21 April 2012

Lenka


Judul Buku: Lenka
Penulis: Sarekat Penulis Kuping Hitam
Penyunting: A.S. Laksana & Yusi Avianto Pareanom
Tebal: 262 hlm, 14 x 21 cm
Cetakan: 1, Juli 2011
Penerbit: Banana


 



Lenka diawali dengan kematian dan ditutup juga dengan kematian, orang yang berbeda. Hidup ini indah karena ada kematian, begitulah yang dipikirkan satu karakter yang sesungguhnya terkait dengan kematian Lenka. Kematian Lenka yang bernama lengkap Magdalena Anjani Sukmajati ini pun dijuluki kematian yang indah. Itulah sebabnya, kematian digambarkan dengan indah oleh si pembuka cerita:

Lima belas menit lagi kepala indah Lenka akan menghantam lantai dasar Jakarta Art Exhibition Center. Bagian belakang tengkoraknya akan pecah dan darahnya menggenang seperti saus vla merah. Serpihan daging merah jambu dan otak putih keabu-abuan akan bercampur dengan kepingan kecil mengkilap dari patung kristal yang pecah terhantam oleh tubuh Lenka yang meluncur dari lantai lima.” (hlm. 7).

Sarekat Penulis Kuping Hitam* menyebut malam kematian Lenka sebagai “Malam Pesta”. Benar, pada saat Lenka mati, sedang digelar pesta. Tapi karena novel ini semacam perayaan kematian, maka tepatlah menyebut malam kematian Lenka dengan “Malam Pesta”. Dari malam pesta inilah serombongan cerita ditarik, berpilin maju-mundur untuk melengkapi biografi Lenka.

Sebenarnya rangkaian kalimat yang membuka kisah Lenka ini merupakan pengantar yang layak. Kita langsung dijitak dengan berbagai pertanyaan. Siapa Lenka? Mengapa ia mati? Apakah ia dibunuh? Atau bunuh diri? 


Maka nama-nama unik (atau aneh) pun disodorkan. Tiung Sukmajati, ayah Lenka, komposer yang mengagas acara penggalangan dana Pustaka Bunyi Indonesia. Luisa Báthory, istri Tiung yang berasal dari
Csongrád, Hongaria. Pandan Salas, abang Lenka, pecatur genius dengan sederet prestasi mengagumkan. Meimei Pikatan, tunangan Pandan Salas. Amir Sambaliung, politisi yang mensponsori acara Tiung. Liman Pamalayu, konglomerat yang dekat dengan keluarga Sukmajati. Komang Arwasanti, mantan model kenamaan yang dinikahi Liman. Jabar Kamus, wartawan Koran Metro Baru. Helong Lembata, fotografer yang menyebut karyanya sebagai Fotografi Pembebasan.

Mereka semua bisa saja menjadi pembunuh Lenka, si model papan atas Indonesia. Tapi kalau Lenka dibunuh, siapa di antara mereka yang nekat merampas nyawa Lenka? Meskipun AKP Diah Maduratna menyusup ke dalam cerita dan melakukan investigasi terkait kematian Lenka, novel ini bukanlah novel detektif. Dan tanpa mengetahui hasil investigasi pun, pembaca akan menjadi lebih tahu ketimbang Diah.

Sejatinya Lenka adalah kisah orang-orang bermental amburadul. Dan Lenka menempati posisi teratas karena dia yang menjadi penampung keamburadulan mental orang-orang di sekelilingnya.

Tiung Sukmajati, seorang ayah yang gemar memaksakan kehendak. Ia ingin Lenka dan Pandan menjadi musisi seperti dirinya. Tentu saja, kedua anaknya tidak menjadi musisi. Namun, dibandingkan Pandan, jalan yang ditempuh Lenka tidak pernah mendapatkan penghargaan Tiung. Bagi Tiung, model adalah pekerjaan tanpa otak, dan ia tidak pantang mengingat-ingatkan Lenka soal pendapatnya. Sikap Tiung yang tidak menyiratkan figur kebapakan memang bisa ditelusuri dari ayahnya. Sedangkan Luisa yang tidak pedulian dan lebih asyik menghadiri acara-acara para sosialita Jakarta, telah mengalami serangkaian panjang kekerasan mental dan fisik. Setelah jatuh dalam perangkap trafficking dan dipaksa menjadi stripper, ia jatuh dalam perangkap pernikahan dengan Tiung dan sempat kehilangan kewarasan. Pandan Salas, anak sulung Tiung dan Luisa, sejak kecil terpikat pada kekerasan, membunuh banyak hewan peliharaan. Kekerasannya diwujudkan juga dengan menghamili Lenka yang baru berusia 14 tahun. Luisalah yang membawa Lenka ke klinik aborsi untuk mengenyahkan janinnya. 

Setelah menjadi model kenamaan, Lenka tidak hanya dilecehkan di rumah, melainkan juga di luar rumah. Amir Sambaliung, tanpa tedeng aling-aling, menyatakan hasratnya untuk meniduri Lenka. Danny Amsterdam, pemilik agensi model Asia Jewel, tempat Lenka bernaung, mencoba menggagahi Lenka. Seolah-olah apa yang dialami Lenka belum cukup, para penulis mempertemukannya dengan Helong Lembata.

Helong Lembata yang menyatakan dirinya sebagai materialis murni adalah seniman sinting yang terobsesi dengan luka. Sejak kecil ia telah menciptakan banyak luka di tubuhnya. Usaha yang semula ia lakukan untuk mendapatkan perhatian ayahnya berubah menjadi kecanduan yang sukar direhabilitasi. Ia tidak saja membuat Lenka mau disetubuhi, tapi sukses menyeret si jelita ke dalam ambisi gila berkedok Fotografi Pembebasan. Helong membiarkan dirinya ditelanjangi agar luka di sekujur tubuhnya bisa dikagumi Lenka. Lenka terprovokasi, tidak sekadar menciumi ataupun mengigit gurat luka Helong, tapi juga menciptakan luka-luka di tubuh moleknya. Lenka tidak sadar, ia telah terperangkap pusaran manipulasi Helong. Semua foto sadis yang menampakkan luka-luka di tubuh Lenka dijadikan komoditas untuk konsumsi manusia-manusia tidak waras yang tergabung dalam kelompok Ascetic Art.

Pelecehan yang dialami Lenka, apesnya, tidak hanya terjadi semasih hidup. Saat ia mati dan tubuhnya dibongkar di atas meja autopsi, dokter yang menangani autopsi pun melecehkan Lenka.

Tidak hanya dilecehkan. Dalam kematiannya juga, Lenka menjadi sasaran makian. Komang Arwasanti mengatakan: “Perempuan piyik tak punya otak, mati saja nyusahin banyak orang.” (hlm. 14). Sedangkan Tiung, ayah Lenka, menyebut kematian Lenka: Membuat malu nama besar Sukmajati!

Lalu, manakala kita tiba di bagian pengungkapan sebab-musabab kematian Lenka, kita segera disadarkan kalau ada manusia yang tidak pernah menghargai kehidupan. Tapi apa mau dikata? Tidak ada kehidupan beragama di sini. Tidak ada syukur atas kehidupan yang Tuhan berikan.

Ditinjau dari proses kreatifnya, senyatanya, Lenka karya yang unik. Tiga puluh empat bab, dua interlude, dan satu apendiks membangun novel yang digarap oleh 17 orang. Setiap bab digarap satu atau dua orang berdasarkan gagasan semua yang terlibat dalam proyek penulisan novel. Kemudian, garapan 17 orang ini disunting oleh dua orang, A.S. Laksana dan Yusi Avianto Pareanom.

Sarekat Penulis Kuping Hitam yang adalah peserta Bengkel Penulisan Novel DKJ 2008 dan 2009 ini pun bukanlah deretan penulis yang bisa disepelekan. Mereka berkemampuan unggul dalam meramu kata-kata untuk menghasilkan rangkaian kalimat bernas, tajam, dan enak dibaca. Meskipun cerita dalam novel melata-lata ke berbagai penjuru, cara penulisan mereka mampu mengikat perhatian.

Hanya saja, harus diakui, tidak semua gagasan yang digelontor dalam Lenka bisa diterima pembaca. Kematian, kekerasan, pelecehan, dan keamburadulan mental, apalagi terbuhul pada satu orang (gadis remaja pula) bukanlah tema yang sering disukai. Bagaimana pun, novel semacam Lenka, berpotensi membuat pembaca frustrasi atau bahkan, depresi.




* Sarekat Penulis Kuping Hitam: Andina Dwifatma, Apendi, Dini Afiandri, Fanny Fajarianti, Laire Siwi Mentari, Miftah Rahman, Nia Nurdiansyah, R. Mailindra, Regina Kalosa, Reno Puti Bulan, Rizki Amalia, Sitta Taqwim, Sulung Siti Hanum, Utami Diah Kusumadewi, Wahyu Heriyadi, Wiwin Erikawati, Yuki Anggia Putri Ritonga.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan