12 February 2012

No Country for Old Man


Judul Buku: No Country for Old Men
Penulis: Cormac McCarthy (2005)
Penerjemah: Rahmani Astuti
Tebal: 360 halaman
Cetakan: 1, November 20007
Penerbit: Q-Press



Setelah menonton film No Country for Old Men saya jadi ingin membaca versi novelnya, apalagi sebelumnya saya sudah membaca novel ke-10 Cormac McCarthy, The Road (edisi Indonesia diterbitkan Penerbit Gramedia). Tentu saja saya ingin mempelajari lebih lanjut gaya penulisan sang pengarang, sehingga tak melewatkan juga karyanya yang lain, Blood Meridian.

No Country for Old Men (saya kurang suka dengan judul terjemahannya, Sheriff Tua Di Negeri Bandit) dipicu oleh kontak senjata yang terjadi di antara kurir-kurir heroin di dekat Rio Grande, Texas. Llewellyn Moss, seorang veteran perang Vietnam yang bekerja sebagai tukang las sedang berburu antelop (diterjemahkan sebagai rusa bertanduk) ketika menemukan  hasil akhir letusan-letusan senjata para kurir tersebut. Sejumlah mayat dan seorang sekarat yang membutuhkan air minum. Juga satu koper dokumen berisi uang tunai 2, 4 juta dolar dan beberapa bungkus heroin. Dengan membiarkan si sekarat tanpa air minum, Moss membawa pulang uang yang ada. Lewat tengah malam, Moss terjaga dari tidur dan memutuskan membawakan air untuk si sekarat. Keputusan yang sungguh keliru, sebab dengan kembali ke lokasi berburu, ia tidak hanya menemukan si sekarat sudah ditembak mati, tetapi juga  memperkenalkan diri sebagai orang yang telah mengambil uang darah itu.  Hidup Moss tidak pernah tenang lagi. Demikian pula hidup Carla Jean Moss, istrinya yang masih belia.

Anton Chigurh, seorang pembunuh bayaran diutus gembong heroin untuk mengambil kembali uang di tangan Moss. Dalam perburuannya, Chigurh membawa semacam tangki oksigen dengan sebuah selang yang terhubung ke senjata kejut mematikan. Ia tidak segan-segan membunuh orang yang dijumpainya demi mencapai Moss: deputi sheriff, orang-orang tak bersalah di jalanan, dan pembunuh-pembunuh bayaran lain. Sepuluh mayat ditinggalkannya untuk menjadi masalah yang harus dipecahkan Ed Tom Bell, sheriff Terrel County.

Ed Tom Bell telah menjadi sheriff di Terrel County sejak berusia 25 tahun. Selama bekerja sebagai sheriff ia telah satu kali mengantar seorang pembunuh muda ke kamar gas. Meskipun begitu, Bell bukanlah seorang yang tidak menghargai nyawa. Karenanya, ketika mengetahui Moss, seorang yang dikenalnya sebagai 'anak baik-baik', terlibat kekisruhan perdagangan heroin yang membuatnya tak sadar telah mempertaruhkan nyawanya, Bell berniat melindungi Moss. Sebagai sheriff, melindungi masyarakat sudah menjadi kewajiban utamanya, sekalipun ia harus mati sebagai risikonya. Melindungi nyawa orang yang patut dilindungi memang telah menjadi pengejaran hidup Bell, sejak ia meninggalkan Eropa setelah berperang, dengan kenangan akan rekan-rekannya yang tidak bisa ditolongnya.

Novel berseting tahun 1980 ini (bisa diketahui dari cerita perjalanan sebuah koin yang disampaikan Chigurh, halaman 71) merupakan novel kesembilan pengarang yang meraih National Book Award tahun 1992 untuk novelnya yang bertajuk All the Pretty Horses. Ceritanya dipicu di Texas, digiring ke Meksiko, kembali lagi ke Texas dalam rangkaian kejadian yang dibeber apik dan filmis. Di dalam kekejaman dan kebrutalan yang menegangkan, pembaca akan dengan mudah dibuat paham, bahwa keserakahan seseorang tidak hanya memberi dampak pribadi tapi juga komunitas. Betapa satu keputusan keliru akan menghancurkan semua sendi kehidupan. Dan terkadang, nyawa manusia seolah bukan sesuatu yang berharga sama sekali.

Bagi yang telah menonton versi film novel ini, pasti sudah tahu akhir yang diberikan Cormac McCarthy bagi karakter-karakter ciptaannya.  Meski ada bagian novel yang dihilangkan, film ini terbilang setia dengan plot, bahkan dialog-dialog yang ditulis sang pengarang. Namun yang belum pernah nonton filmnya, pasti akan bertanya-tanya tentang nasib Moss. Apakah Chigurh bisa menjangkau dan membunuhnya? Apakah Sheriff Bell akan mampu mengatasi aksi brutal Chigurh dan menyelamatkan Moss dan keluarganya? Ataukah Chigurh akan menghancurkan, tidak saja keluarga Moss, tetapi juga kehidupan Sheriff Bell? Yang jelas, dalam novel ini, Cormac McCarthy bukanlah pengarang yang sudi memanjakan pembaca dengan pamungkas manis yang melenakan pembaca –tidak hanya karena cerita yang dibentangkannya tergolong thriller brutal. Ia memberi akhir yang menggigit, tidak mengecewakan, membuat pembaca (seperti saya) tidak akan mudah lupa pada kesan yang dirasakan. Terutama yang dilakukannya pada kehidupan Ed Tom Bell sebagai sheriff.

Isi novel diceritakan dari dua perspektif yaitu orang pertama dan orang ketiga. Perspektif orang pertama digunakan ketika McCarthy menggulirkan  pikiran dan perasaan pribadi Ed Bell mengenai pengalaman hidupnya. Apa yang disampaikan melalui penuturan Ed Bell tentu saja tidak berdiri sendiri. Bagian-bagian itu akan berkelindan dengan bagian yang dituturkan dari perspektif orang ketiga, memberi motif dan mempertajam apa yang dilakukan sang sheriff di akhir novel. Pembaca akan memahami betapa rasa bersalah dan tanggung jawab yang berperang dalam dirinya telah berpengaruh dalam keputusan yang diambilnya.

Novel ini diedisi-indonesiakan oleh Rahmani Astuti dan disunting oleh Setiadi R. Saleh. Ada yang mengatakan bahwa terjemahan novel ini buruk. Saya tidak sepenuhnya setuju. Mungkin pendapat itu datang dari pihak yang sama sekali belum pernah membaca karya McCarthy. Sebetulnya penerjemahnya sudah berusaha menerjemahkan dan mempertahankan gaya penulisan McCarthy dalam bahasa Indonesia.  Hanya, bagi yang awam dengan gaya penulisan McCarthy mungkin akan kurang menikmati. Seperti novel-novelnya yang lain, McCarthy tidak menggunakan tanda-tanda kutip untuk membingkai dialog-dialognya. Kerap dialog-dialognya digabung dengan deskripsi. Ia juga sering  menggunakan kata 'and' (dan) untuk menuturkan rangkaian kejadian.  Simak contoh berikut (hlm. 19):

 "Dia berkubang di dalam gundukan dan melepas salah satu sepatu  botnya dan meletakkannya di batu-batuan dan menurunkan lengan senapan ke atas sepatu bot dan melepaskan pengaman pelatuk dengan ibu jarinya dan membidik melalui teleskop"   (He wallowed down in the scree and pulled off one boot and laid it over the rocks and lowered the forearm of the rifle down into the leather and pushed off the safety with his thumb and sighted through the scope).

Kendati sudah berusaha, kendala bahasa juga membatasi penerjemahan. Misalnya, McCarthy tidak menulis don't, didn't, can't, dan won't namun dont, didnt, cant, dan wont. Sudah jadi gaya penulisannya, tidak mempedulikan apostrof. Gaya seperti ini tentu saja sulit dipertahankan dalam bahasa Indonesia. Namun, gaya McCarthy yang kerap tidak memberi pemisahan pada beberapa perpindahan adegan mungkin bisa dimodifikasi, supaya pembaca tidak usah mengerutkan kening dengan cerita yang mendadak seakan-akan tidak nyambung. Penulisan tahu menjadi tau, tahun menjadi taun, lihat menjadi liat, atau seperti yang masih banyak ditemukan dalam buku-buku Indonesia, mengubah menjadi merubah, yang tampaknya disengaja, sebaiknya dihindarkan. Juga penerjemahan keliru St. John menjadi Injil Yohanes (hlm. 349) dan "cool concrete well" menjadi "sumur beton yang dingin"  ("well" di sini jelas bukan berarti "sumur", hlm. 227) seharusnya bisa disingkirkan.

Novel yang judulnya dipetik dari puisi "Sailing to Byzantium" karya William Butler Yeats ini diadaptasi ke dalam film oleh Joel dan Ethan Coen dan beredar tahun 2007. Film ini memenangkan berbagai penghargaan bergengsi kategori terbaik termasuk film, penyutradaraan, skenario adaptasi, dan pemeran pembantu pria (untuk Javier Bardem yang berperan sebagai Anton Chigurh dengan cemerlang)  Academy Award  tahun 2008.
 
 

That is no country for old men. The young
In one another's arms, birds in the trees
- Those dying generations – at their song,
The salmon-falls, the mackerel-crowded seas,
Fish, flesh, or fowl, commend all summer long
Whatever is begotten, born, and dies.
Caught in that sensual music all neglect
Monuments of unaging intellect.
 

(first stanza, Sailing to Byzantium)

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan