Penulis: Cormac McCarthy (2005)
Penerjemah: Rahmani Astuti
Tebal: 360 halaman
Cetakan: 1, November 20007
Penerbit: Q-Press
Setelah menonton film No Country for Old Men saya jadi ingin membaca versi novelnya, apalagi sebelumnya saya sudah membaca novel ke-10 Cormac McCarthy, The Road (edisi Indonesia diterbitkan Penerbit Gramedia). Tentu saja saya ingin mempelajari lebih lanjut gaya penulisan sang pengarang, sehingga tak melewatkan juga karyanya yang lain, Blood Meridian.
No Country for Old Men (saya kurang suka dengan judul terjemahannya, Sheriff Tua Di Negeri Bandit) dipicu oleh kontak senjata yang terjadi di antara kurir-kurir heroin di
dekat Rio Grande, Texas. Llewellyn Moss, seorang veteran perang Vietnam yang
bekerja sebagai tukang las sedang berburu antelop (diterjemahkan
sebagai rusa bertanduk) ketika menemukan hasil akhir letusan-letusan
senjata para kurir tersebut. Sejumlah mayat dan seorang sekarat yang membutuhkan air
minum. Juga satu koper dokumen berisi uang tunai 2, 4 juta dolar dan
beberapa bungkus heroin. Dengan membiarkan si sekarat tanpa air
minum, Moss membawa pulang uang yang ada. Lewat tengah malam, Moss terjaga
dari tidur dan memutuskan membawakan air untuk si sekarat. Keputusan
yang sungguh keliru, sebab dengan kembali ke lokasi berburu, ia tidak hanya
menemukan si sekarat sudah ditembak mati, tetapi juga memperkenalkan
diri sebagai orang yang telah mengambil uang darah itu. Hidup Moss
tidak pernah tenang lagi. Demikian pula hidup Carla Jean Moss, istrinya
yang masih belia.
Anton
Chigurh, seorang pembunuh bayaran diutus gembong heroin untuk
mengambil kembali uang di tangan Moss. Dalam perburuannya, Chigurh
membawa semacam tangki oksigen dengan sebuah selang yang terhubung ke
senjata kejut mematikan. Ia tidak segan-segan membunuh orang yang
dijumpainya demi mencapai Moss: deputi sheriff, orang-orang tak bersalah
di jalanan, dan pembunuh-pembunuh bayaran lain. Sepuluh mayat
ditinggalkannya untuk menjadi masalah yang harus dipecahkan Ed Tom
Bell, sheriff Terrel County.
Ed
Tom Bell telah menjadi sheriff di Terrel County sejak berusia 25
tahun. Selama bekerja sebagai sheriff ia telah satu kali mengantar
seorang pembunuh muda ke kamar gas. Meskipun begitu, Bell bukanlah
seorang yang tidak menghargai nyawa. Karenanya, ketika mengetahui Moss, seorang yang dikenalnya sebagai 'anak baik-baik', terlibat kekisruhan
perdagangan heroin yang membuatnya tak sadar telah mempertaruhkan
nyawanya, Bell berniat melindungi Moss. Sebagai sheriff, melindungi
masyarakat sudah menjadi kewajiban utamanya, sekalipun ia harus mati
sebagai risikonya. Melindungi nyawa orang yang patut dilindungi memang
telah menjadi pengejaran hidup Bell, sejak ia meninggalkan Eropa
setelah berperang, dengan kenangan akan rekan-rekannya yang tidak bisa
ditolongnya.
Novel
berseting tahun 1980 ini (bisa diketahui dari cerita perjalanan sebuah koin
yang disampaikan Chigurh, halaman 71) merupakan novel kesembilan
pengarang yang meraih National Book Award tahun 1992 untuk novelnya
yang bertajuk All the Pretty Horses. Ceritanya dipicu di Texas,
digiring ke Meksiko, kembali lagi ke Texas dalam rangkaian kejadian
yang dibeber apik dan filmis. Di dalam kekejaman dan kebrutalan yang
menegangkan, pembaca akan dengan mudah dibuat paham, bahwa keserakahan
seseorang tidak hanya memberi dampak pribadi tapi juga komunitas. Betapa
satu keputusan keliru akan menghancurkan semua sendi kehidupan. Dan
terkadang, nyawa manusia seolah bukan sesuatu yang berharga sama
sekali.
Bagi
yang telah menonton versi film novel ini, pasti sudah tahu akhir yang
diberikan Cormac McCarthy bagi karakter-karakter ciptaannya. Meski ada
bagian novel yang dihilangkan, film ini terbilang setia dengan plot,
bahkan dialog-dialog yang ditulis sang pengarang. Namun yang belum
pernah nonton filmnya, pasti akan bertanya-tanya tentang nasib Moss.
Apakah Chigurh bisa menjangkau dan membunuhnya? Apakah Sheriff Bell
akan mampu mengatasi aksi brutal Chigurh dan menyelamatkan Moss dan
keluarganya? Ataukah Chigurh akan menghancurkan, tidak saja keluarga
Moss, tetapi juga kehidupan Sheriff Bell? Yang jelas, dalam novel ini,
Cormac McCarthy bukanlah pengarang yang sudi memanjakan pembaca dengan
pamungkas manis yang melenakan pembaca –tidak hanya karena cerita yang
dibentangkannya tergolong thriller brutal. Ia memberi akhir yang
menggigit, tidak mengecewakan, membuat pembaca (seperti saya) tidak
akan mudah lupa pada kesan yang dirasakan. Terutama yang dilakukannya
pada kehidupan Ed Tom Bell sebagai sheriff.
Isi
novel diceritakan dari dua perspektif yaitu orang pertama dan orang
ketiga. Perspektif orang pertama digunakan ketika McCarthy menggulirkan
pikiran dan perasaan pribadi Ed Bell mengenai pengalaman hidupnya.
Apa yang disampaikan melalui penuturan Ed Bell tentu saja tidak berdiri
sendiri. Bagian-bagian itu akan berkelindan dengan bagian yang
dituturkan dari perspektif orang ketiga, memberi motif dan mempertajam
apa yang dilakukan sang sheriff di akhir novel. Pembaca akan memahami
betapa rasa bersalah dan tanggung jawab yang berperang dalam dirinya
telah berpengaruh dalam keputusan yang diambilnya.
Novel
ini diedisi-indonesiakan oleh Rahmani Astuti dan disunting oleh
Setiadi R. Saleh. Ada yang mengatakan bahwa terjemahan novel ini buruk.
Saya tidak sepenuhnya setuju. Mungkin pendapat itu datang dari pihak
yang sama sekali belum pernah membaca karya McCarthy. Sebetulnya
penerjemahnya sudah berusaha menerjemahkan dan mempertahankan gaya
penulisan McCarthy dalam bahasa Indonesia. Hanya, bagi yang awam
dengan gaya penulisan McCarthy mungkin akan kurang menikmati. Seperti
novel-novelnya yang lain, McCarthy tidak menggunakan tanda-tanda kutip
untuk membingkai dialog-dialognya. Kerap dialog-dialognya digabung
dengan deskripsi. Ia juga sering menggunakan kata 'and' (dan) untuk
menuturkan rangkaian kejadian. Simak contoh berikut (hlm. 19):
"Dia
berkubang di dalam gundukan dan melepas salah satu sepatu botnya dan
meletakkannya di batu-batuan dan menurunkan lengan senapan ke atas
sepatu bot dan melepaskan pengaman pelatuk dengan ibu jarinya dan
membidik melalui teleskop" (He wallowed down in the scree and
pulled off one boot and laid it over the rocks and lowered the forearm
of the rifle down into the leather and pushed off the safety with his
thumb and sighted through the scope).
Kendati sudah berusaha, kendala bahasa juga membatasi penerjemahan. Misalnya, McCarthy tidak menulis don't, didn't, can't, dan won't namun dont, didnt, cant, dan wont.
Sudah jadi gaya penulisannya, tidak mempedulikan apostrof. Gaya seperti
ini tentu saja sulit dipertahankan dalam bahasa Indonesia. Namun,
gaya McCarthy yang kerap tidak memberi pemisahan pada beberapa
perpindahan adegan mungkin bisa dimodifikasi, supaya pembaca tidak usah
mengerutkan kening dengan cerita yang mendadak seakan-akan tidak
nyambung. Penulisan tahu menjadi tau, tahun menjadi taun, lihat menjadi liat, atau seperti yang masih banyak ditemukan dalam buku-buku Indonesia, mengubah menjadi merubah, yang tampaknya disengaja, sebaiknya dihindarkan. Juga penerjemahan keliru St. John menjadi Injil Yohanes (hlm.
349) dan "cool concrete well" menjadi "sumur beton yang dingin"
("well" di sini jelas bukan berarti "sumur", hlm. 227) seharusnya bisa
disingkirkan.
Novel
yang judulnya dipetik dari puisi "Sailing to Byzantium" karya William
Butler Yeats ini diadaptasi ke dalam film oleh Joel dan Ethan Coen dan
beredar tahun 2007. Film ini memenangkan berbagai penghargaan bergengsi
kategori terbaik termasuk film, penyutradaraan, skenario adaptasi,
dan pemeran pembantu pria (untuk Javier Bardem yang berperan sebagai
Anton Chigurh dengan cemerlang) Academy Award tahun 2008.
That is no country for old men. The young
In one another's arms, birds in the trees
- Those dying generations – at their song,
The salmon-falls, the mackerel-crowded seas,
Fish, flesh, or fowl, commend all summer long
Whatever is begotten, born, and dies.
Caught in that sensual music all neglect
Monuments of unaging intellect.
(first stanza, Sailing to Byzantium)
0 comments:
Post a Comment