Judul Buku: The Christmas Blessing (Berkat Natal)
Pengarang: Donna VanLiere (2003)
Penerjemah: Antonius Eko
Tebal: 216 halaman
Cetakan: 1, 2011
Penerbit: Elex Media Komputindo
Pengarang: Donna VanLiere (2003)
Penerjemah: Antonius Eko
Tebal: 216 halaman
Cetakan: 1, 2011
Penerbit: Elex Media Komputindo
Cinta yang datang saat Natal, kata ibuku. Ini adalah mukjizat terbesar dari semuanya. Ini adalah berkat Natal. (hlm. 190).
Saat kisah dalam The Christmas Blessing dimulai, Nathan Andrews telah menjadi mahasiswa kedokteran tahun ketiga. Ia sedang menjalani rotasi di bagian kardiologi sebuah rumah sakit di bawah pengawasan Dokter Crawford Goetz, saat keraguan mulai menggerogotinya. Ia tidak yakin lagi pada pilihan yang ditetapkannya sejak usia sembilan tahun: menjadi dokter supaya bisa menyembuhkan orang-orang sakit seperti ibunya.
Ada dua hal yang menggoncang keyakinan Nathan dan memunculkan pikiran keluar dari sekolah kedokteran. Pertama, ia merasa diperlakukan dengan tidak baik oleh Dokter Goetz yang selalu menggaungkan masalah keterlambatannya. Padahal keterlambatan Nathan bukan disebabkan lantaran kemalasannya, melainkan jam yang dihadiahkan ibunya, yang sering bermasalah. Nathan enggan mengganti dengan jam yang baru karena jam itu merupakan salah satu elemen penting yang mengingatkannya pada cinta ibunya.
Kedua, Nathan tidak tahan menghadapi kematian pasien yang berada di bawah pengawasannya. Sudah dua kali ia menghadapi kematian selama menjalani rotasi di berbagai bagian rumah sakit. Seorang anak muda berusia 27 tahun yang mengalami kecelakaan mobil dan seorang perempuan lima puluh dua tahun yang mengalami peningkatan pecahnya pembuluh balik. Nathan merasa bertanggung jawab atas kedua kematian itu dan tidak sadar kalau sebenarnya ia tidak mungkin bisa menyelamatkan semua orang dari kematian.
Nathan tidak merespons secara positif pandangan rekannya yang menegaskan kedokteran merupakan profesi yang tepat baginya. Nathan selalu bersikap baik kepada semua pasien, mudah dekat karena mampu memberikan perhatian yang personal, bahkan menjadi favorit, terutama bagi pasien anak-anak.
Saat dilanda kegalauan, Nathan bertemu Meghan Sullivan, gadis dengan lubang di jantungnya -ventricular septal-nya tidak pernah tertutup dan tidak cukup besar untuk diperbaiki. Meghan telah menjadi pasien langganan Dokter Goetz sejak masih bayi. Kendati bermasalah dengan jantungnya, Meghan adalah seorang atlet lari. Bahkan ia menjadi penggagas lomba lari dalam rangka penggalangan dana beasiswa bagi pasien jantung yang diterima di perguruan tinggi. Terkait dengan kegemarannya berlari, Charlie Bennett adalah penyemangat nomor satu. Charlie, anak laki-laki berusia dua belas tahun, juga pasien jantung Dokter Goetz. Ia terlahir hanya dengan satu bilik jantung yang berfungsi, dan selama tiga tahun pertama hidupnya telah menjalani tiga kali operasi. Tapi Charlie memiliki semangat berapi-api. Katanya selalu: "Jangan pernah memalingkan matamu dari garis finish. Kalau kamu berpaling dari tujuan, kamu tidak akan pernah menyelesaikannya." (hlm. 24).
Tidak terelakkan lagi, sebagaimana yang dirasakan Meghan, Nathan pun jatuh cinta pada gadis itu. Dan cinta Nathan tidak pernah kandas sekalipun kondisi kesehatan Meghan kian tumbang. Menjelang Natal, Meghan didiagnosis mengidap hepatitis akut, dan berdasarkan hasil biopsi ditetapkan kalau Meghan membutuhkan transplantasi hati. Sebagai organ tubuh, hati bisa beregenerasi sendiri sehingga sebagian saja sudah cukup menjamin kesuksesan transplantasi. Hanya saja Meghan tidak mendapatkan hati dari donor hidup yang kompatibel. Termasuk keluarganya, Dokter Goetz, bahkan Nathan yang telah memeriksakan diri.
Tapi Meghan adalah seorang gadis yang istimewa. Kendati sakit, ia tetap berusaha menikmati kehidupan dan bersikap optimis. Mukjizat Natal menjadi tempatnya menggantungkan harapan. Ia yakin, selalu ada mukjizat saat Natal.
Tidak ada yang bisa menyalurkan kekuatan ke dalam diri Nathan tatkala menyaksikan penderitaan Meghan, selain surat-surat dari ibunya. Maggie Andrews telah menulis banyak surat pada minggu-minggu menjelang kematiannya yang ditujukan kepada Nathan.
"Rasa sakit yang kamu rasakan sekarang akan membantumu peduli pada orang lain, Nathan. Akan membantumu menyayangi mereka melewati saat-saat yang berat. Ingatlah selalu bahwa Cinta yang akan menang.... Abaikan rasa sakit atau kepedihan yang kamu rasakan ketika berada di lembah, karena pada akhirnya akan selalu ada cinta. Mungkin sulit untuk melewatinya, namun Tuhan akan memakai waktumu untuk sesuatu yang baik. Aku tahu Dia akan begitu." (hlm. 162).
Ketika donor hati tak kunjung datang Meghan menetapkan cinta Nathan kepadanya sebagai mukjizat Natalnya. "Cintamu untukku, Nathan. Aku tidak bisa pergi tanpa jatuh cinta, jadi Tuhan mengirimkanmu untukku. Dia mengirimkanmu padaku karena kamu tahu bagaimana mencintai orang lain, Nathan. Kamu tahu bagaimana untuk peduli. Itulah sebabnya kamu ditakdirkan menjadi dokter. Karena kamu mendengarkan dari sini -Meghan menyentuh dada Nathan, menaruh tangannya di jantung Nathan- Kamu ditakdirkan bekerja dengan anak-anak karena mereka membutuhkan orang yang bisa mendengarkan mereka dari sini. Tidak semua orang bisa melakukannya, tapi kamu bisa. Itulah talentamu." (hlm. 187).
Apakah untuk kedua kali dalam hidupnya Nathan akan kehilangan wanita yang dicintainya? Atau adakah mukjizat Natal yang telah dirancang Tuhan dengan indah bagi Meghan?
Pada puncak pemahaman Nathan mengenai mukjizat Natal, dalam keadaan hancur hati, sebuah kesimpulan menghampirinya. Keyakinan, harapan, dan cinta, itulah mukjizat Natal sebenarnya. Dan cinta, yang datang saat Natal adalah mukjizat terbesar dari semuanya. Cinta ini adalah berkat Natal. Cinta yang mampu mengembalikan perspektif Nathan untuk meyakini lagi bahwa kedokteran adalah benar-benar panggilan hidupnya.
The Christmas Blessing adalah sekuel dari novel Donna VanLiere sebelumnya, The Christmas Shoes. Novel ini dikisahkan dengan cara yang sama yaitu memadukan dua sudut pandang pengisahan, orang pertama dan orang ketiga. Kalau dalam The Christmas Shoes, Donna menggunakan Robert Layton sebagai narator orang pertama, dalam novel ini Nathan yang mengambil perannya. Nathan adalah karakter utama The Christmas Blessing, sedangkan Robert Layton hanyalah karakter pelengkap. Tapi ketika Donna memutuskan mempertemukan mereka keharuan yang akan muncul dalam hati pembaca.
Dalam The Christmas Shoes, tepatnya di bagian epilog, Donna mengungkapkan bahwa Nathan telah kuliah kedokteran, lima belas tahun setelah kematian ibunya dan mempelajari onkologi. Hal ini bisa dimengerti karena Maggie meninggal dunia karena kanker. Meskipun di novel ini Donna sempat menyinggung minat Nathan terhadap onkologi lewat penuturan Meghan (hlm. 96), tapi ternyata minat Nathan justru berkembang di bidang kardiologi.
Sebagaimana The Christmas Shoes, novel ini juga memberikan sentuhan yang sama. Ditulis dengan lembut dan penuh perasaan, The Christmas Blessing mendatangkan keharuan sekaligus kehangatan dalam hati selama membaca. Terkesan sangat intens cara Donna menggalaukan perasaan Nathan sehingga ia begitu tak berjarak dengan kita. Nathan terasa hidup, bisa disentuh, dan membuat kita menyayanginya. Setelah lebih dari lima belas tahun sejak kematian ibunya, ia masih membelikan sepatu bermanik-manik untuk diletakkan di makam ibunya. Kelembutannya pun begitu menyentuh hati, apalagi ketika ia berhadapan dengan kenangan-kenangan dan surat-surat yang ditulis oleh ibunya. Dan tanpa kehadirannya di lembar-lembar halaman novel, Maggie Andrews tetap hidup dan membuat novel ini bergelimang kalimat-kalimat indah yang inspiratif.
Meghan tidak lupa menghadirkan inspirasi. Bahwa tidak ada cara lain untuk menghadapi penderitaan -atau yang diumpamakan Donna sebagai lembah- selain menjalaninya. Keyakinannya sesuai dengan keyakinan Maggie Andrews. "Waktu di lembah akan mengajarimu menjadi seorang laki-laki sejati, Nathan. Di sanalah karaktermu akan dibentuk. Aku berharap kamu berjalan melalui lembah itu, jadi dengan begitu kamu akan belajar mencintai, merasakan, dan memahami. Dan ketika kehidupan menyakitimu, kuharap itu terjadi karena kamu mencintai sesamamu bukan karena kamu menyakiti mereka. Ingatlah selalu bahwa tanpa menghiraukan apa pun yang terjadi, Nathan, pada akhirnya akan selalu ada sukacita. Pasti." (hlm. 3 & 4).
Cinta, bagian yang disorot paling terang, tidak membuat bosan. Meghan memang menderita karena sakit, tapi Donna tidak menghadirkannya dalam kisah cinta yang cengeng sehingga membuat kita resah. Kesedihan sudah pasti tidak bisa dihindari, tapi tetap terasa tidak boros. Dan justru, gaya penceritaan seperti ini mampu membujuk kita berlinang air mata.
Selain penceritaan yang indah, Donna juga memiliki kelebihan dalam membuat pembaca percaya dengan apa yang disampaikannya. Yang saya maksud adalah yang terkait dengan permasalahan medis. Penyampaiannya tidak meragukan karena ia tidak sekadar mengkhayal. Di bagian Ucapan Terima Kasih kita mengetahui bahwa Donna telah melakukan riset, dan bahkan untuk menyelesaikan novel ini telah dibantu tiga orang dokter.
The Christmas Blessing telah diadaptasi ke dalam film televisi dan ditayangkan perdana pada 18 Desember 2005 di jaringan CBS. Neil Patrick Harris berperan sebagai Nathan Andrews, Rebecca Gayheart sebagai Megan Sullivan, dan Angus T. Jones sebagai Charlie Bennet.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip kalimat dari Erma Bombeck yang dipilih Donna mengawali Bab Sebelas dalam novel ini (hlm. 183).
"Saat aku menghadap Tuhan di akhir hayatku, aku berharap tidak menyia-nyiakan satu bakat pun, dan mampu berkata, "Aku telah menggunakan semua yang Kau berikan padaku."
Semoga.
2 comments:
buku ini masih ada gak ya di gramedia? atau cd nya apkh masih dijual?
@winda ryana:
kayanya masih ada.Tapi kalau CD-nya gak tahu apa beredar di Indonesia.
Post a Comment