Judul Buku: Tanah Tabu
Pengarang: Anindita S. Thayf
Tebal: 240 hlm; 18 cm
Cetakan: 1, Mei 2009
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Anindita Siswanto Thayf berhasil menyingkirkan semua pesaingnya dalam Sayembara Menulis Novel DKJ 2008 dengan novelnya yang bertajuk Tanah Tabu. Ia mencatat kemenangan yang mengesankan karena bertengger sendiri di daftar pemenang, tak tersandingi pengarang lain. Hal ini tentu saja membuat pembaca tertantang mengulik berbagai segi yang membuat Tanah Tabu layak diganjar predikat bergengsi itu.
Tanah Tabu yang dimaksud pengarang adalah Papua. Menurut sang pengarang, Pulau Kepala Burung ini diciptakan Tuhan untuk penduduk asli (Komen)
yang diandalkan menjaga kelestarian ciptaan-Nya. Sejak dulu, nenek
moyang masyarakat Papua telah berkomitmen dengan alam. Mereka hidup
sederhana, mengambil seperlunya dari alam dan mengembalikan sisanya
untuk disimpan sebagai warisan bagi anak cucu. Keperawanan alam Papua
yang penuh pesona mampu membuat yang hidup di dalamnya merasa sedang
berada dalam taman surga dan menikmati asimilasi berbagai warna alam.
"Aku
teringat suatu waktu pada masa lampau manakala semua warna itu menjadi
satu dalam latar hijau yang teduh dan biru yang cerah; cenderawasih
kuning kecil, kakaktua jambul merah, bunga keris berbatang ungu, ikan
arwana bersirip jingga, anggrek hutan berkelopak hitam, dan buah raksasa
berkulit merah, bahkan sekelompok buaya berkulit hijau zamrud yang
sangat memesona. Semua bertumbuh dan bergerak dinamis di tengah alam
yang masih liar. Begitu segar. Penuh pesona dan daya hidup," kenang Pum, narator pertama yang dikenalkan pengarang. "Sempat
pula kuyakin keindahan itu bakal abadi. Terjaga rasa cinta dan syukur
yang besar pada karya Sang Pencipta yang tiada banding. Terlindungi
mimpi-mimpi sederhana dan tidak muluk tentang kehidupan. Namun ternyata
aku salah."
Kedatangan
orang asing merusak komitmen yang dijaga ketat. Kelestariannya
terancam ketika dieksploitasi untuk mendapatkan emas, harta yang tak
bisa dicicipi nikmatnya dengan enteng oleh pribumi. Di tanah leluhur
mereka, banyak Komen hidup sengsara, sementara para pendatang
menancapkan taring otoritas dan memanipulasi kebodohan warga. Taman
surga dan warna-warni cantik yang berpadu serasi pupus. Pum hanya bisa
menikmati warna-warna itu pada pakaian yang dijemur tetangga dan
bendera-bendera partai yang semarak saat pilkada berlangsung.
Sepanjang
hidup, Pum hidup bersama Mabel (Mama Anabel), seorang perempuan Komen.
Mabel memiliki perjalanan hidup yang tidak biasa. Dilahirkan di Lembah
Baliem tahun 1946 sebagai putri suku Dani, pada usia 8 tahun Mabel
meninggalkan kampungnya. Ia menjadi anak piaraan keluarga Belanda yang
saat itu masih bercokol di tanah Papua. Sayangnya, walau cerdas Mabel
tidak beroleh kesempatan mengenyam pendidikan formal. Ketika keluarga
Belanda kembali ke negerinya, Mabel berakhir di Timika. Dua kali
menikah, yang terakhir bubar gara-gara perusahaan emas, Mabel
memutuskan hidup hanya bersama putranya, Johanis, dan Pum, anjingnya.
Ironisnya, untuk bisa menetap di Timika, Mabel yang adalah penduduk
asli Papua, mesti menyewa rumah kepada seorang pendatang.
Di
rumah sewaan itu suatu hari, datang Lisbeth, seorang perempuan
kampung. Lisbeth membawa seorang anak laki-laki 3 tahun dan seekor babi
di dalam noken, serta calon bayi dalam rahimnya. Mabel
menerima Lisbeth (Mace), menyertai perempuan itu ketika kehilangan
anak laki-lakinya dan melahirkan Leksi, seorang anak perempuan.
Hidup
mereka sama sekali tidak diracik dari susu dan madu. Baik Mabel maupun
Mace mesti bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Di dalam
kemiskinan, Mabel tidak ingin Leksi terkungkung kebodohan. Leksi harus
bersekolah, sekalipun untuk membiayainya, Mabel harus membanting tulang
di kebun sewaannya. Maka, ketika perusahaan emas berjanji memborong
hasil kebunnya, Mabel sangat antusias. Sayangnya, hanya sekali membeli,
perusahan emas itu pun mangkir.
Dikecewakan
oleh perusahaan emas, tak membuat Mabel putus asa. Bahkan, ketika ide
demo dicetuskan sesama penjual sayur, Mabel tidak lantas bersetuju.
Bukan berarti Mabel penakut. Namun, baginya, segala tindakan harus
dipertimbangkan, untuk tidak merugikan orang lain.
Tidak
hanya menghadapi amarah warga yang haus demo, Mabel juga harus
berhadapan dengan sesama Komen yang hanya memikirkan kepentingan diri
sendiri dan senang membohongi warga lainnya. Sayangnya, tidak semua
Komen berpihak kepadanya. Kenyataan ini memaksa Mabel kembali merasakan
trauma masa lalu yang belum lagi hilang dari kenangannya. Trauma kepada
arogansi militer yang juga sekian lama menghuni ceruk terdalam benak
Mace.
Selain
Pum yang diperkenalkan sebagai narator pertama, untuk melengkapi
seluruh kisah dalam novel ini, pengarang menambahkan dua narator -Kwee
dan Leksi (Aku). Jika sejak awal Kwee telah memberitahu pembaca bahwa
Pum adalah seekor anjing tua (hlm. 12), identitas Kwee baru terungkap
pada halaman terakhir novel. Meskipun begitu, pembaca sudah bisa
memastikan jika Kwee seekor hewan. Yang jelas, baik Pum maupun Kwee,
adalah hewan-hewan yang dekat dengan kehidupan masyarakat Papua,
terkadang bahkan seperti bagian dari keluarga. Pum, sepanjang hidupnya,
tinggal bersama Mabel, bahkan ketika Mabel meninggalkan Lembah Baliem
dan berpindah-pindah kota (dan naik pesawat terbang?), sedangkan Kwee, sepanjang hidupnya, dekat dengan Mace.
Dari
perspektif kedua hewan yang tidak akur inilah kisah hidup perempuan
tiga generasi–Mabel, Mace, dan Leksi, dikupas tuntas. Tidak aneh,
mengingat mereka menjadi saksi perjuangan hidup keluarga Mabel. Tampil
memukau, tapi menimbulkan sangsi. Pengarang sama sekali tak
mempertimbangkan umur kedua hewan ini.
Dikisahkan
Pum telah hidup berpuluh-puluh tahun dengan Mabel. Padahal, lama hidup
anjing tidak setara hidup manusia. Ada pendapat yang mengatakan jika 1
tahun hidup anjing (tahun kalender) setara dengan 7 tahun manusia.
Pendapat lebih baru menyatakan umur anjing berukuran sedang pada tahun
pertama hidupnya setara dengan 15 tahun manusia, bertambah 9 tahun pada
tahun kedua, setelah itu bertambah 5 tahun setiap tahun. Lama hidup
anjing dipengaruhi berbagai faktor, antara lain jenis kelamin (betina
lebih lama hidup dari jantan) dan ukuran tubuh (ukuran kecil lebih lama
hidup dari yang besar). Anjing tertua yang pernah hidup tercatat
mencapai usia hingga 27 tahun. Nah, berapa umur Mabel? Berapa umur Pum?
Narator anak kecil yang mengisahkan tidak hanya dunia anak-anak tapi juga dunia orang dewasa bukan hal yang baru. The Famished Road (Ben Okri) dan Bright Angel Time
(Martha McPhee) menggunakan anak kecil sebagai narator. Sebagai
narator mumayiz, tidak hanya jenaka, Leksi juga seorang anak yang
cerdas. Di dalam kepolosan, kecerdasannya merekah manakala menghadapi
orang dewasa.
Lewat
novel ini, pengarang menyampaikan realitas kehidupan Tanah Papua yang
kerap terabaikan. Hal-hal yang secara langsung mempengaruhi keinginan
warga Papua termasuk di dalamnya keinginan melepaskan diri dari negara
kesatuan RI. Karakter Mabel bagaikan nurani Tanah Papua sendiri yang
pedih menyaksikan perutnya dieksploitasi untuk keuntungan orang asing,
menyaksikan saudara sesama Papua menjual tanah tabu agar bisa hidup
lebih eksklusif dari warga lain, dan menyaksikan emas di tanah
leluhurnya digerogot namun masih banyak warga Papua hidup dalam
kemiskinan.
Di
tanah nenek moyangnya sendiri, orang Papua masih hidup dalam
penjajahan. Yang menyedihkan, bukan hanya dijajah orang asing yang
memandang mereka bodoh atau militer yang tak pantang menggunakan
tindakan represif. Tapi juga oleh sesama Komen. Perempuan adalah gender
paling menderita. Mereka hidup untuk suami serta mengurus anak, kebun,
rumah, dan babi. Mereka memangkur sagu agar tempat sagu tetap penuh.
Mereka mencari tambahan dana dengan cara membuat noken. Hanya untuk
dijajah para suami yang semestinya memberi mereka pengayoman.
"Salah atau benar, perempuan yang selalu menderita," kata Mabel (hlm. 169). "Sejak
dulu hingga sekarang nasib perempuan tidak berubah. Mereka terlalu
bodoh untuk melawan, dan terlalu takut untuk bersuara. Tertindas di
bawah kaki suaminya sendiri. Seumur hidup menjadi budak, hingga
kematian datang membebaskan mereka" (hlm. 170). Sebagai perempuan
yang paham harkatnya, Mabel memutuskan hidup tanpa suami. Karenanya, ia
merasa sengit jika ada perempuan yang menganggap takdirnya harus hidup
dalam tindakan represif lelaki. Dalam hal ini,
pengarang menghadirkan Mabel bak seorang feminis tapi tanpa sadar
menciptakan bias: seolah-olah semua lelaki Papua bertabiat nista; dari
anak-anak hingga dewasa.
Selain
posisi perempuan, Mabel juga mengecam perusahaan emas yang telah
mengeruk emas Papua tapi mengabaikan kesejahteraan pribumi. Maka, ia
tidak menantang ketika seorang warga mencela dengan keras perusahaan emas yang tidak pernah mau mendengar suara Komen (hlm. 172). Karena baginya sendiri, perusahaan emas inilah yang telah membiakkan berbagai masalah di Papua, termasuk perang suku yang berkobar di Timika.
Puncaknya
adalah kritik Mabel pada partai politik yang doyan obral janji pada
masa pilkada. Begitu terpilih, begitu berkuasa, mereka lupa aspirasi
warga, hidup senang di atas penderitaan warga. Kritik Mabel inilah yang
bersengkarut dengan dendam kesumat Komen yang dikecamnya dan
menggiringnya ke dalam jebak militer.
Bagi
Anindita, perjuangan rakyat miskin selalu menemui jalan buntu. Tidak
ada pamungkas yang optimis bagi perjuangan hidup mereka. Yang ada dan
tersisa hanya satu: mimpi buruk.
Sebagai pengarang dengan track record
yang cukup bagus di ajang lomba menulis (sebelumnya masuk daftar
pemenang 4 lomba menulis), pantaslah Anindita didaulat sebagai Pemenang
1 Sayembara Menulis Novel DKJ 2008. Selain memilih seting Papua yang
langka dimanfaatkan penulis kita, boleh dibilang ia sudah terasah
menghasilkan karya yang ditulis dengan baik. Rangkaian kalimatnya lugas
namun dikomposisi dengan baik, pada banyak tempat sarat dengan makna
yang menggugah. Beberapa istilah Papua dan dialog-dialog berdialek
Papua diimbuhkan, tidak sekadar menghidupkan narasi, tapi juga untuk
menambah rasa 'percaya' pembaca pada setingnya.
Mengangkat
penderitaan warga Papua, Anindita mengindikasikan diri sebagai penutur
kesedihan yang tak kehilangan selera humor. Sebagai contoh, di tengah
kesedihan sirnanya keindahan Papua, lewat mata Pum, ia menyinggung
penurunan kepercayaan masyarakat pada satu partai. Tetangga Mabel
-Helda, bertahun-tahun memakai kaos partai berwarna kuning kendati
warga lain telah mengganti pilihan warna. Mendadak, kaos kuning itu
lenyap dari jemuran. Ternyata, sudah digunakan Yosi, putri Helda, untuk
mengelap kencing adiknya.
Selera humor Anindita terpeleset ketika Mace menanggapi pertanyaan Leksi mengenai alasan Mace tidak menikah lagi (hlm. 46). "Untuk
apa kau berharap ada seorang pace kalau hanya tangan ketiganya saja
yang bisa bekerja. Sementara dua tangan lainnya yang kelihatan hanya
digunakan untuk memegang botol Tomi-tomi atau memukul perempuan."
Tidak
ada seks blakblakan di dalam novel etnografis ini. Tidak ada ayat-ayat
suci didakwahkan di sini. Anindita menepis kedua elemen yang sering
mewarnai dunia fiksi Indonesia ini, sekalipun tidak tertutup peluang
baginya untuk menginjeksikan kedua elemen itu ke dalam plot. Boleh
dibilang, novel sejenis Saman (Ayu Utami), ompong dalam
Sayembara Menulis Novel DKJ 2008. Tahun 2008 adalah tahun realitas
etnis sehingga Anindita berhak menyandang kemenangan.
Salah
satu tradisi menarik Papua yang diangkat pengarang adalah tradisi
membuat noken di kalangan perempuan Papua. Noken adalah tas tradisionil
yang dibawa dengan cara digantung di atas kepala. Noken yang bagus dan
kuat harus dibuat dari kulit kayu atau pelepah sagu. Di dalam noken
inilah perempuan membawa hasil kebun, anak babi, dan anak kecil. Lebih
dari itu, noken adalah lambang kedewasaan perempuan Komen. Perempuan
yang siap menikah adalah perempuan yang sudah mahir membuat noken. Di
dalam novel ini, Mabel menerima permintaan membuat noken dari benang
meski ia tahu gampang putus. Sehingga pada akhirnya, bagi Mabel, noken
tidak hanya menjadi lambang kematangannya sebagai seorang perempuan,
tapi sekaligus sebagai simbol keterpurukannya.
0 comments:
Post a Comment