11 June 2012

Sapu Tangan Fang Yin (Atas Nama Cinta)


Judul Puisi Esai: Sapu Tangan Fang Yin
Dari buku: Atas Nama Cinta - Sebuah Puisi Esai
Pengarang: Denny JA
Ilustrasi cover & Isi: Susthanto
Tebal: 216 hlm; 21 x 18,5 cm
Cetakan: 1, April 2012
Penerbit: Renebook









Kenangan Dalam Secarik Sapu Tangan 
(Sapu Tangan Fang Yin)
  

Berdasarkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk setelah kerusuhan Mei 1998 diperoleh informasi bahwa selama kerusuhan 85 orang perempuan telah mengalami kekerasan seksual. Lima puluh dua korban pemerkosaan, 14 korban pemerkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual dan 9 korban pelecehan seksual. Kekerasan seksual tersebut terjadi di berbagai tempat: di dalam rumah, di jalan, dan di tempat usaha. Sebagian besar terjadi di dalam rumah/bangunan dengan korban perempuan dari etnis Tionghoa. Umumnya kasus pemerkosaan yang terjadi adalah gang rape, di mana pada waktu dan tempat yang sama, korban diperkosa sejumlah orang secara bergantian. Seperti termaktub dalam Laporan TGPF kesimpangsiuran mengenai terjadi atau tidaknya kasus pemerkosaan yang dimaksud disebabkan pendekatan berdasarkan hukum positif yang mensyaratkan adanya laporan korban, tanda-tanda persetubuhan dan tanda-tanda kekerasan, serta saksi dan petunjuk. Karena itulah Pemerintah Indonesia hingga saat ini tidak pernah menempuh langkah hukum. Padahal seperti disebutkan dalam Laporan TGPF ketidakadaan pengaduan hukum dari pihak korban disebabkan oleh kondisi traumatis, rasa malu, ataupun ketakutan mendalam yang dirasakan. 

Denny JA mengangkat pengalaman traumatis yang terjadi pada seorang perempuan Tionghoa lantaran kekerasan seksual yang dialaminya dalam puisi esai berjudul Sapu Tangan Fang Yin. Puisi esai ini adalah salah satu dari lima puisi esai yang ditulis Denny JA dalam buku Atas Nama Cinta (Renebook, 2012). Denny memandang tragedi yang menimpa si perempuan Tionghoa lahir sebagai produk salah satu diskriminasi yang diangkatnya. Ada lima diskriminasi di sini, yaitu diskriminasi terhadap kaum Tionghoa, diskriminasi paham agama, diskriminasi terhadap gender, diskriminasi terhadap homoseks, dan diskriminasi agama. Sapu Tangan Fang Yin mengangkat diskriminasi terhadap kaum Tionghoa. 
 
Setelah 13 tahun berlalu, kasus kekerasan seksual tersebut tetap diabaikan. Bagian kelam dalam lembaran sejarah Bangsa Indonesia ini direpresikan dalam budaya yang berlaku: budaya pengingkaran. Seakan-akan kasus kekerasan seksual ini hanyalah isapan jempol alias tidak pernah terjadi. Sekalipun fakta yang ada menunjukkan bahwa setelah sejumlah pihak bermaksud mengangkat kasus kekerasan seksual itu ke jenjang internasional, ada usaha untuk menindas seperti yang terbukti dengan terbunuhnya Ita Mardinata Haryono, seorang aktivis HAM yang masih remaja. 


Setelah 13 tahun berlalu, setelah perjuangan mengatasi trauma yang panjang, kenangan jahanam itu masih belum bisa dilepaskan Fang Yin. Apalagi Fang Yin masih menyimpan sapu tangan yang diberikan Albert Kho. Secarik sapu tangan itu menyimpan luka dan kemarahan yang belum menemukan kepasrahan. Begitu mencapai 35 tahun kehidupannya, Fang Yin terpikir untuk melepas kenangan buruk itu dengan simbolisasi pembakaran sapu tangan Albert Kho. Karena jauh dalam lubuk hatinya, Fang Yin tetap seorang perempuan yang menginginkan kehidupan baru, rindu membangun keluarga. Selain itu, ia tidak kuasa mengingkari rasa rindu yang lain, rindu pada Indonesia yang adalah tanah tumpah darahnya.

Tapi kemarahannya pada Indonesia masih menyala/Trauma diperkosa masih berujud horor baginya./Fang Yin membatalkan niatnya untuk kembali/Baginya Indonesia masa silam yang kelam (hlm. 22). 


Ketika kerusuhan yang mengarah pada rasialisme itu terpicu pada 12 Mei 1998, Fang Yin baru berumur 22 tahun dan sedang menjalin asmara dengan Albert Kho. Segerombolan penyamun mendatangi rumahnya di Kapuk, Jakarta Utara, dan memperkosanya secara bergantian. Selepas episode pemerkosaan itu, Fang Yin menemukan dirinya luluh lantak di sebuah rumah sakit. Albert Kho memberikannya sapu tangan untuk menampung air matanya, tetapi kemudian meninggalkannya dalam keadaan merana. Tidak semua laki-laki berhati lapang menerima perempuan yang telah kehilangan kesucian. Ingin ia bakar selembar kenangan itu/Saksi satu-satunya, sisa trauma masa lalu/Selama ini disimpannya diam-diam setangan itu/Tak Ingin ada orang lain mengganggu (hlm. 23).
 
Seperti yang banyak dilakukan kaum Tionghoa di Indonesia paska kerusuhan, keluarga Fang Yin juga pergi ke Amerika. Di San Fransisco, Fang Yin berperang melawan kondisi traumatis yang dialaminya dengan pendampingan keluarga dan psikolog. Sapu tangan yang diberikan Kho dibawanya pergi. Sapu tangan itu merekam seperti buku diary, tulis Denny (hlm. 33).                                                    


Bertahun-tahun kemudian, manakala kondisi Indonesia mulai membaik, ayah Fang Lin yang sangat mencintai tanah airnya memutuskan kembali ke Indonesia. Katanya kepada putrinya: Fang Yin, kau anak Indonesia sejati/Jangan pindah menjadi warga lain negeri (hlm. 44). Ayahnya marah mengetahui Fang Yin pindah kewarganegaraan, namun tidak bisa mematahkan ketegaran hati putrinya untuk tetap tinggal di Amerika Serikat.

Fang Yin suka perlindungan hukum/Itu sebabnya ia marah kepada Indonesia;/Fang Yin tak suka kekerasan/Itu perkara ia benci Indonesia (hlm. 45). Sejarah mengindikasikan beberapa kasus kerusuhan telah terjadi di Indonesia, dan kaum Tionghoa menjadi target kekerasan. Bandung, Pekalongan, Palu, Makassar, Medan, Solo, Rengasdengklok adalah berbagai lokasi yang pernah ditoreh tinta hitam rasialisme terkait kehidupan kaum Tionghoa di Indonesia. Kekerasan seolah begitu mudah tersulut.
 
Namun, karang pun bisa goyah oleh ombak besar;/Samudra bisa menjadi padang pasir/Apa yang tak berubah di bawah matahari? Nasihat ayahnya sudah begitu dalam berakar. Amerika hanyalah tempat sementara untuk singgah/Tapi kita lahir di Indonesia, jadi mati sebaiknya di sana-/Luka masa silam harus dilawan/Cinta Ibu Pertiwi harus ditumbuhkan (hlm. 45).


Maka Fang Yin berlutut di hadapan sapu tangan pemberian Kho dan menyalakan korek api. Tangannya gemetar karena dicengkeram ketakutan. Betapa masa silam yang getir sangat sulit ditepiskan. Apalagi jika dilumuri aib dan kehancuran harga diri. 

Ia nyalakan lagi korek api–/Dan tanpa pikir panjang, ia bakar sapu tangan itu;/Api menyala, sapu tangan terbakar/Ia melihat seluruh dirinya yang lama menjadi abu (hlm. 47).

Dengan berhasilnya Fang Yin membakar sapu tangan pemberian Kho, maka secara melegakan, masa silam, penderitaan, kepahitan, cinta, dan kekecewaan pun ikut terbakar. Namun hal paling penting yang ikut terbakar adalah kemarahannya pada Indonesia. Terbakar sudah, bagai ritus penyucian diri (hlm. 47).
 
Pengarang memilih medium yang dinamakannya puisi esai dengan berpatokan pada beberapa kriteria. Pertama, ia akan mengeksplor sisi batin, psikologi, dan sisi human interest pelaku dalam puisinya. Kedua, ia tidak hanya memotret pengalaman batin individu tapi juga konteks fakta sosialnya. Ketiga, ia bisa menyajikan data dan fakta sosial sekaligus menyentuh hati para pembaca. Tampaknya pengarang sukses melaksanakan apa yang telah diniatkannya. Sebagai puisi esai, Sapu Tangan Fang Yin mampu mentransformasikan pergolakan batin seorang perempuan Tionghoa korban pemerkosaan lengkap dengan kesedihan dan kemarahannya. Di dalamnya ada proses melupakan masa lalu yang buruk dan menciptakan keikhlasan untuk menaklukkan penderitaan. Indahnya, proses itu digerakkan oleh rasa cinta tanah air yang pernah menggores luka yang luar biasa sakit.

Melalui puisi-puisi esai dalam buku Atas Nama Cinta yang boleh dikatakan merupakan protes yang lahir dari cinta sang pengarang terhadap Indonesia, Denny JA memperkenalkan medium baru untuk mengeksplor berbagai gagasan krusial. Salah satu endorsement di sampul buku menyatakan bahwa puisi esai adalah puisi yang pintar. Karena fakta yang melatarbelakangi kisah fiktif dalam puisi ini memang akan membuat kita, para pembaca, bertambah pintar. Dan memang sudah saatnya juga, puisi tidak hanya membuat pembaca bisa merayu atau merangkai kalimat-kalimat berbunga. 




Catatan:
Dalam buku Atas Nama Cinta terdapat 5 puisi esai:
1. Sapu Tangan Fang Yin (hlm. 18-49)
2. Romi dan Yuli dari Cikeusik (hlm. 52-85)
3. Minah Tetap Dipancung (hlm. 88-115)
4. Cinta Terlarang Batman dan Robin (hlm. 118-150)
5. Bunga Kering Perpisahan (hlm. 154-181)









4 comments:

love angel's by almost said... Reply Comment

saya ingin ikut ajang menulis review 5 film tanpa deskriminasi.... tetapi sumber ceritanya sangat sulit dicari :((

Jody said... Reply Comment

@love angel's by almost:
oh, saya baru tahu ada ajang menulis review 5 film tanpa diskriminasi

okta said... Reply Comment

iya,saya juga mau ikutan lomba mereview 5 film tanpa diskriminasi.susah bgt dapet info film ini

Jody said... Reply Comment

Oh, Sorry, aku gak tahu lomba review filmnya :(

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan