Penulis: Stefani Hid
Penyunting: A. Ariobimo Nusantara
Tebal: 136 hlm; 14 x 20 cm
Cetakan: 1, 2008
Penerbit: PT Grasindo
Nama Stefani Hid(ayat) mulai dikenal di dunia perbukuan Indonesia ketika ia menerbitkan novel perdananya yang bertajuk Bukan Saya, Tapi Mereka Yang Gila! (Katakita, 2004). Pada usia yang belum genap 19 tahun, jangkauan temanya telah melampaui penulis-penulis sebayanya yang masih berkisar pada cinta remaja yang stereotipikal (TeenLit). Dengan berani Stefani memilih menyasarkan bukunya kepada pembaca dewasa. Pada tahun yang sama, masih dengan penerbit yang sama, Stefani menerbitkan novel keduanya, Soulmate. Dalam novel yang ditulis dengan ritme cerpen ini, ia kian mempertegas kegemarannya pada tema pergumulan hidup (termasuk cinta) orang dewasa. Lalu pada tahun 2006, melalui penerbit Grasindo, ia menerbitkan novel ketiganya, masih bertema dewasa, Cerita Dante.
Menyusul novel ketiganya, Stefani menerbitkan antologi cerpennya yang dibuhul dengan judul bak pertautan dua unsur kimia, Oz. Di dalam buku dengan sampul berlatar warna hitam pekat ini pembaca akan menemukan
sembilan cerpen, salah satunya belum pernah dipublikasikan. Sekali
lagi Stefani menunjukkan minatnya pada hal-hal yang tidak jamak:
manusia-manusia dewasa dengan keterlukaan, ketidaksempurnaan, dan
ketidakbahagiaan. Seolah-olah untuk menegaskan seleranya, pada sampul
depan tersemat kalimat: 9 Stories Untuk Pembaca Dewasa.
Oz
– dalam cerpen yang judulnya dijadikan judul antologi cerpen- adalah lelaki
genius dengan kemahiran memotong saluran oviduk para perempuan kaya yang tidak menginginkan anak. Suatu hari, Judas Nash datang
mencarinya dengan harapan Oz akan membuatnya mengenal dirinya sendiri.
Kedatangan Judas Nash ternyata akan menyingkapkan jati diri Oz yang
sesungguhnya.
Mars dalam cerpen Mars dilahirkan dalam keluarga di mana child abuse
merupakan hal yang lumrah. Bayangkan, pada masa kecilnya, ibu Mars
memaksa Mars menyetubuhi seekor ikan kakap. Dalam pertumbuhannya, Mars
menyaksikan kejadian miris menimpa Pluto, adiknya. Kedua orangtuanya
menista Pluto: mengikat dan mencoba menghanguskannya. Di kemudian hari, Mars memilih sebuah profesi yang diyakininya bisa mencegah kelahiran
anak-anak malang seperti Pluto.
Dalam Penghuni Kepalaku
Stefani menghadirkan perempuan tanpa nama yang dalam kegelisahannya
ngebut di jalanan di ambang subuh. Benak perempuan itu terus-menerus
berdenyut mempertanyakan eksistensi dirinya. Lambat laun sebab-musabab
kegelisahannya diurai. Ia telah muak dengan deviasi seks yang dilakukan
suaminya; maka ia mengurung suaminya di bagasi mobil. Ia merasa
dirinya najis sebagai konsumen adiktif obat-obat penenang dan
stimulan, minuman keras, dan rokok. Ia mengakui jika kegelisahannya
dipertebal oleh koleksi dosa yang pernah ia lakukan.
Solitude
merupakan racauan seorang dokter kandungan sinting yang baru
membunuh anjingnya. Pembaca dibingungkan oleh nyaris semua yang ia
sampaikan. Tapi yang jelas, ia sangat mumpuni dalam melakukan aborsi karena begitu eksplisit menjelaskan proses aborsi. Stefani menunjukkan
ketidakberjarakannya dengan dunia medis dan malapraktik yang kerap terjadi. Coba simak
uraiannya mengenai proses penguretan rahim:
Saya
suruh perempuan itu kencing beberapa kali dengan kateter melalui
ureter untuk mengosongkan kandung kemihnya. Saya sterilkan vaginanya
dengan cairan antiseptik. Saya ambil sonde, memasukkannya ke liang
vagina untuk mengetahui ukuran kedalaman rahim. Saya sterilkan juga
rahimnya. Lalu saya ambil kocker, menjepit leher rahim bagian atas dan
menariknya keluar agar terlihat. Saya masukkan lagi sonde kedua kalinya,
mengukur panjang rahim. Kemudian saya masukkan cunan abortus untuk
mengeluarkan bagian janin yang besar, saya putar 360 derajat, searah
jarum jam. Bagian besar janin, termasuk plasenta, terangkat sudah.
Selanjutnya saya masukkan kuret tajam untuk mengeruk bagian-bagian
kecil yang masih menempel di dinding rahim (Solitude: 45 -46).
Jujur saja, saya tidak bisa menikmati semua cerpen dalam antologi cerpen ini. Dari sembilan cerpen yang ada, hanya Oz, Mars, dan Solitude yang bisa saya nikmati. Saya kurang bisa menikmati Litost, kisah seorang lelaki pemabuk dan pecandu, manusia kesepian yang bingung dengan eksistensi Tuhan. Jamais Vu,
yang mengalirkan mimpi seorang penulis cerita-cerita muram tentang
ahli kesehatan jiwa yang bertemu orang gila di sebuah gubuk di hutan
pinus. Mungkin karena mengidap jamais vu (semacam
distorsi ingatan yang parah) ia sampai kehilangan jejak waktu. Baru saja
mengatakan pertemuannya dengan seseorang minggu yang lalu (hlm. 66)
berikutnya sudah mengatakan telah 24 hari tak melihat manusia (hlm. 67).
Majenun, cerpen yang membeberkan ikhwal perempuan korban KDRT dan memutuskan pensiun sebagai parasit laki-laki. Dan Awan,
cerpen yang mengisahkan tentang perempuan bernama Awan, penggemar
halusinogen yang lebih suka menciptakan imajinasi ketimbang menghadapi
realitas.
Setelah
membaca cerpen-cerpen yang memicu kebosanan –seolah-olah sengaja
ditulis dengan kecenderungan dibikin susah, saya mengira akan terpesona
kembali dengan cerpen pamungkas, Kereta Hitam Biru.
Idenya menarik, kisah dari perspektif empat orang yang (pernah)
berada dalam satu kereta yang mengalami kecelakaan. Dua di antaranya
langsung tewas, dan sisanya hidup dibayang-bayangi maut. Ekspektasi saya
kandas dengan akhir kisah yang biasa-biasa saja karena tidak digarap dengan baik.
Secara
keseluruhan, cerpen-cerpen dalam antologi cerpen ini terasa berjarak.
Rasanya tidak mudah bagi pembaca untuk menjumpai jelmaan
karakter-karakter ciptaan Stefani di dunia nyata. Mungkin itulah yang
menjadi sebab, Stefani lebih memilih dunia Barat, di mana segala
sesuatu seakan-akan bisa terjadi.
Stefani Hid ternyata lebih mengesankan ketika menulis novel ketimbang cerpen.
0 comments:
Post a Comment