Pengarang: Oka Rusmini
Tebal: iv + 460 hlm; 14 x 21 cm
Cetakan: 1, 2010
Penerbit: Grasindo
Sebuah karya fiksi seperti novel memang dihasilkan dari paduan narasi, deskripsi, dan dialog yang dijalin berkelindan menjadi satu. Tanpa dialog atau miskin dialog, sebuah karya fiksi akan berat dibaca. Tetapi, karya fiksi dengan dialog yang kaya raya ternyata berdampak sama. Inilah yang dapat dirasakan ketika membaca novel bertajuk Tempurung karya Oka Rusmini.
Padahal sesungguhnya, Tempurung bermuatan tema yang cukup menarik meskipun tidak baru, yang dibuhul dengan satu keyakinan bahwa: menjadi perempuan itu tidak gampang. Novel ini merupakan kompilasi sejumlah kisah, sejumlah kenangan dari sejumlah perempuan, yang permasalahan kehidupan mereka, tidak saling bersimpul. Bagaikan berada dalam satu perbincangan, para pelakunya dengan mudah berbiak dan membiakkan ceritanya, setelah dipicu tokoh utama yang mewakili realitas masa kini.
Novel dimulai dari perspektif orang pertama, yaitu dari perempuan pengagum bunga kecombrang –bunga berbentuk kelamin lelaki, yang dipanggil Dayu, singkatan dari Ida Ayu. Ia terlahir dari keluarga berkasta Brahmana, sulung dari dua bersaudara, mengalami masa kecil yang buruk; orangtuanya bercerai –ayahnya sibuk sebagai tentara yang selalu bertugas keluar daerah dalam waktu yang lama; ibunya lari dengan laki-laki lain. Dayu kemudian tinggal bersama ayahnya yang menikah lagi dan tidak mendapat perlakuan pantas dari ibu tirinya. Setelah dewasa, ia menikahi seorang penyair Islam, yang mengakibatkan ia dibuang keluarga besarnya. Tetapi ia tidak peduli, sebab baginya: cintaku lebih besar dari sebuah martabat. Oka Rusmini tidak memberikan nama untuk Dayu karena sangat mungkin, Dayu adalah Oka Rusmini sendiri, yang berasal dari keluarga Brahmana dan bernama lengkap Ida Ayu Oka Rusmini. Oka Rusmini, sulung dari dua bersaudara, sempat tinggal dengan ayahnya setelah orangtuanya bercerai, dan dibuang keluarganya karena menikahi laki-laki di luar kasta dan agamanya (Islam), seorang penyair.* Sebetulnya, Dayu bukanlah satu-satunya yang memberontak dari cengkeraman perkastaan. Saudara misannya, Jelangga, tidak hanya menikahi lelaki bukan sekasta, tetapi juga mengikuti agama lelaki tersebut.
Kendati telah meninggalkan griya, pemilik warung di komplek perumahan tempat Dayu tinggal, Ni Luh Putu Saring alias Bu Barla, tetap menyapanya sesuai karat kebangsawan yang telah ia kikis. Perempuan bertubuh tambun ini memiliki kisah kehidupan yang tidak mudah. Kematian orangtuanya membuatnya bertekad: aku sendiri yang harus bertanggung jawab pada hidupku (hlm. 47). Semangat hidupnya menyala saat semasa sekolah ia bertemu Barla. Ia berhasil menikahi Barla setelah calon istri Barla, Luh Putu Swandewi, mati bunuh diri. Sayangnya, Barla tidak berminat membiayai kehidupan rumah tangganya, maka Saring pun membuka warung. (Sebelumnya disebutkan bahwa Saring kuliah apoteker, apakah ia berhenti setelah menikahi Barla?). Lalu, setelah punya dua anak laki-laki yang bisa bersekolah hingga universitas, Barla memproklamasikan perselingkuhannya. Apa yang dilakukan Barla, sudah diduga sahabat Saring, Glatik.
Nih Luh Nyoman Glatik dirumorkan telah membunuh ayahnya, seorang lelaki penggemar burung. Ayahnya mengoleksi banyak burung, setiap hari pekerjaannya hanya merawat burung. Ia tidak peduli rumahnya yang penuh kotoran burung merenggut satu demi satu nyawa perempuan-perempuan dalam keluarganya. Setelah tinggal dirinya yang tersisa, Glatik membenci ayahnya, membenci segala macam burung, membenci lelaki yang tubuhnya menjijikkan seperti tubuh burung. Suatu hari, ayahnya yang punya simpanan dan doyan adu ayam ini mati, membusuk terbungkus burung-burung piaraannya di sebuah sumur tua. Glatik diduga membunuh ayahnya, tetapi kenihilan bukti meloloskannya dari pukat hukum. Pengalaman hidupnya membuat Glatik bersiteguh bahwa, "Dalam wujudku sebagai perempuan, sudah lengkap. Ada tubuh lelaki ada tubuh perempuan, mereka telah bersatu, menjadi aku. Aku tidak memerlukan tubuh lelaki, makhluk itu ada hanya membawa kesialan! Sejarah hidupku mencatatnya dengan rapi. Di otakku banyak pengalaman buruk tentang mereka!" (hlm. 53).
Kisah Bu Barla dan Glatik diurai pengarang dalam bagian pertama novel, Penjaga Warung. Bagian kedua, Tuhan Untuk Lelaki, memunculkan perempuan yang tidak tersentil pada bagian sebelumnya.
Maya Rosaline Courtemein adalah sahabat Dayu –Oka Rusmini- yang menikahi lelaki tua asal Swiss kemudian bermukim di Swiss. Karena takut melahirkan bayi cacat, sewaktu hamil, Maya menggugurkan kandungannya. Agaknya, walau tidak disebut pengarang, sikap Maya terpengaruh keadaan adiknya, Sarah Magdalena Courtemein, yang tidak waras sejak lahir. Maya ragu Courtemein ayahnya, meskipun ibunya, Ida Ayu Made Pidagda, telah mencoba meyakinkannya.
Sesungguhnya, Pidagda –yang lebih senang dipanggil Patricia (hlm. 78, dan pada hlm. 448 menjadi Patria saja) adalah seorang pelacur. Kekayaannya diperoleh dari menjajakan tubuh, terutama kepada bule-bule yang mau memeliharanya, termasuk Courtemein. Menjelang akhir novel, terjadi inkonsistensi, pengarang mengatakan bahwa Pidagda adalah perempuan brahmana yang berani menentang orangtuanya untuk menikahi lelaki asing (hlm. 456). Pidagda bernasib malang, ia mati, dan menurut abdi setianya –Sipleg, bunuh diri karena tidak bahagia. (Hal ini tidak sinkron dengan peristiwa kebakaran yang terjadi di akhir novel; mana mungkin Dayu tidak tahu peristiwa kebakaran rumah Pidagda dan tidak pernah menyinggungnya sebelumnya).
Luh Sipleg adalah gambaran perempuan Bali kuno; kuat namun tidak bisa membaca dan menulis. Ia akan tampak cerdas kala bercerita menggunakan bahasa Bali. Sipleg berasal dari keluarga miskin dengan ibu yang terus-menerus melahirkan anak sampai rahimnya rusak. Ni Nyoman Songi, sang ibu, membiarkan semua anak perempuannya mati, kecuali Sipleg yang tidak mau mengalah. Tindakan Songi merupakan bentuk pemberontakan kepada I Wayan Sager, suaminya, yang memandangnya sebagai perempuan sial karena tidak bisa melahirkan anak lelaki. Sager yang suka menyiksa istri, berjudi, dan adu ayam tanpa diketahui orang, telah memerawani Sipleg. Pada umur enam belas tahun, Sipleg dijual kepada Wayan Payuk, lelaki sedesa bertabiat pasrah, sebagai pembayar utang ibunya. Karena bertekad melawan alam, Tuhan, dan takdir, kendati sedang hamil, Sipleg tetap bekerja di sawah. Malangnya, Sipleg melahirkan kembar buncing –kembar lelaki dan perempuan, yang secara tradisi dipandang membawa petaka.
Nih Luh Songi dijual bapaknya saat mendapat haid pertama. Kecantikannya diperas untuk memperkaya keluarga. (Pertama pengarang mengatakan Songi dijual bapaknya untuk menghidupi keluarga bapaknya yang suka kawin, belakangan disebut dijual Rimpig untuk memperbaiki hidup). Tidak heran, Ni Luh Wayan Rimpig, ibunya, geram ketika Songi menikahi Sager. Kemarahannya pada Sager harus ia tebus dengan nyawanya; ia ditemukan mati tergantung, mengikuti suami dan kedua anaknya yang tewas dibunuh. Semua orang mencurigai Sager otak di balik rangkaian kematian keluarga istrinya. Menjadi perempuan memang susah, kata Rimpig (hlm. 127).
Arsiki, adalah perempuan malang terakhir yang dikisahkan dalam bagian Tuhan Untuk Lelaki. Dayu bertemu dengannya saat mewawancarai seorang cenayang, Jeng Linda. Ni Made Arsiki hidup nyaman hingga rumah keluarganya disita gara-gara utang ayahnya, kemudian ayahnya menghilang, melepas tanggung jawab pada keluarganya. Untuk menopang keluarganya, Arsiki bekerja sebagai SPG sebuah produk kosmetik. Ia bertemu dan menikah dengan I Wayan Jagra, seorang lelaki kaya. Sayangnya, hidupnya tidak selalu diracik dari susu dan madu. Anak lelakinya Made, mati terbakar. Suaminya, yang punya istri lain di luar negeri, dibunuh. Putrinya, Putu, menjadi lesbian.
Rosa Carmelita, muncul di bagian ketiga novel, Rumah Perkawinan. Sebenarnya Rosa perempuan Indonesia asli, tetapi besar di Prancis. Ia tumbuh dalam buaian kasih sayang Mami, tetapi jauh dari Papi yang dingin dan kaku. Rosa tidak mengerti sikap acuh tak acuh Papi. Bagaimana mungkin lelaki seperti ini mengikatkan diri pada komitmen kemanusiaan bernama rumah perkawinan –rumah yang dibangun dengan cinta, perjuangan, pengorbanan, dan rasa sakit, tetapi tidak bisa berlaku sebagai ayah yang baik dan benar? Lalu, bagaimana mungkin juga Mami bisa menghormati, melindungi, dan selalu mengatakan yang terbaik tentang Papi? Rosa tergelitik mengunjungi rumah tempat Papi dibesarkan, ingin tahu sebab-musabab kebekuan hati Papi. Kesempatan itu datang setelah ia lulus kuliah, menikahi seorang lelaki berpenampilan jantan, bercerai setelah kehomoseksualan suaminya terungkap, lalu bekerja di Bali. Ia tidak hanya bertemu Nori Ramayani, neneknya, tetapi juga Sarah Magdalene Courtemein.
Nori Ramayani adalah ibu Andi Masesa atau Papi. Ia dibesarkan Zuraida atau Tante Ida setelah ibunya mati dan ayahnya meninggalkan keluarga untuk hidup bersama simpanannya. Tante Ida telah bersuami - tidak sinkron dengan bagian lain yang menyebutnya tidak pernah kawin (hlm. 408), namun tidak berhenti melacur. Atas nasihatnya, Nori yang ingin sekolah apoteker di Yogya (hmm... apoteker lagi) menjadi pelacur, lalu menikahi Nitisastro, seorang lelaki tua pembohong beranak dua. Menjadi perempuan itu tidak gampang, simpul Nori (hlm. 448).
Dengan kulit seperti keju, Sarah Courtemein tampil lebih bersinar dari kakaknya, Maya Courtemein. Sayangnya, Sarah tidak waras. Saat Rosa Carmelita secara ajaib memasuki kehidupannya, Sarah pun mendapatkan tambahan sasaran kesintingannya.
Kisah para perempuan di atas termaktub dalam novel yang terdiri dari sejumlah narator, yang semuanya perempuan. Kecuali Dayu, perempuan-perempuan lain muncul dan berbiak tanpa ada tautannya dengan kehidupan Dayu. Maya memang sahabat Dayu, tetapi perempuan lain bersinggungan tidak sengaja dengan Dayu, lainnya bahkan tidak ia kenal karena berbiak dari tokoh perempuan yang ia jumpai. Memang, perempuanlah yang paling tepat membeberkan kehidupan, kemalangan, dan perjuangan mereka sendiri; perempuanlah yang paling cocok menjadi narator. Sisanya adalah para penggosip dengan perbincangan yang harus diuji kebenarannya.
Di mata para perempuan ini terlukislah dengan jitu bahwa kehidupan perempuan, terutama perempuan Bali, sesungguhnya tidak gampang. Para perempuan Bali, sekalipun dari kelas bangsawan, tidak sepenuhnya bebas menentukan kehidupan sendiri. Pada sementara perempuan bangsawan, yang ada hanya kepasrahan pada tradisi sekalipun pahit, namun pengarang dengan berani menampilkan Dayu –yang menjadi perwujudan dirinya- dan Jelangga yang tidak gentar mengikis karat kebangsawanan dan agama demi memuaskan kebutuhan akan cinta (dan tubuh) laki-laki. Perempuan seperti Songi dan Sipleg mewakili perempuan Bali kelas bawah yang tidak berkutik di bawah penindasan tradisi, pasangan hidup, dan orangtua mereka. Tidak heran Sipleg mengagumi Pidagda yang bisa mengatur kehidupannya sendiri. Secara jelas, pengarang juga mengindikasikan bahwa perempuan yang kehidupannya pernah terjajah, oleh situasi, bisa berubah menjadi penjajah. Songi yang dulunya dicengkeram kesemena-menaan ibunya melakukan hal yang sama pada putrinya, Sipleg.
Kepahitan yang dialami para perempuan dalam novel ini nyaris selalu disebabkan oleh lelaki: suami atau ayah. Glatik atau Rosa misalnya, kepahitan karena ulah ayah mereka yang apatis. Barla, Sipleg, Songi, Arsiki menumbuhkan akar pahit karena suami mereka. Dua dari mereka, Sipleg dan Songi, juga dengan Nori Ramayani dikarenakan orangtua mereka, ayah dan ibu. Permasalahan yang dipicu suami atau orangtua yang melingkupi kehidupan perempuan Bali –tidak termasuk Rosa, umumnya dipicu oleh kehidupan yang sulit. Kemiskinan membuat beberapa perempuan terpaksa dibeli lelaki hidung belang atau dikawini lelaki yang tidak mereka cintai.
Perkawinan bagi semua perempuan di dalam novel menjadi hal yang pelik. Mami yang sebelumnya mengatakan perkawinan itu gampang (hlm. 346) mengubah pikirannya, mengakui perkawinan itu ternyata tidak gampang (hlm. 425). Tiga tahun tanpa persetubuhan (hlm. 443, tetapi di hlm. 277 disebut dua tahun), Rosa terpaksa menceraikan Ethan, suaminya yang homo. Rosa benar-benar kesulitan mendapatkan sosok lelaki sebagai ayah yang baik karena Papi tidak bisa dijadikan teladan. Tidak heran Rosa menyimpulkan bahwa bisa jadi perkawinan itu membunuh perempuan (hlm. 425).
Melalui para perempuan yang menjadi narator, Oka Rusmini mendedahkan kehidupan Bali bukan dari kemolekan panorama yang mengisbatkannya sebagai Pulau Dewata, tetapi sisi gelap budaya dan manusianya. Alhasil, novel ini hadir bak dokumentasi kaum perempuan Bali –kecuali tentu saja Rosa yang bukan Bali dan tidak tumbuh di Bali seperti neneknya- bertabur ketimpangan hidup yang mereka alami sekaligus dengan pemberontakan yang coba mereka kumandangkan. Semua tidak terlepas dari tata sosial masyarakat Bali yang menganut sistim keagamaan berkasta dan budaya patriarkat yang membuat kaum lelaki beroleh banyak hak istimewa. Oka Rusmini, yang sejatinya dari keluarga brahmana, secara jelas membabarkan kegalauannya:
Derajat manusia itu sama, aku tidak boleh memandang orang dari darah yang mengaliri tubuhnya, kasta yang melekat sejak kelahirannya. Juga agama yang dianutnya. Alangkah indahnya keberagaman itu. Alangkah luar biasanya kalau kita bisa berdampingan dan saling menghormati. Yang satu tidak merasa lebih tinggi dari yang lain. Derajat manusia juga sama. Bukankah Tuhan tidak akan melihat orang dari derajatnya, agamanya? (hlm. 171).
Gara-gara pemeluk agama, memang agama sering merumitkan kehidupan. Tidak saja Tuhan dipandang menciptakan kasta, Tuhan juga dianggap menciptakan penderitaan perempuan. Tuhan hanya untuk lelaki, tidak tahu perasaan perempuan, karenanya tidak bisa membantu dalam situasi genting seperti yang dialami ibu Arsiki. "Kau pikir hanya leluhur, dewa-dewa, dan Tuhan saja yang boleh marah pada manusia, pada perempuan tua seperti aku ini? Aku pun bisa marah pada Tuhan. Perempuan tua yang sebentar lagi mati ini juga bisa memperlakukan Tuhan dengan cara tidak hormat," kata ibu Arsiki (hlm. 217). Sedangkan Sipleg, setiap hari memikirkan cara merayu Tuhan agar bisa bersikap adil pada perempuan, hanya kemudian mendapatkan jawaban tandas dari Maya, "Jangan sampai agama membuat hidupmu makin rumit. Tuhan itu sesungguhnya tidak minta apa-apa! Manusia yang membuat agama jadi rumit dan sering jadi tidak masuk akal!" (hlm. 455).
Kenyataannya, perempuan terkadang memberi andil kegagalan pemberontakan kaumnya terhadap tradisi atau agama. Tidak semua perempuan bisa menghargai diri sendiri. Selalu akan ada perempuan seperti yang dipertanyakan Putu : "Kenapa perempuan selalu bermasalah bila berhadapan dengan perempuan? Kenapa perempuan jarang membela perempuan? Kenapa perempuan selalu mengunggulkan dan menutup mata untuk mengakui kemampuan seorang perempuan? Kenapa perempuan memilih memenangkan lelaki? Bagaimana mungkin perempuan akan maju kalau untuk memajukan perempuan seorang perempuan selalu ditentang oleh perempuan juga?" (hlm. 227)
Kemampuan Oka Rusmini dalam menulis memang tidak perlu disangsikan lagi. Ia bukan lagi wajah baru di dunia sastra Indonesia. Ia bukan cuma menulis novel, tetapi juga cerita pendek dan puisi. Sepanjang perjalanannya sebagai pengarang ia telah mencatat sejumlah prestasi. Cerpennya Putu Menolong Tuhan terpilih sebagai cerpen terbaik majalah Femina 1994. Noveletnya Sagra menjuarai sayembara penulisan cerita bersambung 1998 majalah yang sama. Cerpennya Pemahat Abad terpilih sebagai cerpen terbaik 1990-2000 majalah sastra Horison. (Ketiga cerita ini dihimpun dalam kumpulan cerita Sagra). Novelnya Tarian Bumi menjadikannya Penerima Penghargaan Penulisan Karya Sastra 2003 dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional Indonesia.
Namun bukan berarti Oka Rusmini tidak sempat tergelincir. Selain dialog rimbun yang tidak mampu meneduhkan kebosanan–tidak peduli Oka Rusmini mencoba gaya baru, masih banyak keretakan ditemukan dalam novel. Selain yang sudah disebut sebelumnya, aneh rasanya ketika kekasih Jelangga meminangnya di griya, ibu tiri Dayu, perempuan Jawa yang menjadi istri kedua ayah Dayu, berkata, "Gus Baskara memukul orang!" –yang dipukul Baskara ternyata Baskara, kekasih Jelangga (hlm. 173). Keanehan juga tampak dalam perbincangan Rosa dengan Felicite. Pada usia 10 tahun, mereka bercakap seperti orang-orang dewasa. Demikian pula keidentikan pengalaman Jelangga dengan Mami: sama-sama memiliki ibu mertua yang tidak menyenangkan dan adik ipar dengan perangai 'menjijikkan'. Terakhir, kalau dituntut memilih percakapan yang kurang berkenan, saya akan memilih percakapan Mami dengan Rosa kecil (hlm. 340). Mami yang tampil manis dan santun sebelumnya menjadi sama dengan perempuan Bali yang ada dalam novel, menggunakan kata 'memuntahkan daging' untuk melahirkan anak. Kenapa begitu, Mami? Kehilangan kendali?
Catatan: tentang kehidupan Oka Rusmini diperoleh dari berbagai sumber.
0 comments:
Post a Comment