31 March 2013

Kiss the Sky




  
Judul Buku: Kiss the Sky
Penulis: Liz Lavender & Raziel Raddian
Penyunting: Evi Mulyani & Delia Angela
Tebal: 202 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, November 2012
Penerbit: Elf Books





"Suatu saat aku akan mengajakmu terbang bersamaku, Em."
"Hanya berdua?"
"Iya. Berdua. Ke langit kita."  (hlm. 31)


 

Hayden Fontana meninggalkan Oak Ridge, Louisiana, untuk mengikuti pendidikan di United States Air Force Academy (USAFA) di Colorado Springs, Colorado. Saat yang sama, kekasihnya sejak high school, Emma Shelby, pergi ke New York City dan bekerja sebagai pramuniaga di pusat perbelanjaan.

Selama empat tahun mereka tidak bertemu, dan seperti janji Hayden,  selama ia belajar menjadi pilot pesawat tempur, mereka berkomunikasi menggunakan ponsel atau surel. Dua tahun berada di USAFA, cinta mereka mulai menghadapi tantangan. Hayden tidak lagi membalas surel dari Emma dan ponselnya tidak pernah aktif. Emma sudah pernah menghubunginya di akademi lewat surat, tapi suratnya tidak pernah dibalas. Tanpa sepengetahuan Emma, Denise, petugas administrasi dan resepsionis di akademi, telah merusakkan komunikasinya dengan Hayden..

Hayden mengetahui sebab musabab rusaknya komunikasinya dengan Emma setelah menyelesaikan pendidikannya. Sebelum berangkat ke tempat tugasnya di Hurlburt Field Air Force Base Florida, ia mencoba memperbaiki hubungan mereka. Tapi mereka baru bisa bertemu setelah Hayden berada di Florida. Dalam pertemuan yang mereka lakukan di Driskill Mountain, Lousiana, Hayden mencetuskan sebuah janji. Ia akan mengajak Emma terbang berdua.

Sayangnya, tidak mudah bagi Hayden merealisasikan janjinya. Selain tinggal berjauhan, selalu ada saja yang mengusik hubungan mereka. Pertama, secara tiba-tiba, Denise yang terobesi pada Hayden menyusul ke Florida dan bekerja di tempat yang sama dengan pemuda itu. Kedua, Hayden harus pergi bertempur ke Nicaragua ketika terjadi perang saudara. Dan yang ketiga, Frederick Fontana, abang Hayden, pengacara dan calon senator New York City, memaksa masuk ke dalam kehidupan Emma. Frederick berniat menikahi Emma sebagaimana yang telah diatur ibu mereka di Lousiana. Tapi, tentu saja, Emma menolak. Karena  ia telah berjanji akan menunggu Hayden.

Frederick bersikeras merampas kekasih adiknya. Seumur hidupnya, ia telah mengalahkah Hayden, membuat adiknya tersisih, dari rumah dan dari kasih sayang orangtua mereka. Ia menegaskan kepada Emma kalau ia bisa mempermainkan nasih Hayden sesuai kehendaknya. Ia bisa membuat Hayden pulang dan tidak lagi terlibat perang di Nicaragua. Ia juga bisa membuat Hayden tetap berada di kancah peperangan dengan nyawa dipertaruhkan.

Demi Hayden, Emma menerima lamaran Frederick. Keputusannya ini menghancurkan hati Hayden tatkala meninggalkan Nicaragua dan menemukan kenyataan gadis yang dicintainya tidak lagi menunggunya. Saking putus asanya, tanpa surat perintah, Hayden menggantikan temannya kembali ke Nicaragua.

I'm flying, Emma... I'm flying in our sky... So close that I could feel like I'm kissing the sky... I will tell you how it feels to kiss the sky... I love you, Emma... (hlm. 71).

Terjadi pertempuran udara, pesawat  Hayden tertembak dan jatuh di wilayah musuh. Ia dinyatakan hilang.

Tapi sekalipun kabar menghilangnya Hayden menyambarnya bagaikan petir, Emma tetap percaya Hayden masih hidup. Di mana dia, pemuda yang dicintainya, yang pernah menulis kalimat di bawah ini dalam salah satu surelnya?

Emma, saat kau memandang langit, ingatlah bahwa aku pernah ada di sana, terbang di sana, melintasi langit itu. Langit yang sama seperti yang kau pandangi. Dan saat aku terbang, aku akan melihat ke bawah sana, yakin bahwa kau terus memandang langit dan mengingatku.
(hlm 12).

Kiss the Sky adalah novel kolaborasi dua penulis, Liz Lavender dan Raziel Raddian, yang sebelumnya telah menggunggah karya fiksi mereka di situs kepenulisan www.kemudian.com. Dengan novel ini, mereka menambah ke dalam perbendaharaan fiksi poluler Indonesia (bukan sastra populer, karena tidak ada yang namanya sastra populer), novel yang ditulis tanpa senoktah pun menyinggung Indonesia. Seting dan karakternya jelas, hanya saja terasa asing dan muluk-muluk. Persis seperti yang dilakukan Prisca Primasari dalam novel
Éclair: Pagi Terakhir di Rusia dan Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa (GagasMedia). Atau Delia Angela -salah satu penyunting novel ini- dalam novel Perfect Ten dan Another Idol.

Meskipun begitu, bukan berarti Kiss the Sky tidak menarik. Kedua penulis memang masih berasyik masyuk dengan cinta, tema generik yang tidak pernah lapuk digerus waktu. Mereka pun memunculkan kisah cinta yang membutuhkan banyak ujian sebelum berakhir bahagia. Ya, Kiss the Sky memang hadir bagai film romantis Hollywood yang senantiasa bersetia dengan happy ending -karena kalau sad ending akan kurang laku. Atau mirip novel-novel cinta berliku Danielle Steel, minus deskripsi dan narasi yang menggurita. Tapi mereka berhasil menyuguhkan sebuah kisah cinta yang kendati cukup berpilin memiliki plot apik dan bergulir lancar sampai bagian penutupnya. Kalimat-kalimat penyusun kisah pun terbilang enak dibaca, tampaknya diusahakan semaksimal mungkin untuk tidak berlarat-larat dan membuat pembaca bosan.

Saya suka banyak kalimat dalam novel ini, seperti yang saya kutipkan di bawah ini:

Hayden... masihkah kau titipkan ciuman-ciumanmu di ranting-ranting udara saat kau terbang? Agar aku bisa memetiknya, ketika langit yang kau lalui kini berada di atasku. (hlm. 161).

Sepertinya takkan ada lagi kerinduan yang akan kau sematkan di jantung udara dan kelopak langit senja untukku, Hayd. Sudah cukup bertahun-tahun aku tersiksa oleh perasaan ini. (hlm. 171).

Untuk membuat novel ini lebih menarik, kisah cinta yang ada dibumbui dengan cerita kampanye pemilihan senator, perdagangan heroin, dan aksi balas dendam. Bumbunya cukup untuk menghalau romantisme yang menjurus cengeng. Hanya saja, saya berharap cerita yang bukan sekadar bumbu ditambah porsinya. Pertempuran udara yang dilakukan Hayden cukup mengalihkan perhatian, apalagi disertai dengan perasaannya yang sedang patah hati. Tapi perjuangan Hayden menyelesaikan pendidikan di USAFA perlu mendapat tambahan cerita supaya lebih meyakinkan.

Karakter-karakter yang menarik simpati, kisah yang romantis dan berliku-liku dalam plot yang bergerak tanpa tersendat belumlah cukup. Sidney Sheldon -misalnya- dengan kisah-kisahnya yang megah dan bergerak cepat, tetap tidak mengabaikan detail-detail lokasi yang menjadi seting novelnya. Membaca novel-novelnya, kita serasa dibawa ke tempat kejadian perkara. Hal ini dimungkinkan karena Sheldon mengenal dan pernah menginjak lokasi-lokasi yang ia gunakan sehingga mampu mengejawantahkannya dalam kata-kata tanpa menimbulkan kesangsian. Kedua penulis Kiss the Sky masih memiliki kekurangan dalam hal ini. Kemungkinan besar mereka memang belum pernah mengunjungi lokasi-lokasi dalam novel. Tapi sebagai penulis, semestinya punya siasat meyakinkan pembaca bahwa kisah mereka benar-benar terjadi di lokasi-lokasi itu. Melakukan riset yang lebih intensif, misalnya. Itulah konsekuensi memilih seting mancanegara. 








30 March 2013

Magical Seira #1





Judul Buku: Magical Seira #1 
Pengarang: Sitta Karina
Tebal: 260 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, Desember 2012
Penerbit: Buah Hati


 


Fantasi dan teenlit adalah dua genre fiksi yang memiliki banyak pembaca. Sampai sekarang, kita masih bisa menemukan mereka berderet-deret di rak-rak toko buku. Maka tidak mengherankan kalau Sitta Karina menulis novel Magical Seira #1: Seira and The Legend of Madriva, dalam usaha untuk merangkul para peminat kedua genre itu. Teenlit sekaligus fantasi, cukup dalam satu buku.

Novel ini termasuk teenlit karena para karakternya masih remaja, sedang bersiap-siap meninggal sekolah menengah atas, dan sedang mempunyai  problem dengan cinta terhadap lawan jenis. Tak pelak lagi, kita akan banyak menemukan pembicaraan mengenai dunia remaja dan romantisme yang mencapai stadium menjengkelkan lantaran terlalu banyak menyita banyak halaman. Sitta Karina masih mengikuti pakem yang sering digunakan pengarang teenlit,  karakter utama perempuan adalah karakter Mary Sue.

Si Mary Sue adalah Seira Hasanah. Pemalu, cantik, dan baik hati. Saat bersama dengan teman-temannya -Maruti dan Anta- Seira lebih banyak diam dan mendengar. Aneh juga Seira bisa berteman dengan mereka. Kedua temannya itu bertipe agresif dan tidak lama menyandang status jomlo. Pacar mereka adalah cowok-cowok pemain sepakbola. Maruti dan Anta adalah anggota kelompok pemandu sorak, dan sudah menjadi tradisi kalau para pemain sepakbola cuma pacaran dengan cewek-cewek pemandu sorak.

Tidak mengherankan kalau Seira bimbang dengan perasaannya terhadap Abel Dharmacaya, salah satu cowok pemain sepakbola. Sudah tiga tahun ia memendam perasaan suka pada Abel, tapi sampai hendak meninggalkan SMU, ia masih berada dalam status quo. Masih jomlo. Padahal, sesuai kehendak ibunya, Seira akan melanjutkan sekolahnya di London. Jika Seira pergi ke London, maka ia akan meninggalkan Abel, karena cowok itu akan kuliah di Jakarta. Dan itu berarti, tidak ada harapan bagi Seira.

Apakah masih ada waktu baginya untuk mendapatkan hati Abel? Apakah Abel, si pemain sepakbola akan melanggar tradisi dengan menjadi pacarnya yang bukan anggota pemandu sorak? 

Karena cantik dan beperawakan indah, Seira memang pernah ditawari masuk kelompok pemandu sorak, tapi ia menolak. Ia lebih suka berlatih kickboxing, bermain piano dan menciptakan lagu. Seira telah menciptakan lagu berjudul Serenity yang ingin diberikannya kepada Abel.

Seira berasal dari keluarga kaya. Ia hidup dalam kemewahan. Tapi Seira tidak bahagia. Menjelang kelulusannya dari SMU, orangtuanya memutuskan bercerai. Masing-masing memiliki makhluk idaman lain di luar rumah. Kondisi ini ditambah perasaannya yang tidak pernah tersalurkan kepada Abel membuat Seira putus asa. Maka muncullah keinginan dalam hatinya untuk menghilang.

Saat itu ia sedang berada di Taman Chitrakala, mengamati gerak-gerik Abel yang beristirahat seusai latihan sepakbola. Seira merasa saat untuk memberikan CD rekaman lagunya sudah tiba. Lalu sesuatu yang tidak terprediksi terjadi. Sebuah pusaran bola asap muncul dan melontarkan kilatan cahaya menghantam Seira. Ia terjatuh dan kehilangan kesadaran.

Saat terbangun, Seira telah berada di dimensi lain yang bernama Madriva. Ia melayang-layang kemudian mendarat dengan selamat di atas sebuah bunga raksasa yang juga dalam keadaan melayang. Madriva sedang bergolak. Terjadi perlawanan yang dilakukan secara bergerilya terhadap raja yang tengah menggiring Madriva kepada kehancuran. Rakyat Madriva yang menghendaki pemulihan negerinya menggantungkan harapan pada legenda, bahwa akan ada seseorang yang datang ke Madriva untuk menyelamatkan mereka. Mungkinkah Seira adalah legenda yang dimaksud?

Saat akhirnya berhadapan dengan raja Madriva, alangkah terkejutnya Seira dengan penampakannya. Seth, raja Madriva, memiliki wajah dan penampilan yang identik dengan Abel. Menurut Seth, dunia terdiri dari dua dimensi, Madriva dan Kaia -bumi. Penduduk Madriva percaya bahwa setiap manusia hidup di dunia dengan membagi dua jiwa yang sama. Satu berada di Madriva dan satu lagi di Kaia  Satu memiliki hati yang baik, yang lain kebalikannya
(jadi, seharusnya, Seira mempunyai jiwa kembarnya yang jahat di Madriva dong). Menurut Seth, Abel adalah jiwa kembarnya yang hidup di Kaia.

Seth membutuhkan Seira untuk merealisasikan obsesinya. Ia bermaksud menguasai kedua dimensi, Madriva dan Kaia. Seira mempunyai kemampuan untuk membuka gerbang dimensi dengan lagu ciptaannya, Serenity. Seth menawarkan masa depan kepada Seira, menjadi penguasa kedua dunia. Tapi Seira tahu, persepakatannya hanya berarti satu: kehancuran dunia. Karena bagaimanapun kedua dimensi tidak bisa dipimpin oleh seorang yang sama.

Seira and The Legend of Madriva adalah buku pertama dari seri Magical Seira karya Sitta Karina.  Menyusul Seira and The Legend of Madriva (2005), Sitta telah meluncurkan Seira & Abel's Secret (2007), dan Seira & The Destined Farewell (2008). Semuanya pertama kali diterbitkan Terrant Books. Sekarang novel ini diterbitkan kembali oleh Penerbit Buah Hati, yang sebelumnya telah menerbitkan novel Sitta, Rumah Cokelat (2011).

Ide dalam novel ini cukup menarik kendati tidak tergolong anyar. Keberadaan dua dimensi paralel sudah acap muncul dalam novel-novel asing. Dan Sitta memang hanya memulung ide dari apa yang sudah pernah diciptakan pengarang sebelumnya. Ia hanya sedikit menambahkan bumbunya sendiri. Ia menciptakan dimensi Madriva dengan istananya yang terletak di antara awan-awan yang sedang melayang, dengan pelangi yang bisa meninggalkan bercak warna di tangannya, dengan bunga-bunga raksasa yang juga melayang-layang dan salah satunya memberi diri untuk menjadi tempat pendaratan Seira. Madriva disetnya sedang dilanda konflik yang berpotensi menghancurkan dimensi itu. Rakyat anti pemerintah bergerilya sembari membawa harapan terhadap legenda Madriva.

Apa yang dirancang Sitta terasa indah dan unik, sayangnya masih tanggung. Dunia Madriva belum digali secara intens, terasa masih pada bagian subkutannya. Pergolakan politiknya sebenarnya berpeluang membuat kisah dalam novel ini lebih menarik tapi belum berkembang. Saya pribadi menginginkan kisah lebih lengkap mengenai kehidupan dan perjuangan Mina, putri dari pemuka Chitrakala yang bergerilya bersama Tipsi, kakaktua berjambul kuningnya. Kisahnya pasti sangat menarik. Selain Mina, saya juga ingin mengetahui lebih banyak soal Penjaga Putih -yang dibasmi Seth- dan Pasukan Amarta-nya.

Sitta perlu membuat kisah yang lebih mengundang keinginan terus membaca lagi. Permasalahan yang ada terlalu gampang diselesaikan dan menyebabkan interaksi antara Seira dan Seth terasa tidak menggigit. Semestinya Seira mengalami kesulitan yang signifikan dalam perjuangannya mengalahkan Seth. Tidak semudah itu mengalahkan raja yang telah mencabut nyawa para Penjaga Putih. Jujur saja, tidak ada kepuasan yang melegakan bisa dirasakan setelah novel berakhir. 

Alur cerita yang dibangun Sitta terlalu bertele-tele. Kerap ia lebih berfokus pada hal-hal yang kurang penting sehingga yang penting malah kurang berkembang. Adegan dan percakapan sarat gosip di antara Seira, Maruti, dan Anta akan lebih bagus kalau diminimalkan saja. Tidak bermutu dan mengganggu alur cerita, dan pada gilirannya merusak keasyikan membaca.

Karakterisasi Seira memang sudah boleh dibilang dirancang dengan baik. Kita akan mudah memahami kepribadiannya yang introvert. Tapi Sitta tetap perlu memperbesar porsi Abel supaya kita juga lebih mengakrabinya. Toh kisah dalam novel ini dituturkan menggunakan perspektif orang ketiga yang berpeluang penceritaan yang lebih gamblang.

Meskipun begitu, tetap harus dimaklumi lantaran Seira and The Legend of Madriva masih buku pertama. Masih ada dua buku dalam seri Magical Seira yang belum saya jamah. Saya berharap dalam kedua buku itu Sitta sudah lebih mumpuni menulis kisah fantasi, lebih piawai dalam mengarahkan kisahnya, dan merancang karakterisasi. Saya tidak sabar lagi untuk mengetahuinya.
29 March 2013

Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa




Judul Buku: Kastil Es & Air Mancur Berdansa
Pengarang: Prisca Primasari
Tebal: viii
+ 292 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2012
Penerbit: GagasMedia



 
Paris, musim dingin 1997, Florence L'etoile Leroy meninggalkan rumahnya, melarikan diri dari Maman dan Papa-nya, dari kencan buta yang dirancang kedua orangtuanya itu. Kelakuannya agak aneh juga mengingat dirinya bukan gadis remaja lagi. Ia sudah menyelesaikan kuliah di jurusan seni, dan menjadi guru di kursus dan workshop kesenian. Tapi begitu mendengar gagasan kencan buta -yang memang diharapkan akan berakhir menjadi pernikahan- ia langsung melarikan diri tanpa peduli salju tengah berguguran dari langit Paris.

Florence memang sedang dalam keadaan patah hati. Ia dicampakkan kekasihnya yang lebih tertarik pada wanita lain. Tapi kencan buta tidak pernah masuk dalam hitungannya. Di Stasiun Saint-Lazare, ia menaiki kereta yang menuju ke Deauville, kemudian akan melanjutkan dengan bus ke Honfleur. Di dalam kereta, ia bertemu dan berkenalan dengan Vinter Vernalae, pria muda yang hendak pulang ke Honfleur.

Monsieur Zima, teman Vinter, membuatnya terpaksa membatalkan janji di Paris dan memutuskan pulang. Zima adalah mantan konduktor yang memperkenalkan dirinya sesuai musim yang sedang dijalaninya. Ia akan menjadi Zima (bahasa Rusia) saat sedang musim dingin, Primavera (bahasa Italia) pada musim semi, Verano (bahasa Spanyol) pada musim panas, dan Herbst (bahasa Jerman) pada musim gugur. Setelah meninggalkan kariernya sebagai konduktor, Zima kembali ke Honfleur, tempat kelahirannya, dan terpuruk sebagai penderita tumor otak. Penyakit ini membuat dirinya terkadang tidak bisa mengendalikan diri dan gampang marah. Karena terbiasa menonton pertunjukan seni di Paris dan luar negeri, ia meminta Vinter mendatangkan kelompok seniman yang akan menggelar rangkaian pertunjukan kecil di rumahnya. Kali ini, kelompok yang disewa Vinter membatalkan pertunjukan secara mendadak. Vinter pulang ke Honfleur untuk memberitahukan secara langsung kepada Zima.

Tanpa banyak berpikir, Florence segera mengajukan dirinya untuk menggantikan kelompok seniman dari Montmarte itu. Maka bersama Vinter, ia mendatangi rumah Zima yang mirip Gereja St. Catherine, dan memeragakan kemampuan seninya. Ia membuat lukisan realis, Un Chariot en Hiver. Ia memperformakan puisi Edgar Allan Poe The Raven yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Ia memainkan dengan rumit lagu La Vie en Rose yang sebenarnya gampang. Saat hendak membaca puisi Poe, dering ponselnya sempat mengusik konsentrasi dan membuat Vinter yang tidak pernah tertawa mengeluarkan tawanya.

Seusai penampilannya di hadapan Zima, Florence semestinya mengakhiri kebersamaannya dengan Vinter. Tapi mendadak ia tidak ingin berpisah dan malah menagih janji Vinter menunjukkan hasil karyanya sebagai pemahat es. Hanya saja, sebelum Vinter membawanya ke galeri esnya, Céline, sahabatnya dari Paris, muncul dan membuat Florence terpaksa meninggalkan Vinter.

Akankah mereka bertemu lagi? Tentu saja. Vinter akan mengajak Florence ke flatnya. Di sana ia akan menyaksikan pahatan Vinter yang sangat indah, karya seni yang membuat Vinter berhasil melupakan kesedihan di masa lalunya dan merasa menjadi manusia yang lebih baik. Galeri esnya telah menjelma serupa kastil es dengan air mancur yang berdansa. Tanpa bisa ditahan-tahan lagi, keduanya harus mengakui bahwa tiga hari bersama telah memunculkan cinta kepada satu sama lain. Sayangnya, seperti Snegurochka si Gadis Salju dalam dongeng Rusia, yang jatuh cinta pada seorang laki-laki lalu meleleh karena kehangatan cinta, demikian pula yang dialami Florence. Ia tidak mungkin mendapatkan cinta Vinter karena lelaki itu sedang terikat janji dengan perempuan lain. Sementara dirinya, agaknya akan sulit menolak pria baik hati yang dipilihkan orangtua baginya.

"Laki-laki itu berkata kepada Snegurochka," ujarnya. "Terima kasih juga telah membuatku tertawa."

"Selamat tinggal, Snegurochka," bisik Vinter. "Kuharap kau tidak akan pernah melupakan kastil es dan air mancur yang berdansa...." (hlm. 177).


Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa adalah novel romantis karya Prisca Primasari, yang sekali lagi, mengambil seting luar negeri dan menggunakan karakter-karakter yang bukan orang Indonesia. Hal yang sama dilakukannya pada novel perdananya yang juga diterbitkan GagasMedia, Éclair: Pagi Terakhir di Rusia (2011). Tapi, meskipun tidak menggunakan orang Indonesia sebagai karakter ceritanya, Prisca cukup berhasil membangun karakterisasi. Ia bisa menghidupkan para karakternya beserta probematika kehidupan mereka dengan baik sehingga tidak menerbitkan keraguan. Setiap karakter diberinya latar belakang yang tidak biasa dan menjadi sangat menarik karena terkait dengan seni. Apalagi untuk seni yang membuat Vinter mendapatkan terapi bagi luka-luka masa lalunya.

Dari segi cerita memang tidak ada yang istimewa. Konflik utamanya pun tergolong generik dan kuno karena sudah kerap diangkat para penulis di berbagai belahan dunia. Seorang perempuan lari dari campur tangan orangtua terhadap masalah cintanya, dan dalam pelariannya menemukan cintanya, bukan hal yang menantang untuk dibaca. Saya memerlukan waktu berbulan-bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk membaca novel ini. Dan ternyata, saya bisa menikmati cara Prisca merangkai perjalanan dan pergolakan pikiran karakter utamanya sehingga berhasil menamatkan dalam waktu tidak terlalu lama.

Membaca Kastil Es & Air Mancur yang Berdansa bagaikan sedang membaca dongeng tentang cinta. Florence yang digambarkan memiliki kecantikan serupa Snegurochka dan Vinter yang mampu memahat imajinasi pada air yang membeku, seperti menyeruak keluar dari lembar-lembar dongeng. Prisca pun mengukuhkan persepsi ini dengan menambahkan ke dalam novelnya kalimat yang biasa kita baca atau dengar dari kisah-kisah dongeng (hlm. 235).

Sebenarnya, kalau Prisca mengakhiri novelnya setelah bagian Épilogue, kisah dalam novel ini sudah cukup. Tapi dia masih melanjutkan ke dalam bagian berjudul Vinter les odes yang menceritakan tentang kehidupan Vinter sampai ia bertemu Florence di Stasiun Saint-Lazare. Padahal isinya hanyalah informasi yang diulang dan selebihnya akan lebih baik dimasukkan saja ke dalam bagian-bagian sebelumnya yang notabene ditulis menggunakan perspektif orang ketiga.


 Snegurochka karya Viktor Vasnetsov




Salah satu bagian dari Honfleur



 
 Gereja St. Catherine Honfleur

Last Minute in Manhattan



Judul Buku: Last Minute in Manhattan
Pengarang: Yoana Dianika
Editor: Yulliya Febria & Widyawati Oktavia
Tebal: vi + 402 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, Desember 2012
Penerbit: Bukune


 

Callysta Nararya meninggalkan Indonesia untuk menetap sementara di Hermosa Beach, salah satu dari tiga kota pantai di California, Amerika Serikat. Di Hermosa Beach, ia tinggal di rumah Sophie Hamilton, perempuan bule beranak satu, yang dinikahi ayahnya. Karena belum berniat melanjutkan kuliah selulus SMA dan baru saja dikhianati Abram Gunawijaya, pacarnya, yang berselingkuh dengan gadis lain, Hermosa Beach menjadi tempat berlibur untuk jangka waktu yang belum dipastikan. Sophie dan putranya, Marquez Stanley atau biasa dipanggil Mark, pun sangat senang menerima Callysta di kediaman mereka.

Kita sudah bisa menebak apa yang akan dialami Callysta di Hermosa Beach. Mark memperkenalkan Callysta kepada cowok tampan berambut coklat side swept bangs bernama Vesper Skyller. Vesper atau Vessy atau Sky bagi Callysta adalah teman sekelas Mark di Oaks Christian School, dan sedang berada di tahun terakhir. Tidak membutuhkan waktu yang lama, keduanya berhasil mengakrabkan diri. Keakraban mereka terbangun dalam perjalanan mengunjungi Westlake Village -di mana Sophie mempunyai rumah dan peternakan kuda- dan Mystery Spot di Santa Cruz yang berjarak enam jam lebih perjalanan dari Hermosa Beach.

Sayangnya, pada perjalanan kedua ke Westlake Village, Vesper memicu kekacauan yang berakhir petaka di peternakan kuda. Topi bubble tiga warna milik Callysta, pemberian neneknya sebelum meninggal, rusak dan hilang. Sekalipun Vesper telah berusaha menyelamatkannya dalam keadaan darurat di dalam istal, Callysta tetap tidak bisa menahan kemarahannya kepada cowok itu. 

Apakah hubungan mereka akan membaik kembali? Atau tidak ada harapan seperti yang kemudian dipikirkan Callysta?  Sementara Vesper berjibaku memperjuangkan cintanya pada Callysta, Rachel Claudio pun tak kekurangan siasat untuk memisahkan mereka. Sementara di sisi lain, ada Maggie, gadis yang membuat Abram berpaling dari Callysta, semakin menyulitkan keadaan. Dari Silicon Valley ke summer camp di Frost Valley, kemudian berpindah ke Manhattan saat terjadi Manhattanhenge atau Manhattan Solstice, cinta Callysta dan Vesper akan mengalami ujian, dan mendapatkan kepastiannya.

Tidak ada cerita dan konflik yang istimewa dalam Last Minute in Manhattan karya Yoana Dianika ini. Isi novel benar-benar cinta remaja sehingga novel ini mutlak masuk dalam kategori TeenLit. Seorang cewek patah hati karena pacarnya berselingkuh, meninggalkan rumahnya dalam ketidakpastian, berjumpa dengan calon pengganti pacarnya, mengalami konflik cinta, kemudian diselesaikan tanpa kesulitan berarti. Untuk membuat perjalanan cinta cewek ini terkesan rumit, dihadirkan cewek lain yang juga mencintai calon pengganti pacar yang berkhianat. Dan agar semakin terkesan rumit, si mantan pacar dibuat berubah pikiran dan ingin kembali padanya. Akibatnya, cewek yang merebut pacarnya berlagak seperti nemesis, terus mengejarnya dan mencari gara-gara. 

Kisah klise ini kemudian diperkaya dengan semangat kebetulan. Kebetulan yang sudah dimulai sejak novel ini dibuka. Saat Callysta diperkenalkan ayahnya kepada Sophie dan Mark, di tempat yang sama ia bertemu ibu kandungnya yang telah menikahi pengusaha kaya dari Singapura. Juga Maggie, cewek yang merebut Abram dari Callysta yang kebetulan adalah anak tiri ibu kandung Callysta atau putri dari si pengusaha Singapura dari istri sebelumnya. Saat Callysta pergi ke Amerika, Maggie juga pergi ke sana, dan mereka dipertemukan lagi, dalam dunia yang mendadak mengecil seukuran globe. 

Untuk membuat cerita terkesan lebih berbobot -tapi tentu tidak berhasil- para karakter utama diberi latar belakang yang kompleks. Callysta ditinggalkan ibunya, seorang penyanyi yang menceraikan ayahnya karena dianggap menghambat kariernya. Kemudian ibunya menikahi pengusaha kaya Singapura yang adalah duda beranak perempuan sebaya Callysta. Ayah Callysta menikahi janda bule beranak satu yang dijumpainya di Amerika, membuat Callysta memiliki ibu dan adik tiri. Vesper Skyller, kehilangan ibunya yang meninggal tidak lama setelah melahirkannya. Ia tidak tinggal bersama ayahnya yang mempunyai perusahaan di Silicon Valley melainkan bersama adik perempuan ayahnya di Hermosa Beach. Hidupnya tidak terlalu mudah karena ayahnya ingin ia menjadi insinyur yang nantinya akan bekerja di perusahaannya. Padahal Vesper bercita-cita menjadi astronom atau astronaut.

Latar belakang rumit yang diberikan kepada para karakter utama, ternyata, tidak membuat kisah dalam novel ini menjadi menarik. Justru kian membuat ceritanya menjelma cerita-cerita dalam sinetron.

Dalam hal karakterisasi, Yoana menampilkan Callysta sebagai seseorang yang kerap terkesan lugu-lugu bodoh. Ia hadir bagaikan rusa masuk kampung karena tidak mengetahui tentang Silicon Valley, teflon sebagai alat masak (bukan cuma) di Amerika, atau tanda rusa di jalan-jalan Amerika. Dan hanya karena topi bubble pemberian neneknya yang rusak, ia marah besar pada Vesper. Karakter Mark pun membuat bimbang. Usianya lebih muda dari Callysta, tapi dalam kebeliaannya, ia berpikir dan berbicara seperti orang-orang tua, lagaknya bagaikan buku motivasi berjalan. Untunglah ada Vesper yang digambarkan dengan wajar sebagai cowok berhati lurus di sepanjang Hermosa Beach.

Yoana Dianika menggunakan plot lurus tanpa kelok dalam mengalirkan ceritanya. Untuk membuat terkesan tampil beda, ia sedikit bereksperiman dalam hal sudut pandang pengisahan. Ia membuka kisahnya dengan menggunakan Callysta sebagai narator orang pertama dan menghadirkan kisahnya sebagai isi dari catatan harian Callysta. Itulah sebabnya ia menyematkan informasi: 1st Diary untuk cerita sebelum Callysta pergi ke Amerika dan 2nd Diary untuk memulai dan menciptakan konflik terkait dengan cinta yang dialami Callysta di Amerika. Lalu secara tiba-tiba, Yoana meninggalkan catatan harian Callysta dan memindahkan persperktif pengisahan menjadi perspektif orang ketiga.  Eksperimen ini mungkin dilakukannya agar lebih leluasa menceritakan perasaan dan pikiran karakter selain Callysta. Tapi kurang berhasil karena perasaan dan pikiran mereka kurang tergali. Apalagi karena Yoana bermaksud memberikan kejutan sehubungan dengan tindak-tanduk Vesper yang berubah aneh semenjak insiden di Westlake Village. Menjelang novel berakhir, Yoana kembali pada catatan harian Callysta, 3nd Diary.

Meskipun disunting dua orang editor, novel ini masih tetap membutuhkan penyiangan, minimal sekali lagi. Masih terdapat kalimat-kalimat yang tidak enak dibaca dan penggambaran fisik karakter yang diulang-ulang hingga sedikit membosankan.

Boleh dibilang, ilustrasi cantik karya Lia Natalia yang bertaburan di dalam novel ini menjadi penyelamat isi novel. Tanpa ilustrasinya, novel Last Minute in Manhattan hanya akan hadir dan terpuruk sebagai novel yang terlalu biasa.

Last Minute in Manhattan adalah novel pertama dari proyek kolaborasi Bukune dan GagasMedia, Setiap Tempat Punya Cerita, yang diterbitkan Bukune. Seri ini ditujukan untuk memberikan pembaca novel-novel terbitan kedua penerbit ini fiksi dengan pengalaman traveling ke mancanegara. Saat Bukune menerbitkan Last Minute in Manhattan, GagasMedia menerbitkan Paris karya Prisca Primasari.

Selain Last Minute in Manhattan, Yoana Dianika yang menjadi pemenang ketiga untuk dua lomba menulis -100% Roman Asli Indonesia dan 30 Hari 30 Buku- telah menerbitkan Till We Meet Again, Soba Ni Iru Yo, Hujan Punya Cerita tentang Kita, Truth or Dare (Gagas Duet dengan Winna Efendi), dan Kynigos. Menyusul Last Minute in Manhattan, Yoana telah menerbitkan novel lain, Pandangan Pertama (2013). 



 




27 March 2013

One Amazing Thing


Posting bersama BBI kategori Sastra Asia Maret 2013



Judul Buku: One Amazing Thing
Pengarang: Chitra Banerjee Divakaruni (2009)
Penerjemah: Sujatrini Liza
Penyunting: Nuraini Mastura
Tebal: 422 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Juni 2011
Penerbit: Qanita

 



Sembilan orang terperangkap di kantor permohonan visa di ruang bawah tanah gedung konsulat India ketika terjadi gempa bumi yang cukup dahsyat. Tujuh orang sedang menunggu visa mereka yang tidak kunjung diselesaikan karena pelayanan yang buruk, sedangkan dua orang lainnya adalah pegawai kantor permohonan visa.

Uma Sinha, perempuan  berdarah India, bermaksud pergi ke Kolkata (Calcutta), India, untuk mengunjungi kedua orangtuanya. Ayahnya telah meninggalkan pekerjaannya di Amerika dan menerima pekerjaan sebagai konsultan di India. Setelah menetap di India, kedua orangtuanya tenggelam dalam gaya hidup hedonis dan ingin putri semata wayang mereka ikut merasakannya.

Jiang, perempuan tua berdarah China, datang dengan Lily, cucunya yang masih remaja dan berpenampilan pemberontak. Jiang hendak mengunjungi Calcutta untuk bertemu Vincent, kakak laki-lakinya, di rumah masa lalu mereka yang ditinggalkan dalam keadaan terpaksa.

Lancelot Pritchett, seorang laki-laki tua kaya, berencana pergi ke India untuk menginap di salah satu istana tua yang telah diubah menjadi hotel. Ia akan berangkat dengan Vivienne, istrinya. Perjalanan ini digagasnya untuk menghibur sang istri yang telah melakukan usaha  bunuh diri dengan menenggak sebotol pil tidur.

Tariq Husein, pemuda India berkulit cerah dan berjenggot, berkeinginan pergi ke Delhi. Di sana ia akan menjumpai gadis yang dicintainya, Farah, gadis India yang sempat tinggal di rumahnya ketika mendapat beasiswa untuk kuliah di Amerika. Karena Farah-lah pemuda temperamental ini memelihara jenggot meskipun saat itu situasi tidak menguntungkan bagi laki-laki Muslim berjenggot setelah peristiwa 11 September.

Cameron Grant, laki-laki kulit hitam berkepala plontos dengan sepasang giwang di telinganya hendak pergi ke India untuk bertemu dengan seorang bernama Sava. Pengidap asma yang pernah bergabung dengan Angkatan Darat Amerika Serikat dan terjun ke dalam Perang Vietnam ini terbiasa menangani kondisi darurat. Dialah yang secara instingtif mengambil kendali sebagai pemimpin.

Dua pegawai kantor permohonan visa adalah Malathi Rawaswamy dan penyelianya, Mr. Mangalam. Malathi adalah perempuan India yang datang ke Amerika dengan tujuan mengumpulkan uang dan bercita-cita kembali ke India untuk membuka salon kecantikan. Ia terpesona pada Mangalam, sekalipun laki-laki India ini masih terikat pernikahan dengan istrinya yang bermukim di India. Mangalam yang berwajah menarik untuk ukuran India memang memiliki kegemaran bermain mata dengan perempuan yang bukan istrinya.

Langit-langit ruangan kantor permohonan visa itu ambruk, palang-palangnya patah, lampu pecah berkeping-keping, reruntuhan berhamburan, dan listrik pun mati. Seakan-akan belum cukup, air tiba-tiba merembes dari tempat yang tidak terdeteksi, yang seiring dengan berlalunya waktu menggenangi ruangan dan merambat naik dalam kegelapan. Kemudian ada mayat jatuh dari lantai atas, kendati tidak semua orang menyadarinya.

Situasi pun berubah kalut, ketika mereka sadar terperangkap dan pertolongan tidak juga datang. Pertengkaran begitu mudah tersulut, apalagi di antara mereka terdapat anak muda berdarah panas. Melihat situasi yang mengarah pada kondisi berbahaya, sebuah ide muncul di benak Uma Sinha.

"Masing-masing kita bisa menceritakan sebuah kisah penting dari kehidupan kita. Setiap orang punya cerita. Aku tidak percaya setiap orang bisa melalui kehidupan tanpa menemukan sedikitnya satu hal yang menakjubkan. " (hlm. 130).

Tidak ada yang ingin kehidupan pribadinya diketahui orang lain, apalagi yang baru pertama kali bertemu. Tapi Jiang bisa menangkap maksud Uma. Dialah yang mengajukan diri untuk menjadi pencerita pertama. Dan setelah dia menceritakan kisah hidupnya beserta satu hal menakjubkan yang terjadi dalam hidupnya, menjadi mudah bagi yang lain untuk mengikutinya.

Ternyata, menceritakan pengalaman hidup khususnya yang telah mengubah kehidupan menjadi pengalih perhatian dari situasi genting yang sedang berlangsung. Selain itu, ketika masing-masing mengungkapkan dengan jujur apa yang dialami dalam kehidupan pribadi, lambat laun tumbuh saling pengertian dan perasaan senasib di antara mereka. Seperti kata Tariq, "Setelah membandingkan ceritaku dengan yang lain, aku bisa menarik kesimpulan ini: setiap orang menderita dengan cara-cara yang berbeda. Sekarang aku tak  merasa begitu kesepian." (hlm. 269).

Aktivitas bertukar cerita ini pun membuat mereka yang memiliki hubungan keluarga menjadi lebih saling mengenal. Apa yang sebelumnya tersembunyi disingkapkan apa adanya. Mengejutkan, mengecewakan, tapi tetap saja menciptakan empati dan keinginan memaafkan.

Lily misalnya tidak pernah mengetahui kalau Jiang sebenarnya menguasai bahasa Inggris karena seingatnya neneknya hanya berkomunikasi dengan bahasa Mandarin. Tapi dengan menggunakan bahasa Inggris Jiang mampu mengajarkannya cara melepaskan masa lalu untuk menyongsong masa depan khususnya dalam hal cinta.

"Kapan itu terjadi? Saat mengingat kembali, aku tak bisa menunjukkan satu waktu khusus dan berkata, Itu dia saatnya! Itulah yang membuatnya begitu menakjubkan. Kita bisa benar-benar berubah, tanpa menyadarinya sendiri. Kita selalu mengira kejadian-kejadian mengerikan telah mengubah kita menjadi batu. Tapi cinta menyisip seperti pahat -dan tiba-tiba menjadi kampak yang mematahkan kita menjadi berkeping-keping dari dalam," kata Jiang (hlm. 170).

Vivienne alias Mrs. Pritchett jelas merasa kecewa karena sebelumnya suaminya tidak pernah berkeinginan berbagi kenangan dengannya. Tapi bagaimanapun, kisah suaminya saat masih bocah membuatnya lebih memahami laki-laki itu. Sungguh sulit bagi Lance untuk  mencintainya dengan cara yang ia butuhkan. Pengakuannya sendiri sudah pasti mengejutkan Lance tapi membuat suaminya itu memahami apa sesungguhnya yang dibutuhkannya.

One Amazing Thing karya Chitra Banerjee Divakaruni adalah sebuah novel inspiratif yang ditulis dengan indah -bahkan setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia keindahannya tetap bisa dipertahankan. Pemilihan dan perangkaian diksi yang tepat menghasilkan kalimat-kalimat yang anggun dan enak dibaca. Pengimbuhan metafora yang segar kian mengikat dalam pembacaan.

Contoh penggunaan metaforanya:

Dia telah memasuki kehidupan Tariq begitu saja, seperti sebuah pisau surat mengiris bawah lipatan penutup amplop, memotong yang sebelumnya terekat rapat, sehingga menumpahkan rahasia di dalamnya. (hlm. 57).

Suara Jiang yang tegas, membicarakan tentang cinta yang kisut dan terbuang seperti selembar surat dengan terlalu banyak kesalahan di dalamnya, tentang keluarga yang tertiup seperti spora di padang pasir dunia... (hlm. 165).

Dalam hal karakterisasi, Chitra tidak perlu diragukan. Setiap karakter dirancangnya dengan baik sehingga akan terasa hidup di dalam benak kita. Meskipun mereka berasal dari berbagai latar belakang kebangsaan -tidak hanya India sebagaimana pencipta mereka, Chitra tidak mengindikasikan kekagokan dalam hal penggambaran asal-usul dan personalitas mereka. Detail-detail kehidupan, perasaan, kenangan, dan impian mereka berhasil dijabarkan dengan memukau.

Seiring pergeseran plot yang dibangun Chitra, kita akan dibawa hanyut dalam situasi yang dialami para karakter novel. Saat gempa terjadi kita akan merasa cemas, dan ketika para karakter bercerita, kita akan dialihkan sementara, sebelum kemudian sadar dan gentar dengan adanya potensi gempa susulan, keruntuhan yang kian gawat, dan tubuh yang pelan-pelan dilahap rambatan air. Seperti para karakter, benak kita akan dikerubuti berbagai pertanyaan terkait apa yang akan terjadi sementara pertolongan seakan-akan tidak akan pernah datang. Situasi begitu mengancam dan menegangkan, tapi bisa dikendalikan dengan baik oleh sang pengarang sampai alinea terakhir yang membuat kita mencelus.

One Amazing Thing sungguh sebuah karya yang menakjubkan dan sulit dihentikan pembacaannya sebelum mencapai halaman terakhir. 





Chitralekha Banerjee Divakaruni
memulai karier penulisannya sebagai penulis puisi dan telah menerbitkan empat kumpulan puisi. Karya prosanya yang pertama diterbitkan adalah kumpulan cerita pemenang American Book Award berjudul Arranged Married (1995). Dia tidak hanya menulis prosa untuk pembaca dewasa, tapi juga remaja dan anak-anak. Trilogi Brotherhood of the Conch yang terdiri dari The Conch Bearer, The Mirror of Fire and Dreaming, dan Shadowland adalah novel-novel untuk remaja. Grandma and the Great Gourd adalah buku bergambar untuk anak-anak pertamanya (2012). Sekarang Chitra menetap di Texas dan mengajar Penulisan Kreatif di Universitas Houston.
25 March 2013

The London Eye Mystery


 
Judul Buku: The London Eye Mystery 
Pengarang: Siobhan Dowd (2007)
Penerjemah: Yoga Nandiwardhana
Penyunting: Primadonna Angela
Tebal: 256 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Januari 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




London Eye atau disebut juga Millenium Wheel adalah kincir observasi terbesar di dunia. Dengan tinggi 135 meter dan roda berdiameter 120 meter, London Eye memiliki 32 kapsul pengamatan di sisi luar lingkarannya. The Eye -demikian julukan bagi London Eye- berputar dengan kecepatan 0,26 meter/detik, dan satu putaran memakan waktu sekitar 30 menit. Kincir yang diresmikan oleh Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, pada 31 Desember 1999 dan baru dibuka untuk publik pada 9 Maret 2000 ini menjadi objek pariwisata terkenal sekaligus ikon London.

Menaiki London Eye adalah kegiatan yang paling disukai Ted Sparks, seorang bocah laki-laki penyandang Sindrom Asperger. Ke sanalah, Ted dan Kat, kakak perempuannya, membawa Salim -putra Bibi Gloria- karena merupakan pengalaman baru baginya.  Tapi saat ketiga anak ini mengantre untuk membeli tiket, seorang laki-laki asing yang mengaku klaustrofobik menawarkan satu tiket gratis. Diputuskan, hanya Salim yang akan naik London Eye, pada pukul 11.32. Sebelum kapsul berpenumpang 21 orang yang dinaiki Salim tertutup, ia tampak berbalik dan melambai kepada kedua saudara sepupunya.

Tiga puluh menit kemudian, pukul 12.02, tatkala kapsul mendarat, pintu terbuka dan para penumpangnya keluar, Ted dan Kat tidak melihat Salim di antara mereka. Salim yang disebut-sebut ibunya sebagai pelawak penuh aksi dan pengagum gedung-gedung tinggi, menghilang. Padahal, Salim dan ibunya hanya singgah di London -dan menginap di rumah keluarga Sparks- dalam perjalanan dari tempat tinggal mereka, Manchester, menuju New York. Mereka akan pindah ke Amerika Serikat karena Gloria mendapat pekerjaan sebagai kurator seni.

Menghilangnya Salim secara misterius, tentu saja, menimbulkan kehebohan di rumah keluarga Sparks. Bagaimana mungkin Salim yang naik London Eye tidak turun? Apa yang sebenarnya telah terjadi?

Ketika polisi pun dibuat bingung, bersama-sama, melupakan sementara ketegangan di antara mereka, Ted dan Kat, memutuskan untuk memecahkan kasus menghilangnya Salim. Ted merumuskan delapan teori mengenai hilangnya Salim dan bertindak untuk menguji kedelapan teorinya.

1. Salim bersembunyi di dalam kapsul.
2. Arloji Ted Salah.
3. Salim keluar dari kapsul, tapi mereka tidak saling melihat.
4. Salim sengaja menghindari Ted dan Kat atau mengalami amnesia (hilang ingatan).
5. Salim terbakar secara spontan.
6. Salim keluar dari kapsul dalam samaran.
7. Salim masuk ke lengkungan waktu sehingga nyasar di waktu lain atau di dunia paralel.
8. Salim keluar dari kapsul bersembunyi di balik pakaian orang lain.

Satu demi satu teori itu dicoret dari daftar, tapi sebelum selesai diuji, Ted menambahkan teori kesembilan. Menurut teori ini, sejak awal Salim memang tidak pernah naik London Eye. Tapi bukankah mereka melihat Salim melambai dan memasuki salah satu kapsul? Ted dan Kat harus berusaha lebih giat, sampai terpaksa berbohong pada ibu mereka, untuk mengikuti semua petunjuk yang mengarah pada keberadaan Salim. 

Mampukah mereka? Dalam kesedihannya, ada optimisme dalam kata-kata Bibi Gloria.  "Kadang aku pikir ada yang lebih dari otakmu itu, Ted, daripada seluruh otak kami disatukan. Kalau saja otak dapat mengembalikan Salim, otakmulah yang mampu melakukannya." (hlm. 157). 

Dan  Bibi Gloria memang tidak salah. Ted Sparks, sang narator orang pertama dalam novel The London Eye Mystery (Misteri London Eye) karya Siobhan Dowd, akan menemukan jalan menuju Salim, pada tendangan kedelapan puluh tujuh ke gudang di kebun belakang rumahnya.

Ted Sparks, tentu saja, merupakan karakter sentral yang paling menarik dan mengundang rasa sayang dalam novel ini. Siobhan Dowd tidak menyebut secara langsung kalau Ted menyandang Sindrom Asperger. Tapi dari penuturan Ted mengenai kondisinya -antara lain kepada Salim- kita bisa memastikan kalau Ted memiliki sindrom yang ditemukan pada tahun 1944 oleh Hans Asperger, seorang dokter anak asal Austria.

"Ada sesuatu di otakku," kata Ted. "Aku bukannya sakit. Atau bodoh. Tapi aku tidak normal. Seolah otak itu adalah komputer. Otakku berjalan pada sistem operasi yang lain dibandingkan orang-orang biasa. Kabel-kabelnya pun berbeda. Karena itu, aku sangat hebat dalam memikirkan fakta dan cara kerja berbagai hal, dan dokter bilang aku berada pada bagian spektrum yang berfungsi tinggi. Tapi aku tidak pandai melakukan hal-hal seperti bermain bola. Olahraga favoritku adalah trampolin. Aku suka melompat di atasnya setiap hari karena itu membantuku berpikir. Sindromku membuatku hebat dalam mengingat hal-hal besar, seperti fakta penting tentang cuaca. Tapi aku selalu melupakan hal-hal kecil, seperti tas olahragaku. Ibuku bilang otakku seperti saringan. Maksudnya banyak hal jatuh melalui lubang-lubang di memoriku." (hlm. 33-34).

Selain Ted, Salim adalah karakter lain yang mengundang simpati. Ia adalah anak semata wayang Gloria dengan Rashid, dokter berdarah India, yang telah diceraikannya. Saat bertemu dengan Ted, bukannya menghina Ted, Salim malah memperlihatkan keakraban dan pemahaman yang manis. Lalu ketika terlibat perbincangan dengan Ted di kamar tidur, ia mengindikasikan empati yang mendalam. 

"Aku tidak suka menjadi berbeda. Aku tidak suka berada di dalam otakku. Kadang rasanya seperti berada sendirian di ruangan luas yang kosong. Dan tidak ada apa pun di situ, hanya aku," kata Ted.

"Aku tahu tempat itu," kata Salim. "Aku di dalam situ juga. Sangat sepi di sana, ya kan?" (hlm. 35).

Lewat novel ini, Siobhan Dowd tidak hanya memberikan pembaca sebuah kisah menarik mengenai pemecahan kasus hilangnya seorang anak menggunakan karakter anak-anak, tapi juga edukasi mengenai anak-anak penyandang Sindrom Asperger. Karena penyandang Sindrom Asperger - seperti pernyataan Ted- memiliki otak aneh yang bekerja dengan sistem yang berbeda dengan orang lain, cara menangani dan menghadapinya tentu saja berbeda dengan orang-orang biasa. Bagi anak-anak penyandang Sindrom Asperger sendiri, kondisi mereka telah menjadi tantangan hidup yang berat. Tidak semua orang bisa menerima mereka dengan baik. Dengan menampilkan Salim yang menganggap Ted keren -belakangan menyebutnya unik- Siobhan Dowd tentunya berharap adanya penerimaan yang sama baiknya dialami anak-anak penyandang Sindrom Asperger di dunia nyata. 

Karena Ted Sparks menyandang Sindrom Asperger, mau tidak mau, novel ini mengingatkan pada novel The Curious Incident of the Dog in the Night-time karya Mark Haddon (2003). Apalagi baik Ted Sparks maupun Christopher Boone dikisahkan melakukan penyelidikan untuk memecahkan sebuah kasus. Tapi kendati sesama penderita Sindrom Asperger, keduanya memiliki cara berbeda mendedahkan kisah. Christopher yang memiliki minat lebih beragam tidak hanya menggunakan kata-kata tapi juga gambar. Ia pun lebih meyakinkan sebagai penyandang Sindrom Asperger ketimbang Ted. (BTW, Siobhan adalah nama salah satu karakter dalam The Curious Incident of the Dog in the Night-time).  Meskipun begitu, hal ini tidak lantas membuat The London Eye Mystery kehilangan daya tariknya. Karena begitu mulai membaca novel pemenang penghargaan NASEN/TES Special Educational Needs Children's Book 2007 ini akan terasa sulit untuk melepaskannya sebelum berhasil ditamatkan. Coba saja!

Ada kekeliruan mengenai London Eye dalam edisi Indonesia ini. Disebutkan bahwa London Eye memiliki dua puluh tiga kapsul (hlm. 7), padahal sebenarnya ada tiga puluh dua kapsul. Setelah membaca bab satu edisi Inggris, baru saya mengetahui kalau kekeliruan ini disebabkan oleh penerjemahnya. 

Kau masuk ke dalam salah satu dari dua puluh tiga kapsul bersama orang lain yang mengantre bersamamu, dan ketika pintu ditutup, suara bising kota tak lagi terdengar.

You are sealed into one of the thirty-two capsules with the strangers who were next to you in the queue, and when they close the doors, the sound of the city is cut off.


Siobhan Dowd (4 Februari 1960 - 21 Agustus 2007) menerbitkan buku pertamanya, A Swift Pure Cry, pada tahun 2006 dan memenangkan Brandford Boase dan Eilis Dillon. Saat meninggal karena kanker payudara  dalam usia 47 tahun, ia telah menyelesaikan dua novel yang belum diterbitkan. Bog Child diterbitkan pada tahun 2008 (dan memenangkan Carnegie Medal), sedangkan Solace of the Road menyusul setahun kemudian. Semua royalti bukunya diberikan pada Siobhan Dowd Trust yang didirikan beberapa saat sebelum ia meninggal. Badan amal ini bertujuan mendukung kesenangan membaca bagi anak-anak berkebutuhan khusus dalam bidang sosial. 












Informasi mengenai London Eye bisa dibaca di sini 

14 March 2013

Paris

 
Judul Buku: Paris
Pengarang: Prisca Primasari
Tebal: x
+
214 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2012
Penerbit; GagasMedia

 




Memanfaatkan Paris sebagai seting utama, Prisca Primasari dalam novelnya yang berjudul Paris menceritakan kisah cinta anak muda asal Indonesia yang menimba ilmu di kota itu.  Aline Ofeli berada di Paris karena kuliah S2 di Sejarah Pantheon-Sorbonne, sesuai dengan keinginan mendiang ayahnya, yang selalu menganggapnya inferior. Ia meninggalkan Indonesia, ibunya, dan mengalami kesulitan beradaptasi di Paris. Sebenarnya ia lebih berbakat menggambar ketimbang belajar sejarah, dan terbukti dengan IP yang tidak pernah bagus. Sambil kuliah, Aline bekerja di Bistro Lombok, restoran makanan Indonesia milik Monsieur Borodin, pria Prancis yang menikahi perempuan Indonesia. Di restoran ini, ia bertemu Putra, pemuda Indonesia yang bekerja sebagai koki. Aline menyukai Putra sejak pertama melihatnya, tapi perasaannya bertepuk sebelah tangan. Putra yang digelarinya Ubur-Ubur tidak menyukainya dan tidak jarang meremehkannya. Yang paling membuat Aline mutung, Putra kemudian memacari Lucie François, gadis Prancis secantik Marion Cottilard, rekan sekerja di Bistro Lombok.

Dalam keadaan patah hati, saat sedang berada di Jardin du Luxembourg, Aline menemukan sebuah porselen yang sudah pecah. Setelah mencoba menyatukan pecahannya, Aline menemukan nama Aeolus Sena dimaktubkan pada porselen itu. Penelusurannya di dunia maya berakhir pada janji untuk bertemu.
 
Anehnya, Sena ingin mereka bertemu di Place de la Bastille -lokasi yang dulunya dijadikan tempat para tahanan menerima hukuman pemenggalan kepala- pada jam 12 malam. Saking penasarannya, Aline setuju dengan janji pertemuan ini. Sayangnya, kendati Aline telah berjibaku melawan rasa takutnya, Sena tidak muncul. Ia baru menampakkan diri pada malam ketiga. Porselen yang ditemukan Aline di Jardin du Luxembourg itu ternyata dibuat oleh Marabel, kakak perempuan Sena yang menikahi pria Prancis.

Aeolus Sena sendiri sudah menetap di Paris selama delapan tahun. Ia pun sudah dua tahun menyelesaikan kuliahnya di jurusan perfilman di Eicar International. Saat ini, bukannya membuat film, Sena mengaku bekerja paruh waktu di tempat reparasi mesik tik. Anehnya, bertahun-tahun menetap di Paris, ia tidak mengindikasikan keakraban dengan kota ini. Tidak kalah anehnya, ia tidak pernah bertemu Marabel yang sama-sama berada di Paris. Mereka hanya berhubungan melalui surel. Setelah bertemu Aline, Sena bersemangat mengunjungi beberapa tempat yang ingin dikunjunginya. Bukan cuma Place de la Bastille, tapi juga Maison Victor Hugo -kediaman pengarang Victor Hugo yang dijadikan museum- dan Cimetière du Père-Lachaise.

Untuk apa yang telah dilakukan Aline, Sena memberikan Aline kesempatan untuk mengajukan tiga permintaan. Diberi kesempatan seperti itu, Aline jadi ingin pulang ke Indonesia, dengan harapan, Sena akan membiayai perjalanannya. Dua tahun bermukim di Paris, tidak pernah bisa membuatnya betah. Tapi bukannya menyanggupi permintaan ini, Sena malah mengarahkan Aline untuk tetap menuntaskan kuliah dan mengundang ibu Aline berkunjung ke Paris dengan biayanya.

Saat berdua akhirnya pergi ke Bistro Lombok, Aline mendapatkan kesempatan mengajukan permintaan kedua. Ia ingin Sena melakukan sesuatu yang akan memisahkan Lucie dan Ubur-Ubur. Meskipun menyanggupi permintaan Aline, Sena merasa perlu mempelajari situasi. Alhasil, ia malah mengecam Aline yang  begitu terobsesi pada Ubur-Ubur. "Pikiran sempit. Nggak percaya diri, tapi sok kuat. Melankolis tidak pada tempatnya. Suka berjibaku pada hal-hal tidak penting," katanya (hlm. 97).

Sebenarnya cerita berpotensi menjadi lebih menarik karena Prisca memunculkan karakter pemuda kedua, Ezra Yoga. Ezra yang bekerja di Musèe de Cluny adalah pemuda Indonesia yang mengambil peminatan yang sama dengan Aline di Pantheon-Sorbonne, setahun di atas Aline. Diam-diam, Ezra mencintai Aline tapi tidak menemukan cara untuk secara langsung menunjukkan kepada gadis itu. Senalah yang menemukan cara paling jitu agar Ezra bisa mengekspresikan perasaannya, dengan kemampuan yang ia miliki. Hal ini dilakukan Sena karena sebenarnya ia memang tidak tertarik pada Aline kendati pernah menciumnya. Sebaliknya, tanpa bisa dikekang, kebersamaan dengan Sena telah memunculkan perasaan cinta di hati Aline. Potensi ini tidak begitu digali oleh Prisca sehingga kehadiran Ezra pun menjadi tidak cukup signifikan.

Selain masalah percintaan dan masalah pribadi Aline, Sena, dan Ezra, Prisca juga menghadirkan permasalahan yang dialami Sêvigne Devereux, sahabat Aline. Sêvigne berbakat membuat vignet tapi tidak dihargai oleh ibunya sehingga nyaris membuatnya putus asa. Menuju ke bagian-bagian akhir novel, Prisca menghadirkan permasalahan lain, yaitu permasalahan yang merundung pasutri Apollinaire dan Nelly Poussin. Semua permasalahan yang dimunculkan Prisca ini mempengaruhi kehidupan karakter utama novel.

Seiring perguliran plot akan muncul pertanyaan demi pertanyaan dalam benak pembaca. Mengapa porselen karya Marabel ditemukan Aline di Jardin du Luxembourg? Apa yang membuat Sena kerap bersikap aneh? Mengapa ia tidak pernah bertemu Marabel, kakaknya, walaupun tinggal sekota? Siapa yang akhirnya menggantikan Ubur-Ubur di hati Aline? Aeolus Sena atau Ezra Yoga?  Jangan lupa, Aline masih menyimpan permintaan terakhir dari tiga permintaan yang disanggupi Sena. Apakah yang akan menjadi permintaan terakhir Aline?

Paris menambah perbendaharaan koleksi novel romantis Indonesia. Tema utamanya tergolong generik, kisah cinta anak-anak muda Indonesia di perantauan. Sebagaimana jamaknya novel romantis, para pencinta ini dipertemukan, berinteraksi, dibubuhi konflik secukupnya, kemudian diberi kesempatan untuk memilih pendamping hidup. Prisca menambahkan konflik yang tidak biasa ke dalam novel ini, menarik tapi sayangnya kurang meyakinkan dan terasa aneh bagi seorang Aeolus Sena yang sudah dewasa. Penuntasan konflik pun terlalu gampang dan tidak menimbulkan sengatan berarti.

Sesuai judulnya, ibukota Prancis itu tetaplah menjadi daya pikat novel ini. Prisca memang tidak lagi mengagung-agungkan Menara Eiffel -yang disebutnya klise, tapi ia tetap memunculkan tempat-tempat yang bisa kita kunjungi saat berada di Paris. Place de la Bastille, Maison de Victor Hugo, Cimetière du Père-Lachaise, Mariage Frères, toko buku Shakespeare and Company, dan Boulangerie Patisserie Beaumarchais. Dengan cukup meyakinkan, Prisca membingkai perjalanan para karakternya melalui tempat-tempat itu.

Hampir semua kisah yang kita baca disajikan dalam bentuk catatan harian, lengkap dengan tanggal dan perasaan Aline -si penulis catatan harian- pada saat ia menulisnya. Setelah kembali ke Indonesia, Aline mengirimkan catatan hariannya kepada Sêvigne Devereux dengan harapan bisa dijadikan vignet atau novel oleh sahabat Prancisnya ini. Aline memiliki bakat menggambar sehingga kemungkinan besar ilustrasi cantik karya Diani Apsari yang bertaburan dalam novel ini dimaksudkan sebagai gambar-gambar buatan Aline. Karena kisah mengenai Aline Ofeli yang kita baca merupakan isi dari catatan hariannya yang dibaca Sêvigne -Prisca memulai dengan kalimat "Sêvigne mulai membuka halaman pertama." (hlm. 3)- semestinya Prisca mengakhiri novel ini dengan mengembalikan ceritanya pada Sêvigne, yang telah menamatkan catatan harian Aline. Tapi anehnya, bukan itu yang dilakukan Prisca.

Paris adalah novel pertama dari proyek kolaborasi GagasMedia dan Bukune, Setiap Tempat Punya Cerita, yang diterbitkan GagasMedia. Seri ini ditujukan untuk memberikan pembaca novel-novel terbitan kedua penerbit ini fiksi dengan pengalaman traveling ke mancanegara. Saat GagasMedia menerbitkan Paris, Bukune menerbitkan Last Minute in Manhattan *) karya Yoana Dianika. Menyusul kedua novel ini, akan terbit Roma (Robin Wijaya, GagasMedia) dan Barcelona Te Amo (Kireina Enno, Bukune).

Paris adalah buku keempat Prisca Primasari yang diterbitkan GagasMedia setelah Éclair, Beautiful Mistake (Gagas Duet dengan Sefryana Khairil), dan Kastil Es dan Air Mancur Berdansa. Ini adalah novel Prisca Primasari yang sudah bisa saya tamatkan, dan dalam waktu tidak terlalu lama. 


*) sedang dibaca 












Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan