Judul Buku: Ciuman Di Bawah Hujan
Penulis: Lan Fang
Tebal: 360 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Maret 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Menulis sebuah novel memang tidaklah gampang. Terkadang, untuk mencapai akhir sebuah novel, diperlukan waktu yang lama sekali, bahkan hingga bertahun-tahun sejak penulisan dimulai. Tidak jarang, penulisan sebuah novel menjadi proyek gagal, lantaran susah mencapai garis akhir.
Kesulitan mencapai garis akhir novel itulah yang tampak dalam novel berjudul Ciuman di Bawah Hujan, novel kesembilan dan terakhir dari Lan Fang. “Saya mengalami kesulitan untuk mengeksekusi nasib para tokoh saya,” kata Lan Fang. Ia pun memilih tidak menyelesaikan cerita dalam novel ini. “Tidak menyelesaikan pun itu adalah sebuah penyelesaian,” dalihnya. “Jadi maaf, bila ada yang merasa cerita ini belum selesai…” Ini dapat kita baca di bagian Coda (hlm. 355-356).
Dalih lain bahwa ia mengalami kesulitan karena telah jatuh cinta pada tokoh-tokoh ciptaannya, sesungguhnya tidaklah relevan. Sebab, setelah kita menghabiskan Ciuman di Bawah Hujan, kita akan tahu bahwa cerita dalam novel ini akhirnya kehilangan arah, tidak jelas mau dibawa ke mana. Ada kecurigaan kalau novel ini ditulis dengan sistim kejar tayang layaknya sinetron stripping untuk mengisi halaman Kompas (dimuat secara bersambung pada Oktober 2009-Februari 2010). Sehingga mau tak mau harus ditamatkan, kendati eksekusi yang dilakukan penulis sangat jauh dari memuaskan. Penulisnya sendiri memang bingung, seperti katanya dalam bagian Bebuka: “Begitulah, saya menulis terus tanpa memedulikan apakah saya menulis dengan sadar atau tidak sadar.” (hlm. 9).
Pada bagian-bagian awal novel, yang
setiap babnya diberi judul “Rintik” (Seluruh novel terdiri dari 37 Rintik),
penulis menunjukkan bahwa Ciuman di Bawah
Hujan adalah sebuah novel romantis. Tidak berbeda dengan novel romantis
lain sebenarnya, kecuali latar belakang kehidupan tokoh prianya. Rafi, pria
yang dicintai Fung Lin, seorang politisi, anggota dewan perwakilan rakyat. Memasuki
Rintik demi Rintik selanjutnya, kita mengetahui bahwa penulis memang sengaja mengangkat
dunia politik. Melalui Fung Lin, ia melempar sejumlah prasangka, tuduhan, dan
kecaman kepada orang-orang dalam dunia sok eksklusif ini. Sayangnya, hanya
sebatas itu. Dan saking sibuknya dengan prasangka, tuduhan, dan kecaman, ia
kewalahan menggerakkan tokoh-tokohnya.
Baiklah. Dari namanya, kita langsung mengetahui bahwa Fung Lin adalah gadis keturunan Cina. Keluarganya menjadi korban kerusuhan Mei 1998. Kita bisa menebak bahwa dulunya ia tinggal di Jakarta, lalu setelah kerusuhan itu, pindah ke Surabaya, dan tidak punya pekerjaan tetap. Ketika sedang bekerja sebagai wartawan, ia berkenalan dengan anggota dewan bernama Ari, yang membuka jalan baginya untuk mengenal Rafi. Gara-gara perkenalannya dengan Ari, Fung Lin jadi sering mendatangi gedung dewan. Ia menodong Ari yang luar biasa sibuk untuk membaca calon novelnya, dan karena tidak punya cukup waktu untuk membaca novel, Ari mengoperkan kepada Rafi, teman sesama anggota dewan.
Bagian-bagian novel Fung Lin yang berjudul 1001 Hari Di Hong Kong menyita enam Rintik, tapi sejatinya tidak memberi kontribusi yang signifikan. Setelah Fung Lin kian dekat dengan Rafi, calon novelnya terabaikan dan dilupakan begitu saja. Niat Fung Lin menjadi novelis, sekalipun masih disinggung-singgung sampai novel berakhir, hanya menjadi sekadar jembatan bagi penulis untuk mempertemukannya dengan Rafi.
Fung Lin adalah seorang perempuan pencinta hujan. Semasa kecil, ia senang bermain hujan di belakang rumahnya, dan ini menjadi rahasia Fung Lin dengan Bibi Tua, pembantu di rumah Fung Lin. “Jangan kauceritakan pada siapa pun sampai kau menemukan laki-laki yang juga menyukai hujan,” kata si pembantu (hlm. 204). Padahal, mandi hujan bukanlah suatu rahasia yang luar biasa, kan?
Tanpa mengetahui apakah Rafi menyukai hujan juga, setelah dua kali gagal berhubungan dengan laki-laki, penulis membuat Fun Ling jatuh cinta padanya. Kita pun jadi bertanya-tanya: mengapa Fung Lin jadi tidak konsisten? Bukankah ia sedang menunggu laki-laki yang benar-benar ia tahu menyukai hujan dan mau berciuman dengannya di bawah hujan?
Selanjutnya penulis membuat Rafi peduli pada Fung Lin, dari merasa Fung Lin tidak penting hingga menjadi penting dalam hidupnya. Di sini, penulis mengabaikan latar belakang Rafi, kecuali bahwa dia anggota dewan yang sangat sibuk. Siapakah orangtua Rafi? Apakah ia belum pernah jatuh cinta? Kegiatan apa yang ia lakukan selain kegiatan politik dan ketemu Fung Lin? Jangan harap mendapatkan jawaban pertanyaan-pertanyaan ini. Rafi adalah laki-laki tanpa masa lalu, sedangkan Fung Lin perempuan dengan masa lalu yang sesak dan sarat. Sungguh ganjil untuk sebuah novel yang sebenarnya membuka keleluasaan berekplorasi.
Semakin banyak Rintik, cerita semakin terpuruk. Lalu, pada Rintik yang ke-31, kita diberikan lelucon tentang Depot Lumpur, Ketua Dinar, dan pasukan tikusnya. Menjadi sangat menggelikan ketika di bawah pimpinan Ketua Dinar, serombongan tikus siap mengerikiti tubuh Fung Lin. Tikus yang awalnya diangsurkan penulis sebagai lambang ‘pencuri’ berubah menjadi tikus siluman. Sungguh mengerikan. Ceritanya, bukan tikusnya. Dan seolah belum cukup, penulis menyodorkan cerita sepasang hamster bernama Tatang dan Titin pula. Cape deh.
Satu hal yang sangat dibutuhkan oleh novel ini adalah penyuntingan yang lebih handal. Penyuntingan tidak hanya diarahkan pada kalimat dan kata yang tidak tepat, tapi juga pada sejumlah ‘gangguan’ yang diciptakan oleh penulis. Novel ini menampilkan kebiasaan Lan Fang berpindah POV dengan cara yang janggal. Bahkan, langsung dimulai pada Rintik 1. Ia bercerita menggunakan perspektif orang ketiga dari POV Fung Lin. Tapi ketika sebab musabab kedatangannya ke gedung dewan disampaikan kepada kita melalui aliran kenangan Fung Lin, tiba-tiba cerita beralih ke POV Ari. Kejadian terulang lagi dalam Rintik-Rintik selanjutnya. Pada Rintik 3 misalnya, cerita yang dimulai dari POV Fung Lin, mendadak beralih ke POV Ibu Anto. Sejatinya, jika menggerakkan cerita dari POV orang tertentu, seorang penulis harus tetap setia dan menghindari perpindahan yang sembarangan. Lagipula, setiap Rintik sudah mencantumkan dari POV siapa cerita akan dituturkan (sebagai contoh: Rintik 1 dari POV Fung Lin, Rintik 5 dari POV Ari, dan Rintik 7 dari POV Rafi).
Satu lagi terkait perspektif yang digunakan pengarang. Saya cuplikkan urutan kalimat paling janggal terkait hal ini (hlm. 48).
“Apakah kau sudah bercerita kepada ibumu tentang aku?” tanyanya ragu-ragu. Kalimat ini disusul dengan kalimat: Dan tentang mataku yang lebih kecil? Aku menyambung dalam hati. Kalimat “Aku menyambung dalam hati” lebih tepat kalau menjadi “Ia/dia menyambung dalam hati”.
Saat tiba di Rintik 23, kita juga akan menemukan keganjilan. Sampai di sini, Rafi belum pernah terlibat pembicaraan akrab dengan Fung Lin. Tapi kita bisa membaca kalimat-kalimat yang menunjukkan sebaliknya di sini. “Rafi ingat, Fung Lin pernah mengatakan politisi adalah seniman papan atas yang pandai mencari gara-gara…”, “Menurut Fung Lin, politisi (bisa) berjanji membangun jembatan walaupun tidak ada sungainya…”, “Rafi teringat apa yang pernah dikatakan Fung Lin kepadanya…”.
Dengan novel ini, Lan Fang mencapai angka 9 dilihat dari urutan waktu terbit fiksi dewasa hasil karyanya. Di bagian ‘Tentang Lan Fang’, kita membaca bahwa angka 9 baginya merupakan angka puncak yang memacunya untuk terus berkarya melalui menulis. Selanjutnya disebutkan pula bahwa ia berharap (karena ditutup dengan kata ‘Semoga’) menulis akan menjadi cara baginya berkarya untuk keabadian. Dengan kematiannya pada 25 Desember 2011, ia telah mewujudkan harapannya.
0 comments:
Post a Comment