Judul Buku: Bintang Bunting
Penulis: Valiant Budi
Penyunting: Mumu Aloha
Tebal: xvi +324 hlm; 13 X 19 cm
Cetakan: 1, 2008
Penerbit: GagasMedia
Penulis: Valiant Budi
Penyunting: Mumu Aloha
Tebal: xvi +324 hlm; 13 X 19 cm
Cetakan: 1, 2008
Penerbit: GagasMedia
Valiant Budi Yogi menjadi salah satu nominator Penulis Muda Berbakat pada ajang Khatulistiwa Literary Award 2007 berkat novel perdananya yang bertajuk Joker: Ada Lelucon di Setiap Duka (GagasMedia, 2007). Kisah tentang seorang pemuda dengan kepribadian ganda seorang perempuan ini memang terbilang sangat menarik. Valiant Budi berhasil menggiring pembacanya ke dalam pusaran kisah yang nyaris tak terduga dalam teknik penceritaan yang mengalir cepat bak adegan-adegan film.
Sekarang, masih dengan penerbit yang sama, Valiant Budi menerbitkan novel yang diberi judul Bintang Bunting. "Kalo kamu pikir Bintang Bunting menceritakan seorang gadis cilik bernama Bintang dan hamil di luar nikah, maaf..., kamu salah," begitu pernyataan Valiant (hlm. Ix). Dan memang, Bintang Bunting bukanlah kisah tentang gadis kecil bernama Bintang yang bunting atau seorang bintang (film, sinetron) yang bunting.
Bintang Bunting
adalah hikayat seorang perempuan muda bernama Audine. Dan Audine tidak
bunting (maksudnya hamil) meskipun dia sudah bersuami. Suaminya, Adam,
bekerja di sebuah agensi periklanan dan kerja sampingan sebagai
seorang pemeran 'sinetron' reka ulang, tayangan reka ulang peristiwa
kriminal. Mereka jatuh cinta bukan pada pandangan pertama tetapi pada
aroma pertama. Saat itu, Audine hanya mengenakan handuk, sedangkan Adam
hanya memakai celana dalam. Ceritanya, mereka sama-sama baru saja
selesai berenang. Aroma menguar –namanya feromon, dan keduanya
memutuskan untuk menjalin hubungan serius.
Setelah
menikah dengan Adam, Audine yang pada masa kecilnya memiliki kebiasaan
berjalan dalam tidur bingung membedakan mimpi dan kenyataan. Tentu
saja, Adam terganggu dengan kebiasaan Audine. Suatu malam, Audine
tiba-tiba meninggalkan apartemen, bertelanjang kaki sambil menenteng
sepatu. Baru sesampainya di rumah Mada, seorang peramal, Audine
menyadari bahwa pagi masih lama tiba.
Adam
memang pusing dengan apa yang terjadi pada Audine. Tetapi Audine
sendiri merasa tersiksa. Seingatnya, Adam yang sedang bertugas ke
Manado baru saja menelepon dan menyebutkan jika pesawatnya delay
karena cuaca buruk. Eh, tak berapa lama, suaminya telah ada di rumah,
lengkap dengan piyama cokelat muda. Menurut Adam, dia sudah kembali
malam sebelumnya, dan Audine yang membukakan pintu untuknya. Nah, kacau
kan?
Mada
menyarankan Audine untuk memperbaiki hubungannya dengan Adam. Dia
berpendapat, hubungan Audine dan Adam sedang bermasalah karena
belakangan mimpi-mimpi Audine selalu melibatkan Adam. Mada mengingatkan
Audine untuk berhati-hati agar perkawinannya tidak berakhir seperti
kariernya 7 bulan berselang. Bahkan, setelah membaca telapak tangan
Audine, Mada menyuruh Audine untuk menghindari daerah Selatan, tempat
keramaian dengan burung elang besar dan bercahaya (belakangan Audine
tahu yang dimaksud Mada adalah Golden Eagle Hotel).
Audine
tentu saja percaya dengan apa yang dikatakan Mada. Mada muncul secara
tiba-tiba dalam kehidupan Audine. Sekitar 13 bulan silam, Audine sedang
duduk-duduk di sebuah kafe ketika tanpa diundang, Mada sudah duduk
manis di depannya. Dengan tangkas, Mada membeberkan isi mimpi dan
perilaku Audine. Jadi, siapa yang tidak percaya jika Mada mengaku
dirinya sebagai seorang peramal?
Selain
Mada, Audine sering curhat banyak hal pada Raeli, seorang pemilik
salon yang takut mati. Raeli tahu persis betapa bingungnya Audine
memisahkan mimpi dan kenyataan. Dan saat ngobrol dengan dirinyalah
Audine mendapat ide membedakan mimpi dan kenyataan. Sangat mudah, cukup
menyediakan kertas dan pulpen. Audine akan memakai penanda untuk
kejadian nyata, mencoret garis hingga membentuk simbol. Yang kemudian
membentuk simbol bintang.
Suatu
hari, ketika sedang tidak berada di apartemen, Mada menelepon Audine.
Kata Mada, seseorang yang tidak Audine harapkan akan menemui Audine.
Hal ini membuat Mada benar-benar merasa tak enak dan menyarankan Audine
untuk datang ke rumahnya. Ketika pulang ke rumah untuk mengambil
pakaian sebelum ke rumah Mada, Adam ternyata telah pulang kerja. Adam
sedang berada di atas ranjang, ML dengan seorang perempuan lain! Lalu,
dalam keadaan histeris, setelah sempat menggores sebuah garis di atas
kertas, sebuah benda menimpa kepala Audine dan membuatnya pingsan.
Ketika sadar, Adam mengatakan jika dia menemukan Audine dalam keadaan
pingsan, pas pulang kerja. Audine tidak percaya, meski kemudian sadar,
'bintang'-nya kehilangan garis yang telah dicoretkannya.
Audine
mesti melakukan sesuatu. Karena mimpi-mimpinya sering membuat bencana,
dia memutuskan untuk tetap terjaga. Tetapi, lagi-lagi masalah datang,
terjadi pembunuhan, dan Audine curiga dirinya telah membunuh. Dalam
kungkungan depresi, Audine memutuskan berlibur. Maka, ia pergi ke Pulau
Seribu. Tetapi, Mada memberi tahunya jika Pulau Seribu bukan tempat
yang aman bagi Audine. Akhirnya, Audine memutuskan pergi ke Turki,
tempat Adam melamarnya dulu.
Sayangnya,
sekembalinya dari Turki, masalah tidak juga hilang. Beberapa kejadian
menimpanya, benaknya meraba berbagai kejanggalan, dan ia menemukan
garis-garis yang membentuk bintang yang dibuatnya mengalami perubahan.
Gambar bintangnya mendadak bunting!
Sebenarnya,
apakah yang terjadi pada Audine? Benarkah Audine sungguh-sungguh tidak
bisa membedakan mimpi dan kenyataan? Pertanyaan-pertanyaan ini akan
terjawab setelah pembaca usai meniti plot yang terentang dari awal
hingga akhir novel kedua Valiant Budi ini.
Sekali lagi, seperti yang dilakukannya dalam Joker,
Valiant menunjukkan dirinya sebagai penulis yang piawai memadukan
percintaan, saspens, dan komedi (dalam kadar secukupnya) untuk
menghasilkan sebuah novel kontemporer. Cerita berpilin yang disodorkan
terbilang menarik, mengayun cepat dalam plot yang menyediakan cukup
tikungan untuk menciptakan rasa penasaran pembaca.
Untuk
mengelaborasi kisah dalam novel ini, Valiant menggunakan gaya
penulisan yang asyik dengan bahasa lincah dan bumbu pengetahuan populer
yang mungkin akrab bagi pembaca kosmopolitan. Keseluruhannya memikat,
menghadirkan sebuah novel mutakhir yang tidak basi.
Di
sela-sela plot, kita bisa membaca potongan-potongan cerita/info yang
nyaris semuanya lepas dari alur dan konflik novel. Jika disimak dengan
teliti, ternyata itu adalah potongan-potongan acara televisi: berita,
iklan, acara kriminal, dll. Meski beberapa di antaranya melibatkan
hasil pekerjaan Adam (yang ternyata tidak cuma pekerja periklanan dan
pemain 'sinetron' reka ulang), potongan-potongan acara ini tidak
mempengaruhi isi novel. Dengan kata lain, jika dihilangkan, novel tidak
kehilangan greget. Gaya seperti ini mungkin hanya cara Valiant untuk
menghadirkan novelnya sedikit berbeda dengan kebanyakan novel.
Khusus
untuk Raeli, pemilik salon yang kenal baik dengan Audine dan Adam,
Valiant memberikan porsi penceritaan yang cukup banyak. Kisah Raeli
mengatasi ketakutan akan kematian berkembang menjadi sebuah plot
sendiri, yang sayangnya, juga, tidak memberi kontribusi berarti bagi
novel. Untunglah, Valiant membentangkan kisah Raeli ini dengan menarik,
sehingga keberadaannya melengkapi keasyikan novel.
Dalam
menyingkapkan penyebab kekacauan hidup Audine, Valiant tampaknya agak
tergesa. Padahal, dengan sedikit dikekang, efeknya akan lebih menggedor.
Ya, paling tidak, Valiant seharusnya sedikit sabar memberi tahu siapa
sebenarnya Mada.
Sedikit spoiler,
Valiant juga melewatkan penjelasan yang akurat mengenai motivasi
tindakan si pengacau kehidupan Audine. Apakah hanya sekedar cinta atau
juga karena harta (Audine adalah seorang kaya)? Atau hanya sekedar
untuk main-main? Kalau sekedar main-main, untuk apa cape-cape baca
novel ini?
Tetapi,
Valiant tetap memiliki kecakapan untuk tidak membuat novelnya terpuruk
menjadi tidak menarik. Setelah pengungkapan yang tergesa, Valiant
masih menyisakan kejutan yang tak terduga di penghujung novel. Tidak
semua yang terkesan sebagai lanturan, tidak punya kontribusi terhadap
bangunan konflik novel.
Bagi saya, Bintang Bunting
adalah sebuah novel yang wajib dibaca. Sebagai penyuka film, terutama
dengan konflik berbelit, saya melihat novel ini seolah-olah melompat
keluar dari kerumunan film-film Holywood. Barangkali, penonton setia
film-film Holywood akan segera merasa dejavu dengan model cerita dalam
novel ini. Namun, tentu saja Bintang Bunting tetap merupakan karya asli Valiant Budi.
Tidak selalu saya bisa membaca novel yang asyik. Bintang Bunting
memberikan saya kenikmatan membaca –meski tidak sampai 'orgasme'.
Begitu mulai, saya ingin segera menuntaskan seluruh novel,
secepat-cepatnya. Saya berharap, dari penulis yang sama, akan terus
muncul novel-novel baru dengan tema berbeda yang enak dibaca. Dengan
saran, tentu saja, terus belajar untuk merancungkan teknik penulisan
dan bertutur.
0 comments:
Post a Comment