12 February 2012

Embroideries





Judul Buku: Embroideries (Bordir)
Judul Asli : Broderies (2003)
Penulis dan ilustrator: Marjane Satrapi
Penerjemah: Tanti Lesmana
Tebal: 136 hlm; 14 x 19 cm 

Cetakan: 1, Maret 2006
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


 


Marjane Satrapi adalah penulis dan ilustrator berdarah Iran yang sukses dengan memoarnya yang disajikan dalam bentuk novel grafis, Persepolis: The Story of a Chilhood dan Persepolis 2: The Story of a Return. Persepolis telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan mengantongi penghargaan Harvey Award untuk kategori edisi buku asing terbaik di Amerika dan Alex Award dari American Library Association. Setelah kesuksesan kedua novel grafis ini, Marjane Satrapi (Marji) menghadirkan Broderies (Embroideries), novel grafis yang diindonesiakan dengan judul Bordir. Dalam novel grafis ini, Marjane mengisahkan cerita dengan dirinya menjadi salah satu pelaku. Kali ini, Marji memotret kebiasaan perempuan-perempuan Iran yang berkumpul dan dengan dalih berdiskusi, bergosip untuk "melepaskan unek-unek". Banyak hal yang dijadikan buah bibir. Diri sendiri, teman, kenalan, dan suami-suami, yang semuanya bertalian dengan cinta, seks, dan tingkah para lelaki mempermainkan dan memanfaatkan perempuan. 
 
Di rumah keluarga Satrapi, teh disiapkan dengan cara berbeda untuk pagi, siang, dan malam. Menurut Marji, si penanggung jawab samovar (dalam bahasa Persia diucapkan sebagai samāvar, yaitu wadah dari logam untuk memanaskan dan mendidihkan air untuk membuat teh, antara lain digunakan di Rusia, Iran, Kashmir, dan Turki),  penyiapan dilakukan secara berbeda karena memiliki fungsi yang tidak sama. Acara minum teh pagi adalah untuk neneknya. Teh harus dicampur dengan sedikit larutan bubuk opium yang tersisa di dasar pipa opium setelah diisap. Dengan minum teh ini, nenek yang bangun pagi dalam keadaan lesu dan suasana hati sangat buruk, akan berubah menjadi nenek yang humoris dan baik hati. Sedangkan teh untuk siang dan malam mesti dimasak di dalam samovar sekitar ¾ jam sampai rasanya benar-benar "keluar". Dengan teh yang nikmat, usai makan siang atau malam, para perempuan dewasa, memulai acara "melepaskan unek-unek". 

Bordir, yang dinominasikan untuk Angoulême Album of the Year tahun 2003, mengambil seting suatu hari selesai makan malam di rumah keluarga Satrapi. Sembilan orang perempuan dewasa (keluarga Satrapi, teman, dan tetangga) berkumpul dan dengan pimpinan nenek Marji yang telah menikah 3 kali dalam hidupnya, acara dimulai. 

Maka, mengalirlah berbagai kisah untuk didengar dan dikomentari bersama. Sebagai cerita pertama, Nenek Satrapi menjadi nara sumber kisah temannya yang bernama Nahid. Nahid, hidup dalam ketidakbahagiaan karena menikahi lelaki pilihan orangtua yang tidak ia cintai. Tiga minggu sebelum menikah, Nahid meninggalkan status "perawan" di tangan kekasihnya. Takut suaminya tahu selaput daranya sudah koyak, Nahid minta nasihat Nenek Satrapi. Malam pertama Nahid dengan suaminya, terjadi tragedi. Tragedi silet yang tidak perlu terjadi jika saat itu Nahid sudah bisa "dibordir".  

Setelah tragedi silet Nahid, susul-menyusul kisah-kisah lain, yang antara lain, merupakan kisah beberapa orang dari sembilan orang yang bergosip malam itu. Pembaca akan digiring pada kisah berbagai perempuan melalui penuturan perempuan-perempuan doyan gosip itu. Ada kisah perempuan beranak 4 yang belum pernah memegang testis; perempuan yang menjadi istri lelaki berusia 56 tahun lebih tua darinya pada usia 13 tahun, meninggalkan suaminya, dan berakhir sebagai wanita simpanan; perempuan yang menikahi seorang lelaki pembohong yang suka gonta-ganti perempuan dan berselingkuh dengan suami orang lain; janda yang mencintai lelaki yang ibunya tak menghendaki janda cerai untuk anaknya; perempuan yang mereparasi payudara dan pantat agar tetap disayang suaminya; perempuan yang dinikahkan ibunya pada usia 18 tahun dengan foto suaminya; dan perempuan yang ingin sekali tinggal di negeri Barat gara-gara MTV dan menikahi seorang lelaki 'perampok' yang meninggalkannya setelah membawa semua perhiasan berharga kepunyaannya. Semua kisah perempuan ini begitu mengharukan, menyedihkan, tetapi juga mengandung humor kehidupan. Seperti kata Nenek Satrapi, "Begitulah yang namanya hidup! Kadang kau yang menunggangi kuda, kadang kuda yang menunggangimu." 

Bordir, yang menjadi judul novel bukanlah hiasan pakaian. Bordir di sini adalah sebuah istilah di kalangan perempuan Iran yang berhubungan dengan operasi seputar organ kewanitaannya. Katanya, ada dua jenis bordir. Pertama, operasi selaput dara yang koyak (dalam buku ini disebutkan karena seks pranikah) dan yang kedua, operasi untuk mengecilkan vagina. Untuk yang kedua ini, dilakukan jika vagina yang seperti karet gelang tak berkualitas, sudah menjadi longgar meski baru dua kali ditarik. Istilah bordir inilah yang menjadi gurauan hangat di kalangan perempuan-perempuan tukang gosip itu, yang mengingatkan Nenek Satrapi akan nasib malang Nahid yang menyilet testis suaminya. 

Novel grafis kocak, nakal, cerdas, dan mengharukan ini menghadirkan gambar-gambar dalam warna hitam putih. Gambar-gambarnya sederhana ala Marji tetapi terkesan kuat karena berhasil menampilkan sifat dan emosi masing-masing tokoh manakala wajah mereka ditampilkan. Hanya, untuk membedakan masa kini dan masa lalu (dalam adegan kilas balik) Marji belum menggunakan cara yang digunakannya dalam Chicken with Plums (GPU, 2008) yang terbit belakangan, yaitu menggunakan latar belakang hitam. Tetapi, pembaca tetap bisa mengikuti cerita yang disampaikan dengan lancar. Mungkin, tidak akan melepaskan buku ini sebelum benar-benar tuntas.

Edisi Indonesia karya perempuan yang sekarang tinggal di Prancis dan sudah dua kali menikah ini hadir dalam buku yang dikemas seperti buku novel pada umumnya, menggunakan kertas yang bagus dan yang terutama, diterjemahkan dengan hasil yang enak dibaca. Karena isinya banyak menyodorkan masalah dan humor dewasa (seputar seks dan laki-laki), maka tak lupa diperingatkan jika buku ini adalah konsumsi pembaca yang benar-benar sudah dewasa. 

Membaca Bordir  lengkap dengan gambar-gambar yang ada, Anda mungkin akan merasa digiring ke dalam ruang tamu keluarga Satrapi, menikmati teh yang dimasak dalam samovar sekitar ¾ jam, mengikuti dengan tekun apa yang dibagi para perempuan itu lewat cerita, keluhan, tawa, dan nasihat-nasihat dalam urusan cinta dan laki-laki. Sekali lagi, potensial, kita akan dibuat tersenyum, bahkan tertawa, sekalipun hidup yang dibagikan para perempuan tidak menghadiahi mereka kebahagiaan.


0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan