Judul Buku: Teman Empat Musim
Pengarang: Ida Ahdiah
Format: 13 x 20, 5 cm
Tebal: vii + 243 hlm
Cetakan: 1, Maret 2010
Penerbit: Bentang Pustaka
Teman Empat Musim bukanlah novel seperti yang tercantum pada sampul belakangnya. Buku ini adalah kumpulan cerpen berlatar Montreal (Quebec, Kanada) yang ditulis Ida Ahdiah. Nama pengarang kelahiran Cirebon ini mungkin belum banyak dikenal, tapi ia telah menulis fiksi sejak awal 1990 dan telah memenangkan lomba penulisan fiksi berupa novelet dan cerpen majalah wanita. Montreal dipilih Ida karena ia pernah menetap di sana sepanjang 2001-2008.
Seperti yang ditulis Ida pada bagian "Dari Penulis", layaknya kota besar lainnya di Kanada, Montreal masih membuka pintu bagi para imigran mancanegara yang ingin menetap dan menjadi warga negara setempat. Ke kota dimana bahasa Prancis menjadi bahasa resmi inilah perempuan berbagai negara datang dengan berbagai sebab. Mengungsi karena konflik atau bencana di negara asal, berimigrasi dengan biaya sendiri untuk mengubah hidup, bekerja sebagai TKW, menuntut ilmu, dan mengikuti suami yang menuntut ilmu atau warga negara Kanada. Ida menggambarkan dirinya sebagai si "aku" yang dengan luwes mudah masuk ke dalam ruang pertemanan dengan perempuan berbagai bangsa, termasuk bangsa sendiri.
Suong, Buopha, Farah, Laetitia, Vaama, dan si Perempuan Pukul 12.00 meninggalkan negara mereka karena perang dan konflik yang berkepanjangan. Suong yang berdarah Vietnam (Suong Memilih Perayaan), salah satu yang lolos sebagai manusia perahu; ia tidak beragama hingga anaknya yang berusia 5 tahun menggugat keberadaannya itu. Boupha (Rahasia Tanggal Lahir Boupha) meninggalkan Kamboja ketika terjadi perang saudara di negerinya dimana Khmer Merah menang, tanpa mengetahui tanggal kelahirannya. Farah (Hidup Farah Patah) meninggalkan Iran bersama suami dan dua anaknya; ketika anak-anaknya sudah besar dan suaminya jarang berada di rumah, ia menjelma menjadi pekerja sebuah bakery yang diceraikan suaminya. Yang paling mengenaskan adalah nasib janda asal Rwanda beranak empat, Laetitia (Laetitia Menangis di Kebun). Ia meninggalkan Rwanda setelah melewatkan peristiwa genosida yang merenggut suaminya dan aksi brutal lelaki Hutu atas dirinya. Seumur hidupnya, ia akan sulit melupakan bayang masa lalunya sebagai perempuan Tutsi. Vaama (Proyek Dua Dolar Vamaa), kasir di sebuah pasar swalayan, menjauh dari Sri Lanka karena letih dengan konflik berkepanjangan antara pemerintah negaranya dengan Macan Tamil. Bak kacang yang tidak lupa akan kulitnya, Vamaa menjadi koordinator untuk proyek kupon dua dolar. Di antara mereka, perempuan penghuni apartemen 1976 tanpa nama asal Kamboja (Perempuan Pukul 12.00) yang paling tidak bisa menghadapi kenyataan. Setiap pukul 12.oo, ia akan berdiri di depan apartemennya untuk berdoa dan mengajak orang bercakap-cakap dengan pembicaraan yang tidak jelas.
Dengan biaya sendiri Lakeesha, Souraya, Miss Coke, Yvone, Glynis, Gitiara, Enza, dan Marites berimigrasi untuk mengubah hidup. Lakeesha (Persinggahan Musim Panas Lakeesha) meninggalkan Jamaika gara-gara kekejaman suaminya. Setelah pensiun ia menjadikan apartemennya sebagai rumah musim panas bagi tujuh anak imigran miskin. Souraya, jelita asal Maroko (Souraya Menyesali Carmina) meninggalkan negerinya bersama suaminya untuk mengadu peruntungan; hubungannya dengan suaminya baik-baik saja, namun membuat Carmina, tetangga apartemen tidak puas. Elba (The End of Elba) meninggalkan impiannya menjadi penyanyi di Brasil dan menyusul suaminya ke Montreal. Kenyataan tidak secantik impian: kembali ke Brasil tanpa suami setelah hanya menjadi pekerja salon dan model pusat perbelanjaan lokal. Magdalena asal Rumania (Sketsa Miss Coke) tidak pernah melewatkan hari tanpa coke. Ia meninggalkan Rumania setelah rezim komunis di negaranya tumbang, kalah dari Nadia Comaneci, pesenam idolanya yang punya nyali untuk menjadikan coke tidak sekadar angan-angan. Pergi jauh dari Trinidad, Yvone (Cinta Senja Kala Yvone) si penggemar Pavarotti terpuruk renta di apartemen kesayangannya. Tidak ada yang lebih menyedihkan baginya dari meninggalkan apartemennya, namun takdir punya rencana sendiri di senjakala kehidupannya. Glynis, guru SD di Grenada (Cinta Glynis Beraroma Alkohol) menyusul suaminya di Montreal hanya untuk menghadapi kenyataan suaminya berubah menjadi pemabuk yang pantas dicampakkan. Sedangkan Gitiara dari Bangladesh (Kucoba Memahami Gitiara) bekerja sama dengan suaminya membuka usaha penyewaan mesin cuci dan memanipulasi para imigran dan pendatang ilegal untuk keberhasilan usaha mereka. Marites asal Filipina (Mimpi Segiempat Marites) mungkin yang bercita-cita luhur di antara mereka. Impiannya tidak banyak, hanya ingin mendekatkan keluarganya yang terserak karena kesulitan ekonomi. Menjadi warga negara Kanada akan membantunya mewujudkan impian ini. Enza, si Ratu Belanja (Enza Membuat Kami Disandera), seolah tidak punya kesusahan hidup. Sebagai perempuan Sisilia, ia menguasai trik mendapatkan barang-barang palsu di China Town New York sekaligus menghindari pajak belanja di Quebec yang mencekik.
Datang ke Montreal dari Grenada awalnya Deborah (Agen Deborah) sebagai TKW, tapi kemudian menjadi agen tenaga kerja ilegal. Selain bekerja under table, Deborah dengan tamak menerima welfare. Sesama TKW adalah Daniela (Daniela yang Modis itu....), perempuan Filipina yang senang bergaya namun tidak punya uang untuk membiayai kesenangannya.
Sari dari Indonesia (Ibu Jarak Jauh Ala Sari) menetap di Montreal untuk kuliah S2. Untuk itu, ia terpaksa meninggalkan anaknya yang belum disapih. Sebaliknya Tuning (Tuning dan Tempe), tinggal untuk menemani suaminya yang kuliah S3. Ketimbang bengong, Tuning membuka usaha pembuatan tempe yang berkembang menjadi terkenal. Berbeda dengan Asnita (Asnita Cha-Cha-Cha....), perempuan Indonesia yang menetap di Kanada karena mengikuti suaminya yang adalah warga negara Kanada. Asnita rela menjadi istri lelaki yang masih berstatus suami perempuan lain dan bekerja ilegal untuk menutupi biaya hidup karena suaminya pengangguran.
Hanya Madelaine (Jejak Dapur Madelaine) pendatang yang berlibur di Quebec. Ia berada di Montreal untuk menghabiskan cutinya bersama kekasihnya yang sedang kuliah sekaligus bertukar rahasia dapur dengan siapa saja yang ia jumpai.
Dari Amerika Serikat, Katie si jangkung (Katie yang Suka Malam Halloween), menyeberang ke Kanada dan mendapatkan kartu permanent residence. Selain Yanni, musisi berdarah Yunani, Katie suka malam Halloween. Pada malam 31 Oktober ini, ia mendapatkan kesempatan untuk tidak dicemooh gara-gara memiliki tubuh setinggi 1,95 cm. Satu harapan Katie adalah bisa menikah dengan pria sejangkung dirinya pada suatu senja menjelang Halloween. Sesama penyeberang dari Amerika Serikat ke Kanada, Shamsie alias Maa (My Awesome Maa by Humera) pergi ke Kanada bersama keluarga Pakistan-nya setelah peristiwa 11 September yang berdampak mengancam keberadaan mereka sebagai pendatang ilegal. Ibu dari pelukis muda Humera ini tidak lulus SMA tapi ingin menjadi desainer interior.
Claire, Alice, dan Veronika bukanlah perempuan-perempuan pendatang. Mereka warga Kanada yang memiliki kepedulian dan kebaikan hati kepada orang asing. Di masa lalu, Claire (Kartu Pos untuk Claire) mengelola foster home untuk anak-anak terlantar, di masa kini, Claire adalah perempuan yang berduka karena Brian, anak imigran Karibia yang pernah diasuhnya, bukannya menjadi pemain basket seperti Kobe Bryant, malah terperosok di dalam penjara. Alice (Katanya Alice Separatis) disebut-sebut sebagai separatis pendukung referendum yang menghendaki Quebec lepas dari Kanada, namun kenyataannya ia merasa cukup menjadi Quebecois dan menyenangkan orang Indonesia pertama yang ia jumpai di negerinya paska tsunami Aceh. Veronika yang berdarah Irlandia (Lotus dan Cinta Dua Perempuan) adalah perempuan dengan keluarga berkulit warna-warni. Ia berkulit putih, suaminya berkulit gelap, anak angkatnya berkulit kecokelatan dan bermata kacang almon.
Kisah para perempuan ini dituangkan Ida Ahdiah ke dalam 26 cerpen yang setiap cerpennya bisa segera dihabiskan sekali baca. Ida tidak berpanjang-lebar dalam cerpen-cerpennya dan tidak mempersiapkan alur untuk dipijak semua karakternya. Ia bertutur bak pendongeng yang membawakan berbagai kisah perempuan tanpa bermaksud masuk lebih jauh ke dalam kehidupan mereka. Si "aku" dalam setiap cerpen memang tampil bagai penonton, selalu irit dalam menyingkapkan diri dan memang tidak pernah menjadi sentral cerita. Yang bisa ditangkap si "aku" yang tinggal di Kanada ikut suami yang kuliah, punya anak laki-laki dan bekerja di day care, adalah Ida sendiri.
Melalui antologi ini, Ida menunjukkan diri sebagai pencerita yang lugas. Semua cerpen mengalir lancar, bersahaja, dan tidak berbelit-belit. Mungkin ada yang akan mengatakan tidak kreatif, namun tidak bisa disangkal kesederhanaan Ida bertutur menjadi kekuatannya.
Dalam kesederhanaannya, Ida tidak pelit. Tidak hanya membuat para tokohnya dekat dengan pembaca, Ida juga berbagi cerita tentang Quebec yang menjadi latar semua cerpennya, agar pembaca merasa tidak terlampau berjarak. Sejarah Quebec, jenis pendatang dan pekerjaan di Quebec, makanan khas cabane, hingga hikayat sirop mapel yang daun tanamannya menjadi lambang bendera Kanada.
Secara keseluruhan, saya suka kumpulan cerpen ini, cara penulisannya yang benar-benar 'cerita pendek', dan tentu saja judul-judul cerpennya yang 'biasa' dan tidak sok puitis.
0 comments:
Post a Comment