Judul Buku: Through a Glass, Darkly
Penulis: Jostein Gaarder (1999)
Penerjemah: Andityas Prabantoro
Tebal: 211 hlm
Penulis: Jostein Gaarder (1999)
Penerjemah: Andityas Prabantoro
Tebal: 211 hlm
Cetakan: 1, Desember 2008
Penerbit: Mizan
Penerbit: Mizan
"Tuhan tidak sampai hati mematikan anak-anak dalam proses penciptaan. Lebih baik mereka tumbuh dewasa dulu. Lebih gampang mengucapkan selamat tinggal kepada dunia saat kau punya setengah lusin cucu dan kau merasa cukup capek dan mengantuk serta jenuh dengan hari-hari"
"Anak-anak kadang-kadang mati. Itu tolol, kan?"
Kutipan di atas merupakan bagian dari percakapan dalam novel berjudul Through a Glass, Darkly (Cecilia dan Malaikat Ariel) karya penulis terkenal Norwegia, Jostein Gaarder. Percakapan itu terjadi di antara malaikat Ariel dan seorang gadis cilik bernama Cecilia Skotbu. Dimulai pada Malam Natal ketika Cecilia tidur sendiri di lantai atas rumahnya.
Bagi Cecilia, Malam
Natal tahun ini bukanlah momen yang menyenangkan. Ia sakit kanker dan
mesti menjalani kemoterapi yang merontokkan rambutnya. Ia tidak bisa
makan dengan enak, lebih banyak berbaring di tempat tidur, membaca
majalah Science Illustrated, menghitung cincin-cincin di rel gorden dan
kembang-kembang forget-me-not di
gorden. Ia berbaring sambil 'melihat' dengan telinganya Natal datang
dan keluarganya dibuat sibuk. Ia tidak bisa mengayunkan kaki ke lantai
bawah, untuk berdiri di pintu depan mendengarkan lonceng Natal. Ia "benar-benar
sakit sampai-sampai Natal terasa bak segenggam pasir yang berguguran
dari sela-sela jarinya saat ia tertidur atau setengah tertidur"
(h. 12). Sakit membuat emosinya mudah tersulut. Kemarahannya
dijelmakan dalam tuntutan hadiah Natal berupa papan ski, sepatu skate, dan toboggan (kereta luncur salju). Padahal ia tidak mungkin bermain ski musim dingin. "Pasti Tuhan tidak mengerti alangkah konyol rasanya sakit pada malam Natal," keluhnya (hlm. 94).
Tengah
malam ia terjaga, dan sesosok tampak di pelupuk matanya, duduk di
tepi jendela, mengenakan jubah putih panjang, telanjang kaki, tanpa
sehelai rambut pun di kepala, mata biru cemerlang bak safir. Sosok itu
adalah Ariel, malaikat yang ditugaskan Tuhan untuk menjadi malaikat
pendamping Cecilia. Lebih dari 100 tahun lalu, Ariel telah menjadi
pendamping seorang anak kecil yang sakit keras. Namun karena masih
kecil, Albert tidak bisa berkomunikasi dengan Ariel. Dengan Cecilia
berbeda, Ariel mesti menampakkan diri, sebab tujuan kedatangannya
adalah untuk menghibur Cecilia. Cecilia adalah seorang anak perempuan
yang cerdas, bacaan yang dibacanya membuat ia berbeda dengan kebanyakan
anak.
"Ini adalah pertemuan langka antara surga dan Bumi. Aku semestinya memberitahumu banyak sekali rahasia menakjubkan tentang surga. Itu jika kau memberitahu-ku bagaima rasanya terbuat dari darah dan daging."
(hlm. 86 – 87) Ariel mengajukan penawaran. Maka, mengalirlah
percakapan di antara dua makhluk Tuhan itu. Tentang bagaimana rasanya
menjadi malaikat yang abadi dengan segala 'ke-tidak-an' yang dimiliki
(seperti, tidak tumbuh, tidak makan, tidak kedinginan, dan tidak
bermimpi indah). Tentang malaikat yang menari balet di bulan, bermain
lompat-lompatan dari asteroid ke asteroid, dan duduk di atas komet.
Tentang bagaimana rasanya menjadi manusia dengan darah dan daging,
dewasa dan anak-anak. Tentang indra yang dimiliki manusia. Tentang
harapan akan adanya 3 jenis kelamin di dunia (dan tidak hanya 2).
Percakapan mereka berlanjut setelah Natal lewat
dan salju belum tandas. Sembari bercakap-cakap, mereka bahkan
meninggalkan kamar Cecilia. Tidak sekedar merasakan dinginnya bola
salju, tetapi juga melihat bulan di atas salju, bermain ski dan
meluncur dengan toboggan. Kemudian setelah itu, tugas Ariel pun berakhir.
Seperti
dalam beberapa novelnya, dalam novel ini Gaarder memberikan peran utama kepada anak-anak.
Cecilia, yang diciptakannya kali ini, adalah pribadi kanak-kanak yang
unik, cerdas, dan kritis. Ariel, sang malaikat, sering terheran-heran
mendapati kecerdasan Cecilia yang seharusnya dituntunnya untuk
menghadapi realitas hidupnya. Cecilia bukan hanya kritis merespons
ucapan si malaikat, tetapi kerap juga menantang dan mengejeknya.
Alhasil, novel ini tidak sekadar menjelma novel mengharukan, tetapi
juga jenaka. Hanya, seperti dalam Sophie's World,
pada titik tertentu, tanya-jawab mereka menjurus membosankan karena
terlalu menjalar dan diulang-ulang. Memang ada hal-hal yang bisa
membuat pembaca termenung untuk berpikir. Tetapi tujuan kehadiran Ariel
untuk mempersiapkan Cecilia 'terbang' ke surga, membuat Cecilia bisa
melihat ke balik 'cermin', menjadi kurang terasa. Apalagi Cecilia bukan
anak yang gampang dipengaruhi. Ia berani berpendapat dan tidak mudah
dipatahkan dengan argumentasi.
Bagi pembaca yang merindukan kekayaan plot, mungkin
saja akan kurang menikmati novel ini. Novel alit ini memang miskin
plot karena dalam kelangsingannya porsi terbesarnya diambil oleh
percakapan Cecilia dan Ariel. Dari percakapan mereka pembaca tidak akan
menemukan guliran plot, tetapi taburan filsafat, yang merupakan
curahan gagasan Gaarder tentang manusia, Tuhan, malaikat, dan surga.
Novel ini memang tidak termasuk jenis fiksi pada umumnya. Tetapi, sama
sekali, bukan tidak menarik. Sebab Gaarder juga mahir merajut kalimat
indah dan puitis. Mari saya kutipkan kalimat dari Diari Cina, catatan
harian Cecilia, yang ditulisnya sehubungan dengan kalung mutiara yang
diwariskan neneknya.
"Saat
ajal menjemputku nanti, untai mutiara halus keperakan ini akan
terberai dan butir-butir mutiara akan terserak, bergulir melintasi
negeri ini, dan berlari pulang ke ibu-ibu mereka, tiram-tiram di dasar
laut. Siapa yang akan menyelam untuk memungut mutiara-mutiara? Siapa
yang akan tahu bahwa mereka adalah milikku? Siapa yang akan mampu
menebak bahwa pernah suatu ketika, seluruh dunia bergantung menghias
leherku?" (hlm. 121).
Novel berjudul asli I et speil, i en gåte ini telah difilmkan dan dirilis di Norwegia pada Oktober 2008. Filmnya disutradarai oleh Jesper W. Nielsen dengan Marie
Haagenrud sebagai Cecilia, Aksel Hennie sebagai Ariel, dan Liv Ullman
sebagai nenek. Liv Ullman, aktris legendaris Norwegia itu, memberi
komentar, "Kisah ini membuat saya menangis bahagia. Saya bangga menjadi bagian darinya."
0 comments:
Post a Comment