Penulis : Dalih Sembiring & Abmi Handayani
Tebal : 224 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Maret 2007
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jogja menjadi latar kisah Cha Untuk Chayang, TeenLit karya Dalih Sembiring dan Abmi Handayani. Di dalamnya ada seorang gadis bernama Herlina Salim, seorang pendatang di kota pelajar ini. Karakter ini dibawa dari Balikpapan, lengkap dengan penampilannya yang lugu-lugu cerdas, untuk menjadi mahasiswa Fakultas Hukum UGM. Setelah kehilangan ponsel di bus Jogja yang pengemudinya tak kalah ugal-ugalan dengan pengemudi bus di Jakarta, Lina memutuskan mencari pekerjaan. Secara kebetulan, Bebe's Burger yang baru dibuka membutuhkan karyawan. Maka, pemilik kafe tersebut, Bebe –terlahir sebagai Burhan- menerima Lina untuk menjadi karyawannya. Kebaikan Bebe, sang mbak jadi-jadian, membuat Lina lekas dekat dengannya. Selain Bebe, pekerjaan Lina akan mempertemukannya dengan Imam, koki Bebe's Burger, dua pudel jelita : Zeta dan Lili, dan Eno, si jutek berpenampilan lesbian. Mereka akan menyertai hari-hari Lina bersama Helmi, cowok imut yang mencintai Lina dan Yogi, cowok indie idaman Lina yang sayangnya tidak tertarik padanya. Untuk mendapatkan perhatian Yogi, Lina sengaja bermetamorfosis menjadi seorang cewek pudel yang gemar berdandan seperti kesukaan Yogi yang memang poodleaholic. Selain itu, demi Yogi, Lina belajar membuat bubuk cha latte yang tidak disukainya. Sayangnya lagi, situasi tidak mendukung proses metamorfosisnya. Lina memang menjadi kupu-kupu nan cantik, tapi kehilangan orang-orang terdekatnya.
Cha untuk Chayang, seperti umumnya TeenLit,
tidak menjauh dari dunia remaja kosmopolitan dengan aksesori
pernak-pernik cinta. Di sini kita akan menemukan remaja putri yang jatuh
cinta, melakukan usaha untuk mendapatkan cinta meskipun terpaksa mengenyahkan
kepribadian aslinya. Dengan rancangan kisah seperti ini, awalnya saya hampir kehilangan minat karena terkesan basi. Tapi setelah membaca novel ini sampai tuntas –dalam waktu
yang sangat singkat- saya menemukan ada yang menarik. Pertama, Dalih dan Abmi, bukanlah
pencerita yang bertele-tele. Mereka menggulirkan cerita dengan cepat, cerdas,
dan kocak. Tetap ringan, sekaligus wajar dan tidak mengada-ada. Kedua,
tidak seperti pakem TeenLit umumnya, novel ini tidak hanya berkutat dalam kisah cinta
stereotipikal. Dalih dan Abmi mengangkat topik pengenalan karakter utama terhadap kehidupan dan pada kesadaran bahwa perubahan bisa terjadi asalkan tidak mengorbankan identitas. Oleh sebab itu,
akhir yang dipintal sejoli penulis ini tidak hanya sekadar manis melainkan juga pintar.
Giling, ada jemurannya, bo!
Dalam bertutur, kedua penulis terkadang menyemburkan sindiran. Simak saja percakapan warung kopi (Manut Nite) soal penggunaan bahasa yang terasa ironis. Sekelompok anak muda terdiri atas binan, penggemar pantat bahenol, pencinta ChickLit, dan pelaku seks bebas dengan sok mempreteli penggunaan bahasa. Padahalmereka sendiri yang notabene 'warga' Jogja berbusa-busa menggunakan kata ganti 'gue' dan 'lu'. Saat ini memang Jogja sudah sangat heterogen. Bukan hanya dari segi penduduk, latar belakang sosial, orientasi seksual, tapi juga dari segi bahasa. Toh tetap terasa aneh, di Jogja mendengar anak-anak mudanya bercuap-cuap menggunakan kata ganti 'gue' dan 'lu'.
Hal
menarik lainnya dalam novel ini adalah kehidupan binan Jogja yang dilekapkan dalam plot novel. Kita akan menemukan ungkapan register binan
yang belepotan tapi membuat novel ini terasa semakin hidup. Tidak perlu
khawatir, kedua penulis sebisa mungkin memberikan padanan kata bagi
pembaca yang asing terhadap bahasa binan.
Cha untuk Chayang adalah
novel tentang pendatang di Jogja. Maka, kita akan menemukan cerita
tentang rumah kos, teman-teman kos, tempat mangkal anak-anak kos seperti
angkringan dengan nasi kucing dan kopi jos, burjo dengan beraneka
jualan yang cukup digemari anak muda, juga warung kopi dan Momento yang
menyajikan cha latte. Untuk menyemarakkan Jogja dalam fiksi, ada
Bebe's Burger dengan Embes Bembes Burger andalannya dan sebuah hidangan
bernama Horny Soup (bayangkan saja sendiri seperti apa).
Selain Lina sebagai tokoh sentral, Bebe, sang peri wandu, adalah karakter yang sangat menonjol dalam buku ini. Kehadiran Bebe bukan saja mempercantik cerita, tapi memberi makna bagi keseluruhan kisah. Seandainya karakter Bebe dicopot dan diganti dengan karakter normal yang sangat umum, Kisah Lina, Pudel, dan Cha latte ini akan kehilangan greget.
Secara keseluruhan, Cha Untuk Chayang adalah sebuah TeenLit
yang enak dibaca dan tidak
garing. Cukup bisa membangkitkan energi positif untuk memahami hakikat kehidupan sebenarnya. Bahwa kehidupan tidak melulu berisikan hal-hal yang indah, melainkan juga yang mengecewakan. Karenanya, harus dijalani apa adanya, dengan ketegaran yang disertai keyakinan jika hidup mempunyai metode sendiri untuk memecahkan
masalah.
Bagi Dalih Sembiring dan Abmi Handayani, Cha Untuk Chayang adalah novel pertama yang telah diterbitkan.
Bagi Dalih Sembiring dan Abmi Handayani, Cha Untuk Chayang adalah novel pertama yang telah diterbitkan.
0 comments:
Post a Comment