Judul Buku: Ternyata Aku Sudah Islam
Pengarang: Damien Dematra
Tebal: 238 hlm; 14 x 21 cm
Cetakan: 1, Januari 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Ide penulisan novel ini muncul 18 November 2009 menjelang konferensi pers pembuatan film semi dokumenter mengenai perjalanan Debu, grup musik yang mengusung world music, di Taman Ismail Marzuki. Tidak seperti yang tercantum pada sampul muka, novel ini sebenarnya bukan terinspirasi kisah nyata grup musik Debu, tapi pimpinan grup musik ini, bule bernama Syekh Fataah. Awalnya novel yang oleh pengarangnya dipersembahkan kepada Sunan Bonang ini berjudul Dust on The Road seperti judul filmnya, dalam perkembangannya menjadi Ternyata Aku Sudah Islam. Damien mengerjakan novel ini dalam waktu tujuh hari –yang ia sebut relatif lama, sesudah melalui wawancara yang komprehensif dan riset yang intensif. Hasilnya, kendati ditulis dengan sentuhan dramatisasi, novel ini tetap hadir sebagai memoar, tidak ada konflik menggelitik yang menjadi benang merah novel.
Sejak kecil Andrew Parker senang menjadi orang yang berbeda. Ketika diperkenalkan, anak kedua dari Laurine Parker, seorang janda yang bekerja sebagai penginjil, adalah seorang bocah yang pada hari Minggu lebih memilih nonton televisi ketimbang pergi ke sekolah minggu. Ia tidak pernah dekat dengan kedua saudaranya –sehingga tidak ada pengalaman berkesan dengan mereka yang dituang dalam novel ini. Ia tidak suka: belajar, baca buku, dan olahraga. Walaupun mengaku straight, ia lebih suka berteman dengan perempuan. Salah satu kegemarannya adalah mengagumi pria Sikh dalam film India dengan sorban yang mengundang rasa penasarannya.
Sesungguhnya, Andrew tidak tahu apa yang ia cari dalam kehidupannya. Tanpa tujuan yang pasti, lulus SMA dengan pertimbangan, ia masuk ketentaraan. Tertembak dalam sebuah insiden di Korea Selatan, Andrew kembali ke States. Setibanya di rumah, ia sadar tidak tertarik lagi dengan kehidupan sebelumnya. Ia merasa sudah dewasa dan selayaknya berada di dunia luar. Setelah hampir 4 tahun bekerja sebagai sekretaris ketentaraan, Andrew tidak tertarik lagi berada dalam kemiliteran. Sesuai saran mantan atasannya, ia melanjutkan kuliah di Universitas Portland. Ia belajar bahasa negara-negara Timur Tengah yang saat itu sedang dibutuhkan sebagai dampak melejitnya minyak sebagai bintang utama dalam perekonomian Amerika.
Perkuliahannya tidak berjalan mulus karena ia melibatkan diri dalam berbagai demonstrasi di Los Angeles. Bersama-sama dengan mahasiswa lain ia menentang kebijakan pemerintah mengenai perang Vietnam dan ketidaksetaraan karena perbedaan warna kulit. Di sela-sela aktivitasnya, ia bertemu gadis idamannya, Caleen Hoversfield. Sempat terpisah, mereka bertemu kembali sewaktu Andrew mengurus keikutsertaannya dalam kelas pelajaran Timur Tengah di Universitas Berkeley. Menafikan kuliahnya di Portland, bersama Caleen, Andrew bertualang dengan tujuan bersenang-senang menikmati kehidupan bebas. Baru, setelah hampir 3 bulan dan kehabisan uang, Andrew memutuskan menetap lagi di Portland: belajar bahasa Timur Tengah di Universitas Portland sambil bekerja sebagai petugas kebersihan rumah sakit. Caleen tidak merasa bahagia. Sebagai perempuan antikemapanan dan sangat moody, tinggal di sebuah tempat tidak menjadi pilihan hidupnya. Maka, setelah 2 tahun hidup bersama tanpa terikat pernikahan, mereka pun berpisah.
Kemeranaan ditinggalkan orang yang ia cintai tidak bertahan lama. Menjelang usia 23 tahun, Andrew dikirim universitasnya ke Timur Tengah lantaran kemampuan bahasanya yang menonjol. Kembali ke Portland lima tahun kemudian, ia mengajar di almamaternya. Satu hal tetap mengganjal hatinya: ia butuh cinta. Kebutuhannya terpuaskan sewaktu menemukan Charlotte Emerson, mahasiswi cantik berdarah Indian dengan penampilan seperti model, duduk di dalam kelasnya. Ia jatuh cinta pada kecantikan 17 tahun yang bermata biru dan berambut keemasan. Bahkan, demi cinta, tanpa ragu ia meninggalkan pekerjaannya, menemani Charlotte ke Inggris untuk berjumpa dengan calon suami.
Batal menikah, ditemani Andrew, Charlotte berniat mengunjungi Swedia. Di sebuah persimpangan di Jerman, pilihan lain datang, mereka menuju Turki. Di Istanbul, Andrew mesti berjuang mempertahankan Charlotte yang kecantikannya merenggut perhatian pria Turki. Charlotte lebih memilihnya, kendati keputusan ini tetap tidak menyelamatkan mereka dari kecekakan kantong. Andrew mesti mendapatkan pekerjaan guna membiayai hidup mereka. Sebuah tawaran datang untuk bekerja di Sydney, Australia.
Di Australia, setelah lebih dari 4 tahun, Andrew menemukan kehidupannya dalam keadaan stagnan. Ia punya pekerjaan, demikian juga Charlotte, tapi tidak merasa bahagia. Keinginannya kembali ke Timur Tengah terwujud dalam bentuk tawaran mengajar bahasa Inggris di Teheran, Iran. Charlotte menyusulnya, dan setelah bertahun-tahun kumpul kebo, Andrew mengganjar kekasihnya sebuah pernikahan (yang entah kenapa tidak diuraikan dalam novel ini). Di Iran inilah Andrew mendalami ajaran Sikh dan mulai membaca Al-Quran. Gara-gara minatnya pada ajaran Sikh, ia nekat membawa Charlotte pindah ke India untuk belajar langsung dari para Sikh. Mereka tidak bertahan lama di sana. Charlotte hamil dan ingin melahirkan di Amerika. Belakangan, setelah putri sulung mereka lahir, Andrew menjadi penjual karpet di Kent, Ohio.
Kent tidak menjadi pelabuhan terakhir Andrew. Gagal menjual karpet, ia kuliah lagi di Universitas Portland. Ia mengambil kuliah bahasa Turki, Persia, dan Hebrew. Saat inilah ia terdorong menguasai Al-Quran, dan seperti menemukan apa yang lama dicari, ia menjadi Muslim. "Aku merasa berada dalam sebuah perjalanan jiwa yang sangat panjang sampai tiba-tiba aku menyadari, ternyata aku sudah Islam, " katanya kemudian. Ia pun menuntut Charlotte mengikuti langkahnya. Tanpa mengindahkan keterkejutan istrinya, Andrew mengultimatum: jika menolak masuk Islam, meski sudah beranak dua, mereka akan bercerai. Andrew mengingatkan Charlotte: "Aku memilih Allah di atas semuanya. Aku telah berikrar, dan aku tidak ingin melukai hati-Nya. Pengorbanan yang aku minta darimu bagai sebuah kerikil kecil yang tidak ada artinya. Ia dapat dengan mudah menyingkirkan semua kendala -tapi kau harus mempersilakan-Nya," kata Andrew menegaskan (hlm. 202).
Meskipun hadir lebih sebagai memoar ketimbang novel, Ternyata Aku Sudah Islam ternyata cukup enak dibaca. Damien bertutur lancar, mengalirkan kisahnya dengan cepat seperti film, dan berhasil menghalau lanturan yang tidak perlu. Menambah kemudahan pembacaan, ia menggunakan bahasa yang enteng dan gampang dicerna. Namun, harus diakui, novel ini tetap masih membutuhkan sentuhan penyuntingan yang lebih tangkas agar kemenarikannya tidak tercela oleh hal-hal yang sebenarnya bisa dihindari.
Ada beberapa hal mengganggu yang bisa ditemukan dalam novel, perlu perbaikan ataupun penjelasan. Pada halaman 37 terdapat kalimat mengganggu yang berbunyi seperti: "Ia dan menatap Letnan Eric." Kemudian, sewaktu Andrew dan Charlotte tiba di Turki, Damien menulis: "Turki adalah sebuah kota yang memulai peradabannya ribuan tahun lalu...." Damien pasti tahu Turki bukan kota. Pada halaman 204 muncul nama Huessyn tanpa diperkenalkan sebelumnya. Apakah Huessyn nama panggilan Massoud Assufi? Ada lagi: mengapa Andrew dipanggil dengan nama Dave (oleh Charlotte dan Laurine) atau bergantian Dave dan Andrew (oleh Charlotte)? Yang terakhir, apakah keluarga Attalah yang tinggal di gurun memang sudah lancar berbahasa Inggris sehingga anak-anak Andrew terkesan begitu mudah bersosialisasi dengan mereka? Sebelumnya, Damien tidak menginformasikan jika anak-anak Andrew sudah menguasai bahasa padang pasir.
0 comments:
Post a Comment