Judul Buku: The Last Concubine
Penulis: Lesley Downer
Penerjemah: Yusliani Zendrato
Penyunting: Nadya Andwiani
Tebal: 658 hlm; 14 x 21 cm
Cetakan: 1, November 2008
Penerbit: Matahati
Bunga Lili Putih di Atas Tandu Permata
1861. Putri Kazu (1846-1877), putri bungsu Kaisar Ninkô dari selirnya Hashimoto Tsuneko, meninggalkan Kyoto menuju Edo. Dara berusia 15 tahun ini dipersunting Shogun Iemochi, shogun ke-14 dari klan Tokugawa. Menjadi istri Iemochi, berarti Kazu harus mengakhiri pertunangannya dengan Pangeran Arisugawa Taruhito. Di Edo, Putri Kazu terperangkap dalam kehidupan Kastil Edo, sebuah kastil yang dibangun pada masa kekuasaan Lord Ieyasu, shogun Tokugawa yang pertama. Namun, pernikahan Kazu dengan Iemochi tidak berlangsung lama. Pada usia 19 tahun, shogun yang berkuasa sejak usia 12 tahun ini meninggal. Saat itu, ia sedang dalam perjalanan menuju Osaka. Sejarah mencatat, setelah Iemitsu, shogun Tokugawa ke-3, berkunjung ke Kyoto, di era Kan'ei, tak seorang pun shogun pernah meninggalkan kastil. Iemochi, menjadi shogun kedua yang melakukannya. Sebelum Iemochi pergi, Putri Kazu memberikan salah seorang pelayannya untuk menjadi teman tidur shogun. Pelayan itu menjadi selir terakhir shogun Tokugawa.
Latar historis inilah yang dijadikan sandaran novel The Last Concubine karya
Lesley Downer. Perempuan yang pernah tinggal dan bekerja selama 5 tahun
di Jepang ini mengadoptasi selir yang tak terkenal itu untuk menjadi
karakter utama novel. Sang selir diberi nama Sachi seperti nama istri
Lord Ieyoshi, shogun Tokugawa ke-12.
Sachi,
yang berarti 'Kebahagiaan' diperkenalkan sebagai gadis petani yang
tinggal di sebuah desa di Lembah Kiso. Tatkala Putri Kazu singgah di
rumahnya dalam perjalanan menuju Edo, ia memutuskan membawa Sachi untuk
melayaninya. Dalam usia 11 tahun, Sachi memang sudah menampakkan
kecantikan aristokrat. Ia berkulit pucat, bermata hijau dan, tentu saja,
tidak pantas menjadi istri petani.
Pada
usia 15 tahun, atas keinginan shogun, Sachi, yang diberi nama Oyuri
(Bunga Lili Putih), naik pangkat menjadi dayang berpangkat menengah.
Status barunya ini mengukuhkan dirinya sebagai selir sang shogun. Ia pun
diberikan Putri Kazu kepada suaminya yang hendak melakukan perjalanan
ke Osaka. Diharapkan, Sachi bisa melahirkan keturunan guna mewarisi
kekuasaan Iemochi. Kenaikan status Sachi menjadi Lady Shoko-in
mengejutkan hampir 3000 perempuan yang tinggal di Kastil Edo. Sebab, di
antara mereka, hanya sedikit yang punya peluang dipilih sebagai selir
meski banyak yang mendambakan kehormatan itu. Sisanya, akan menghabiskan
hidup dalam kastil tetap sebagai perawan.
Namun, menurut Haru – penghuni kastil yang menjadi guru Sachi- menjadi
selir shogun tidak lantas mengantar seorang perempuan ke puncak
kebahagiaan. Seorang selir shogun Ieyoshi, yang berwajah cantik seperti
Sachi, pernah mencari kebahagiaan dengan mengkhianati shogun. Hingga
kini, ia lenyap tanpa jejak.
Setelah
meniduri Sachi semalam, shogun meretas perjalanan menuju Osaka. Dan, ia
tidak pernah kembali menginjak tampuk kekuasaan. Diberitakan, ia
meninggal karena serangan jantung yang disusul dengan penyakit
beri-beri. Tidak semua penghuni kastil percaya. Ada yang menduga, shogun
mati karena diracun.
Kematian Lord Iemochi memanaskan situasi politik Jepang yang mulai menghangat sejak datangnya Kurofune (Kapal
Hitam), 4 kapal besar Amerika yang berlabuh di Pelabuhan Uraga
(Yokosuka) 14 Juli 1853. Apalagi setelah Lord Yoshinobu yang
menggantikan Iemochi mencampakkan kekuasaan dan menyerahkannya kepada
kaisar. Tak dapat dicegah lagi, perang saudara pun meledak, membagi
Jepang dalam dua kutub, Utara dan Selatan (Downer menyatukan Satsuma,
Choshu, Tosa, sekutu-sekutu mereka dan menyebut sebagai 'orang selatan'
berdasarkan letak geografis). Para ronin, samurai tak bertuan dari
selatan menyerbu Edo, membunuh pendukung shogun Tokugawa, dan bermaksud
menculik Putri Kazu setelah membakar kastil.
Sachi
harus mengorbankan diri. Ia diminta menyamar sebagai Putri Kazu dan
ditandu meninggalkan kastil. Sachi sudah berusia tujuh belas tahun dan
harus bisa menepis rasa gentar. Bagaimanapun, selama berada di kastil ia
telah dilatih menjadi seorang samurai. Taki, pelayan asal Kyoto,
bersikeras mengikuti Sachi. Dalam perjalanan, rombongan yang membawa
Sachi diserang orang-orang selatan. Sachi dan Taki bisa selamat atas
pertolongan tiga ronin pro Tokugawa asal Kano. Ronin-ronin itu bahkan
memutuskan melindungi Sachi yang dikira sebagai Putri Kazu dengan
membawanya menuju Kano. Namun, meski selamat sampai Kano, bahkan sempat
singgah di Kiso untuk bertemu keluarganya, Sachi mesti tetap kembali ke
Edo. Selain ia merasa tidak seperti dulu lagi, di rumah orangtua
angkatnya ia mengetahui jika Daisuké, ayah kandungnya, tengah
mencarinya. Lelaki yang belum pernah ditemuinya ini sedang dalam
perjalanan menuju Edo. Karena Shinzaemon, salah satu dari ketiga ronin
yang menolong Sachi, memutuskan akan kembali bergabung dengan pasukan
pembela Klan Tokugawa di Bukit Ueno, Edo, maka Sachi dan Taki berangkat
ke Edo bersama-sama. Meretas kembali jalan yang pernah mereka tempuh
sebelumnya.
Di
ujung perjalanan mereka, pertempuran menanti. Dan ketika Sacchi
akhirnya bersua dengan ayahnya, ia menemukan kenyataan jika Shinzaemon
mungkin telah tewas dalam pertempuran di Bukit Ueno.
Apakah
Shinzaemon benar-benar telah tewas tanpa ditemukan jenazahnya? Akankah
Sachi bertemu dengan perempuan yang telah melahirkannya? Siapa
sebenarnya perempuan ini sehingga tega melepas anaknya untuk diasuh orang lain?
Lesley Downer |
The Last Concubine
yang pertama kali diterbitkan tahun 2008 merupakan karya fiksi pertama
Lesley Downer. Sebelumnya, perempuan kelahiran London ini dikenal
sebagai penulis buku-buku nonfiksi yang berkaitan dengan Jepang seperti On the Narrow Road to the Deep North, The Brothers, serial A Taste of Japan, The Secret History of a Vanishing World, dan Madame Sadayakko.
Untuk itu, demi menghidupkan penghujung zaman Edo hingga Restorasi
Meiji, Downer melakukan serangkaian riset. Tentu saja masa tinggalnya di
Jepang membantu proses kreatifnya. Tetapi hal itu tidak lantas
membuatnya enteng mengeksplorasi Jepang masa lampau. Ia pun melakukan
sejumlah konsultasi dengan pakar sejarah Jepang; membaca biografi
samurai-samurai zaman Edo (1603-1867), novel-novel, puisi, karya
akademis tentang zaman Edo; bahkan juga kehidupan para perempuan
penghuni Kastil Edo.
Oleh sebab itu, The Last Concubine hadir
dengan sejumlah fakta historis. Sachi dan kisah hidupnya memang hanya
lahir dari imajinasi Downer. Namun, kerangka sejarah yang ada dirangkai
seakurat mungkin. Pertempuran, kejadian politik, bahkan cuaca yang
digambarkan Downer benar-benar seperti yang pernah terjadi. Demikian
juga intrik dan pembunuhan yang ada. Nama-nama selir sesuai catatan
sejarah; bahkan Lady Okoto, selir Ieyoshi, yang menjalin hubungan dengan
tukang kayu berparas seperti pemain kabuki, Sojiro Sawamura. Referensi
mengenai emas Tokugawa yang diselundupkan Lord Oguri keluar Edo ketika
Lord Yoshinobu berkuasa dan dikuburkan di kaki Gunung Akagi
didapatkannya dari catatan kaki sejarah perusahaan Mitsui. Sedangkan
kehidupan perempuan dalam kastil Edo diperolehnya dari buku karya
penulis Jepang, Takayanagi Kaneyoshi, Edojo ook no seikatsu (Life in the Women's Palace at Edo Castle).
Ia mengkreasi istana yang tampak tenang tetapi penuh persaingan dan
kebencian, tempat para perempuan Jepang berkubang, mendambakan kekuasaan
dan kehormatan. Juga tempat perempuan berselingkuh, dan tak tertutup
kemungkinan, menjalin hubungan sesama jenis.
Menurut
Downer, sejarah selalu ditulis oleh pemenang (perang) dan bukan pihak
lain. Seperti dalam kasus perang saudara Jepang yang memuncak tahun 1868
–Restorasi Meiji. Perang saudara ini digambarkan sebagai revolusi 'tak
berdarah'. Tetapi, menurutnya, perang ini pasti bukannya tidak berdarah.
Maka, ia pun menggelar perang berlepotan darah antara orang utara dan
selatan yang menggiring pihak selatan pada kekalahan.
Dalam
novel setebal 658 halaman ini, kita tidak hanya akan bersamplokan
dengan fakta sejarah dan pertempuran berdarah. Menggunakan karakter
fiktif Sacchi, yang ditempatkan di tengah-tengah fakta, Downer
mengkreasi kisah cinta yang lembut dengan Shinzaemon, ronin pro Klan
Tokugawa. Downer mengaku menjadi tantangan baginya menulis kisah cinta
berlatar belakang suatu masyarakat yang tidak memiliki konsep tentang
cinta yang romantis dan tak mengenal kata 'cinta'. Tapi toh ia bisa juga
menghasilkan kisah cinta dengan takaran yang cukup yang bisa
menyelamatkan novel ini dari stempel novel romantis belaka.
Tapi, tentu saja, The Last Concubine, tidak bisa begitu saja dikategorikan sebagai novel sejarah. Downer memang memanfaatkan salah satu bagian sejarah Jepang yang menjadi tonggak keterbukaan mereka dengan dunia luar, menggunakan beberapa tokoh yang pernah hidup masa itu, tetapi Sachi, sang karakter utama tidak pernah hidup. Demikian juga Shinzaemon. Apakah sebuah karya fiksi yang menggunakan latar belakang sejarah otomatis bisa disebut novel sejarah padahal tokoh utamanya sekedar fiktif belaka?
Tapi, tentu saja, The Last Concubine, tidak bisa begitu saja dikategorikan sebagai novel sejarah. Downer memang memanfaatkan salah satu bagian sejarah Jepang yang menjadi tonggak keterbukaan mereka dengan dunia luar, menggunakan beberapa tokoh yang pernah hidup masa itu, tetapi Sachi, sang karakter utama tidak pernah hidup. Demikian juga Shinzaemon. Apakah sebuah karya fiksi yang menggunakan latar belakang sejarah otomatis bisa disebut novel sejarah padahal tokoh utamanya sekedar fiktif belaka?
0 comments:
Post a Comment