13 February 2012

The House of the Spirits




Judul Buku: The House of the Spirits (Rumah Arwah)
Diterjemahkan dari: La casa de los espíritus
Pengarang: Isabel Allende (1982)
Penerjemah: Ronny Agustinus
Tebal: 600 halaman
Cetakan: 1, Juni 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

 

 

"Rumah besar di pojokan" adalah rumah yang dibangun Esteban Trueba, menjelang pernikahannya dengan Clara del Valle. Dirancang oleh arsitek Prancis, rumah itu sengaja dibuat berbeda dengan arsitektur lokal—sebuah rumah anggun dengan pilar-pilar putih, tangga lebar, serambi bermarmer putih, jendela lebar, dan taman ala Versailles. Pada waktunya, rumah itu akan dipenuhi kamar-kamar kosong karena setiap ada tamu baru, Clara pun menggagas pembangunan kamar baru. Saat arwah-arwah mengisiki keberadaan harta terpendam atau mayat yang belum dikubur semestinya di fondasinya, Clara akan meminta dinding diruntuhkan, sehingga rumah itu membiakkan banyak labirin. Sesungguhnya, rumah itu dibangun sebagai kompensasi atas kemelaratan yang dialami Esteban Trueba di masa kecilnya sekepergian ayahnya. Clara akan menjadi ruh dari rumah besar itu, maka begitu ia mangkat, tak pelak lagi zaman kemunduran melanda bangunan megah itu.

Clara del Valle, si cenayang, masih gadis cilik manakala Esteban Trueba merencanakan pernikahan dengan kakaknya, Rosa.  Sebelum pernikahan mereka digelar, Rosa si rambut dedalu dengan penampilan bak putri duyung tewas, menjadi tumbal bagi ayahnya, pengacara yang mulai berkarier di dunia politik. Ditengarai, racun tikus yang membunuh Rosa, sebenarnya ditujukan kepada ayahnya.

Meninggalkan pertambangan emas, di mana ia bekerja guna mendapatkan dana pernikahan, setelah kematian Rosa, Esteban Trueba tidak ingin lagi hidup miskin. Ia pergi ke Tres Marías, perkebunan ayahnya yang terbengkalai. Dengan keuletan tanpa kenal capai, Esteban Trueba berhasil mengembangkan Tres Marías, mengubah kehidupan orang-orang yang tinggal di sana, dan dengan segera menjelma menjadi tuan tanah kaya. Tuan tanah yang dengan serakah mengumbar syahwat pada gadis-gadis pedesaan dan tidak bertanggung jawab saat mereka berbadan dua. Bagi Esteban Trueba, gadis-gadis desa itu memang hanya sekadar pemuas berahi, lantaran istri yang didambakannya mesti datang dari kota.

Setelah membisu selama sembilan tahun sejak kematian Rosa, pada umur 19 tahun, Clara mengumumkan pernikahannya dengan Esteban Trueba. Bukan hal yang aneh, karena Clara memang memiliki kemampuan supranatural. Clara tidak hanya mampu menakbirkan mimpi, ia juga bisa memindai masa depan, dan mengenali maksud hati orang lain. Clara dapat menggerakkan benda tanpa menyentuhnya dan bermain piano tanpa membuka tudungnya. Sebagaimana kematian Rosa, Clara menikahi Esteban Trueba, seperti yang diumumkannya. Kecuali pergi ke Tres Marías di musim liburan, mereka menetap di rumah besar di pojokan itu. Ketiga anak mereka, si sulung Blanca dan kedua adik kembarnya, Jaime dan Nicolás, dilahirkan di rumah besar itu.

Dibandingkan dengan rumah besar di pojokan, Blanca lebih menyukai Tres Marías. Di sana ia menghabiskan masa-masa liburan dan menjalin persahabatan, yang seiring perjalanan waktu, berubah menjadi romansa penuh gairah, dengan Pedro Tercero García, anak mandor perkebunan. Hubungan cinta yang tidak berkenan di hati Esteban Trueba itu menciptakan serangkaian kekisruhan yang berakhir pada pemukulan yang mengompongkan Clara. Sejak peristiwa pemukulan itu, kendati hidup di bawah satu atap, Clara tidak pernah bicara pada suaminya lagi, seumur hidupnya.

Dengan harapan akan mendapat hadiah, Esteban García—cucu perempuan yang diperkosa Esteban—membocorkan tempat persembunyian Tercero. Akibatnya, pria yang senang bermain gitar itu, kehilangan tiga jari tangan kanannya. Permusuhan antara Tercero dengan ayah gadis yang dicintainya akan berlangsung hingga puluhan tahun kemudian sampai Esteban Trueba merasa tidak mampu membasmi cinta mereka.

Hamil dan ditinggalkan kekasihnya membuat Blanca menerima kehendak ayahnya untuk menikahkannya dengan seorang bangsawan Prancis, Jean de Satigny. Rumah tangga mereka tidak bertahan lama, Blanca akan meninggalkannya, pulang ke rumah besar di pojokan, dan tidak bertemu Jean hingga saat ajalnya. Sudah menjadi panggilan hidup Blanca, hanya mengenal satu cinta saja.

Alba yang berambut hijau seperti Rosa, lahir sungsang. Menurut Clara, Alba akan beruntung—bukan cuma karena sungsang disebut-sebut sebagai tanda keberuntungan—dan bahagia. Seorang bocah laki-laki yang menonton kelahiran Alba, kelak membuat Alba menampik niat baik kakeknya untuk kabur ke luar negeri, kala tanah airnya dikerakahi junta militer. Alba akan menyaksikan bahwa setelah neneknya mangkat, ramalannya tidak makbul lagi.

Rumah besar di pojokan itu berdiri melewati arus pergantian kekuasaan. Esteban Trueba tahu, diam-diam, rumah dengan banyak kamar itu telah menyembunyikan atau menjadi saluran bagi para pelarian untuk meninggalkan negeri yang diguncang prahara politik. Itulah takdir rumah yang dibangun Esteban Trueba dengan ambisius, setelah ditinggal mati Clara yang diikuti menghilangnya orang-orang para anggota semesta gaib di belakang rumah. Rumah itu terabaikan, diterpa usia, dan isinya satu demi satu dijual Alba. Belakangan, para arwah menyaksikan rumah ini direnovasi kembali menjelang kematian Esteban Trueba.

Di masa sepuhnya, Esteban tidak mampu menggapai semua perempuan yang pernah muncul dalam hidupnya. Kerap ia teringat kutukan Férula, sebelum kakak perempuannya itu hengkang dari rumah besar di pojokan, untuk selamanya. "Terkutuk kau, Esteban! Kau akan selalu sendirian! Mengkerutlah jiwa ragamu dan kau akan mati seperti anjing!"  (hlm. 191). Akankah kutukan ini mewujud dalam kehidupan Esteban? Yang jelas, setelah puluhan tahun hidup sebagai tuan atas dirinya sendiri, mendekati tenggat kehidupannya, Esteban Trueba akan menghadapi getirnya kebenaran. Meskipun telah berperan dalam penegakan junta militer di negerinya, ia tidak punya secuil pun otoritas untuk melindungi orang yang dicintainya.

The House of the Spirits yang ditulis dalam tradisi realisme magis adalah novel perdana Isabel Allende, pengarang berdarah Chili, yang pertama kali terbit dalam bahasa Spanyol di Barcelona tahun 1982. Di kampung halamannya, novel ini menjadi Best Novel of the Year 1982 dan membuatnya dianugerahi penghargaan Panorama Literario. Novel ini mulai ditulis saat Allende yang menetap di Venezuela—melarikan diri pasca kudeta militer di Chili—menerima kabar kematian kakeknya, 8 Januari 1981. Awalnya ia menulis surat yang ditujukan pada almarhum, tetapi kemudian berkembang menjadi novel ikhwal tiga generasi perempuan keluarga Trueba, yang mengalir dari perspektif seorang kakek dan cucu perempuannya. Tanggal 8 Januari menjadi momen penting bagi proses kreatif Allende. Menurut pengakuan pengarang kelahiran 2 Agustus 1942 ini, sejak The House of the Spirits,  ia selalu mulai menulis pada tanggal 8 Januari.

Kendati tidak sampai tahap ekstrem, tiga perempuan keluarga Trueba―Clara, Blanca, dan Alba―tak bisa lepas dari kegilaan. Clara mengakui, di dalam keluarganya, kegilaan terbagi rata buat semua, dan tak ada sisanya untuk dikuasai satu orang. Blanca dan Alba mungkin tidak mau mengakui, namun perjalanan hidup mereka akan memberi tahu pembaca bahwa sesungguhnya mereka memiliki kegilaan sendiri. Trueba yang berumur panjang, sama sekali tidak bisa menangkal kegilaan ketiga perempuan itu. Ia mengasihi mereka—sebenarnya—dan terpaksa pasrah pada pilihan hidup mereka.

Isabel Allende adalah pengarang dengan semangat mendongeng yang tinggi. Ia mengalirkan cerita dengan indah, pada setiap tikungan menerbitkan rasa penasaran. Kalimat-kalimat panjang yang digelontorkannya tidak menghambat aliran pesona yang disemburkannya sejak novel dibuka. Keulungannya kian terasa ketika membeberkan kenyentrikan para karakter perempuan ciptaannya.

Rumah besar yang digentayangi para arwah itu bisa jadi merupakan miniatur Chili—yang dijadikan seting novel—saat itu. Di dalamnya kita bisa menemukan menggeliatnya segi-segi magis dan percikan marxisme yang ditolerir salah satu dari tiga perempuan Trueba, tetapi tidak dikenan Esteban Trueba. Tentu saja, jika salah satu negara America Latin ini, benar-benar seperti yang dikatakan seseorang saat semangat marxisme mulai merebak: "Marxisme tak punya peluang sedikit pun di Amerika Latin. Kau tak tahu kalau Marxisme itu tidak mempertimbangkan segi-segi magis dari segala sesuatu? Ini doktrin yang ateistik, praktis, fungsional. Tidak mungkin bisa berhasil di sini!"  (hlm.428).

Allende menyebut-nyebut 'Sang Penyair' yang acap bertandang di rumah besar di pojokan itu. Tidak dipastikan identitasnya, namun tidak diragukan lagi, yang dimaksud Allende adalah Pablo Neruda yang puisinya dikutip sebelum novel dimulai.

Edisi Indonesia novel diterjemahkan dengan penguasaan kosakata bahasa Indonesia yang menakjubkan. Sambil menikmati dunia yang dibangun Allende, saya mesti membolak-balik KBBI, untuk memeriksa berbagai kata yang digunakan penerjemah. Walaupun begitu, saya tidak pernah merasa terganggu apalagi merasa bosan.
 
Apa yang saya rasakan selama membaca The House of the Spirits, sama dengan yang dinyatakan Allison Hoover Bartlett dalam bukunya "The Man Who Loved Books Too Much".  "Aku begitu menghargai keadaan larut dalam sebuah buku sehingga aku membatasi jumlah halaman yang boleh kubaca setiap hari agar bisa menangguhkan akhir yang tak terhindarkan, dan terusir dari dunia itu" (hlm. 13, Pustaka Alvabet, April 2010).

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan