12 February 2012

Through a Glass, Darkly



Judul Buku: Through a Glass, Darkly
Penulis: Jostein Gaarder (1999)

Penerjemah: Andityas Prabantoro

Tebal: 211 hlm
Cetakan: 1, Desember 2008
Penerbit: Mizan




"Tuhan tidak sampai hati mematikan anak-anak dalam proses penciptaan. Lebih baik mereka tumbuh dewasa dulu. Lebih gampang mengucapkan selamat tinggal kepada dunia saat kau punya setengah lusin cucu dan kau merasa cukup capek dan mengantuk serta jenuh dengan hari-hari"
  
"Anak-anak kadang-kadang mati. Itu tolol, kan?"



Kutipan di atas merupakan bagian dari percakapan dalam novel berjudul Through a Glass, Darkly (Cecilia dan Malaikat Ariel) karya penulis terkenal Norwegia, Jostein Gaarder. Percakapan itu terjadi di antara malaikat Ariel dan seorang gadis cilik bernama Cecilia Skotbu. Dimulai pada Malam Natal ketika Cecilia tidur sendiri di lantai atas rumahnya. 

Bagi Cecilia, Malam Natal tahun ini bukanlah momen yang menyenangkan. Ia sakit kanker dan mesti menjalani kemoterapi yang merontokkan rambutnya. Ia tidak bisa makan dengan enak, lebih banyak berbaring di tempat tidur, membaca majalah Science Illustrated, menghitung cincin-cincin di rel gorden dan kembang-kembang forget-me-not di gorden. Ia berbaring sambil 'melihat' dengan telinganya Natal datang dan keluarganya dibuat sibuk. Ia tidak bisa mengayunkan kaki ke lantai bawah, untuk berdiri di pintu depan mendengarkan lonceng Natal. Ia "benar-benar sakit sampai-sampai Natal terasa bak segenggam pasir yang berguguran dari sela-sela jarinya saat ia tertidur atau setengah tertidur" (h. 12). Sakit membuat emosinya mudah tersulut. Kemarahannya dijelmakan dalam tuntutan hadiah Natal berupa papan ski, sepatu skate, dan toboggan (kereta luncur salju). Padahal ia tidak mungkin bermain ski musim dingin. "Pasti Tuhan tidak mengerti alangkah konyol rasanya sakit pada malam Natal," keluhnya (hlm. 94).

Tengah malam ia terjaga, dan sesosok tampak di pelupuk matanya, duduk di tepi jendela, mengenakan jubah putih panjang, telanjang kaki, tanpa sehelai rambut pun di kepala, mata biru cemerlang bak safir. Sosok itu adalah Ariel, malaikat yang ditugaskan Tuhan untuk menjadi malaikat pendamping Cecilia. Lebih dari 100 tahun lalu, Ariel telah menjadi pendamping seorang anak kecil yang sakit keras. Namun karena masih kecil, Albert tidak bisa berkomunikasi dengan Ariel. Dengan Cecilia berbeda, Ariel mesti menampakkan diri, sebab tujuan kedatangannya adalah untuk menghibur Cecilia. Cecilia adalah seorang anak perempuan yang cerdas, bacaan yang dibacanya membuat ia berbeda dengan kebanyakan anak. 
 
"Ini adalah pertemuan langka antara surga dan Bumi. Aku semestinya memberitahumu banyak sekali rahasia menakjubkan tentang surga. Itu jika kau memberitahu-ku bagaima rasanya terbuat dari darah dan daging." (hlm. 86 – 87) Ariel mengajukan penawaran. Maka, mengalirlah percakapan di antara dua makhluk Tuhan itu. Tentang bagaimana rasanya menjadi malaikat yang abadi dengan segala 'ke-tidak-an' yang dimiliki (seperti, tidak tumbuh, tidak makan, tidak kedinginan, dan tidak bermimpi indah). Tentang malaikat yang menari balet di bulan, bermain lompat-lompatan dari asteroid ke asteroid, dan duduk di atas komet. Tentang bagaimana rasanya menjadi manusia dengan darah dan daging, dewasa dan anak-anak. Tentang indra yang dimiliki manusia. Tentang harapan akan adanya 3 jenis kelamin di dunia (dan tidak hanya 2). 
 
Percakapan mereka berlanjut setelah Natal lewat dan salju belum tandas. Sembari bercakap-cakap, mereka bahkan meninggalkan kamar Cecilia. Tidak sekedar merasakan dinginnya bola salju, tetapi juga melihat bulan di atas salju, bermain ski dan meluncur dengan toboggan. Kemudian setelah itu, tugas Ariel pun berakhir.

Seperti dalam beberapa novelnya, dalam novel ini Gaarder memberikan peran utama kepada anak-anak. Cecilia, yang diciptakannya kali ini, adalah pribadi kanak-kanak yang unik, cerdas, dan kritis. Ariel, sang malaikat, sering terheran-heran mendapati kecerdasan Cecilia yang seharusnya dituntunnya untuk menghadapi realitas hidupnya. Cecilia bukan hanya kritis merespons ucapan si malaikat, tetapi kerap juga menantang dan mengejeknya. Alhasil, novel ini tidak sekadar menjelma novel mengharukan, tetapi juga jenaka. Hanya, seperti dalam Sophie's World, pada titik tertentu, tanya-jawab mereka menjurus membosankan karena terlalu menjalar dan diulang-ulang. Memang ada hal-hal yang bisa membuat pembaca termenung untuk berpikir. Tetapi tujuan kehadiran Ariel untuk mempersiapkan Cecilia 'terbang' ke surga, membuat Cecilia bisa melihat ke balik 'cermin', menjadi kurang terasa. Apalagi Cecilia bukan anak yang gampang dipengaruhi. Ia berani berpendapat dan tidak mudah dipatahkan dengan argumentasi. 
 
Bagi pembaca yang merindukan kekayaan plot, mungkin saja akan kurang menikmati novel ini. Novel alit ini memang miskin plot karena dalam kelangsingannya porsi terbesarnya diambil oleh percakapan Cecilia dan Ariel. Dari percakapan mereka pembaca tidak akan menemukan guliran plot, tetapi taburan filsafat, yang merupakan curahan gagasan Gaarder tentang manusia, Tuhan, malaikat, dan surga. Novel ini memang tidak termasuk jenis fiksi pada umumnya. Tetapi, sama sekali, bukan tidak menarik. Sebab Gaarder juga mahir merajut kalimat indah dan puitis. Mari saya kutipkan kalimat dari Diari Cina, catatan harian Cecilia, yang ditulisnya sehubungan dengan kalung mutiara yang diwariskan neneknya.

"Saat ajal menjemputku nanti, untai mutiara halus keperakan ini akan terberai dan butir-butir mutiara akan terserak, bergulir melintasi negeri ini, dan berlari pulang ke ibu-ibu mereka, tiram-tiram di dasar laut. Siapa yang akan menyelam untuk memungut mutiara-mutiara? Siapa yang akan tahu bahwa mereka adalah milikku? Siapa yang akan mampu menebak bahwa pernah suatu ketika, seluruh dunia bergantung menghias leherku?" (hlm. 121).


Novel berjudul asli I et speil, i en gåte ini telah difilmkan dan dirilis di Norwegia pada Oktober 2008. Filmnya disutradarai oleh Jesper W. Nielsen dengan Marie Haagenrud sebagai Cecilia, Aksel Hennie sebagai Ariel, dan Liv Ullman sebagai nenek. Liv Ullman, aktris legendaris Norwegia itu, memberi komentar, "Kisah ini membuat saya menangis bahagia. Saya bangga menjadi bagian darinya."

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan