Judul Buku: Please Look After Mom (Ibu Tercinta)
Penulis: Kyung-Sook Shin (2008)
Penerjemah: Tanti Lesmana
Tebal: 296 hlm; 13,5 x 20cm
Cetakan: 1, September 2011
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
NAMA: Park So-nyo
TANGGAL LAHIR: 24 Juli 1938 (69 tahun)
CIRI-CIRI: Pendek, rambut keriting beruban, tulang pipi menonjol, terakhir kali terlihat memakai baju warna biru langit, jaket putih, dan rok lipit warna krem.
TERAKHIR TERLIHAT DI: stasiun kereta bawah tanah Seoul
Di stasiun kereta bawah tanah Seoul, mereka bergegas naik gerbong. Tangan Park So-nyo terenggut dari tangan suaminya. Ketika kereta telah bergerak, suaminya baru sadar kalau So-nyo tertinggal. Sang suami kembali ke Stasiun Seoul setelah melewati beberapa stasiun. Tapi So-nyo sudah tidak ada di sana.
So-nyo hilang. Meskipun secara rutin datang ke Seoul, ia tidak mengenal seluk-beluk Seoul. Semakin sulit baginya, lantaran buta huruf. Anak-anak gempar, saling menyalahkan satu dengan yang lain. Mereka lalu mengerahkan segala upaya. Melapor ke polisi. Membagi-bagikan selebaran dengan janji imbalan uang. Menjelajahi berbagai tempat di Seoul. Bahkan, kembali ke tempat ibu mereka tertinggal. So-nyo bagaikan ditelan bumi.
Menghilangnya So-nyo membuka kenangan anggota keluarganya. Penulis memberikan tempat secara khusus kepada Hyong-chol, si anak sulung; Chi-hoon, anak ketiga sekaligus anak perempuan pertama, dan suami So-nyo. Entah kenapa, penulis tidak memberikan kesempatan anak-anak lain membocorkan kenangan mereka kepada pembaca. Selain Hyong-chol dan Chi-hoon, ada tiga anak lain. Anak kedua, seorang laki-laki; anak keempat, seorang perempuan berprofesi sebagai apoteker; dan anak kelima, seorang laki-laki, mempunyai toko pakaian online.
Chi-hoon, si novelis, menjadi bulan-bulanan cerita yang disajikan menggunakan sudut pandang orang kedua dalam bab pertama (Tak Ada yang Tahu) dan epilog (Rosario dari Kayu Merah). Ketika ibunya hilang, Chi-Hoon sedang berada di Beijing. Ia baru tahu ibunya hilang setelah lewat empat hari. Ibu, dalam pandangan Chi-hoon, sudah menjadi ibu sejak lahir. Sebagai ibu, bagi Chi-hoon, sudah menjadi tugas So-nyo mencukupkan kebutuhan keluarga dan mencari solusi bagi setiap permasalahan anak-anaknya. Setelah dewasa dan tinggal di Seoul, Chi-hoon menciptakan keterasingan antara dia dan ibunya. Ia berubah dingin, ketus, dan tidak acuh pada semua keinginan ibunya.
“Nanti, kalau kita sudah menemukan Ibu, aku
akan kawin dengan Yu-bin. Sejak dulu Ibu kepingin aku menikah,” kata Chi Hoon. “Setelah
Ibu hilang, aku baru sadar bahwa semua hal ada jawabannya. Bahwa sebenarnya aku
bisa memenuhi semua keinginannya. Cuma urusan remeh-temeh. Entah kenapa aku
selalu membuat Ibu kesal gara-gara hal-hal seperti itu. Aku juga tidak akan
bepergian naik pesawat lagi.” (hlm. 135).
Menggunakan perspektif orang ketiga pada bab kedua (Maafkan Ibu, Hyong-chol), penulis mengajak kita mengikuti kenangan Hyong-chol, si direktur pemasaran perusahaan pengembang apartemen. Hilangnya Ibu memicu berbagai peristiwa dalam ingatan Hyong-chol, momen-momen tertentu, seperti pintu-pintu yang dihiasi daun mapel itu, yang semula dia pikir telah terlupa dari ingatan (hlm. 124). Ia adalah anak kesayangan ibunya, tapi ia mengecewakan ibunya. Bukannya jadi jaksa seperti keinginan ibunya, ia malah jadi penjual apartemen.
Sekarang Hyong-chol merenung-renungkan hal ini. Sewaktu masih agak muda, Ibu-lah yang terus-menerus menjadi pendorong semangatnya dan meneguhkan tekadnya untuk menjadi seorang laki-laki, dan menjadi manusia (hlm. 112).
Di akhir ketidakbisaan Hyong-chol menemukan sang ibu, penulis menuturkan: “Tak ada hasrat lain di hatinya selain untuk mengurus Ibu baik-baik kalau nanti Ibu diketemukan. Tetapi kini kesempatan itu telah hilang darinya.” (hlm. 142).
Karena cerita kemudian digelontor kembali menggunakan perspektif orang kedua, kita seperti mendengar Ayah sedang didakwa pada bab ketiga (Aku Pulang). “Sejak istrimu lenyap, hatimu seolah-olah akan meledak setiap kali kau teringat langkahmu yang cepat. Kau selalu berjalan di depan istrimu. Kadang-kadang kau berbelok tanpa menoleh ke belakang. Kalau istrimu memanggil-manggil dari jauh di belakang sana, kau menggerundel dan bertanya kenapa dia berjalan begitu lambat.” (hlm. 173). Merenungkan apa yang terjadi di stasiun kereta bawah tanah Seoul, ia sadar kebiasaannya selalu berjalan cepat telah membuat So-nyo tertinggal di stasiun bawah tanah.
Serangkai dakwaan kembali diarahkan padanya. “Sebelum istrimu hilang, kau tidak pernah memikirkan dia dalam menjalani hari-harimu. Kalaupun kau teringat padanya, itu sekadar untuk menyuruhnya melakukan sesuatu, atau untuk menyalahkannya, atau tidak mengacuhnya. Kebiasaan kadang-kadang menjadi sesuatu yang menakutkan. Kau berbicara dengan sopan kepada orang-orang lain, tetapi kepada istrimu kata-katamu selalu ketus. Kadang-kadang kau bahkan memakinya. Kau bersikap seolah-olah sudah diputuskan bahwa kau tidak bisa berbicara baik-baik kepada istrimu. Itulah yang kaulakukan.” (hlm. 150).
“Sebelum kau kehilangan istrimu di peron stasiun bawah tanah Seoul, bagimu dia hanyalah ibu dari anak-anakmu. Dia ibarat sebatang pohon yang kokoh, sampai kau mendapati dirimu berada dalam situasi di mana kau mungkin tidak akan pernah melihatnya lagi –sebatang pohon yang akan tetap di tempatnya, kecuali kalau ditebang atau dicabut dari akar-akarnya. Setelah ibu anak-anakmu hilang, baru kausadari bahwa yang hilang itu adalah istrimu. Istrimu, yang telah kauabaikan selama lima puluh tahun, ternyata hadir di dalam hatimu. Setelah dia hilang, barulah keberadaannya terasa begitu nyata, seolah-olah kau tinggal mengulurkan tangan untuk menyentuhnya.” (hlm. `152).
Sesungguhnya, anggota keluarga tidak begitu mengenal So-nyo. Si apoteker menyampaikan pendapatnya: “Walaupun aku seorang ibu, aku memiliki begitu banyak impian, dan aku masih ingat hal-hal dari masa kecilku, masa remajaku, dan sewaktu aku beranjak dewasa. Tak ada satu pun yang kulupakan. Jadi, kenapa sejak semula kita melihat Ibu hanya sebagai Ibu? Dia tidak mempunyai kesempatan untuk mengejar impian-impiannya, dan seorang diri dia menghadapi segala sesuatu yang ditimpakan zamannya, kemiskinan dan kesedihan; dia tidak bisa berbuat apa-apa tentang beban sangat berat yang mesti ditanggungnya, selain memikulnya dengan tabah, mengatasinya, dan menjalani hidupnya sekuat kemampuan, menyerahkan jiwa-raga sepenuhnya. Kenapa selama ini aku tidak pernah terpikir tentang impian-impian Ibu? “ (hlm. 271). Lalu ia menyimpulkan: “Sungguh tidak adil bahwa selama ini Ibu mengorbankan segala-galanya untuk kita, tetapi tidak seorang pun yang bisa memahami dirinya.” (271).
Sambil bertanya-tanya kemana perginya dua anak laki-laki yang lain (Anda seharusnya juga bertanya-tanya :)), kita dibawa ke hadapan patung Pieta di Basilika St. Peter dan mengetahui, lewat narator orang kedua, salah satu anak berdoa. “Kumohon, kumohon jagalah Ibu” (hlm. 293).
Saat membaca dari bagian pertama hingga bagian ketiga kita akan (pasti!) digedor pertanyaan: apakah Ibu bisa ditemukan? Masuklah ke bagian keempat (Perempuan Lain) yang dinaratori sang ibu, di sana penulis telah menyiapkan jawaban. Namun, epilog tetap mesti dituntaskan karena di sana kita juga akan dihadang sebuah kejutan.
Kyung-sook Shin, penulis Please Look After Mom, adalah salah satu penulis Korea Selatan yang karyanya paling banyak dibaca. Ia menulis novel, cerita pendek, dan karya nonfiksi. Berbagai penghargaan sastra telah ia terima di negaranya. Ia mendapatkan penghargaan Prix de l’Inapercu untuk terjemahan bahasa Prancis novelnya yang berjudul A Lone Room. Pada 15 Maret 2012, ia dinobatkan sebagai perempuan pertama yang memenangkan Man Asian Literary Prize untuk Please Look After Mom. Popularitasnya sebagai penulis yang naik dengan cepat dikenal sebagai Kyung-sook Shin Syndrome.
Ibu dalam Please Look After Mom terinspirasi sosok ibunya sendiri yang bekerja sebagai petani di Chongup. Ibunya ingin ia memiliki kehidupan berbeda dan lebih baik dari ibunya. Pada usia 16 tahun, orangtuanya tidak mampu menyekolahkannya lagi. Kyung-sook dikirim ibunya ke Seoul untuk tinggal dengan kakak laki-lakinya dan bisa melanjutkan sekolahnya.
Membaca Please Look After Mom, bisa dipastikan, kita yang masih punya ibu, akan semakin berempati dan semakin mencintai ibu kita. Sekalipun ibu kita mungkin tidak pernah mengatakan kata-kata semacam yang diucapkan So-nyo ini: “Ibu rasa, menjalani hidup dari hari ke hari saja sudah cukup menakutkan. Yang paling menakutkan adalah kalau sudah tidak ada lagi yang tersisa di dalam pedaringan. Waktu kupikir aku terpaksa membiarkan kalian kelaparan… bibirku menjadi kering ketakutan.” (hlm. 277).
Menggunakan perspektif orang ketiga pada bab kedua (Maafkan Ibu, Hyong-chol), penulis mengajak kita mengikuti kenangan Hyong-chol, si direktur pemasaran perusahaan pengembang apartemen. Hilangnya Ibu memicu berbagai peristiwa dalam ingatan Hyong-chol, momen-momen tertentu, seperti pintu-pintu yang dihiasi daun mapel itu, yang semula dia pikir telah terlupa dari ingatan (hlm. 124). Ia adalah anak kesayangan ibunya, tapi ia mengecewakan ibunya. Bukannya jadi jaksa seperti keinginan ibunya, ia malah jadi penjual apartemen.
Sekarang Hyong-chol merenung-renungkan hal ini. Sewaktu masih agak muda, Ibu-lah yang terus-menerus menjadi pendorong semangatnya dan meneguhkan tekadnya untuk menjadi seorang laki-laki, dan menjadi manusia (hlm. 112).
Di akhir ketidakbisaan Hyong-chol menemukan sang ibu, penulis menuturkan: “Tak ada hasrat lain di hatinya selain untuk mengurus Ibu baik-baik kalau nanti Ibu diketemukan. Tetapi kini kesempatan itu telah hilang darinya.” (hlm. 142).
Karena cerita kemudian digelontor kembali menggunakan perspektif orang kedua, kita seperti mendengar Ayah sedang didakwa pada bab ketiga (Aku Pulang). “Sejak istrimu lenyap, hatimu seolah-olah akan meledak setiap kali kau teringat langkahmu yang cepat. Kau selalu berjalan di depan istrimu. Kadang-kadang kau berbelok tanpa menoleh ke belakang. Kalau istrimu memanggil-manggil dari jauh di belakang sana, kau menggerundel dan bertanya kenapa dia berjalan begitu lambat.” (hlm. 173). Merenungkan apa yang terjadi di stasiun kereta bawah tanah Seoul, ia sadar kebiasaannya selalu berjalan cepat telah membuat So-nyo tertinggal di stasiun bawah tanah.
Serangkai dakwaan kembali diarahkan padanya. “Sebelum istrimu hilang, kau tidak pernah memikirkan dia dalam menjalani hari-harimu. Kalaupun kau teringat padanya, itu sekadar untuk menyuruhnya melakukan sesuatu, atau untuk menyalahkannya, atau tidak mengacuhnya. Kebiasaan kadang-kadang menjadi sesuatu yang menakutkan. Kau berbicara dengan sopan kepada orang-orang lain, tetapi kepada istrimu kata-katamu selalu ketus. Kadang-kadang kau bahkan memakinya. Kau bersikap seolah-olah sudah diputuskan bahwa kau tidak bisa berbicara baik-baik kepada istrimu. Itulah yang kaulakukan.” (hlm. 150).
“Sebelum kau kehilangan istrimu di peron stasiun bawah tanah Seoul, bagimu dia hanyalah ibu dari anak-anakmu. Dia ibarat sebatang pohon yang kokoh, sampai kau mendapati dirimu berada dalam situasi di mana kau mungkin tidak akan pernah melihatnya lagi –sebatang pohon yang akan tetap di tempatnya, kecuali kalau ditebang atau dicabut dari akar-akarnya. Setelah ibu anak-anakmu hilang, baru kausadari bahwa yang hilang itu adalah istrimu. Istrimu, yang telah kauabaikan selama lima puluh tahun, ternyata hadir di dalam hatimu. Setelah dia hilang, barulah keberadaannya terasa begitu nyata, seolah-olah kau tinggal mengulurkan tangan untuk menyentuhnya.” (hlm. `152).
Sesungguhnya, anggota keluarga tidak begitu mengenal So-nyo. Si apoteker menyampaikan pendapatnya: “Walaupun aku seorang ibu, aku memiliki begitu banyak impian, dan aku masih ingat hal-hal dari masa kecilku, masa remajaku, dan sewaktu aku beranjak dewasa. Tak ada satu pun yang kulupakan. Jadi, kenapa sejak semula kita melihat Ibu hanya sebagai Ibu? Dia tidak mempunyai kesempatan untuk mengejar impian-impiannya, dan seorang diri dia menghadapi segala sesuatu yang ditimpakan zamannya, kemiskinan dan kesedihan; dia tidak bisa berbuat apa-apa tentang beban sangat berat yang mesti ditanggungnya, selain memikulnya dengan tabah, mengatasinya, dan menjalani hidupnya sekuat kemampuan, menyerahkan jiwa-raga sepenuhnya. Kenapa selama ini aku tidak pernah terpikir tentang impian-impian Ibu? “ (hlm. 271). Lalu ia menyimpulkan: “Sungguh tidak adil bahwa selama ini Ibu mengorbankan segala-galanya untuk kita, tetapi tidak seorang pun yang bisa memahami dirinya.” (271).
Sambil bertanya-tanya kemana perginya dua anak laki-laki yang lain (Anda seharusnya juga bertanya-tanya :)), kita dibawa ke hadapan patung Pieta di Basilika St. Peter dan mengetahui, lewat narator orang kedua, salah satu anak berdoa. “Kumohon, kumohon jagalah Ibu” (hlm. 293).
Saat membaca dari bagian pertama hingga bagian ketiga kita akan (pasti!) digedor pertanyaan: apakah Ibu bisa ditemukan? Masuklah ke bagian keempat (Perempuan Lain) yang dinaratori sang ibu, di sana penulis telah menyiapkan jawaban. Namun, epilog tetap mesti dituntaskan karena di sana kita juga akan dihadang sebuah kejutan.
Kyung-sook Shin, penulis Please Look After Mom, adalah salah satu penulis Korea Selatan yang karyanya paling banyak dibaca. Ia menulis novel, cerita pendek, dan karya nonfiksi. Berbagai penghargaan sastra telah ia terima di negaranya. Ia mendapatkan penghargaan Prix de l’Inapercu untuk terjemahan bahasa Prancis novelnya yang berjudul A Lone Room. Pada 15 Maret 2012, ia dinobatkan sebagai perempuan pertama yang memenangkan Man Asian Literary Prize untuk Please Look After Mom. Popularitasnya sebagai penulis yang naik dengan cepat dikenal sebagai Kyung-sook Shin Syndrome.
Ibu dalam Please Look After Mom terinspirasi sosok ibunya sendiri yang bekerja sebagai petani di Chongup. Ibunya ingin ia memiliki kehidupan berbeda dan lebih baik dari ibunya. Pada usia 16 tahun, orangtuanya tidak mampu menyekolahkannya lagi. Kyung-sook dikirim ibunya ke Seoul untuk tinggal dengan kakak laki-lakinya dan bisa melanjutkan sekolahnya.
Membaca Please Look After Mom, bisa dipastikan, kita yang masih punya ibu, akan semakin berempati dan semakin mencintai ibu kita. Sekalipun ibu kita mungkin tidak pernah mengatakan kata-kata semacam yang diucapkan So-nyo ini: “Ibu rasa, menjalani hidup dari hari ke hari saja sudah cukup menakutkan. Yang paling menakutkan adalah kalau sudah tidak ada lagi yang tersisa di dalam pedaringan. Waktu kupikir aku terpaksa membiarkan kalian kelaparan… bibirku menjadi kering ketakutan.” (hlm. 277).
0 comments:
Post a Comment