Penulis: Orhan Pamuk
Penerjemah: Fahmi Yamani
Tebal: 298 hlm; 13 x 20 cm
Cetakan: 1, April 2007
Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta
Anak Tiri Si Pembuat Selimut
Faruk Darvinoglu, seorang ahli ensiklopedi Turki, pada tahun 1982, menemukan sebuah buku dari abad 17. Buku bersampul indah berwarna biru terang dengan kaligrafi yang cemerlang, diberi judul "Anak Tiri Si Pembuat Selimut" yang ditorehkan di halaman pertama, mengusik rasa penasaran Darvinoglu. Ketika usahanya menuliskan buku ini dalam ensiklopedi gagal, ia memutuskan menulis kembali apa yang ia baca menggunakan bahasa Turki modern dan menerbitkannya dalam bentuk buku. Buku yang oleh penerbitnya diberi judul The White Castle ini, dipersembahkannya untuk saudara perempuannya, Nilgun Darvinoglu.
Apa yang saya sampaikan di atas merupakan "pengantar" novel ketiga karya penulis Turki paling kondang, Ferit Orhan Pamuk. Novel berjudul asli Beyaz Kale ini diterbitkan pertama kali dalam bahasa Turki pada tahun 1985 dan telah memenangkan Independent Award for Foregin Fiction tahun 1990. Sebelumnya Pamuk telah menerbitkan Sessiz Ev (The Silent House, 1982) dan Karanlijk ve Iþýk (Darkness and Light, 1974). Berkat The White Castle, yang merupakan karya pertama Pamuk bereksperimen menggunakan teknik postmodern (sebelumnya ia menulis dengan teknik natural), The New York Times Book Review, menyebutnya "bintang baru yang telah terbit di Timur".
Setelah
pengantar yang misterius, pembaca digiring pada kehidupan seorang
budak terpelajar asal Venesia (Italia). Si budak hidup di Kesultanan
Ottoman pada masa pemerintahan Mehmet IV, sultan yang gemar berburu
kelinci, sejak sang sultan masih kanak-kanak hingga dewasa.
Kisah
si Budak (sebut saja seperti itu, karena hingga novel usai, kita tidak
akan menemukan namanya) dimulai ketika kapal yang ditumpanginya, yang
sedang berlayar dari Venesia menuju Napoli, takluk diserang armada
Turki. Mujur ia tidak dibunuh. Sebab, si kutu buku Venesia, dengan buku
anatomi di tangannya, mengaku sebagai dokter. Meski ia dibawa ke
Istanbul sebagai tawanan, dan dijebloskan ke dalam penjara milik Sadik
Pasha, kemampuannya di bidang medis, membuat hidupnya lebih baik dari
tawanan lain. Ia bahkan bisa mendapatkan uang dari kecakapan medisnya
dan berupaya belajar bahasa Turki.
Setelah
berhasil memulihkan Sadik Pasha yang terserang batuk dan sesak napas,
si Budak mengira dirinya akan dibebaskan. Tetapi ternyata, pasha tidak
berniat membebaskannya. Hingga suatu pagi, ia dipanggil ke istana
pasha. Pasha tengah mempersiapkan pesta pernikahan anaknya. Untuk
memeriahkan acara, pasha menginginkan pertunjukan kembang api yang
istimewa. Maka, si Budak disuruh berkolaborasi dengan seorang guru
sekolah dasar, yang lebih suka dipanggil Hoja (artinya: guru)
Sesungguhnya,
bekerja sama dengan Hoja bukanlah hal yang menakutkan bagi si Budak.
Pasha menjanjikan hadiah untuk pekerjaan mereka dan kebebasan dirinya
mungkin bisa menjadi hadiah. Namun, saat bertemu Hoja, ia ketakutan.
Sebab, meski Hoja berjanggut, mereka memiliki kemiripan wajah, bagaikan
kembar. Si Budak sangat meyakini kemiripan mereka, meski Hoja bersikap
seolah-olah tidak menyadarinya.
Sayangnya
meski pertunjukan kembang api itu sukses, si Budak tetap tidak
memperoleh kebebasan. Sewaktu pasha memanggilnya lagi, harapan
mendapatkan kebebasan bersemi. Harapan itu
membeku karena pasha memintanya membuang agamanya dan menjadi Muslim,
jika ia ingin dibebaskan. Penampikannya membawanya berhadapan dengan
hukuman mati.
Untunglah,
atas bantuan Hoja, hukuman mati diurungkan. Ia tetap sebagai budak dan
dihadiahkan kepada Hoja. Hanya Hoja yang bisa membebaskannya, jika
Hoja mau. Begitu menjadi budak Hoja, si Budak harus mentransferkan
semua yang diketahuinya, dari astronomi hingga kedokteran, ke dalam
otak Hoja. Dalam waktu 6 bulan, Hoja berhasil menguras otak si Budak.
Ia bermetamorfosis menjadi orang yang penuh gagasan, dan memaksa si
Budak membantu mewujudkan gagasannya. Termasuk gagasan menghasilkan
teori baru untuk menentang pemikiran Ptolemeus, arus Bhosporus,
pembuatan jam salat dengan ketepatan waktu yang sangat tinggi.
Malangnya, Sadik Pasha, yang diharapkan akan menjadi batu loncatan
kegeniusannya, tidak memberikan respons positif. Ketika Hoja mencoba
memperoleh dukungan sultan, ia juga tidak mendapatkan respons yang
diharapkan. Sultan hanya lebih suka membicarakan koleksi singanya dan
ramalan kesehatan peliharaannya itu.
Ramalan
Hoja mengenai kesehatan singa, disusul jumlah anak singa yang akan
dilahirkan, juga keselamatan sultan dari upaya pembunuhan, membuat
sultan mengandalkan kemampuan meramalnya. Sebuah kehormatan bagi Hoja,
tetapi tetap tidak membuatnya bahagia.
Si
Budak menyaksikan hari demi hari tuannya frustrasi dan kehilangan rasa
percaya diri lalu bingung dengan dirinya sendiri. Si Budak menuduh
Hoja tidak cukup berani menemukan siapa dirinya. Ia pun dihukum Hoja.
Ia harus menuliskan kisah kehidupan di masa
lalunya. Namun si Budak tidak bodoh. Ia berhasil memaksa Hoja untuk
menuliskan masa lalunya juga. Tak pelak lagi, kedua belah pihak saling
mengetahui pengalaman hidup sebelum mereka bertemu di Istanbul.
Kehidupan
Hoja dan budaknya berlanjut melewati momen epidemi yang berkecamuk,
perselisihan di antara mereka, diangkatnya Hoja sebagai Peramal Istana,
dan kerja sama menafsirkan mimpi setiap pagi. Hubungan di antara mereka
mencapai puncak saat mereka membuat senjata yang akan digunakan
menyerang Polandia. Sultan ingin Istana Doppio, istana putih cantik
milik musuh, jatuh ke tangan Turki. Sayangnya, kali ini, Hoja dan
budaknya gagal. Kegagalan mereka membuat kehidupan mereka terancam,
terutama si Budak. Keduanya pun mengambil keputusan. Bertukar
identitas. Lalu, dengan identitas si Venesia, Hoja meninggalkan Turki.
The White Castle adalah novel
pertama Pamuk yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan menjadi
novel kedua yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit
Serambi. Sebelumnya penerbit yang sama telah menerbitkan novel keenam
Pamuk, Benim Adým Kýrmýzý (My Name is Red, 2006). Hingga saat ini, peraih Nobel Sastra tahun 2006 ini telah menulis 8 novel. Masumiyet Müzesi (The Museum of Innocence) adalah novel kedelapan Pamuk yang telah diterbitkan dalam bahasa Turki Agustus 2008.
Meski
disebut-sebut sebagai novel historis, sebenarnya latar historis hanya
dipinjam Pamuk sebagai 'lahan bermain' karakter-karakter fiktifnya.
Baik Hoja maupun si Venesia bukanlah tokoh historis yang pernah eksis.
Belum lagi, seperti pengakuan Faruk Darvinoglu (dalam bab Pengantar),
berbagai peristiwa yang dikisahkan dalam naskah temuannya ini sama
sekali tidak sama dengan fakta yang ada. Menurutnya, pada masa
pemerintahan Wazir Agung, tidak ada bukti ihwal epidemi seperti dalam
buku ini. Ia juga menemukan berbagai kesalahan penulisan nama wazir
serta ketidaksamaan nama peramal istana dengan catatan istana.
Membaca novel ini kita
dituntut menjadi pembaca yang cermat. Misalnya untuk nama penulis
naskah yang ditulis ulang Faruk Darvinoglu ini. Darvinoglu telah
mencoba menyelidiki jati diri sang penulis. Ia sendiri bingung dan
hanya tahu jika nama sang penulis diungkapkan di dalam buku. Bab
11 yang menjadi pamungkas novel memberikan jawaban identitas penulis
buku ini. Jika kita cermat, kita akan tahu, sesungguhnya, judul yang
ditambahkan -Anak Tiri Si Pembuat Selimut, mengarah kepada si penulis
cerita yang adalah anak tiri seorang lelaki pembuat selimut. Orang
tersebut tidak lain adalah Abdullah Efendi, alias Hoja sendiri. Dalam
naskah kita akan menemukan jika si guru SD itu lebih suka dipanggil Hoja karena "tidak suka diberi nama yang sama dengan nama kakeknya" (hlm.
38). Dan ketika membaca lebih lanjut lagi, disebutkan jika kakek Hoja
bernama Abdullah Efendi (hlm. 144). Jadi, siapa lagi, nama asli Hoja,
sang penulis buku?
Dalam
bab 11, sebagai penutup -yang ditambahkan 16 tahun setelah bab 10
ditulis, pembaca juga akan disadarkan jika akhir kisah Hoja dan si
Budak pada bab 10, hanya sekadar imajinasi Abdullah Efendi, mantan
peramal istana. Sang penulis termotivasi oleh pertukaran identitas
antara dua orang berwajah mirip. Seperti tulisnya, "Jika
kita hanya mencari ke dalam diri sendiri, menghabiskan waktu lama dan
bekerja keras memikirkan diri sendiri kita tidak akan pernah bahagia.
Inilah yang terjadi pada berbagai tokoh dalam ceritaku: karena inilah
para pahlawan tidak pernah puas menjadi dirinya sendiri, karena inilah
mereka selalu ingin menjadi orang lain. Marilah kita berandai-andai
bahwa ceritaku itu memang nyata. Apakah aku yakin bahwa kedua orang
lelaki yang saling menjalani kehidupan kembarannya itu bisa hidup
bahagia dalam kehidupan barunya?" (hlm. 285).
Dalam menggelontorkan ceritanya, Pamuk menghadirkan The White Castle
sebagai novel yang sangat miskin dialog. Padahal salah satu elemen
yang sering membuat sebuah karya fiksi menjadi enak dibaca adalah
dialog. Apalagi jika dialognya diolah dengan cerdas dan memikat. Selain
itu, Pamuk merangkai kalimat-kalimat panjang, yang dalam edisi
Indonesia, boleh dibilang sangat panjang. Terkadang, satu paragraf
memakan tempat lebih dari satu halaman, bermuatan pemikiran yang
bersengkarut dengan isi cerita. Alhasil, novel ini menjadi karya yang
tidak gampang dicerna. Terjemahan dan penyuntingan edisi Indonesia
memang boleh dikatakan mulus. Tetapi, tetap membutuhkan kesabaran (dan
konsentrasi) untuk menghabiskan kisah yang mayoritas hanya berpusar di
antara dua orang. Padahal novel ini tidak setebal karya Pamuk yang
lain, My Name is Red.
0 comments:
Post a Comment