12 February 2012

The White Castle

 
Judul Buku: The White Castle
Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Fahmi Yamani
Tebal: 298 hlm; 13 x 20 cm
Cetakan: 1, April 2007
Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta

 

Anak Tiri Si Pembuat Selimut




Faruk Darvinoglu, seorang ahli ensiklopedi Turki, pada tahun 1982, menemukan sebuah buku dari abad 17. Buku bersampul indah berwarna biru terang dengan kaligrafi yang cemerlang, diberi judul "Anak Tiri Si Pembuat Selimut" yang ditorehkan di halaman pertama, mengusik rasa penasaran Darvinoglu. Ketika usahanya menuliskan buku ini dalam ensiklopedi gagal, ia memutuskan menulis kembali apa yang ia baca menggunakan bahasa Turki modern dan menerbitkannya dalam bentuk buku. Buku yang oleh penerbitnya diberi judul The White Castle ini, dipersembahkannya untuk saudara perempuannya, Nilgun Darvinoglu.

Apa yang saya sampaikan di atas merupakan "pengantar" novel ketiga karya penulis Turki paling kondang, Ferit Orhan Pamuk. Novel berjudul asli Beyaz Kale ini diterbitkan pertama kali dalam bahasa Turki pada tahun 1985 dan telah memenangkan Independent Award for Foregin Fiction tahun 1990. Sebelumnya Pamuk telah menerbitkan Sessiz Ev (The Silent House, 1982) dan Karanlijk ve Iþýk (Darkness and Light, 1974). Berkat The White Castle, yang merupakan karya pertama Pamuk bereksperimen menggunakan teknik postmodern (sebelumnya ia menulis dengan teknik natural), The New York Times Book Review, menyebutnya "bintang baru yang telah terbit di Timur".

Setelah pengantar yang misterius, pembaca digiring pada kehidupan seorang budak terpelajar asal Venesia (Italia). Si budak hidup di Kesultanan Ottoman pada masa pemerintahan Mehmet IV, sultan yang gemar berburu kelinci, sejak sang sultan masih kanak-kanak hingga dewasa.

Kisah si Budak (sebut saja seperti itu, karena hingga novel usai, kita tidak akan menemukan namanya) dimulai ketika kapal yang ditumpanginya, yang sedang berlayar dari Venesia menuju Napoli, takluk diserang armada Turki. Mujur ia tidak dibunuh. Sebab, si kutu buku Venesia, dengan buku anatomi di tangannya, mengaku sebagai dokter. Meski ia dibawa ke Istanbul sebagai tawanan, dan dijebloskan ke dalam penjara milik Sadik Pasha, kemampuannya di bidang medis, membuat hidupnya lebih baik dari tawanan lain. Ia bahkan bisa mendapatkan uang dari kecakapan medisnya dan berupaya belajar bahasa Turki.

Setelah berhasil memulihkan Sadik Pasha yang terserang batuk dan sesak napas, si Budak mengira dirinya akan dibebaskan. Tetapi ternyata, pasha tidak berniat membebaskannya. Hingga suatu pagi, ia dipanggil ke istana pasha. Pasha tengah mempersiapkan pesta pernikahan anaknya. Untuk memeriahkan acara, pasha menginginkan pertunjukan kembang api yang istimewa. Maka, si Budak disuruh berkolaborasi dengan seorang guru sekolah dasar, yang lebih suka dipanggil Hoja (artinya: guru)

Sesungguhnya, bekerja sama dengan Hoja bukanlah hal yang menakutkan bagi si Budak. Pasha menjanjikan hadiah untuk pekerjaan mereka dan kebebasan dirinya mungkin bisa menjadi hadiah. Namun, saat bertemu Hoja, ia ketakutan. Sebab, meski Hoja berjanggut, mereka memiliki kemiripan wajah, bagaikan kembar. Si Budak sangat meyakini kemiripan mereka, meski Hoja bersikap seolah-olah tidak menyadarinya.

Sayangnya meski pertunjukan kembang api itu sukses, si Budak tetap tidak memperoleh kebebasan. Sewaktu pasha memanggilnya lagi, harapan mendapatkan kebebasan bersemi. Harapan itu membeku karena pasha memintanya membuang agamanya dan menjadi Muslim, jika ia ingin dibebaskan. Penampikannya membawanya berhadapan dengan hukuman mati.

Untunglah, atas bantuan Hoja, hukuman mati diurungkan. Ia tetap sebagai budak dan dihadiahkan kepada Hoja. Hanya Hoja yang bisa membebaskannya, jika Hoja mau. Begitu menjadi budak Hoja, si Budak harus mentransferkan semua yang diketahuinya, dari astronomi hingga kedokteran, ke dalam otak Hoja. Dalam waktu 6 bulan, Hoja berhasil menguras otak si Budak. Ia bermetamorfosis menjadi orang yang penuh gagasan, dan memaksa si Budak membantu mewujudkan gagasannya. Termasuk gagasan menghasilkan teori baru untuk menentang pemikiran Ptolemeus, arus Bhosporus, pembuatan jam salat dengan ketepatan waktu yang sangat tinggi. Malangnya, Sadik Pasha, yang diharapkan akan menjadi batu loncatan kegeniusannya, tidak memberikan respons positif. Ketika Hoja mencoba memperoleh dukungan sultan, ia juga tidak mendapatkan respons yang diharapkan. Sultan hanya lebih suka membicarakan koleksi singanya dan ramalan kesehatan peliharaannya itu.

Ramalan Hoja mengenai kesehatan singa, disusul jumlah anak singa yang akan dilahirkan, juga keselamatan sultan dari upaya pembunuhan, membuat sultan mengandalkan kemampuan meramalnya. Sebuah kehormatan bagi Hoja, tetapi tetap tidak membuatnya bahagia.

Si Budak menyaksikan hari demi hari tuannya frustrasi dan kehilangan rasa percaya diri lalu bingung dengan dirinya sendiri. Si Budak menuduh Hoja tidak cukup berani menemukan siapa dirinya. Ia pun dihukum Hoja. Ia harus  menuliskan kisah kehidupan di masa lalunya. Namun si Budak tidak bodoh. Ia berhasil memaksa Hoja untuk menuliskan masa lalunya juga. Tak pelak lagi, kedua belah pihak saling mengetahui pengalaman hidup sebelum mereka bertemu di Istanbul.

Kehidupan Hoja dan budaknya berlanjut melewati momen epidemi yang berkecamuk, perselisihan di antara mereka, diangkatnya Hoja sebagai Peramal Istana, dan kerja sama menafsirkan mimpi setiap pagi. Hubungan di antara mereka mencapai puncak saat mereka membuat senjata yang akan digunakan menyerang Polandia. Sultan ingin Istana Doppio, istana putih cantik milik musuh, jatuh ke tangan Turki. Sayangnya, kali ini, Hoja dan budaknya gagal. Kegagalan mereka membuat kehidupan mereka terancam, terutama si Budak. Keduanya pun mengambil keputusan. Bertukar identitas. Lalu, dengan identitas si Venesia, Hoja meninggalkan Turki.

The White Castle adalah  novel pertama Pamuk yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan menjadi novel kedua yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Serambi. Sebelumnya penerbit yang sama telah menerbitkan novel keenam Pamuk, Benim Adým Kýrmýzý (My Name is Red, 2006). Hingga saat ini, peraih Nobel Sastra tahun 2006 ini telah menulis 8 novel.  Masumiyet Müzesi (The Museum of Innocence) adalah novel kedelapan Pamuk yang telah diterbitkan dalam bahasa Turki Agustus 2008.

Meski disebut-sebut sebagai novel historis, sebenarnya latar historis hanya dipinjam Pamuk sebagai 'lahan bermain' karakter-karakter fiktifnya. Baik Hoja maupun si Venesia bukanlah tokoh historis yang pernah eksis. Belum lagi, seperti pengakuan Faruk Darvinoglu (dalam bab Pengantar), berbagai peristiwa yang dikisahkan dalam naskah temuannya ini sama sekali tidak sama dengan fakta yang ada. Menurutnya, pada masa pemerintahan Wazir Agung, tidak ada bukti ihwal epidemi seperti dalam buku ini. Ia juga menemukan berbagai kesalahan penulisan nama wazir serta ketidaksamaan nama peramal istana dengan catatan istana.

Membaca novel ini  kita dituntut menjadi pembaca yang cermat. Misalnya untuk nama penulis naskah yang ditulis ulang Faruk Darvinoglu ini. Darvinoglu telah mencoba menyelidiki jati diri sang penulis. Ia sendiri bingung dan hanya tahu jika nama sang penulis diungkapkan di dalam buku.  Bab 11 yang menjadi pamungkas novel memberikan jawaban identitas penulis buku ini. Jika kita cermat, kita akan tahu, sesungguhnya, judul yang ditambahkan -Anak Tiri Si Pembuat Selimut, mengarah kepada si penulis cerita yang adalah anak tiri seorang lelaki pembuat selimut. Orang tersebut tidak lain adalah Abdullah Efendi, alias Hoja sendiri. Dalam naskah kita akan  menemukan jika si guru SD itu lebih suka dipanggil Hoja karena "tidak suka diberi nama yang sama dengan nama kakeknya" (hlm. 38). Dan ketika membaca lebih lanjut lagi, disebutkan jika kakek Hoja bernama Abdullah Efendi (hlm. 144). Jadi, siapa lagi, nama asli Hoja, sang penulis buku?

Dalam bab 11, sebagai penutup -yang ditambahkan 16 tahun setelah bab 10 ditulis, pembaca juga akan disadarkan jika akhir kisah Hoja dan si Budak pada bab 10, hanya sekadar imajinasi Abdullah Efendi, mantan peramal istana. Sang penulis termotivasi oleh pertukaran identitas antara dua orang berwajah mirip. Seperti tulisnya, "Jika kita hanya mencari ke dalam diri sendiri, menghabiskan waktu lama dan bekerja keras memikirkan diri sendiri kita tidak akan pernah bahagia. Inilah yang terjadi pada berbagai tokoh dalam ceritaku: karena inilah para pahlawan tidak pernah puas menjadi dirinya sendiri, karena inilah mereka selalu ingin menjadi orang lain. Marilah kita berandai-andai bahwa ceritaku itu memang nyata. Apakah aku yakin bahwa kedua orang lelaki yang saling menjalani kehidupan kembarannya itu bisa hidup bahagia dalam kehidupan barunya?" (hlm. 285).

Dalam menggelontorkan ceritanya, Pamuk menghadirkan The White Castle sebagai novel yang sangat miskin dialog. Padahal salah satu elemen yang sering membuat sebuah karya fiksi menjadi enak dibaca adalah dialog. Apalagi jika dialognya diolah dengan cerdas dan memikat. Selain itu, Pamuk merangkai kalimat-kalimat panjang, yang dalam edisi Indonesia, boleh dibilang sangat panjang. Terkadang, satu paragraf memakan tempat lebih dari satu halaman, bermuatan pemikiran yang bersengkarut dengan isi cerita. Alhasil, novel ini menjadi karya yang tidak gampang dicerna. Terjemahan dan penyuntingan edisi Indonesia memang boleh dikatakan mulus. Tetapi, tetap membutuhkan kesabaran (dan konsentrasi) untuk menghabiskan kisah yang mayoritas hanya berpusar di antara dua orang. Padahal novel ini tidak setebal karya Pamuk yang lain,  My Name is Red.
 

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan