Judul
Buku : Anak Arloji
Penulis:
Kurnia Effendi
Editor:
Endah Sulwesi
Tebal:
237 hlm
Cetakan: 1, Maret 2011
Penerbit:
Serambi
Dokter Syarif Budiman, seorang dokter kandungan, memiliki tradisi unik setiap sukses membantu proses kelahiran bayi. Dokter yang dikenal bertangan dingin ini akan menghadiahkan arloji kepada orangtua si bayi. Ia selalu menyebut bayi yang lahir dengan bantuannya sebagai anak arloji. Alkisah, ketika bayi salah satu pasangan yang ditolongnya meninggal, arloji pemberiannya pun berhenti berdetak. Sang narator tentu saja dililit rasa kuatir manakala istrinya melahirkan dan dokter Syarif memberinya sebuah arloji. Apakah arloji itu akan berhenti berdetak juga?
Cerita misteri
bertajuk Anak Arloji ini mewakili 13
cerpen lainnya untuk dijadikan judul kumpulan cerpen terbaru Kurnia Effendi
yang diterbitkan Penerbit Serambi ini. Kecuali cerpen Penggali Makam, cerpen-cerpen dalam buku ini sudah pernah
dipublikasikan pengarangnya di sejumlah media massa.
Yang dijadikan
cerpen pembuka adalah Noriyu. Lewat
cerpen ini tampaknya Kurnia Effendi hendak mengemukakan betapa pentingnya alter
ego bagi seorang manusia. Noriyu seorang dokter, tetapi hatinya tidak terbuat
dari aluminium, sehingga tidak bebas dari kerapuhan. Ia memerlukan sahabat untuk
menghibur perasaan terlukanya, untuk menghalau temperamen rapuhnya. “…aku adalah bagian dirinya yang memisahkan
diri saat perasaan kecewa, sedih, marah, atau kehilangan sedang meremas hatinya,”
kata sang alter ego (hlm. 18).
Aromawar adalah cerpen misteri lain yang diuntai dari kalimat-kalimat memukau untuk membungkus muatan sensualitas di dalamnya. Marchy yang sedang berulang tahun menikmati kesendirian di sebuah puri ketika seorang lelaki tampan beraroma mawar yang menamakan diri Pangeran Rembulan mendatanginya. Ia menghadiahkan Marchy sebuah kado: percintaan semalam yang membuat sang gadis luluh lantak. Pada malam yang sama, di sebuah café, seorang pencipta parfum yang menyebut dirinya Pangeran Rembulan mengadakan launching parfum terbarunya, Aromawar.
Elemen misteri juga mewujud dalam Tetes Hujan Menjadi Abu. Andria memutuskan pulang kampung setelah menyaksikan hujan turun dan setiap tetes airnya berubah menjadi abu begitu menyentuh tanah. Ia teringat pesan neneknya bahwa jika hal ini terjadi, itu artinya ia harus segera pulang, karena sang nenek telah meninggal. Ayahnya, seorang duda yang tidak menunjukkan keinginan menikah lagi semangkat istrinya, bertanya-tanya bagaimana Andria bisa datang tepat waktu. Bukti yang disodorkan Andria, sama dipertanyakan, dengan alasan ayahnya tidak ingin menikah lagi.
Dalam Kuku Kelingking, pengarang mengisahkan tindakan cinta seorang ibu demi mengumpan tekak anak laki-lakinya. Bobby sulit makan sehingga menjadi kurus kerempeng. Banyak dokter dan ahli gizi dikerahkan, hanya untuk menyerah setelah upaya maksimal yang mereka lakukan. Baru, setelah ujung jari kelingking sang ibu tanpa sengaja dikorbankan, akhirnya selera makan Bobby merebak lagi.
Cinta seorang ibu kepada anaknya tampil kembali dalam Panggilan Sasha. Rosana, seorang ibu muda, memutuskan bekerja ketika kebutuhan hidup keluarga kian meningkat. Jika ia bekerja, terpaksa ia harus meninggalkan anaknya, Sasha, untuk memulai sejak awal hidup mandiri. Padahal Sasha baru berumur 3 tahun. Sedikit lagi impian Rosana menjadi pekerja sukses akan terwujud, tetapi ia tidak bisa mengabaikan panggilan Sasha yang masih membutuhkannya.
Cinta ibu yang lain dihadirkan pengarang dalam Wangi Kaki Ibu. Setelah tiga tahun membawa adik perempuannya ke Jakarta dengan harapan bisa mengajar si adik menjadi manusia yang baik, seorang lelaki muda kembali ke kota kelahirannya. Peni, si adik perempuan, telah mati. Memang bukan ia yang membunuh Peni, namun kematian Peni menjadi bukti kegagalannya menunaikan janji kepada ibunya. Ia berharap akan mendapat hukuman dari ibunya. Namun seperti ditulis pengarangnya, “Hanya seorang ibu yang dapat memadukan antara sakit hati dan kasih sayang dengan nyaris sempurna” (hlm. 149).
Hubungan seorang anak laki-laki dengan ayahnya bisa dibaca dalam dua cerpen yaitu Laut Lepas Kita Pergi dan Kamar Anjing. Setelah kehilangan ibu dan dua adiknya dalam peristiwa tsunami di Aceh, Mustafa terpaksa menerima kepengecutan ayahnya. Ayahnya tidak mampu bertahan mengatasi kesedihan kehilangan keluarganya, dan menuntut Mustafa untuk tetap kuat sepeninggalnya. Mustafa boleh terkenang akan perkataan ayahnya bahwa ia adalah anak pemberani, bukan anak cengeng. Tetapi, bagaimana dengan kesepian karena hidup sebatang kara, tanpa keluarga? Ayahnya tidak pernah berpikir soal yang satu ini.
Dalam cerpen Kamar Anjing yang rumit, Sentot Karyoto adalah ayah seorang remaja putra bernama Aditya yang terlahir untuk bersaing dengan boneka ciptaan ayahnya, Chocky. Aditya benci pada Chocky karena kehadiran boneka itu menyisihkannya dari cinta seorang ayah. Saat akhirnya menyadari dampak kehadiran Chocky dalam hidup Aditya, Sentot membakar boneka yang pernah jadi sumber keuangan keluarga. Tetapi justru, setelah itu, Aditya tidak bisa menerima. Baginya, Chocky adalah dirinya. Membunuh Chocky berarti mengakhiri juga hidupnya, sehingga ia ingin membunuh ayahnya.
Cinta antara dua manusia berbeda gender masih menjadi kekuatan manis sang pengarang. Sepanjang Braga dalam kumpulan cerpen ini merupakan versi kelima sejak cerpen berjudul sama ditulis pertama kali tahun 1988 (bisa dibaca dalam kumcer Burung Kolibri Merah Dadu, 2007). Sihir jalan Braga, Bandung, yang menurut pengarangnya menyimpan masa silam Bandung, terus melahirkan cerpen yang beraroma sendu.
La Tifa masih berbincang tentang cinta, antara dua manusia berbeda gender, namun berbeda usia, dan terlarang. Hubungan Latifa dengan Rayadi, seorang ayah dan suami, awalnya dibayang-bayangi figur almarhum ayahnya. Itulah yang diyakini Latifa, sebelum ia memiliki mimpi-mimpi liar terkait dengan Rayadi. Manakala mimpi-mimpi liar itu menampakkan wujudnya dalam persentuhan fisik yang melampaui batas, Latifa melihat dirinya sebagai seorang pendosa nan hina. Apa yang telah terjadi antara dirinya dan Rayadi mungkin bisa dihapus. Maka, Latifa mencoba mengubah cara menulis namanya. Ia bukan lagi Latifa, tetapi La Tifa. Pertanyaannya: “Akankah mengembalikan kesucian?” (hlm. 138).
Pertaruhan menggambarkan gagasan-gagasan konyol yang bisa timbul dalam benak manusia, dipicu oleh hal yang tidak signifikan. Berkisah tentang pertaruhan demi pertaruhan yang dilakoni dua pemuda, Arya dan Iban, yang awalnya disebabkan oleh seorang gadis. Mereka ingin meraih julukan lelaki terhebat dengan melakukan serangkaian permainan berbahaya yang ditonton khayalak. Selain menyabung nyawa dalam kadang harimau di kebun binatang, keduanya pernah mereguk segelas kopi bercampur arsenik. Seolah tidak cukup, demi meraih supremasi kejantanan, mereka kian tertantang untuk mempertaruhkan nyawa dalam permainan yang tidak masuk akal. Pada pertaruhan yang penghabisan, apakah mereka akan keluar dengan selamat?
Penggali Makam adalah kisah pergulatan pikiran seorang lelaki terkait dengan keyakinan agamanya. Ia adalah penggali makam satu-satunya setelah para penggali makam sebelumnya mencampakkan pekerjaan ini. Satu pertanyaan menggerogoti benaknya: tidak ada seorang pun di lingkungan tempat tinggalnya yang berniat menjadi penggali makam, jadi siapa yang akan menggali makam bagi dirinya jika ia meninggal? Sebelum pertanyaan ini terjawab, rentetan tanya telah menambah beban pikirannya. Apakah yang dimaksud dengan takdir? Mengapa setan akan dibakar api di neraka jika setan diciptakan dari api? Apakah Tuhan benar-benar ada? Pengarang dengan cerdik akan memberikan jawaban yang akan menyembuhkan jiwa si penggali makam.
“Ternyata aku hanya seorang pendongeng”. Kalimat ini disebutkan sebanyak empat kali dalam cerpen pamungkas dalam kumcer ini, Jalan Teduh Menuju Rumah. Cerpen ini merupakan khayalan Kurnia Effendi, sang pengrajin kata, mengenai masa depannya dan keluarganya. Tinggal di dusun lereng bukit, dikunjungi anak-anak, menantu dan cucunya saat lebaran. Tampaknya segala sesuatu begitu membahagiakan, tetapi apakah karena dirinya yang seorang pendongeng? Ternyata tidak, karena kegembiraan cucu-cucunya disebabkan oleh jalan teduh menuju rumah yang telah diupayakannya. Jalan teduh menuju rumah tidak hanya mengacu pada jalan yang dirindangi pepohonan cengkeh menuju rumahnya di lereng bukit, tetapi apa yang telah dilakukannya untuk menjadikan keluarganya sentosa dan bahagia, dengan cinta kasih.
Kumpulan cerpen Anak Arloji memberikan kita bacaan yang kaya nuansa. Di sini kita bisa menikmati kisah misteri yang menggedor, drama romantis yang mengigit hati, pergulatan psikologis manusia yang tidak habis-habisnya dalam memaknai kehidupan, dan cinta yang mewarnai jalinan antara anggota keluarga. Setiap ilham ditangkap dengan jitu dan digelar dalam untaian kalimat berbobot yang enak dibaca, sebagai salah satu kekuatan paling mencolok dari sang pengarang. Kata demi kata seolah diperhitungkan untuk meninggalkan jejak yang tidak gampang hilang dalam hati pembaca. Dalam keindahannya bertutur, bahasanya selalu wajar. Bahkan, ketika menggelontorkan kisah romantis seperti Aromawar. Pilihan diksinya memesona tetapi tidak membuatnya sok puitis. Saat menyampaikan cerita bermuatan pergumulan psikologis, ia pun memiliki kelebihan, ia tidak pernah larut dalam kalimat-kalimat pelik seperti banyak ditemukan dalam karya-karya serupa.
Aromawar adalah cerpen misteri lain yang diuntai dari kalimat-kalimat memukau untuk membungkus muatan sensualitas di dalamnya. Marchy yang sedang berulang tahun menikmati kesendirian di sebuah puri ketika seorang lelaki tampan beraroma mawar yang menamakan diri Pangeran Rembulan mendatanginya. Ia menghadiahkan Marchy sebuah kado: percintaan semalam yang membuat sang gadis luluh lantak. Pada malam yang sama, di sebuah café, seorang pencipta parfum yang menyebut dirinya Pangeran Rembulan mengadakan launching parfum terbarunya, Aromawar.
Elemen misteri juga mewujud dalam Tetes Hujan Menjadi Abu. Andria memutuskan pulang kampung setelah menyaksikan hujan turun dan setiap tetes airnya berubah menjadi abu begitu menyentuh tanah. Ia teringat pesan neneknya bahwa jika hal ini terjadi, itu artinya ia harus segera pulang, karena sang nenek telah meninggal. Ayahnya, seorang duda yang tidak menunjukkan keinginan menikah lagi semangkat istrinya, bertanya-tanya bagaimana Andria bisa datang tepat waktu. Bukti yang disodorkan Andria, sama dipertanyakan, dengan alasan ayahnya tidak ingin menikah lagi.
Dalam Kuku Kelingking, pengarang mengisahkan tindakan cinta seorang ibu demi mengumpan tekak anak laki-lakinya. Bobby sulit makan sehingga menjadi kurus kerempeng. Banyak dokter dan ahli gizi dikerahkan, hanya untuk menyerah setelah upaya maksimal yang mereka lakukan. Baru, setelah ujung jari kelingking sang ibu tanpa sengaja dikorbankan, akhirnya selera makan Bobby merebak lagi.
Cinta seorang ibu kepada anaknya tampil kembali dalam Panggilan Sasha. Rosana, seorang ibu muda, memutuskan bekerja ketika kebutuhan hidup keluarga kian meningkat. Jika ia bekerja, terpaksa ia harus meninggalkan anaknya, Sasha, untuk memulai sejak awal hidup mandiri. Padahal Sasha baru berumur 3 tahun. Sedikit lagi impian Rosana menjadi pekerja sukses akan terwujud, tetapi ia tidak bisa mengabaikan panggilan Sasha yang masih membutuhkannya.
Cinta ibu yang lain dihadirkan pengarang dalam Wangi Kaki Ibu. Setelah tiga tahun membawa adik perempuannya ke Jakarta dengan harapan bisa mengajar si adik menjadi manusia yang baik, seorang lelaki muda kembali ke kota kelahirannya. Peni, si adik perempuan, telah mati. Memang bukan ia yang membunuh Peni, namun kematian Peni menjadi bukti kegagalannya menunaikan janji kepada ibunya. Ia berharap akan mendapat hukuman dari ibunya. Namun seperti ditulis pengarangnya, “Hanya seorang ibu yang dapat memadukan antara sakit hati dan kasih sayang dengan nyaris sempurna” (hlm. 149).
Hubungan seorang anak laki-laki dengan ayahnya bisa dibaca dalam dua cerpen yaitu Laut Lepas Kita Pergi dan Kamar Anjing. Setelah kehilangan ibu dan dua adiknya dalam peristiwa tsunami di Aceh, Mustafa terpaksa menerima kepengecutan ayahnya. Ayahnya tidak mampu bertahan mengatasi kesedihan kehilangan keluarganya, dan menuntut Mustafa untuk tetap kuat sepeninggalnya. Mustafa boleh terkenang akan perkataan ayahnya bahwa ia adalah anak pemberani, bukan anak cengeng. Tetapi, bagaimana dengan kesepian karena hidup sebatang kara, tanpa keluarga? Ayahnya tidak pernah berpikir soal yang satu ini.
Dalam cerpen Kamar Anjing yang rumit, Sentot Karyoto adalah ayah seorang remaja putra bernama Aditya yang terlahir untuk bersaing dengan boneka ciptaan ayahnya, Chocky. Aditya benci pada Chocky karena kehadiran boneka itu menyisihkannya dari cinta seorang ayah. Saat akhirnya menyadari dampak kehadiran Chocky dalam hidup Aditya, Sentot membakar boneka yang pernah jadi sumber keuangan keluarga. Tetapi justru, setelah itu, Aditya tidak bisa menerima. Baginya, Chocky adalah dirinya. Membunuh Chocky berarti mengakhiri juga hidupnya, sehingga ia ingin membunuh ayahnya.
Cinta antara dua manusia berbeda gender masih menjadi kekuatan manis sang pengarang. Sepanjang Braga dalam kumpulan cerpen ini merupakan versi kelima sejak cerpen berjudul sama ditulis pertama kali tahun 1988 (bisa dibaca dalam kumcer Burung Kolibri Merah Dadu, 2007). Sihir jalan Braga, Bandung, yang menurut pengarangnya menyimpan masa silam Bandung, terus melahirkan cerpen yang beraroma sendu.
La Tifa masih berbincang tentang cinta, antara dua manusia berbeda gender, namun berbeda usia, dan terlarang. Hubungan Latifa dengan Rayadi, seorang ayah dan suami, awalnya dibayang-bayangi figur almarhum ayahnya. Itulah yang diyakini Latifa, sebelum ia memiliki mimpi-mimpi liar terkait dengan Rayadi. Manakala mimpi-mimpi liar itu menampakkan wujudnya dalam persentuhan fisik yang melampaui batas, Latifa melihat dirinya sebagai seorang pendosa nan hina. Apa yang telah terjadi antara dirinya dan Rayadi mungkin bisa dihapus. Maka, Latifa mencoba mengubah cara menulis namanya. Ia bukan lagi Latifa, tetapi La Tifa. Pertanyaannya: “Akankah mengembalikan kesucian?” (hlm. 138).
Pertaruhan menggambarkan gagasan-gagasan konyol yang bisa timbul dalam benak manusia, dipicu oleh hal yang tidak signifikan. Berkisah tentang pertaruhan demi pertaruhan yang dilakoni dua pemuda, Arya dan Iban, yang awalnya disebabkan oleh seorang gadis. Mereka ingin meraih julukan lelaki terhebat dengan melakukan serangkaian permainan berbahaya yang ditonton khayalak. Selain menyabung nyawa dalam kadang harimau di kebun binatang, keduanya pernah mereguk segelas kopi bercampur arsenik. Seolah tidak cukup, demi meraih supremasi kejantanan, mereka kian tertantang untuk mempertaruhkan nyawa dalam permainan yang tidak masuk akal. Pada pertaruhan yang penghabisan, apakah mereka akan keluar dengan selamat?
Penggali Makam adalah kisah pergulatan pikiran seorang lelaki terkait dengan keyakinan agamanya. Ia adalah penggali makam satu-satunya setelah para penggali makam sebelumnya mencampakkan pekerjaan ini. Satu pertanyaan menggerogoti benaknya: tidak ada seorang pun di lingkungan tempat tinggalnya yang berniat menjadi penggali makam, jadi siapa yang akan menggali makam bagi dirinya jika ia meninggal? Sebelum pertanyaan ini terjawab, rentetan tanya telah menambah beban pikirannya. Apakah yang dimaksud dengan takdir? Mengapa setan akan dibakar api di neraka jika setan diciptakan dari api? Apakah Tuhan benar-benar ada? Pengarang dengan cerdik akan memberikan jawaban yang akan menyembuhkan jiwa si penggali makam.
“Ternyata aku hanya seorang pendongeng”. Kalimat ini disebutkan sebanyak empat kali dalam cerpen pamungkas dalam kumcer ini, Jalan Teduh Menuju Rumah. Cerpen ini merupakan khayalan Kurnia Effendi, sang pengrajin kata, mengenai masa depannya dan keluarganya. Tinggal di dusun lereng bukit, dikunjungi anak-anak, menantu dan cucunya saat lebaran. Tampaknya segala sesuatu begitu membahagiakan, tetapi apakah karena dirinya yang seorang pendongeng? Ternyata tidak, karena kegembiraan cucu-cucunya disebabkan oleh jalan teduh menuju rumah yang telah diupayakannya. Jalan teduh menuju rumah tidak hanya mengacu pada jalan yang dirindangi pepohonan cengkeh menuju rumahnya di lereng bukit, tetapi apa yang telah dilakukannya untuk menjadikan keluarganya sentosa dan bahagia, dengan cinta kasih.
Kumpulan cerpen Anak Arloji memberikan kita bacaan yang kaya nuansa. Di sini kita bisa menikmati kisah misteri yang menggedor, drama romantis yang mengigit hati, pergulatan psikologis manusia yang tidak habis-habisnya dalam memaknai kehidupan, dan cinta yang mewarnai jalinan antara anggota keluarga. Setiap ilham ditangkap dengan jitu dan digelar dalam untaian kalimat berbobot yang enak dibaca, sebagai salah satu kekuatan paling mencolok dari sang pengarang. Kata demi kata seolah diperhitungkan untuk meninggalkan jejak yang tidak gampang hilang dalam hati pembaca. Dalam keindahannya bertutur, bahasanya selalu wajar. Bahkan, ketika menggelontorkan kisah romantis seperti Aromawar. Pilihan diksinya memesona tetapi tidak membuatnya sok puitis. Saat menyampaikan cerita bermuatan pergumulan psikologis, ia pun memiliki kelebihan, ia tidak pernah larut dalam kalimat-kalimat pelik seperti banyak ditemukan dalam karya-karya serupa.
Buku yang dipersembahkan untuk ulang tahun setengah abadnya ini –Kurnia Effendi dilahirkan pada 20 Oktober 1960- merupakan kumpulan cerpen keenamnya. Sebelumnya telah terbit kumcer Senapan Cinta (2004), Bercinta di Bawah Bulan (2004), Aura Negeri Cinta (2005), Kincir Api (2005), dan Burung Kolibri Merah Dadu (2007).
0 comments:
Post a Comment