianto. Karakter Chastyne Aughmold, janda molek beranak satu, cukup mengundang perhatian. Sayangnya, penulis telah menetapkan takdirnya untuk layu sebelum berkembang.

Mungkin, jika Rynaldo berniat memunculkan kembali Cervale Irvana dalam sekuel, tidak ada salahnya kalau ia mengungkapkan romansa yang tidak hanya sama-samar di antara dirinya dengan Rilsia. Karena Rilsia jelas merupakan pasangan yang sepadan dan pendukung paling utama dari pekerjaan Cervale.

Tak ada gading yang tak retak.  Tabir Nalar juga menyimpan sedikit kelemahan yaitu dari segi penggunaan dua sudut pandang pengisahan: sudut pandang orang pertama dan orang ketiga. Untuk bagian Prolog memang tidak masalah jika menggunakan sudut pandang orang ketiga. Tapi untuk bagian-bagian lain yang dimunculkan secara tiba-tiba, terasa seperti benang lepas dari kumparan, agak mengganggu. Sebenarnya, memakai narator orang pertama untuk menggulirkan kisah semacam Tabir Nalar secara lengkap bukan tidak memungkinkan. Banyak novel thriller yang menggunakan narator orang pertama dan tetap berhasil mendedahkan kisah yang utuh. Apa yang dilakukan Rynaldo memang bisa dimaklumi, karena meskipun jelas-jelas sangat berbakat, ia adalah penulis anyar. Bagi yang belum terbiasa, penggunaan narator orang pertama memang berpeluang menyempitkan ruang gerak cerita. 

Ada satu hal yang mengusik terkait dengan kode-kode yang dipecahkan Cervale Irvana. Sebenarnya, adakah bahasa khusus yang digunakan di Negeri Nirvana atau Tanah Vandaria? Atau apakah penduduknya memang menggunakan bahasa Indonesia sehingga hasil pemecahan kodenya adalah kalimat dalam bahasa Indonesia?

Tapi tetap saja, secara keseluruhan, novel yang dihiasi ilustrasi keren karya Felix Adrianto ini adalah sebuah novel yang hebat. Selamat buat Rynaldo C. Hadi, semoga terus aktif berimajinasi, menulis, dan menghasilkan karya berbobot seperti ini. 


18 November 2012

Manjali dan Cakrabirawa


Judul: Manjali dan Cakrabirawa
Penulis: Ayu Utami 
Tebal: x + 252; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, Juni 2010
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia






Ayu Utami, saat ini, adalah salah satu penulis papan atas di Indonesia. Setelah melejit lewat novel Saman yang memenangkan sayembara Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1988, Ayu dikenal tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Ia telah menerima Prince Claus Award dari Belanda dan penghargaan Majelis Sastra Asia Tenggara 2008 karena dianggap memperluas batas cakrawala sastra Indonesia. Selain Saman, Ayu Utami juga telah menerbitkan Larung, lanjutan dari Saman, dan tentu saja, Bilangan Fu, yang diganjar Khatulistiwa Literary Award untuk kategori prosa tahun 2008.

Dalam  Bilangan Fu, Ayu memperkenalkan tiga karakter utamanya yaitu Sandi Yuda, Parang Jati, dan Marja. Selama membaca Bilangan Fu, tidak ditemukan penegasan bahwa mereka terlibat cinta segitiga sebagaimana yang disebutkan di sampul belakang novel Bilangan Fu.  Ketiga karakter ini dimunculkan kembali dalam Seri Bilangan Fu. Kita bisa menyatakan bahwa serial ini bersetingkan waktu sebelum Bilangan Fu berakhir. Sebab, yang sudah membaca Bilangan Fu pasti tahu kalau Ayu telah mematikan karakter Parang Jati. 

Manjali dan Cakrabirawa adalah judul yang dipakai untuk novel pembuka Seri Bilangan Fu. Judul ini langsung menetaskan pertanyaan lantaran Cakrabirawa dikenal sebagai pelaku pembunuhan para Pahlawan Revolusi pada September 1965. Dan ternyata, novel ini memang mengangkat peristiwa
G-30S/PKI sebagai landasan utama.

Marja, yang adalah kekasih Yuda, senang menghabiskan liburan di tempat tinggal keluarga Parang Jati di Sewugunung. Ke sanalah ia berencana pergi dengan Parang Jati saat Yuda mesti  ke Gunung Burangrang untuk berlatih panjat tebing dengan militer. Karena Parang Jati harus mengantar Jacquez Cherer, arkeolog Prancis, ke lokasi penemuan sebuah candi di Girah, sebuah dukuh di kaki Gunung Lawu, ia mengajak Marja untuk ikut. 

Diduga, candi tersebut berasal dari masa pemerintah Airlangga, raja Kerajaan Kahuripan, di awal abad ke-11. Tidak banyak bangunan peninggalan dari masa itu, sehingga Airlangga dan kerajaannya lebih merupakan dongeng ketimbang sejarah. Salah satu kesaksian mengenai keberadaan Kerajaan Kahuripan adalah dongeng Calwanarang (Calon Arang). Tidak pelak lagi, oleh arkeolog lokal, candi itu disebut sebagai candi Calwanarang dan disebut-sebut sebagai makam perempuan yang dikenal sebagai tukang teluh yang mengacaukan Kerajaan Kahuripan itu. 

"Dan jika sesuatu yang istimewa terjadi akibat segala hal berada bersama dalam suatu orbit, maka orang beriman menyebutnya 'rencana gaib' atau 'rencana ilahi'. Tapi orang yang tidak percaya menyebutnya sebagai 'kebetulan'," kata Jacques (hlm. 16).  "Dan jika kebetulan-kebetulan itu terlalu banyak dan cocok satu sama lain... Anda percaya bahwa itu adalah serangkaian kebetulan belaka?" (hlm. 17).

Bagaikan pembelaan dari apa yang hendak disodorkan Ayu kemudian, maka setelah itu dimulailah kebetulan demi kebetulan, yang menjadi andalannya dalam novel yang disebut penerbit sebagai Roman Misteri ini. 

Ternyata, nama lengkap Marja adalah Marja Manjali. Manjali adalah nama belakang dari putri Calwanarang -Ratna Manjali- yang tanpa sadar telah membuka jalan bagi kematian ibunya dengan menikahi Bahula, putra Mpu Barada. Tapi kesamaan nama ini bukanlah apa-apa, karena memang semata-mata kebetulan yang tidak penting. 

Kebetulan berikunya adalah penemuan arca Syiwa Bhairawa yang mengingatkan Marja pada Cakrabirawa, pasukan elit pengaman Presiden Sukarno yang menghabisi para Pahlawan Revolusi. Marja mengabarkan penemuan tersebut -termasuk kemungkinan keberadaan sebuah prasasti berisikan mantra Bhairawa Cakra- kepada Yuda yang sedang berada di Gunung Burangrang. Dan secara kebetulan pula, Yuda menceritakan penemuan ini kepada Musa Wanara, prajurit yang dikenalnya dalam latihan panjat tebing. 

Musa Wanara adalah prajurit pasukan elit yang tumbuh di era militer, ia didoktrin membenci semua yang terlibat dalam peristiwa
Gestapu. Tapi anehnya, di dalam dompetnya yang berisi jimat, Yuda menemukan sepotong kain bersulamkan nama Cakrabirawa. Musa memiliki alasan soal ini. Menurutnya, Cakrabirawa adalah mantra sakti yang tidak ada hubungannya dengan komunisme dan PKI. Dikatakannya pula, mantra Cakrabirawalah yang telah menyelamatkan Indonesia dari komunisme. Jika Cakrabirawa tidak melakukan kudeta, tidak ada alasan bagi Angkatan Darat untuk menumpas komunisme, dan jika Angkatan Darat tidak bertindak, maka PKI akan menang dalam pemilihan umum. Begitu mengetahui penemuan arca Syiwa Bhairawa, Musa pun bertekad memilikinya, dan sudah pasti, ia membutuhkan bantuan Yuda. 

Sementara itu, kebetulan lain terjadi lagi. Marja bertemu seorang perempuan tua yang tinggal di tengah hutan di dekat lokasi penemuan candi Calwanarang. Satinem atau Murni adalah perempuan terpelajar pada masanya dan tergabung dalam Gerwani. Suaminya adalah anggota Cakrabirawa bernama Sarwengi. Setelah peristiwa Gestapu, ia dipenjarakan selama sepuluh tahun dan menjadi korban pemerkosaan anggota militer. Sementara ia ditahan, suaminya ditembak mati dan dikuburkan dalam lubang yang digalinya sendiri. Murni tiba di kaki Gunung Lawu untuk mencari jenazah suaminya, tapi tidak menemukannya. Pertemuan Marja dengan Murni membuatnya memiliki misi lain, sebuah misi baru, untuk mempertemukan perempuan tua itu dengan jenazah suaminya. 

Seperti yang dicantumkan pada sampul belakang, Manjali dan Cakrabirawa adalah kisah petualangan memecahkan teka-teki. Menariknya, teka-teki yang ada bertalian dengan sejarah dan warisan budaya Nusantara. Dan itulah yang membuat novel ini bermakna, sehingga menjadi layak dikonsumsi. Memang tidak ada candi Calwanarang, tapi dengan mengetengahkan topik tentang candi, Ayu mencoba membangkitkan kesadaran sejarah dan warisan budaya Nusantara dalam diri para pembaca. Diharapkan,  pembaca bisa lebih mengenal  sejarah sendiri dan mau menjaga warisannya dengan penuh tanggung jawab. Setidaknya, sejarah bisa menjadi pelajaran berharga, terutama untuk mencegah terulangnya peristiwa yang menghancurkan kemanusiaan sebagaimana yang diwakili oleh peristiwa Gestapu.

Manjali dan Cakrabirawa
- buku pertama dari duabelas buku Seri Bilangan Fu yang direncanakan- juga menjadi pengembangan dari apa yang dijanjikan dalam novel Bilangan Fu, yaitu cinta segitiga antara Marja, Yuda, dan Parang Jati. Hanya saja cinta di sini tidak sempat menjadi berahi yang panas membara. Karena Parang Jati, sekalipun sama jatuh cintanya dengan Marja, tidak bisa mengejewantahkan hasratnya sebagaimana Yuda kepada Marja dengan kemahirannya dalam bercinta. Meskipun kesempatan berkali datang dan nyaris lepas kendali.

Tergolong ringan, apalagi bila dibandingkan dengan novel Bilangan Fu yang memabukkan itu,  Manjali dan Cakrabirawa bukanlah karya yang buruk. Ayu Utami tetap membuktikan dirinya sebagai pengrajin kata yang mampu menghasilkan untaian kalimat yang selalu enak untuk dibaca. 

 
* Karena saya telah menamatkan
Lalita (2012), buku kedua Seri Bilangan Fu, maka sebelum mempublikasikan review-nya, saya menampilkan review buku pertamanya lebih dulu, Manjali dan Cakrabirawa (2010).

17 November 2012

Canting



Judul Buku: Canting
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Tebal: 408 hlm; 18 cm
Cetakan: ketiga, Oktober 2007
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 
 

 


Setelah menuntaskan Canting, novel karya Arswendo Atmowiloto, saya menyimpulkan bahwa novel ini berbicara tentang kepasrahan. Sikap inilah yang telah  menjadi sandaran hidup Pak Bei -Raden Ngabehi Sestrokusuma, seorang priyayi pemilik perusahaan batik tulis, dan Bu Bei, istrinya, dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Pak Bei menerima kepasrahan sebagai sikap hidup sesuai teladan yang diberikan Ki Ageng Suryamentaram. Tapi Bu Bei yang bernama asli Tuginem, anak buruh batik tulis, tidak pernah mempelajari kepasrahan. Kepasrahannya tumbuh sebagai bagian dari kehidupannya yang berasal dari kalangan wong cilik. Pada usia empat belas tahun, Pak Bei meminangnya sebagai istri dan membawanya dari kebon -tempat tinggal para buruh batik- menuju kediaman keluarga. Seumur hidupnya, Bu Bei akan menjalankan kepasrahan sebagai sikap hidup yang alami dalam kehidupannya sebagai pribadi, istri, ibu, dan tulang punggung keluarga. 

Keputusan Bei Daryono menikahi Tuginem menjadikannya aeng -aneh atau tidak lumrah. Adik-adiknya tidak bisa menerima keputusannya dan mengasingkannya. Pak Bei menerima perlakuan mereka dengan pasrah. Bahkan, kemudian, mengizinkan keluarganya menjadi tempat bergantung adik-adiknya ketika mereka mengalami kesulitan finansial. Apa yang diputuskan Pak Bei direspons istrinya dengan pasrah. Sekalipun uang yang dipakai merupakan hasil jerih payah Bu Bei berdagang batik di Pasar Klewer. 

Ketika tanpa rencana Bu Bei hamil anak keenam, ia pun bersikap pasrah terhadap keputusan yang akan diambil suaminya. Pak Bei memang tidak berharap istrinya akan melahirkan anak lagi. Dan saking enggannya, ia menyatakan bahwa jika kelak anak yang dilahirkan Bu Bei menekuni pembatikan, maka anak itu pastilah anak buruh batik. Sebuah pernyataan yang tidak ditolak Bu Bei tapi tersimpan dalam hati dan akan menggerogotinya di kemudian hari.

Subandini Dewaputri Sestrokusuma atau Ni dilahirkan sebagai anak yang berbeda dengan kelima kakaknya. Selain tidak berpenampilan priyayi, Ni tumbuh menjadi gadis yang keras kepala, suka bicara sembarangan, dan senang bercanda. Meskipun demikian - berbeda pula dengan kakak-kakaknya- Ni berkembang dengan kepekaan pada kehidupan para buruh batik Perusahaan Batik Cap Canting milik keluarganya. Ni melancarkan protes secara terbuka kepada Pak Bei tatkala menemukan tindakan tidak adil dialami para buruh batik. Seperti saat Wahyu Dewabrata, kakak sulungnya, menghamili Wagimi, anak buruh batik, tapi kemudian gadis itu dinikahkan dengan pria wong cilik lain. Atau sewaktu Lintang Dewanti, kakak perempuannya, memperalat dua buruh batik sehingga mereka ditangkap polisi. Demikian pula ketika Mbok Tuwuh, buruh batik yang juga mengurus cucian, dikeluarkan dari kebon karena terserang muntaber.

Kendati mengambil kuliah yang tidak ada hubungannya dengan batik, Ni tidak bisa melupakan tempatnya berasal. Ketika mulai kuliah di Semarang, ia kerap mendengar suara napas yang meniup canting dengan malam cair mendesis. Terus berulang, dan dalam keadaan sadar. Setelah lulus kuliah di fakultas farmasi, bukannya bekerja sebagai farmasis, Ni malah ingin menjadi juragan batik, meneruskan usaha pembatikan keluarga yang sedang mengalami kemunduran. 

"Kamu tahu, Him, bahwa saya bisa kuliah ini karena usaha pembatikan itu? Bahwa kakak-kakak semua menjadi orang terpandang karena usaha batik? Karena canting, karena buruh-buruh, karena tiupan napas? Semua berutang budi. .... Buruh-buruh itu membuat kami sekeluarga berhasil, tapi kami tak memberikan apa-apa pada mereka," kata Ni kepada Himawan, calon suaminya (hlm. 201-202).

Pada peringatan wolung windu atau ulang tahun ke-64 Pak Bei, Ni terpaksa mengungkapkan keinginannya. Kontan dirinya menjadi aeng di mata keluarganya.  Mereka sama sekali tidak peduli jika Perusahaan Batik Canting ditutup dan apa yang akan terjadi pada para buruh batik setelahnya. Sementara khusus bagi Bu Bei, tekad Ni menjadi juragan batik merupakan hantaman telak yang mengguncang kepasrahannya. Penolakan keluarganya disusul oleh ancaman dipecatnya para buruh batik dan diusirnya mereka dari kebon
 
Jadi, apakah Ni akan ditaklukkan oleh perlawanan keluarganya? Tentu saja tidak. Walaupun kelima kakaknya tidak berkenan dengan kehendaknya, Pak Bei menunjukkan penerimaan. Sikap pasrah kembali memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi Ni. Anak bungsu  Pak Bei ini mendapatkan kebebasan untuk mengurus Perusahaan Batik Cap Canting dengan segala risikonya. 

Untuk membuat batik tulis, dibutuhkan ketekunan dan keuletan dari buruh batik terutama saat menggunakan canting. Canting adalah alat yang digunakan untuk menuliskan pola batik dengan cairan malam. Sebuah  canting terdiri dari nyamplung -tempat penampungan cairan malam yang terbuat dari tembaga, cucuk -tergabung dengan nyamplung, tempat keluarnya cairan malam panas saat menulis batik, dan gagang -pegangan canting, umumnya terbuat dari bambu atau kayu. Saat digunakan, buruh batik memegang canting seperti menggunakan pena, mengisi nyamplung dengan malam cair dari wajan tempat malam dipanaskan, kemudian meniup malam panas dalam nyamplung untuk menurunkan suhunya sedikit. Malam yang keluar dari cucuk dipakai menulis di atas gambar motif batik yang sebelumnya telah dilukis dengan pensil.

Pembuatan batik tulis menggunakan canting yang ditiup dengan napas dan perasaan inilah yang memecut tekad Ni menjadi juragan batik meskipun tidak memahami pembuatan batik. Hanya saja ia tidak bisa mengantisipasi tantangan besar yang akan menghadangnya. Batik tulis terbanting di pasaran oleh munculnya batik printing, yang dengan mudah meniru motif yang dikeluarkan Perusahaan Batik Cap Canting. Jika batik tulis pembuatannya memerlukan waktu sampai berbulan-bulan dengan proses yang rumit, batik printing bisa diproduksi dalam waktu singkat dan dalam jumlah yang banyak pula. 

Ni jatuh sakit, tidak mampu menghadapi kenyataan pahit ini. Ia tidak tahu, ia sedang melewati sebuah proses yang disebut ayahnya sebagai proses ke arah kepasrahan (hlm. 283).  Proses sejenis yang telah dilewati kedua orangtuanya.

"Dalam pasrah tak ada keterpaksaan. Dalam pasrah tidak ada penyalahan kepada lingkungan, pada orang lain, juga pada diri sendiri." (hlm. 283).

Lalu, bagaimana Ni bisa mencapai tingkat kepasrahan yang sebenarnya? Jawabannya  datang secara tidak terduga, yaitu berempati pada kehidupan buruh-buruh batiknya. 

"Ni melihat jalan keluar kegelisahannya dengan menjadi Samiun, menjadi Jimin, menjadi Pakde Tangsiman, menjadi Wagimi, menjadi buruh batik yang lain. Mereka inilah sesungguhnya manusia-manusia perkasa yang masih bisa mendongak menatap matahari, dengan wajah menunduk. Mereka inilah yang menemukan cara hidup yang tetap terhormat, dengan menenggelamkan diri. Mereka inilah sesungguhnya gambaran dan sekaligus jalan bagi Batik Cap Canting kalau mau terus hidup dan berkembang." (hlm. 401).

Pada akhirnya, canting terpuruk menjadi simbol budaya yang kalah dan tersisih. Maka, Ni mengambil keputusan besar bagi perusahaan batik tulisnya. Ia tidak akan memasang cap Canting lagi. Ia bekerja sama dengan perusahan-perusahaan besar yang akan memilih batiknya, membeli, kemudian menjual kembali dengan cap perusahaan mereka. Canting menjadi tidak dikenal. Usaha pembatikannya kini sekadar menjadi pabrik sanggan, pabrik yang menerima pekerjaan dari perusahaan batik milik perusahaan lain.

"Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit. Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi. Tapi dengan jalan melebur diri. Ketika ia melepaskan cap  Canting, ketika itulah usaha batiknya jalan. Ketika ia melepaskan nama besar Sestrokusuma, ketika itulah ia melihat harapan." (hlm. 403)

Canting adalah novel berlatar budaya Jawa. Di dalamnya kita akan menemukan persinggunggan dua kelompok masyarakat yang  tidak mudah bertemu di titik yang sama, priyayi dan wong cilik. Meskipun tidak sedikit priyayi yang menciptakan kesenjangan, mereka tidak bisa mengingkari, bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa wong cilik. Mengagumkan bagaimana wong cilik menerima kehidupan secara apa adanya, tanpa persaingan, tanpa perlawanan, tanpa ambisi. Semua pekerjaan dilakukan tanpa mengeluh dan dengan sikap pengabdian yang tinggi kepada para priyayi. Apa pun tindakan para priyayi disikapi dengan penuh kerendahan hati. Tidak mengherankan kalau sikap mereka ini menyalakan simpati dalam diri Ni, dan tidak mengejutkan pula jika akhirnya memberikan inspirasi pada Ni untuk bertindak.

Canting juga sebuah novel keluarga. Kita akan menemukan perbenturan paradigma anggota sebuah keluarga dalam menyikapi kehidupan. Yang tidak menyandarkan kehidupan kepada kepasrahan, tidak akan gampang menghargai keputusan berbeda yang diambil anggota keluarga yang lain. Di tengah-tengah perbenturan itu, Pak Bei keluar sebagai pembawa damai, sebagai pemersatu keluarga dalam kondisi yang berpotensi menciptakan konflik berkepanjangan. Seisi keluarga mendengarnya, dan tidak pernah ada yang berani menantang kewibawaannya yang lahir dari pengalaman hidup dalam kepasrahan. 

Ditulis dengan bahasa yang mudah dicerna, termasuk penggunaan bahasa Jawa yang maknanya terjelaskan dengan baik, Canting menjadi novel yang cukup sedap dibaca. Meskipun demikian, tetap mengandung bagian-bagian yang membutuhkan kesabaran dalam pembacaan, yaitu ketika Pak Bei mendominasi pembicaraan, dan penulis memberikannya banyak kesempatan bermonolog. Semua monolognya tetap mesti dibaca dengan tekun, sebab akan membuat kita semakin memahami problematika yang diusung penulis dalam novel ini. Untunglah, monolognya dibuat dalam susunan yang tidak menjadikannya alinea-alinea panjang yang melelahkan dibaca.



 
* Canting adalah buku tambahan dan terakhir untuk Sastra Indonesia Reading Challenge 2012
14 November 2012

Click


Judul Buku: Klik
Judul Asli: Click (2007)
Penerjemah: Jia Effendie
Tebal: 228 hlm; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, September 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

 




George Keane atau Gee adalah jurnalis foto. Selama hampir lima puluh tahun, ia telah berkeliling dunia untuk memotret. Tidak ada subjek yang tidak menarik bagi Gee. Ia selalu pulang membawakan kisah-kisahnya, terutama bagi Maggie Keane Henschler, salah satu cucunya. Tidak heran ketika Gee meninggal dunia karena serangan jantung, Maggie merasa sangat terpukul. Jason Keane Henschler, kakak Maggie, bukannya tidak terpukul oleh kematian Gee, tapi pada saat yang sama ia sedang dilanda kekecewaan karena mengetahui dirinya bukan anak kandung keluarga Henschler.

Gee meninggalkan warisan bagi kedua cucunya. Untuk Maggie Gee memberikan sebuah kotak kayu berisi tujuh kotak di dalamnya, dan setiap kotak berisi sebuah kerang dengan sebuah pesan dari Gee: lemparkan kembali semuanya. Maggie berkesimpulan kalau Gee ingin ia mengembalikan ketujuh kerang itu ke tempat asalnya, yaitu tujuh benua versi Maggie: Afrika, Asia, Australia, Antartika, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Eropa. Untuk Jason, Gee mewariskan koleksi foto para pesohor dengan tanda tangan asli mereka. Selanjutnya, Jason juga mendapatkan sebuah kamera milik Gee. Sepertinya, pada umur enam belas tahun, Jason meninggalkan keluarga Henschler untuk mencari ayahnya di Tobago. Sementara Maggie, tetap bertekad mengembalikan ketujuh kerang itu ke tempat asalnya. Kelak, Maggie yang tidak pernah menikah, akan bekerja sebagai duta besar bagi Amerika, mungkin sebagai upaya untuk mendapatkan kesempatan menuntaskan permintaan Gee.

Click (Klik) adalah buku yang ditulis oleh sepuluh penulis yang tersebar di tiga benua, Amerika, Eropa, dan Australia. Mereka adalah penulis-penulis yang telah mencetak prestasi dalam karier kepenulisan mereka. Ide untuk menulis Click dilemparkan oleh Arthur Levine, wakil presiden Scholastic dan pemilik Arthur Levine Books. Ia mengajak sepuluh penulis untuk menghasilkan sebuah buku dengan target pembaca berusia muda, masing-masing menulis satu bagian. 
 
Linda Sue Park mendapat giliran pertama untuk membuka novel ini. Ia memperkenalkan keluarga Henschler dan Gee. Kabarnya, karakter George "Gee" Keane didasarkan pada tokoh yang pernah hidup, seorang pengelana seperti Gee bernama Dwight "D" Follet. Kemana Dwight pergi, ia selalu membuat kagum orang yang dijumpainya, terutama anak-anak muda. Linda memulai kisahnya dengan kematian Gee, kesedihan Maggie, kotak kayu berisi tujuh kotak, foto-foto para pesohor, dan sebuah kamera.

Eoin Colfer melanjutkan kisah mengenai keluarga Henschler dengan menampilkan perkembangan karakter Jason. Setelah mengetahui dirinya anak adopsi, Jason menjadi seorang pemberontak, bertekad mengumpulkan uang agar bisa menemui ayah kandungnya.  Sebelumnya, ia berniat menjual kamera Gee, tapi sepucuk surat dari kakeknya itu mengurungkannya. Kemudian, oleh Tim Wynne-Jones, Jason berkembang menjadi pemuda yang tertarik pada fotografi. Salah satu eksperimennya adalah serial kaca yang dibuatnya dengan Jasmine, seorang gadis cantik sebagai model. Setelah itu Jason akan menghilang, dan disinggung kembali oleh Margo Lanagan dalam kisahnya yang berseting masa depan.  

Nick Hornby menyorot kehidupan Maggie setelah diperkenalkan Linda Sue Park. Hornby menciptakan ketertarikan Maggie pada foto-foto kakeknya dan menemukan sesosok perempuan bernama Jacqueline Aliadiere. Ada yang unik dalam bagian yang ditulis Hornby ini. Ia memunculkan dua karakter George Keane, salah satunya tinggal di Amerika dan yang lain tinggal di Prancis. Gagasan dunia paralel ini akan menjadi landasan bagi Margo Lanagan untuk menulis bagiannya. 

Margo Lanaganlah yang memindahkan kisah Maggie yang hendak menuntaskan permintaan Gee ke masa depan. Maggie pergi ke Australia, ke sebuah tempat bernama High Vincetia dan bertemu dengan Afela, narator bagian yang ditulisnya. Di sini, Maggie akan memutuskan akhir dari perjalanannya. Sepuluh tahun kemudian, Gregory Maguire memunculkan Maggie dengan nama aslinya, Margaret Keane Henschler, yang untuk pertama kalinya mengunjungi sebuah kota bernama Nutu. Ia datang ke kota itu dalam rangka pembukaan sebuah museum Seni Modern. Nutu adalah New York Two, New York yang lama telah hilang setelah apa yang Maguire sebut sebagai "Peristiwa itu". Kemungkinan besar yang ia maksud adalah pemanasan global yang menyebabkan banjir seperti yang disampaikan Margo Lanagan dalam kisahnya. 

Selain kisah Maggie dan Jason, Click juga berkisah tentang beberapa orang yang ditemui Gee dalam perjalanannya. David Almond menciptakan karakter Annie Lumsden yang tidak mengenal ayah kandungnya dan hidup dalam dongeng-dongeng ibunya di Pantai Stupor. Deborah Ellis menghidupkan Lew, pemuda tujuh belas tahun dari penjara Rusia. Roddy Doyle membawa Gee ke Dublin, Irlandia, untuk berkenalan dengan Vincent atau Vinnie dan neneknya yang bisa meramalkan masa depan. Ruth Ozeki meluncurkan kisah berseting pasca Perang Dunia II, saat Gee berada di Jepang dan bertemu Taro, pemuda Jepang yang menjadi korban perang dan adiknya yang bernama Jiro.

Setelah dimulai Linda Sue Park, penulis berikutnya melanjutkan dengan kisah masing-masing yang gagasannya muncul setelah membaca tulisan penulis sebelumnya. Agaknya, para penulis diberikan kebebasan untuk mengembangkan kisahnya dan kurangnya kontrol sehingga ada bagian yang terasa tidak berkembang. Apalagi setiap penulis hanya menulis satu bagian. Kisah-kisah tentang orang yang dijumpai Gee dalam perjalanannya memang merupakan kisah-kisah yang menarik. Tapi  kita kehilangan kisah Maggie dan Jason dalam perjalanan mereka menuju kedewasaan, hingga Jason menikah, dan Maggie keliling dunia sebagai duta besar. 

Tantangan terbesar dihadapi oleh Gregory Maguire yang menutup dan menyimpulkan semua kisah yang ditulis sembilan penulis sebelumnya. Bukan hanya karena dia harus memperjelas, misalnya, apa yang terjadi pada Maggie dan Jason yang tidak diekspos penulis sebelumnya, tapi juga karena perpindahan seting waktu ke masa depan yang dilakukan Margo Lanagan. Untunglah ia berhasil menyajikan penutup yang bisa sedikit menjawab keingintahuan pembaca, walaupun belum cukup lengkap. 

Karena setiap bagian ditulis oleh penulis yang berbeda, maka kita akan membaca berbagai kisah yang ditulis menurut gaya masing-masing penulis. Meskipun demikian, semua kisah tetap terhubung, membentuk satu kesatuan sebagaimana sebuah novel dan bukan kumpulan cerita. Bukan pekerjaan yang mudah melanjutkan kisah yang ditulis penulis lain, bahkan kemudian, menamatkannya. Karena itu, kita bisa menoleransi kekurangan yang ada.

Pada bagian akhir Click, kita akan mendapatkan informasi mengenai Amnesti Internasional. Organisasi yang didirikan pada tahun 1961 di Inggris oleh
Peter Benenson ini bertujuan melindungi orang-orang yang tidak mendapatkan keadilan, kesamaan hak, kebebasan, dan kebenaran. Rupanya, keuntungan penjualan Click menjadi sumbangan para penulis bagi organisasi ini. 





Dari kiri: Arthur Levine, Gregory Maguire, Linda Sue Park, Tim Wynne-Jones, dan David Almond di ALA 2007 Annual Conference, Washington, D.C.


Belakang, dari kiri: Roddy Doyle, Eoin Colfer, Margo Lanagan, dan Tim Wynne-Jones.

Depan, dari kiri: Arthur Levine, Linda Sue Park, Deborah Ellis, dan Colin Farrel (dari Amnesty International) 

The Borders Reading and Discussion Panel, 22 Oktober 2007.




Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan