06 June 2012

Tuan Dalang


Judul Buku: Tuan Dalang
Penulis: Dwi Rahayuningsih
Tebal:356 halaman
Cetakan: 1, Maret 2012
Penerbit: Diva Press








Dari desain sampul dan sinopsis yang ada di sampul belakang novel, Tuan Dalang menjanjikan pengalaman baca yang menggiurkan. Dunia wayang, dalang, dan sinden adalah hal—hal yang sangat langka diangkat dalam karya fiksi. Dilengkapi skandal cinta antara dalang dan sinden, lengkaplah keingintahuan pembaca untuk menguak isinya.

Latar belakang Dwi Rahayuningsih, pengarang novel Tuan Dalang, yang bisa dibaca dalam bagian Tentang Penulis mengesankan ketidakasingannya dengan dunia wayang. Karena itu, seting yang ia gunakan sangat bisa dipercaya. Dan Dwi memang mengindikasikan penguasaannya mengenai wayang dalam novel ini.

Sebagaimana tercantum di sampul belakang, di sini kita akan menemukan skandal cinta antara Wijanarko, seorang dalang muda, dan Kinasih, sinden gawan-nya. Begitu novel dibuka, pengarang langsung mendedahkan cerita perselingkuhan mereka yang dibangunnya dari rangkaian kalimat nan puitis dan  tidak vulgar. Secepat terjadinya perselingkuhan, secepat itu pula kesadaran menerpa benak Wijanarko kalau ia telah mengkhianati Pujawati, istrinya.

Kinasih sendiri sudah bersuami, tapi tidak merasa bahagia dengan pernikahannya. Saking sibuk dengan pekerjaan, suaminya mengabaikan Kinasih. Tidak heran mereka belum dikaruniai anak.

Skandal cinta antara dua orang yang sudah berumah tangga semestinya menghasilkan kisah dengan konflik yang menggigit. Apalagi kalau skandal cinta ini diketahui pasangan masing-masing dan menimbulkan reaksi keras. Sayangnya,  pengarang tidak memilih mempertajam konflik. Bahkan dengan segera ia mengambil jalan enteng. Sang dalang memutuskan untuk mengakhiri hubungan terlarang itu. Ibarat pepatah habis manis sepah dibuang, itulah yang dilakukan Wijanarko. Keputusannya muncul dari rasa bersalah telah mengingkari sumpah setia kepada istrinya.  

“Apa pun keindahan yang tampak, akan hilang kemuliaaannya jika berada di jalan yang salah. Semurni apa pun cinta, jika datang pada saat yang tidak tepat, pastilah akan menyiksa dan melukai,” begitu yang ada dalam pikiran Wijanarko (hlm. 12).

Selanjutnya, Wijanarko ingin Kinasih mengetahui kisah hidupnya. Maka, mengalirlah dari mulut Wijanarko bentangan kehidupannya sejak bocah cilik hingga menjadi dalang paling moncer seperti saat ini. Tidak lupa ia menceritakan pernikahannya dengan anak haram Ki Maruta, termasuk sumpah yang pernah dirapalnya.

Jujur saja, agak berat mengikuti kisah masa lalu Wijanarko. Bukan karena hidupnya sangat sulit, tapi karena cara pengarang menyajikannya. Sebenarnya tidak masalah kilas balik menggunakan durasi cukup panjang. Hanya saja, harus dipertimbangkan dengan tepat mana cerita yang bisa dimasukkan di bagian ini dan bagaimana membangun cerita itu dengan baik. Cerita tentang Wijanarko cilik yang ketiduran di tempat pementasan wayang, misalnya, tidak logis. Bagi orang yang sangat terobsesi dengan wayang, semestinya Wijanarko tidak membiarkan dirinya terlelap. Interaksi antara Wijanarko dan Romo Kanjeng manakala ia bersekolah di Konservatori Solo juga terlalu bertele-tele, apalagi disertai dialog-dialog rimbun bermuatan filosofi kehidupan.

Dalam bercerita, pengarang memperlihatkan keinginannya menggunakan POV yang bervariasi. Di bagian awal, ia menggunakan POV orang ketiga, kemudian memasuki bagian kilas balik dari pihak Wijanarko ia menggunakan POV orang pertama. Hanya saja, beberapa kali ia melakukan penyimpangan. Tatkala Wijanarko tertidur sewaktu hendak menyaksikan pementasan wayang, tiba-tiba pengarang kembali menggunakan POV orang ketiga (hlm. 60-66). Hal ini juga terjadi ketika Pujawati berhadapan dengan Ki Maruta yang berniat menikahi gadis Jepang (hlm. 240-259). Setelah itu, POV beralih ke POV orang pertama dari sudut pandang Pujawati (Bab 14: Pohon di Tengah Padang). Perpindahan POV yang tidak teratur dan sesungguhnya tidak perlu ini sangat tidak tepat karena cerita di dalamnya masih merupakan bagian kilas balik dari Wijanarko.

Begitu Pujawati usai bercerita, pengarang kembali seperti di bagian awal, POV orang ketiga. Kemudian, secara tiba-tiba, Kinasih telah menjadi narator orang pertama. Pengarang masih tetap tidak konsisten karena beberapa kali melakukan perpindahan POV ke orang ketiga  (hlm. 298-299; 13-316; hlm. 326-332). Setelah kembali menggunakan POV orang pertama, novel ditutup, lagi-lagi, menggunakan POV orang ketiga. Perpindahan POV ini juga tidak logis karena masih merupakan bagian dari cerita Kinasih. 

Keputusan Wijanarko mengakhiri hubungan dengan Kinasih jelas sebuah keputusan munafik. Mereka memulai perselingkuhan dari rasa suka sama suka, tapi kemudian Wijanarko mau mengakhiri secara sepihak karena digugat rasa bersalah. Wijanarko tidak mempertimbangkan dari sisi Kinasih yang telanjur mencintainya. Sungguh tidak adil. Sayangnya, pengarang lebih menunjukkan keberpihakannya pada Wijanarko ketimbang pada Kinasih. Perselingkuhan mereka menciptakan azab dan sengsara, tapi hanya di pihak Kinasih.  

Senyatanya, Dwi Rahayuningsih adalah pengarang dengan bakat merangkai kalimat yang cukup prima. Hanya saja, ia masih perlu meningkatkan kecakapan mengeksekusi cerita. Plot yang mengalir lancar dan bebas lanturan serta konflik yang diasah tajam perlu dimahiri agar bisa menghasilkan kisah yang jauh lebih moncer dan disukai pembaca.

Tuan Dalang dihadirkan dalam buku sejumlah 356 halaman yang dikemas dengan sampul yang benar-benar mencerminkan kisahnya. Di bagian kiri atas sampul depan terdapat kalimat yang dipetik dari dalam novel. Kalimat ini berhasil menggambarkan pesan yang disampaikan oleh pengarang di dalam novel. Sedangkan kalimat di bawah judul novel yang berbunyi "Rahasia Hati Seorang Sinden Cantik...." bila dihilangkan tidak akan mengurangi tampilan sampul yang sudah bagus. 

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan