Cetakan: 1, Juni 2008
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Menggunakan nama Jambu Air, Justina Ayu Utami berhasil menempatkan Saman (KPG, 1998), novel perdananya sebagai pemenang Sayembara Roman DKJ 1998. Saman menjadi salah satu novel laris dalam jagad sastra Indonesia. Hingga saat ini, Saman telah dicetak 27 kali dan telah diterbitkan dalam 6 bahasa asing. Berkat Saman, Ayu dipandang telah mengembangkan cakrawala sastra Indonesia dan mendapatkan Prince Claus Award dari Belanda pada tahun 2000. Apa yang ditawarkan Saman dipandang menabrak tabu seks hingga menjadi tren yang banyak diikuti oleh penulis-penulis perempuan lain. Tetapi akibatnya, oleh Taufik Ismail, Ayu Utami disebut sebagai pelopor angkatan Sastra Fraksi Alat Kelamin (FAK).
Menurut Ayu Utami, Saman merupakan fragmen dari novel yang direncanakannya berjudul Laila Tak Mampir di New York. Tetapi novel ini tidak sempat terwujud, malah menjadi 2 novel yang dianggap sebagai novel yang tidak berbentuk novel, Saman dan kemudian Larung (KPG, 2001). Hampir 7 tahun setelah Larung terbit untuk pertama kalinya, akhirnya novel ketiga Ayu, Bilangan Fu, terbit. Sebelum Bilangan Fu, Ayu yang mendapatkan penghargaan dari Majelis Sastra Asia Tenggara tahun 2008, telah menghasilkan kumpulan esai, Si Parasit Lajang (GagasMedia, 2003), dan naskah drama berjudul Sidang Susila (Spasi, 2008).
Pengerjaan Bilangan Fu, menurut pengakuan Ayu Utami, memakan waktu 4 tahun. Merupakan
novel yang terinspirasi dari dunia panjat tebing, dan sebuah kenangan
untuk seorang pemanjat tebing bernama Sandy Febijanto (sahabat Erik
Prasetya, seniman foto, kepada siapa Ayu mendedikasikan novel ini),
yang meninggal dunia dalam kecelakaan ganjil di bukit kapur Citatah.
Untuk mendapatkan detail dunia panjat tebing, sejak akhir tahun 2003,
Ayu Utami bergabung dengan kelompok panjat tebing Skygers yang
didirikan Harry Suliz.
Menggunakan
seting dunia panjat tebing, Ayu Utami, lajang kelahiran Bogor 21
November 1968, mencoba mendakwahkan gagasannya untuk mengkritisasi apa
yang dikenal sebagai 3 M: modernisme, monoteisme, dan militerisme.
Baginya 3 M ini merupakan musuh dunia postmodern. Dan untuk itu, dia
mengkreasi karakter nan bijak bernama Parang Jati, seorang mahasiswa
semester akhir geologi ITB dengan dua jari manis di setiap tangannya.
Lewat Parang Jati inilah Ayu Utami menggelontorkan gagasannya.
Kisah dalam Bilangan Fu
diceritakan dari perspektif Sandi Yuda, seorang pemanjat tebing yang
gemar bertaruh, bersikap skeptis, sinis dan melecehkan nilai-nilai
masyarakat. Tetapi menurut Yuda, sang narator, kisah ini ditulis ulang
oleh seorang penulis yang dikenalnya di acara Ruwatan Bumi, yang tidak
lain, adalah Ayu Utami, penulis novel ini (hlm. 463).
Mengambil
seting utama daerah di selatan Jawa, daerah Sewugunung dengan
perbukitan gamping bernama Watugunung, Ayu Utami memperkenalkan Yuda,
seorang pemanjat tebing yang menggunakan pemanjatan artifisial dalam
aktivitasnya. Ketika membuka jalur pemanjatan baru di Watugunung, Yuda
bertemu dengan Parang Jati, warga Sewugunung yang hendak mengadakan
penelitian arkeogeologi di perbukitan gamping ini. Parang Jati dilanda
kekuatiran akan nasib pegunungan gamping Watugunung yang akan habis
suatu hari gara-gara penambangan kapur dan penebangan pohon yang tidak
terkendali. Parang Jati yakin, akan tiba saatnya orang akan kehilangan
pemandangan indah Watugunung, geolog kehilangan dokumen, pemanjat
kehilangan tebing, dan masyarakat kehilangan matair ( kawasan gamping
adalah spons alam tempat air disimpan dan disuling menjadi
sumber-sumber air jernih). Parang Jati tidak ingin Watugunung mengalami
nasib yang sama dengan bukit Citatah.
Bagi
Yuda, Watugunung adalah Batu Menyanyi. Di bagian hidung Watugunung,
ada sebuah lubang tebing yang menyiulkan angin dengan suara magis dan
syahdu, seperti fu, alat musik orang Asmat. Yuda menamakan tebing itu
sebagai Sebul yang menjelma makhluk cantik bertubuh manusia dengan kepala dan kaki serigala yang menyebabkan Yuda ketindihan dan mimpi basah.
Tetapi
Parang Jati membuka mata Yuda bahwa Watugunung laksana vagina raksasa.
Maka, Yuda harus menggunakan cara lain untuk 'ibundanya' dan bukannya
memaku dan mengebor seperti yang dilakukan Yuda di ranjang dengan
kekasihnya, Marja. Dengan kata lain, Parang Jati menghendaki Yuda untuk
mengubah agama pemanjatannya, dari pemanjatan artifisial (yang disebut
Parang Jati sebagai pemanjatan kotor/dirty climbing) menjadi pemanjatan bersih (clean climbing).
Bagi Yuda, hanya ada dua jenis pemanjatan, pemanjatan bersih dan
pemanjatan artifisial. Pemanjatan bersih adalah pemanjatan tanpa
menggunakan alat bantu untuk menambah ketinggian, sedangkan pemanjatan
artifisial adalah pemanjatan dengan menggunakan peralatan untuk
sesekali menderek badan ke atas. Kedua pemanjatan ini mengizinkan
pemanjat mengebor gantungan pada tebing baik untuk pengamanan maupun
untuk mengatrol. Tetapi pemanjatan bersih menurut Parang Jati adalah
pemanjatan suci (sacred climbing), tidak ada pemanjat
yang boleh melukai tebing. Dalam pemanjatan jenis ini tidak boleh ada
bor, piton, paku maupun pasak, hanya boleh ada pengaman perangko,
penahan, sisip, pegas, dan tali-tali ambin. Pengaman untuk jenis
pemanjatan ini bahkan hanya dipasang sesuai dengan sifat batu tanpa
merusaknya sama sekali. Menurut Parang Jati, sudah saatnya alam raya
dikasihi. "Menyetubuhinya tanpa memaksakan diri kepadanya. Memasukinya
hanya jika ia membuka diri dan membiarkan ia melahap ujung-ujung tubuh
kita..." (hlm. 82).
Diawali
dari perpindahan agama yang terjadi dalam diri Yuda, hubungan mereka
menjadi dekat seperti saudara. Parang Jati bagaikan malaikat jatuh bagi
Yuda, lelaki bermata polos bak bidadari yang harus dibebaskan dari
tanggung jawab yang ditaruh pada dirinya oleh Suhubudi, sang ayah
angkat. Sesuai kehendak Suhubudi, Parang Jati tergabung dalam
sirkus orang aneh yang disebut Saduki Klan di mana dia berteman dengan
berbagai makhluk aneh seperti manusia gelembung, manusia gajah,
manusia badak, macan jadian, manusia kadal, manusia gendruwo, tuyul,
dan manusia pohon.
Sementara
itu, Parang Jati harus berhadapan dengan adik yang tidak pernah
diketahuinya, Kupukupu yang telah mengganti namanya menjadi Farisi, di
tengah-tengah kegemparan menghilangnya orang mati dari kuburnya –yang
dianggap telah bangkit dari kubur. Dan dalam pengungkapan misteri
menghilangnya orang mati yang hilang dari kuburnya, tanpa sengaja, Yuda
telah menyeret Parang Jati menghadap ajal dan mengandaskan hubungan
cintanya dengan Marja.
Bilangan Fu
menyorot situasi yang tengah berkembang masa setelah reformasi.
Menurut Ayu, ada tiga serangkai perusak bumi (3 M) yang terdiri atas
modernisme, monoteisme, dan militerisme. Ketiganya bersengkarut
menciptakan banyak masalah yang melanda bangsa kita.
Modernisme,
menurut Ayu, tidak hanya membawa perkembangan positif (pembebasan)
tetapi juga negatif (perusakan alam). Modernisme membuat manusia
kehilangan rasa takut sehingga hilang pula penghormatan terhadap alam.
Di masa lalu, hutan dan kawasan perbukitan gamping Sewugunung
terpelihara oleh kepercayaan lokal atau takhayul. Kepercayaan akan
roh-roh, mambang, demit, siluman mencegah manusia melakukan perusakan
alam. Tetapi kapitalisme melalui perusahaan penambangan kapur dan
penebangan pohon dan izin pemerintah mengabaikan kepercayaan tersebut.
Bahkan pertahanan masyarakat setempat dilemahkan dengan menggunakan
pasukan keamanan berbaju agama, memberi stigma pada kepercayaan lokal
sebagai praktik penyembahan berhala. Sebagai metafora dari pencegahan
perusakan alam secara sengaja, Ayu Utami menyodorkan pemanjatan bersih bahkan pemanjatan suci seperti yang diinginkan Parang Jati untuk dianut Yuda.
Setelah
periode Orde Lama (1959-1965), Indonesia masuk dalam era militerisme
(Orde Baru). Pada zaman Orde Baru, banyak orang menjadi korban
pembantaian. Kekerasan, termasuk di dalamnya operasi intelijen, menjadi
bahasa satu-satunya yang berlaku. Dan di negara seperti Indonesia,
negara dengan kekayaan hutan dan alam luar biasa, militer dan kapitalis
saling memperkuat dengan jahat untuk mengeksploitasi alam. Di
Sewugunung terjadi penebangan jati legal maupun ilegal dengan Pontiman
Sutalip, kepala desa yang adalah prajurit angkatan darat berada di
belakangnya. Masyarakat setempat tidak bisa melakukan apa-apa untuk
menantangnya. Adalah Parang Jati yang diciptakan Ayu Utami untuk
menantang aksi militerisme yang terjadi dengan mengusahakan pegunungan
gamping Watugunung untuk dijadikan kawasan konservasi.
Pada
era 70-an eksperimen modernisme, seperti demokrasi, hak asasi manusia,
dan sosialisme, di negara-negara berkembang mengalami kegagalan.
Sebagai gantinya, 'fundamentalisme' agama bangkit bersamaan dengan
semaraknya monoteisme. Bagi monoteisme, Tuhan adalah satu dan bukan nol
seperti dalam agama-agama Timur. Akibatnya, monoteisme sulit menerima
perbedaan dan bersikap intoleran. Bahkan, dalam menegakkan kebenarannya
sendiri, penganut monoteisme kerap memakai bahasa kekerasan.
Bergandengan dengan praktik modern, monoteisme mengisbatkan kepercayaan
lokal sebagai takhayul kegelapan dan menjadi agen penghancur kebudayaan
lokal. Pertentangan monoteisme dengan kepercayaan lokal digambarkan
Ayu melalui pertentangan Parang Jati yang menghormati kepercayaan lokal
dan Kupukupu, saudaranya sendiri. Kupukupu yang munafik menghujat
kepercayaan lokal untuk memaksakan kebenaran agamanya sendiri.
Kelahiran Parang Jati dan Kupukupu yang mengingatkan pada kelahiran
Nabi Musa, seolah-olah hendak menggambarkan bagaimana monoteisme masuk
ke Indonesia setelah adanya kepercayaan lokal dengan tujuan untuk
membantai kepercayaan lokal.
Untuk
itu, Ayu menawarkan apa yang ia sebut spiritualisme kritis. Di dalam
konsep spiritualisme kritis, orang tetap percaya apa yang ia yakini,
Tuhan atau apa pun, tetapi tetap bersikap kritis pada apa yang
dipercayanya itu. Tujuannya supaya orang tidak buru-buru dan gegabah
menerapkan kebenarannya pada orang lain, karena kebenaran yang
sebenarnya tetap menjadi misteri.
Tak pelak lagi, Bilangan Fu
menjadi sebuah novel yang cukup berat. Bahkan seolah-olah diupayakan
untuk hadir sebagai novel yang sesak karena dijejali berbagai hal yang
ingin dimuatkan Ayu ke dalam alur novel yang enteng. Temukan serakan
hal-hal seperti legenda Sangkuriang-Dayang Sumbi, Panembahan
Senopati-Nyi Rara Kidul, Prabu Watugunung-Permaisuri Dewi Sinta, Siung
Wanara, ikan pelus, upacara sesajen, Bekakak, sejarah Mataram,
petikan-petikan kisah dalam Alkitab sampai hal-hal seperti babi ngepet,
hewan moluska dan ubur-ubur. Sungguh melelahkan, perlu kesabaran
membaca untuk menamatkannya. Belum lagi kliping-kliping berita dari
koran dan majalah yang direkatkan di sana-sini. Nyaris menghilangkan
kesabaran!
Untunglah
novel ini sempat memberikan tempat kepada kisah-kisah kehidupan Yuda
dan Parang Jati beserta kisah cinta Yuda dengan Marja, perempuan dengan
tubuh teji dan senyuman matahari. Meskipun khusus untuk hubungan
Yuda-Parang Jati-Marja yang coba diperkuat Ayu Utami dengan mengambil
perumpamaan ozon, tidak tampil kuat dalam isi novel yang begitu
panjang. Cinta segi tiga nan lembut seperti disebutkan dalam sampul
belakang novel bahkan tidak terasa.
Seperti
saya sebutkan sebelumnya, Parang Jati dikreasi Ayu untuk mendakwahkan
gagasannya terhadap apa yang disebutnya modernisme, monoteisme, dan
militerisme. Sebuah karakter menarik dengan keunikan pada tangan
berjari dua belas (yang kelebihan jarinya oleh Parang Jati disebut Jari
Hu). Meski tidak menganut agama langit tertentu, bahkan lebih suka
melakukan sinkretisme, Parang Jati terkadang tampil bagaikan Yesus
Kristus di Sewugunung, melakukan khotbah di bukit dan melontarkan
kalimat-kalimat yang disitir dan dimodifikasi dari ayat-ayat Alkitab. Para pembaca Alkitab tentu saja akan mengenali kalimat-kalimat seperti ini: "Saya datang membawa pedang, Bung" (hlm. 78), "Jangan dianggap saya datang untuk menghujat pemanjatan artifisial. Tidak satu iota pun akan dihilangkan" (hlm. 82), "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, untuk apa selain dibuang dan diinjak-injak?" (hlm. 83) atau "Berbahagialah orang yang tidak melihat tapi percaya" (hlm. 84).
Ayu
menyebutkan jika Parang Jati berusia 20 tahun pada tahun 1995 (hlm.
184) ketika ia menulis artikel yang dijuduli Ayu "Kritik Atas
Modernisme". Jadi, Parang Jati yang ditemukan Mbok Manyar, juru kunci
mata air dalam keranjang serat pandan yang tersangkut di lumut hutan,
lahir tahun 1975. Karena disebutkan Yuda 3 tahun lebih muda dari Parang
Jati (dan seumur dengan Kupukupu, adik Parang Jati), berarti Yuda
lahir tahun 1978. Persahabatan Yuda dan Parang Jati dimulai saat Yuda
berusia 20 tahun (hlm. 209), berarti sekitar tahun 1998. Ayu
menyebutkan kisah di Sewugunung berakhir tahun 2001 (hlm. 356) ketika
Yuda berusia 23 tahun dan Parang Jati 26 tahun. Jadi dapat disimpulkan
jika kisah Yuda dan Parang Jati dalam novel ini berlangsung sekitar 3
tahun (1998 – 2001). Pada halaman 343, Ayu menyebutkan jika 'si aku"
(Yuda) menuliskan kembali kejadian yang dialaminya dengan Parang Jati
setelah 13 tahun berlalu (Yuda kira-kira berusia 36 tahun). Jadi, kisah
dalam novel ini ditulis Yuda pada tahun (2001 + 13) 2014?
Bilangan Fu
yang menjadi judul novel, menurut Ayu adalah bilangan yang senantiasa
menghasilkan satu jika dibagi maupun dikali satu, namun bilangan itu
bukan satu. Bilangan mistis ini, katanya, hadir dalam mimpi-mimpi Yuda
yang beraroma seksual sebagai bilangan yang diwahyukan Sebul. Katanya
juga, pengertian bilangan ini hanya bisa ditularkan lewat gigitan.
Jujur saja, sampai novel berakhir, saya masih bingung dengan apa yang
Ayu sebut sebagai Bilangan Fu. Jadi, jangan tanya saya tentang pendapat
saya mengapa novel ini diberi judul Bilangan Fu (dan bukan 3 M,
misalnya).
0 comments:
Post a Comment