Judul Buku: Surat Untuk
Ruth
Pengarang: Bernard
Batubara
Editor: Siska Yuanita
Tebal: 168 halaman; 20
cm
Cetakan: 1, April 2014
Penerbit: Gramedia
Pustaka Utama
Tidak ada korelasi positif antara durasi sebuah pertemuan dengan
mudah-tidaknya melupakan atau meninggalkan kenangan dan ingatan yang tersisa
ketika pertemuan tersebut berakhir. Dua orang yang memiliki hubungan selama
bertahun-tahun bisa dengan mudah melupakan kenangan hanya dalam waktu satu-dua
minggu. Sebaliknya, sepasang manusia yang baru menjalani hubuangan selama
dua-tiga bulan, bisa saja memiliki kenangan dan perasaan yang begitu dalam,
sehingga melupakan hubungan tersebut adalah mustahil
(hlm. 138-139).
Mereka
berkenalan di dek kapal feri yang menyeberangi Selat Bali, dari Banyuwangi ke
Jembrana. Saat itu Are sedang memotret senja dari pinggir dek kapal, dan
melihat Ruth yang hendak melukis senja dalam kanvas (tapi kemudian tidak jadi).
Are pergi ke Bali setelah dicampakkan kekasihnya dan menghabiskan cuti untuk
urusan komunitas fotografi di Bali. Sedangkan Ruth, perempuan tanpa kekasih
setelah putus dengan laki-laki yang menjalin hubungan dengannya selama tiga
tahun, pergi ke Bali untuk liburan dengan ibunya.
Momen
perkenalan itu tidak menjadi pertemuan terakhir mereka. Are dan Ruth bertemu
kembali di sebuah kedai kopi di sudut Legian di mana Ruth diperkenalkan Are
dengan Bli Nugraha -temannya dalam komunitas fotografi (LANSKAP) di Bali. Selanjutnya
mereka menghabiskan waktu di Kopi Kultur di Sunset Road dan Ruth berkenalan
dengan teman Are yang lain dalam LANSKAP, Ayudita. Bli Nugraha dan Ayudita
saling jatuh cinta tapi tidak bisa melanjutkan hubungan karena dijurangi
perbedaan kasta. Pertemuan Are dan Ruth
di Bali berakhir dengan kunjungan ke Pantai Suluban yang dikenal orang dengan
nama Blue Point.
Saat
diminta bosnya di kantor untuk pergi ke Malang, Are mengajak Ruth bertemu lagi
dan bersama-sama dengannya pergi ke kota apel itu. Di sanalah, Ruth
menceritakan kepada Are mengenai hubungannya dengan Abimanyu, laki-laki yang
lebih dahulu dari Are memasuki hidupnya. Ruth telah mengakhiri hubungan mereka,
tapi Abimanyu tidak. Sehingga Ruth masih
bimbang memproklamasikan Abimanyu sebagai mantan kekasih. Meskipun begitu, Ruth
mengiyakan ajakan Are untuk kembali ke Bali, bersama-sama.
Bali menjadi tempat
digoreskannya sejarah perjalanan kita, sejarah cinta maupun luka. Keduanya
memiliki titik awal di sana, di Bali (hlm. 11). Dalam keheningan Ubud, Ruth mengungkapkan kalau hubungan
mereka tidak akan ke mana-mana. Walaupun Are mencintainya, Ruth tidak bisa
meneruskan hubungan mereka. Walaupun Ruth akhirnya bisa mengungkapkan rasa
sayangnya kepada Are, ia telah setuju untuk menikah dengan Abimanyu, laki-laki
pilihan ibunya.
Aku tidak bisa
menyalahkan siapa-siapa, Ruth. Kecuali, mungkin, diriku sendiri.
Mengapa? Karena, tentu
saja, aku harus menyalahkan diriku sendiri yang tidak membuat persiapan apa pun
untuk semua ini. Padahal, aku sudah mendapatkan firasat bahwa hal ini akan
terjadi. Tapi, tentu saja aku akan jadi orang yang bodoh kalau belum apa-apa
sudah menyiapkan diri untuk berpisah dengan orang yang kucintai. Lagi pula,
siapa yang merasa siap dengan perpisahan? Jika ada seseorang yang berkata
kepadamu bahwa dia siap untuk berpisah dengan orang yang dia cintai, maka aku
akan berkata kepadanya bahwa aku adalah anak kandung presiden Amerika.
(hlm. 109-110).
Surat
Untuk Ruth -buku keenam Bernard Batubara-
berangkat dari cerpen bertajuk Milana
(judul aslinya adalah Senja di Jembrana)
yang dimuat dalam kumpulan cerpen tunggal perdananya, Milana (Gramedia, 2013).
Boleh dibilang, Surat Untuk Ruth adalah
prekuel dari kisah dalam cerpen tersebut. Jadi bagi yang sudah pernah membaca
cerpen Milana, otomatis sudah
mengetahui apa yang terjadi di penghujung Surat
Untuk Ruth. Kecuali, tentu saja kejutan yang diungkap Bernard tepat di
halaman terakhir novel ini.
Lalu
mengapa judulnya Surat Untuk Ruth
bukannya Surat Untuk Milana?
Milana bernama lengkap Ruthefia Milana dan Are yang bernama lengkap Areno
Adamar lebih suka memanggilnya dengan nama Ruth dan bukan Milana. Saya pernah
membaca di blog Bernard kalau novel yang ditulisnya ini malah ia beri judul Perempuan Victorinox. Perempuan
Victorinox adalah julukan Are kepada Ruth meminjam nama pisau yang ia hadiahkan
untuk gadis itu.
Tema
utama novel ini adalah cinta dan patah hati. Bukanlah tema yang baru, sudah
sangat generik, dan terkadang membosankan dibaca. Tapi di tangan Bernard,
cinta dan patah hati menjadi indah lantaran ditulis dalam nuansa sastrawi. Kita
bisa mendapatkan kalimat-kalimat yang diuntai dengan indah selama pembacaan.
Memang Bernard menggunakan bahasa Indonesia baku tapi masih terasa luwes
sehingga tetap enak dibaca.
Karakterisasi
sepasang pencinta yang sukar mewujudkan cintanya dikemas dengan baik, hanya
saja bukan mereka yang menarik perhatian saya. Bukan juga Bli Nugraha yang bisa
memandang perpisahannya dengan Ayudita sebagai realita yang mesti diterima
dengan lapang dada. Calon suami Ruth dan saingan Are mendapatkan Ruth yang
membuat saya tertarik karena cintanya kepada Ruth yang tidak ada batasnya.
Benarkah ia pantas disebut bebal?
"Menurutmu, kenapa
ada orang yang bersikeras mencintai orang yang tidak mencintainya?"
Aku berpikir sejenak.
"Mungkin karena
orang itu bebal saja. Untuk apa memberikan hati kepada orang yang tidak
menginginkannya?" (hlm. 98).
Ada
beberapa hal yang mengundang tanya selama pembacaan.
Pada halaman 21 Bernard
menulis: Kamu, perempuan yang berhasil
menggoyahkan keyakinanku sebelumnya bahwa cinta adalah mitos belaka. Jadi,
sebenarnya yang menganggap cinta adalah mitos belaka itu Are. Tapi di halaman
27, malah Ruth yang mengatakan: Menurutku,
cinta itu mitos.
Pada halaman 33 Bernard
mengatakan: Bli Nugraha lebih senang
memanggilku Damar dari Adamar, ketimbang
Are dari Areno. Berpindah ke halaman
67, Bli Nugraha menyapa Are: Halo, Are.
Ini Nugra, pakai nomor lain. Lalu, pada halaman yang sama, anehnya, Nugra
bertanya: Eh, Damar, kamu baik-baik saja,
kan?
Perbedaan umur Abimanyu
dan Ruth tidak konsisten. Pada halaman 72, melalui Are, Bernard mengungkapkan
bahwa Abimanyu ... cuma setahun di bawah
Ayudita, yang ternyata adalah stafnya. Ayudita itu dua puluh empat tahun.
Jadi, artinya Abimanyu berumur 23 tahun.
Pada halaman 75, saat Are menanyakan umurnya, Ruth mengatakan ia berumur 23
tahun. Tapi pada halaman 123 ketika Ruth menceritakan tentang pertemuan
pertamanya dengan Abimanyu di Bali, Abimanyu berumur 8 tahun dan Ruth 5 tahun
(jadi mereka berselisih sekitar 3 tahun dan Abimanyu lebih tua dari Ruth).
Surat Untuk Ruth
ditulis menggunakan teknik epistolari. Bernard memakai surat untuk menggulirkan
kisah cinta dan patah hati ini, surat-surat Are yang ditujukan pada Ruth.
Karenanya, aneh rasanya membaca halaman 133-137 yang merupakan cerita Ayudita
kepada Are mengenai pertemuannya dengan Ruth di
Surabaya. Apakah perlu Are menulis dalam suratnya kepada Ruth adegan
pertemuan itu?
Surat-surat Are yang semula tidak mencantumkan tanggal, pada dua bab terakhir mendadak sudah
mencantumkan tanggal. Jadi, surat-surat sebelumnya itu kapan ditulisnya? Kapan
juga Ruth menerima surat-surat Are pada sekitar satu minggu sebelum
pernikahannya dengan Abimanyu? (keputusan Are mengirimkan surat/memoar yang
ditulisnya kepada Ruth baru dikatakan Are dalam surat bertanggal 19 Oktober
2012). Awalnya, saya mengira, yang dikirimkan Are tidak termasuk dua bab
terakhir, tapi membaca isi surat Ruth, ternyata Ruth membuat daftar juga,
meniru yang dilakukan Are. Hal ini menunjukkan kalau Ruth menerima surat
bertanggal 15, 17 dan 22 Oktober 2012.
Menilik daftar yang
disusun Ruth, isinya sebetulnya tidak konsisten dengan apa yang disampaikan Are.
Nomor 22 dalam daftar itu bukankah seharusnya tidak disampaikan Ruth? Bukan
Are, tapi Ruth-lah yang tidak ingin lagi bertemu.
Kemudian, yang paling
aneh dan absurd adalah isi surat
bertanggal 26 Oktober 2012 yang merupakan bagian penutup novel ini. Mengapa
cerita dalam surat itu masih ditulis sebagai surat Are? Tidakkah lebih
masuk jika -misalnya- cerita dalam surat itu disampaikan menggunakan sudut
pandang orang ketiga saja? Kesan yang saya tangkap, Bernard kebingungan
menyelesaikan novelnya.
Dengan
pertanyaan-pertanyaan yang muncul selama pembacaan ini, Surat Untuk Ruth menjadi
tidak cukup memuaskan bagi saya.
0 comments:
Post a Comment