12 February 2012

Metropolis




Judul Buku: Metropolis
Pengarang: Windry Ramadhina
Tebal: 330 hlm
Cetakan: 1, 2009
Penerbit: Grasindo 



"Demi Ayahku Yang Sudah Mati...." 




Metropolis, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dirumuskan sebagai 'kota yang menjadi pusat kegiatan tertentu, baik pemerintahan maupun industri dan perdagangan'. Jakarta adalah salah satu metropolis di planet bumi. Segala sesuatu seolah-olah dapat terjadi di sini, termasuk aktivitas jaringan narkotika yang ada dalam otoritas pemimpin mafia. Windry Ramadhina, penulis novel Orange (GagasMedia, 2008) mengangkat Jakarta untuk dijadikan seting novel keduanya, Metropolis. Ke dalam jaringan narkotika dan mafia ini, Windry menambahkan elemen konspirasi dan dendam untuk menghidupkan novel. Aksi kriminal menghiasi konspirasi dan dendam tersebut, sehingga bersalinlah sebuah novel dalam genre drama kriminologi. 

Di dalam drama kriminologi ini, jaringan narkotika di bawah kepemimpinan Frans Al dihancurkan. Ia dan keluarganya dibakar hidup-hidup. Polisi tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah membereskan TKP, mereka membuat laporan kasus yang hanya disimpan dalam lemari arsip. 

Semua jaringan narkotika yang dikuasai Frans Al terpecah ke dalam kekuasaan 12 orang yang dikenal sebagai Sindikat 12. Lima belas tahun lebih mereka menancapkan pengaruh ke dalam gerakan bawah tanah Jakarta. Sebagai sindikat yang sangat kuat dan terorganisasi, Sindikat 12 menjadi momok bagi polisi-polisi Sat Reserse Narkotika. Hingga akhirnya, persaingan antargeng dalam sindikat ini mulai merebak. Lalu, mereka mulai mati satu per satu dalam prosedur kematian yang diawali Juni 2006. 

Sebelumnya, pada April 2006, Johan, seorang lelaki 'cantik' meninggalkan Vancouver, surga para penguasa bisnis gelap dunia, menuju Jakarta. Di tangannya, terpegang deretan nama  pimpinan Sindikat 12. Johan menjalankan kehidupannya di Jakarta dengan bantuan Indira, seorang perempuan baik hati dan Aretha, perempuan berjuluk penyihir yang masih memikat pada usia separuh baya. Jika Aretha tahu alasan kedatangan Johan yang tercatat sebagai warga negara Kanada ini, Indira sama sekali terkesan tidak tahu. Kedatangan Johan, putra Frans Al yang lolos dari tragedi belasan tahun silam,  diikuti rangkaian kematian pemimpin Sindikat 12. 

Apakah kematian para pemimpin Sindikat 12 dikarenakan persaingan yang makin memanas di antara mereka? Ataukah Johan, sang survivor, yang menandaskan nyawa mereka? 

Agusta Bram, Inspektur Polisi Satu Sat Reserse Narkotika Polda Metro Jaya, ditugaskan mengusut kasus di kalangan mafia narkotika tersebut. Pada usia 22 tahun, Bram menjadi bagian dari Sat Reserse Narkotika untuk melampiaskan dendam yang bertunas di masa kecilnya. Ayahnya, seorang pecandu, dibunuh pengedar karena tidak mampu membayar utang. Untuk mendapatkan akses ke dalam jaringan Sindikat 12, Bram memanfaatkan Ferry Saada, putra seorang pemimpin sindikat. Ia membarter bukti kejahatan Ferry dengan informasi berharga dari lelaki flamboyan ini. Di dalam pekerjaannya kali ini, Ferry ditemani Erik, asistennya, seorang perempuan bernama maskulin. 

Dalam investigasi Bram dan Erik, ditemukan satu nama, Miaa (dengan 2 a). Ia adalah mantan polwan yang berasal dari Yogyakarta. Miaa tidak mengenal ayahnya sampai ia berhubungan dengan seorang pemakai  Yahoo! Messenger. Informasi identitas ayahnya membuat Miaa terlibat dalam kasus yang ditangani Bram. 

Usaha Bram mengelupas kasus, ternyata tidak mendapat restu dari Burhan D. Saputra, atasan baru Bram. Burhan bermaksud mengalihkan kasus yang ditangani Bram ke kesatuan lain. Tapi, Bram bersikeras tetap memegang kasus ini. Meski ia harus berusaha ekstra keras untuk menemukan kunci pembuka kasus dan melihat di balik pintu, sebuah rahasia yang disimpan dengan sebaik-baiknya oleh salah satu karakter novel. 

Selain Jakarta sebagai metropolis yang dijadikan seting, di dalam novel ini pembaca akan menemukan sebuah pub bernama Metropolis. Metropolis yang satu ini menyimpan sejarah dari seorang lelaki yang lolos dari puing-puing kerajaan Frans Al. Namun, walau beberapa karakter bersengkarut dengan pub ini, nama pub tentu saja tidak cukup signifikan untuk dijadikan judul novel. Metropolis jelas menggambarkan Jakarta dan ingar-bingar di dalamnya, terutama semarak jaringan narkotika yang tidak selalu mudah diberantas. 

Berbeda dengan Orange yang bergenre metropop (untuk menyebut ChickLit hasil karya pengarang Indonesia), Windry tampaknya mesti berupaya keras mewujudkan pijaran ide dalam proses kreatif novel ini. Sebab, meski di dalamnya masih terkandung elemen romantis, Metropolis -seperti disebut di atas- adalah novel drama kriminologi, bukan drama romantis. Tidak bisa dipungkiri bahwa Windry melakukan riset soal bisnis narkotika, kepolisian, dan forensik untuk membuat karyanya bisa dipercaya. Hasilnya, ia terbilang fasih ketika menuliskan hal-hal tersebut. Tapi, dia tetap masih perlu mempelajari tentang dunia kepolisian Indonesia sehingga pembaca tidak usah mempertanyakan hal seperti Bram yang meminta dirinya untuk ditempatkan dalam Sat Reserse Narkotika Polda Metro Jaya (bukan ditugaskan oleh atasannya). Atau duet Bram-Erik yang tampak bak sejoli detektif dalam film-film Holywood, tidak lazim di dunia kepolisian Indonesia. 
 
Untuk Chronic Myelogenous Leukimia (CML) yang jadi penyakit salah satu karakter,  Windry cukup baik menggambarkan apa yang dialami si karakter. Sayangnya, ia tidak mahir menggambarkan akibat yang diderita pasien karena konsumsi STI571 (=signal transduction inhibitor number 571). Untuk diketahui, obat untuk terapi CML –yang mendapat persetujuan FDA Mei 2001 ini, tidak dijual dengan nama STI571. Obat yang dihasilkan dari riset industri farmasi Novartis yang bermarkas di Basel (Swiss) ini dijual dengan brand name Gleevec (USA) dan Glivec (Eropa/Australia).  Nama STI571 digunakan pada awal pengembangannya sebagai obat kanker. 

Dari segi karakterisasi, Windry yang masih tergolong  wajah baru di ranah fiksi Indonesia  (hanya bermodalkan satu novel romantis) tergolong cantik. Dengan piawai, ia mengantar pembaca memahami setiap karakter utama dengan baik. Meski latarnya mungkin tidak sama dengan pembaca, dengan mudah pembaca akan memahami setiap karakter secara mendalam. Bram, Aretha, Johan, Miaa adalah karakter-karakter yang berada dalam domain abu-abu. Para karakter yang lazim menggunakan jendela maya Yahoo! Messenger ini memiliki 'keburukan' di satu sisi dan mendatangkan simpati di sisi lain. Agaknya, Windry ingin menyaksikan kepada pembaca bahwasanya karakter manusia selalu berada dalam kondisi terpolarisasi. Namun di sinilah salah satu keampuhan karakterisasi Windry, hadir tanpa membosankan. 

Kekurangannya, Windry terkadang pelit memberi ruang bagi para karakternya. Ia tidak memaparkan masa lalu Bram secara detail, padahal pembaca perlu menelisik perjalanan hidup Bram dari seorang yatim menjadi polisi brilian yang pantang menyerah. Ia juga tidak menjelaskan perihal ketegaan ibu Bram meninggalkan Bram dalam kepecundangan suaminya. Apakah di hati Bram pernah terkilas keinginan mencari ibunya, seperti yang dirasakan Miaa pada ayahnya? Windry tak menyentil secuil pun.  Demikian juga Aretha. Apa sesungguhnya yang menyebabkan Aretha  mau melindungi kehidupan salah satu keturunan Frans Al? Apakah karena Frans Al menyerahkan pengelolaan uangnya pada MOSS, perusahaan konstruksi milik Aretha? Atau, mereka begitu dekatnya? Sedangkan yang bertalian dengan Mia, pembaca tidak diberikan alasan tegas yang menyebabkan ia dipecat dari kepolisian. Menurut Mia, ia dikeluarkan dari kepolisian karena menangkap penyelundup dan dinyatakan gagal dalam tugas. Tapi menurut Ferry Saada, alasan pemecatan Mia adalah karena hubungan darah dengan ayah biologis Miaa. Sebuah novel sudah tentu memiliki ruang yang memadai untuk menjawab semua pertanyaan ini. 

Semua karakter ciptaan Windry menyusup dalam plot kompleks berpilin yang diarahkan dengan cemerlang. Hanya,  dalam plot tersebut, Windry tidak berhasrat merahasiakan identitas pembasmi Sindikat 12 untuk dikuakkan di penghujung plot. Sebelum mencapai pertengahan buku, pembaca sudah tahu dalang dan motifnya. Untungnya hal ini tidak membuat sisa cerita menjadi mubazir. Pengarang tetap menyimpan kejutan yang akan dibenturkan di benak pembaca sebelum tiba di bab penutup. 

"Demi ayahku yang sudah mati..." demikian tagline yang disematkan untuk novel ini. Walau hanya diucapkan salah satu karakter (hlm. 85), ternyata kalimat ini berlaku pada beberapa karakter, menjadi pijakan bertindak mereka. Windry sungguh juara ketika mengembangkannya dalam bahasa yang tidak rumit dan enak diikuti.  

Dalam kecakapan Windry merangkai kata, masih ditemukan rangkaian kalimat yang terasa kurang tepat.  Saya sebutkan contohnya.  "Apa yang baru saja dipaparkan oleh Bram tampaknya sudah sejak lama berada di benak bekas polisi itu" (hlm. 82:  sebaiknya Windry menggunakan pensiunan polisi). "Cari tahu saja siapa perempuan itu" (hlm. 106: sebelumnya, Aretha tidak menyebutkan 'dia' itu perempuan). Begitu juga pemakaian kata 'frustrasi' yang berulang menjadi 'frustasi'. Juga kalimat, "Ia pasti tertidur lama sekali, pikir Johan" (hlm. 284, sesuai aslinya isi pikiran Johan ditulis miring). Yang lebih tepat tentu saja:  "Aku (saya) pasti tertidur lama sekali, pikir Johan." 

Pada akhirnya, selalu ada pamungkas untuk setiap novel. Metropolis memberikan akhir  yang membuka peluang hadirnya sekuel. Namun, mengingat pengarang menghadirkan karakter-karakter utama dalam domain abu-abu, ending yang disuguhkan pengarang sungguh pilihan yang tepat. Diawali dengan sebuah pemakaman, pengarang menuntaskan kisahnya, di sebuah pemakaman juga. 

2 comments:

Polwan Lagi Tidur said... Reply Comment

Awesome information..
Keep writing and giving us an amazing information like this..

Game Petualangan Rayman said... Reply Comment

Awesome information..
Keep writing and giving us an amazing information like this..

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan