Judul Buku: Dear John
Pengarang: Nicholas Sparks (2006)
Penerjemah; Barokah Ruziati
Tebal: 392 hlm; 20 cm
Terbit: Cetakan 1, Juni 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cinta
berarti kau mendahulukan kebahagiaan orang yang kaucintai daripada
kebahagiaanmu sendiri, tak peduli betapa menyakitkan pilihan yang
mungkin harus kauhadapi.
Begitu banyak pengarang yang meyakini bahwa cinta tidak ada matinya. Terbukti dari masa ke masa karya fiksi yang memanfaatkan cinta sebagai materi pokok terus diterbitkan. Dalam berbagai varian, semisal novel dan cerita pendek. Bahkan, ada pengarang tertentu yang menjadikan cinta sebagai spesialisasi. Tidak dapat diungkiri bahwa mayoritas cerita semacam ini didominasi pengarang perempuan. Tengok saja novel-novel romantis Harlequin atau Chicklit yang diterbitkan dalam jumlah besar dengan banyak pengarang.
Nicholas
Charles Sparks meramaikan genre ini dengan kualitas tersendiri. Ia
(tentu saja) lelaki, tetapi tidak kalah dengan pengarang perempuan
dalam memproduksi novel-novel romantis. Setelah sukses dengan novel
pertamanya, The Notebook (1996), ia mengisbatkan diri
sebagai penulis kisah-kisah cinta terlaris di dunia. Menyusul novel
perdananya, ia telah menerbitkan novel romantis sukses lain yang
difilmkan semisal Message in a Bottle, A Walk to Remember, dan Nights in Rodanthe.
Dear
John adalah buku keduabelas Sparks yang telah diterbitkan. Ditulis
menggunakan perspektif orang pertama, novel ini membabarkan kisah cinta
John Tyree, anggota angkatan darat Amerika Serikat. Pada sebuah
liburan musim panas, ia berjumpa Savannah Lynn Curtis, seorang
mahasiswi bertampang menarik. John sedang berada di kampung halamannya,
Wilmington, North Carolina, selama cuti dua minggu dari pekerjaannya
di Jerman. Sedangkan Savannah menghabiskan kesenggangan masa kuliah
dengan melibatkan diri dalam kelompok surarelawan untuk membantu
pembangunan rumah bagi keluarga miskin. Kelompok tersebut digagas teman
sekampung Savannah, Tim Wheddon.
Apakah arti mencintai orang lain dengan sungguh-sungguh?
Itulah pertanyaan yang bergaung di hati John enam tahun sejak pertama
kali mereka bertemu. "Ada suatu masa dalam hidupku ketika aku mengira
aku tahu jawabannya: Itu berarti kepedulianku kepada Savannah jauh
lebih dalam daripada kepedulianku pada diri sendiri dan kami akan
menghabiskan sisa hidup kami berdua. Tidak akan butuh banyak
perjuangan. Savannah sekali waktu pernah berkata kepadaku bahwa kunci
kebahagiaan adalah mimpi-mimpi yang dapat diraih, dan mimpi-mimpinya
sama sekali tidak di luar batas kewajaran. Pernikahan, keluarga...
hal-hal mendasar. Itu artinya aku akan punya pekerjaan tetap, rumah
berpagar putih, dan minivan atau SUV yang cukup besar untuk mengangkut
anak-anak kami ke sekolah atau ke dokter gigi atau mengantar mereka
latihan sepakbola atau resital piano. Dua atau tiga anak, dia tidak
pernah menyatakannya dengan tegas, tapi aku punya firasat bahwa ketika
saatnya tiba, dia akan menyarankan agar kami membiarkan alam
menjalankan tugasnya dan mempersilakan Tuhan membuat keputusan." (hlm.
9).
Cinta
semacam itu tampaknya tidak terlalu muluk, apalagi mereka berjumpa
dalam kegembiraan musim panas yang memberi peluang bermimpi setinggi
langit. Mereka berbagi kisah: kegemaran, keluarga, kegagalan hubungan,
dan impian masa depan. Satu sama lain meyakini telah menjadi hal
terbaik dalam hidup masing-masing. Bagi John, Savannah berperan dalam
mengembalikan keimanannya yang memudar, dan terutama, penerimaan
keadaan ayahnya yang berbeda. Untuk yang terakhir sempat menimbulkan
pertikaian, karena Savannah curiga ayah John mengidap sindrom Asperger.
Bertemu
dan membiarkan cinta berbiak sesungguhnya tidak membuat John
sepenuhnya kehilangan perspektif. "Kami adalah dua orang yang jauh
berbeda. Dia seorang gadis gunung, berbakat, dan manis, dibesarkan oleh
orangtua yang penuh perhatian, dengan hasrat untuk membantu mereka
yang membutuhkan; aku seorang tentara bertato,
keras, dan nyaris seperti orang asing di rumahku sendiri," kata John
(hlm.138). Kesadaran ini tidak mengurungkan hasrat John menghabiskan
masa depan bersama Savannah. Memang musim panas itu tidak berlangsung
selamanya, waktu masih ingin mengeram kemesraan mereka. Sehabis cutinya,
John harus kembali ke Jerman.
Perpisahan tidak menggebah kerinduan, apalagi mereka sudah berniat
menikah bila John mengakhiri tugas. Mereka memutuskan saling mengirim
surat. Savannah-lah yang pertama kali menulis dan memutuskan bahwa
dibanding kontak lewat telepon dan email, surat di kotak surat yang
paling menciptakan kepenasaranan. "Aku suka kejutan menemukan sepucuk
surat di kotak suratku dan kegelisahan yang kurasakan saat bersiap-siap
membukanya. Aku suka karena surat bisa dibawa-bawa untuk kubaca di
waktu luang, dan aku bisa bersandar di pohon dan merasakan embusan
angin di wajahku saat melihat kata-katamu di atas kertas. Aku senang
membayangkan dirimu saat menulisnya: baju yang kaupakai, keadaan di
sekelilingmu, caramu memegang bolpoin. Aku tahu ini klise dan mungkin
tidak benar, tapi aku selalu membayangkan kau duduk di dalam tenda
menghadap meja darurat, dengan lampu minyak menyala di sampingmu
sementara angin bertiup di luar. Itu jauh lebih romantis daripada
membaca sesuatu di mesin yang juga kaugunakan untuk mengunduh musik dan
riset makalah," kata Savannah (hlm.207).
Surat
yang datang dan dikirim secara rutin memang mujarab meminimalkan
jarak. John sekali pun tidak menyangsikan bahwa Savannah mencintai dan
menyayanginya. Meskipun
demikian, keyakinan ini tidak menumpulkan kesadaran John bahwa cinta
dan sayang dalam hubungan mereka sejatinya belum mencukupi. "Kedua
hal tersebut adalah batu bata dalam hubungan kami, tapi tidak akan
stabil tanpa lapisan semen berupa waktu yang dilewatkan bersama, waktu
tanpa ancaman perpisahan yang membayangi." Tidak mengherankan jika
sesaat ia sempat berpikir: "Hubungan kami mulai terasa bagai gerakan
memutar mainan gasing anak-anak. Saat kami bersama, kami punya kekuatan
untuk menjaganya terus berputar, dan hasilnya adalah keindahan,
keajaiban, dan rasa takjub yang nyaris seperti pesona kekanakan; saat
kami berpisah, putarannya tanpa dapat dicegah mulai melambat. Kami
menjadi terhuyung-huyung dan tidak stabil, dan aku tahu aku harus
mencari cara agar kami tidak roboh ke tanah."(hlm. 249-250).
Menghitung
mundur hari-hari yang tersisa sebelum meninggalkan angkatan darat
mungkin menjadi cara tercespleng. Kekuatiran John akan hubungan mereka
menjadi terasa kurang beralasan. "Aku yakin tidak ada hal di dunia yang
dapat mencegah kami untuk bersama," kata John (hlm. 250). Namun, itu
sebelum 11 September 2001. Kala menyaksikan keruntuhan Menara Kembar,
tidak bisa dicegah lagi, gelombang patriostisme menguasai John. Rencana
pengunduran diri dibatalkan. John mendaftar ulang untuk masa tugas dua
tahun dan dikirim ke Irak. Ia percaya Savannah memahami keputusan yang
diambilnya sampai surat-surat yang selalu dimulai dengan "Dear John"
itu berkurang. Keretakan tak bisa diatasi, dan di tengah kemencekaman
suasana konflik, John menghadapi kenyataan surat Savannah tidak akan datang lagi.
Apa sebenarnya arti cinta sejati? Pertanyaan
itu kembali bergaung sebelum novel berakhir. John akhirnya menemukan
jawabannya pada kunjungan ketiga di kampung halaman Savannah. "Aku
menjual koleksi koin ayahku karena akhirnya aku mengerti apa
sebenarnya arti cinta sejati.... Cinta berarti kau mendahulukan
kebahagiaan orang yang kaucintai daripada kebahagiaanmu sendiri, tak
peduli betapa menyakitkan pilihan yang mungkin harus kauhadapi." (hlm.
385-386). Lalu, apa hubungan menjual koin koleksi ayah John dengan
cinta sejatinya? Anda harus menemukan sendiri!
Novel
ini sekali lagi menjadi bukti kepiawaian Nicholas Sparks merakit kisah
cinta yang mampu mengharu-birukan hati pembaca tetapi tidak sampai
banjir bandang airmata. Kisah cinta John dan Savannah dilarungnya dalam
aliran plot yang bergerak perlahan tetapi tak sempat terkendala
lanturan menuju akhir. Narasinya lepas dan pada tempat-tempat tertentu
sangat mengevokasi. Selama membaca, saya tidak pernah sempat berpikir
untuk meninggalkan novel ini sebelum kalimat penutup.
Melalui
novel ini Sparks tidak hanya mendefinisikan arti cinta sejati
lelaki-perempuan, tetapi juga antara orangtua, yang diwakili ayah,
dengan anak. Sparks menggambarkan John yang hampir terlambat menyadari
cintanya pada ayahnya. Padahal jelas, ketersinggungannya atas
kecurigaan Savannah jika ayahnya mengidap sindrom Asperger sesungguhnya
merupakan wujud cintanya. Mereka memang bertolak belakang. Ayahnya
pasif dan suka menyendiri; pada sebagian besar malam dalam hidup John,
ketimbang bercengkerama bersama, ayahnya lebih memilih menekuni koleksi
koinnya. Tidak terhindarkan lagi, John menganggap koin-koin itu telah
memberi kontribusi negatif pada hubungan mereka. Ia pun meninggalkan
kegemaran mengoleksi koin sebagai bentuk pemberontakannya. Bahkan,
menjadi tentara merupakan kulminasi pemberontakannya, konfrontasi atas
kehendak ayahnya agar masuk universitas. Bergaul dengan Savannah
mencelikkan John: kalau orang lain menyayangi ayahnya, bagaimana
mungkin dirinya tidak?
Setelah
membaca novel ini, pertanyaan yang mungkin menyeruak dalam pikiran
pembaca adalah: manakah yang lebih penting, cinta pada kekasih atau
cinta pada negara? Bagi sementara orang, cinta pada kekasih mungkin
yang terpenting, tetapi rupanya bagi Sparks, cinta pada negara
menempati posisi di atasnya. Bukankah ini bentuk cinta sejati yang
lain?
Omong-omong,
novel ini telah difilmkan oleh sutradara Lasse Hallstrom dengan dua
pemain utama, Channing Tatum sebagai John dan Amanda Seyfried sebagai
Savannah (2010).
Mungkin, inilah yang ikut mendorong penerbitan edisi Indonesia novel yang
diterbitkan pertama kali tahun 2006. Namun harus diakui, edisi
Indonesia ini sama sekali tidak mengecewakan, karena diterjemahkan
dengan tingkat keterbacaan yang tinggi.
0 comments:
Post a Comment