Judul Buku: Adriana – Labirin Cinta di Kilometer Nol
Pengarang: Fajar Nugros & Artasya Sudirman
Penyunting: Azzura Dayana & Nessy Apriyani
Tebal: 400 hlm; 20,5 cm
Cetakan: 1, Januari 2010
Penerbit: Lingkar Pena
Pengarang: Fajar Nugros & Artasya Sudirman
Penyunting: Azzura Dayana & Nessy Apriyani
Tebal: 400 hlm; 20,5 cm
Cetakan: 1, Januari 2010
Penerbit: Lingkar Pena
Cinta tidak pernah menjadi ladang tandus bagi ide penulisan novel. Fajar Nugros dan Artasya Sudirman tidak ragu-ragu untuk memakai cinta sebagai bahan dasar novel kolaborasi mereka yang diberi judul: Adriana, dengan subjudul: Labirin Cinta di Kilometer Nol. Namun mereka tidak ingin novel mereka sekadar menjadi novel romantis yang sudah banyak bertaburan di ranah fiksi Indonesia. Maka, novel ini pun dikemas secara berbeda.
Dimulai oleh Fajar Nugros, tampillah seorang anak muda bernama Mamen yang sedang menyelesaikan skripsinya yang terbengkalai. Ia sedang berada di Perpustakaan Nasional, ketika bertemu dengan seorang dara jelita yang tersandung karpet lift. Secepat kecantikan sang dara meresap, gagasan bertemu kembali terpercik di benak Mamen.
Adriana menerima tawaran Mamen. Namun tidak akan mudah bagi Mamen, kecuali dia bisa menggunakan otak yang jarang dipergunakannya dengan baik. Untuk mendapatkan waktu dan tempat pertemuan, Mamen harus bisa memecahkan teka-teki yang diberikan Adriana.
Ujian pertama gagal total tapi Adriana masih memberikan kesempatan. Bagaimanapun, seidiot-idiotnya Mamen, laki-laki itu adalah cinta sejati Adriana. Mamen memang tidak tahu dia pernah satu SMA dengan Adriana. Sebab, selama di SMA, Mamen tidak pernah menyadari keberadaan Adriana. Gadis ini tidak pernah masuk sasaran tembak Mamen. Pertemuan di Perpustakaan Nasional sama sekali bukanlah sebuah kebetulan. Begitu menemukan jejak Mamen, Adriana segera berburu, pura-pura tersandung dan mencuri perhatian Mamen.
Mamen membutuhkan kecerdasan otak Sobar si pencinta sejarah, sahabatnya di SMA. Bersama Sobar, sejarah diubek-ubek untuk memecahkan teka-teki dari Adriana. Sayangnya, sebelum terpecahkan sepenuhnya, teka-teki berikut telah muncul.
Pada saat berbarengan, Adriana dikejutkan dengan teka-teki yang dilemparkan kepadanya. Apakah Mamen bermaksud berbalas teka-teki? Tentu saja, tidak. Menurut sumber yang bisa ia percaya, Mamen tidak punya kemampuan untuk mengarang teka-teki, apalagi yang bermuatan sejarah. Juga pada saat yang sama, Mamen menerima teka-teki yang bukan dari Adriana. Jadi, siapakah yang telah mengintervensi permainan teka-teki Adriana ini?
Artasya Sudirman diberikan tongkat estafet untuk meneruskan cerita, memberikan jawaban siapa sebenarnya sosok pengintervensi itu. Lalu, sebelum berakhir, diambil alih kembali oleh Fajar Nugros, untuk memberitahu pembaca penyebab lambatnya otak Mamen dalam berpikir.
Sekaligus, cinta dan teka-teki menjadi materi penuh pesona di tangan Fajar Nugros dan Artasya Sudirman. Menggunakan imajinasi yang menggetarkan, mereka menarik garis cinta dari abad ke-18 menuju Jakarta masa kini. Bermunculan nama-nama seperti Marie Antoinette, Adriana van Den Bosch, dan si Pitung. Mereka terangkai dalam satu jalinan takdir dengan salah satu tokoh utama novel. Sungguh tak terduga. Cinta yang demikian disulam dengan teka-teki yang membutuhkan ingatan sejarah untuk menjawabnya. Maka, tokoh-tokoh historis seperti Fatahillah (Falatehan), Diponegoro, Van Den Bosch, Ki Hadjar Dewantara, Muhammad Husni Thamrin, Bung Hatta, Soekarno, dan Fatmawati menyusup masuk dalam cerita. Juga patung demi patung di Jakarta, museum, sampai kuburan-kuburan Belanda.
Pada saat sejarah mewarnai cerita, tampaklah hasrat kedua penulis untuk mendorong pembaca untuk tidak melupakan sejarah, terutama sejarah Indonesia sendiri. Semua monumen yang menjulang di Jakarta, ternyata memiliki sejarah yang mungkin tidak diketahui, bahkan oleh penghuni Jakarta sendiri. Dan salah satunya merupakan titik kilometer nol di Jakarta. Tempat cinta, dari masa lalu, akan disempurnakan dalam kurun pengeraman impian seorang gadis cilik selama 14 tahun.
Oleh Fajar Nugros dan Artasya Sudirman, novel ditulis dalam plot yang mengalir lancar, kendati di sana-sini berulang terjadi kilas balik. Bahkan, ada bagian kilas balik yang ditulis rapat dengan masa kini untuk meneguhkan kemampuan tidak biasa dari salah satu karakter. Pemilihan bentuk penulisan yang mengandalkan banyak dialog – banyak bagian yang hanya berupa dialog yang harus dipahami oleh pembaca sendiri, membuat plot terkesan bergerak cepat. Alhasil, novel ini hadir bagaikan novelisasi skenario film yang telah ditulis sebelumnya. Kendati demikian, semua karakter dibangun dengan kuat, sehingga kehadiran mereka sulit dilupakan.
Tidak ada pilihan yang lebih manjur ketimbang menggunakan bahasa khas anak muda Jakarta yang kocak dan terkadang asal bunyi. Penulisan dengan kecenderungan menggunakan bahasa baku hanya digunakan pada saat masa lalu menyisip dalam cerita. Bisa dimaklumi karena kedua penulisnya adalah anak-anak muda. Dan memang cara yang mereka pilih sudah cocok dengan cerita yang mereka jabarkan.
Yang perlu mendapatkan perhatian semestinya adalah porsi penceritaan kedua penulis. Mereka sama-sama bertutur menggunakan perspektif orang pertama, namun mewakili karakter utama yang berbeda. Fajar mewakili Mamen, sedangkan Artasya mewakili Adriana. Fajar dan Artasya sebaiknya hanya bertutur dari karakter yang mereka wakili. Artasya tampaknya konsisten dengan pembagian, namun Fajar tidak. Fajar terkesan 'mencuri' bagian yang seharusnya hanya dituturkan oleh Artasya. Akibatnya, ketika cerita yang sama dijumpai dalam bagian yang ditulis Artasya, tidak menarik lagi dibaca.
Menggunakan dua editor ternyata tidak otomatis membantu menghasilkan karya yang licin. Satu kali penyuntingan akan membuat novel ini lebih cemerlang, dan penggunaan kata tidak tepat seperti 'dipasung' (hlm. 331) bisa disingkirkan.
0 comments:
Post a Comment