12 February 2012

Mimpi Bayang Jingga


 

Judul: Mimpi Bayang Jingga
Penulis: Sanie B. Kuncoro
Penyunting: Imam Risdiyanto
Tebal: vi + 214 hlm; 13 x 20,5 cm
Cetakan: 1, April 2009
Penerbit: Penerbit Bentang (Pustaka Populer)



"Kisah yang pernah menjadi juara ke-2 lomba cerber tabloid Nyata ini akan memberikan sentuhan lembut nan memukau kepada Anda". 

 
Kalimat ini tercantum pada bagian luar sampul belakang buku Mimpi Bayang Jingga karya Sanie B. Kuncoro. Sebelum menilik isinya, kalimat ini akan menggiring pembaca untuk percaya bahwa Mimpi Bayang Jingga adalah sebuah novel. Apalagi kata "Novel" memang disematkan pada buku ini. Padahal, sesungguhnya, Mimpi Bayang Jingga adalah kumpulan tiga novela: The Desert Dreams, Mimpi Bayang, dan Jingga. Entah kenapa penerbit seolah-olah hendak memosisikan buku ini sebagai novel. Apakah karena novel adalah jenis buku yang lebih banyak dibeli dibanding karya fiksi jenis lain?

Ketiga kisah dalam Mimpi Bayang Jingga berkisar pada hubungan cinta antara perempuan dan laki-laki. Sehingga, ketiganya bisa ditinjau dari berbagai perspektif karakter yang dihadirkan pengarang. Namun, tentu saja, yang paling menarik adalah meninjaunya dari perspektif perempuan. Apalagi, ketiga kisah tersebut ditulis seorang perempuan.

The Desert Dreams
berkisah tentang May. Perempuan ini memiliki kemampuan 'melihat' sesuatu atau seseorang yang tidak terlihat oleh orang lain. Tetapi ia tidak bisa 'melihat' bila perasaannya terlibat di dalamnya. Karenanya, ketika Baron -suaminya, jatuh cinta pada perempuan lain, May tidak segera menyadarinya. May baru mengetahui hati suaminya telah beralih manakala perempuan yang dicintai suaminya datang ke tempatnya untuk 'dilihat'.

"Mimpiku adalah sebuah rumah di tepi pantai berkarang. Pantai itu berombak jernih hingga pasir putihnya terlihat jelas di dasar air. Ada banyak jajaran pohon kelapa dan palem, dengan dedaunan hijau yang teduh. Akan kubuat perpustakaan dengan kafe di teras. Buku yang ada hanya tentang perjalanan, Kisah Para Petualang." Demikianlah impian Jingga, perempuan yang namanya dijadikan judul novela yang menjadi Juara ke-2 lomba cerber tabloid Nyata. Impian ini diuraikannya di hadapan seorang lelaki bernama Bentang, lelaki yang tidak membutuhkan impian untuk hidup karena memiliki segalanya. Setelah menjalin hubungan dengan Bentang, Jingga sadar, ia punya impian lebih dari sekadar sebuah rumah di tepi pantai berkarang. Ia mengimpikan sebuah pernikahan yang akan ditawarkan lelaki yang dicintainya. Sayang, lelaki tanpa impian itu hanya ingin menikmati cinta, tetapi tidak pernikahan.

Frangipani dalam Mimpi Bayang tiba-tiba menemukan dirinya berada di persimpangan di sebuah kota bernama Pringsewu. Ia tidak tahu mengapa bisa berada di sana, tetapi bak diatur, ia menemukan lelaki, yang bersamanya, Frangi bisa melihat dan mengoreksi diri sendiri. Sementara Frangi bertualang, seorang pemuda bernama Jati berada di sebuah kamar perawatan di sebuah rumah sakit menunggui kekasihnya yang terbaring koma.

Ketiga novela itu memiliki kesamaan: perpisahan. Tetapi kesamaannya hanya sampai di situ. Perpisahan yang terjadi di antara para karakter bersumber dari sebab yang tidak sama. May memutuskan berpisah dari Baron karena kehadiran orang ketiga; Jingga berpisah dengan Bentang karena tidak ingin dianggap menjerat kekasihnya untuk menikahinya; Frangi berpisah dengan Jati karena tidak mendapatkan titik singgung dalam hubungannya mereka. Dua dari tiga perpisahan tersebut tidaklah gampang, namun pamungkasnya yang menggantung membuka kemungkinan, meskipun tipis.

Ketiga novela tersebut ditulis dengan lembut, berefek melenakan dengan kata-kata yang dirangkai manis namun terkadang getir. Plot yang dirancang menemukan akhir dengan cara tidak melegakan, tetapi menciptakan gedoran yang bermakna. Pada dua novela pertama ketika pengarang menyodorkan kepasrahan perempuan menghadapi keadaan, pembaca akan tergelitik untuk bertanya-tanya 'apa yang terjadi' setelah ending berlalu. Apakah May dan Baron atau Jingga dan Bentang akan menemukan kebahagiaan setelah semua masalah terlewatkan?

Namun harus diakui, dari ketiga novela tersebut, Jingga-lah yang punya kemampuan menggedor perasaan yang paling maksimal. Meskipun plotnya lurus dan bergegas –mungkin untuk menyesuaikan dengan ketentuan lomba yang diikuti, muatan kisah cintanya yang rawan tetap tidak kehilangan pesona hingga akhir. Mungkin itulah sebabnya, novela ini mewakili yang lain untuk tampil pada sampul belakang novel.

Dari segi penceritaan, The Desert Dreams tampil beda. Jika Jingga dan Mimpi Bayang dituturkan dari perspektif orang ketiga, The Desert Dreams hampir semuanya dari perspektif orang pertama yaitu dari perspektif tiga karakter utamanya: May, Baron, dan Orien. Pada penghujung setiap narasi, ketiga karakter ini akan tiba di "The Desert Dreams'. Meski rasa yang tercecap dari ketiga narasi nyaris sama, pengarang bisa menyiasati perjalanan kalimat menuju akhir dengan baik tanpa kesan mengada-ada (hlm. 58, 60, dan 65- 66). Hanya, perpindahan perspektif, dari 'aku-dia' menjadi 'aku-kamu' pada halaman 47-48, terasa mengganggu.

Akhirnya, setuju dengan testimoni pada sampul depan buku ini, karya Sanie B. Kuncoro akan selalu dirindukan oleh pembaca yang sudah pernah membaca karyanya: Kekasih Gelap atau Ma Yan.

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan