06 May 2013

Milana

 


Judul Buku: Milana
Pengarang: Bernard Batubara
Editor: Siska Yuanita
Ilustrasi Sampul dan Isi: Lala Bohang
Tebal: 192 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, April 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


 



Meskipun tidak semua cerpen dalam kumcer Milana: Perempuan Yang Menunggu Senja karya Bernard Batubara bermuatan kesedihan, banyak kesedihan yang bisa dikumpulkan selama pembacaan. Cinta adalah faktor penyebab kesedihan terbesar, tapi bukan satu-satunya.

Milana -gadis yang namanya menjadi judul cerpen yang kemudian disematkan sebagai judul kumcer ini- adalah pelukis senja. Hanya senja yang ingin dipindahkannya ke atas kanvas di atas feri yang menyeberangi Selat Bali, dari Banyuwangi ke Jembrana. Karena Areno Adamar, seorang travel photographer, menyukai senja dan mengistimewakan senja untuk direkam lensa kameranya. Setelah pertemuan mereka yang kedua, mereka bersepakat untuk selalu berjumpa di atas feri dan bersama-sama merekam senja, dengan cara mereka sendiri. Tapi dua tahun telah berlalu, hanya Milana sendiri yang merekam senja dan menunggu sambil meyakinkan dirinya bahwa Areno pasti akan datang. "Menunggu adalah perkara melebarkan kesabaran dan berhadap-hadapan dengan risiko ketidakhadiran. Mendedikasikan setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun untuk menyambut sebuah kedatangan kembali. Untuk mendengar sebuah "Halo, ini aku, sudah pulang." (hlm. 175). Milana adalah sebuah cerpen yang indah, melenakan, dan membuat sedih.

Dibangkitkan oleh suara jangkrik, hujan dan suara hujan, debur kali di belakang rumah, dan daun-daun yang berguguran dari sebatang pohon tua, sebuah kisah tentang cinta terlarang akan disingkapkan dalam cerpen Lukisan Kali dan Pohon Tua. Saat Joan bertekad meluruskan percintaannya yang keliru, laki-laki yang mencintainya mau tidak mau harus melepaskannya. Meskipun begitu, kenangan yang terjadi di antara mereka, tidak bisa dilupakan laki-laki itu karena selalu dihidupkan oleh suasana di tempat kediamannya.

Cinta bertepuk sebelah tangan yang melahirkan kesedihan dibekukan dalam cerpen Beberapa Adegan yang Tersembunyi di Pagi Hari. Para pecinta diibaratkan sebagai Daun, Matahari, Bulan, Embun, Pagi hari, dan Senja, dalam sebuah penuturan puitis yang intens. Dua pertanyaan muncul dari tokoh pelengkap yaitu Angin: Memangnya cinta hanya bisa untuk satu? Tidak bisa dua, tiga, atau empat? (hlm. 30) Memangnya cinta harus selalu menanti? (hlm. 31).

Setiap kali hujan turun dan harus berada di luar rumah, Tetto dalam cerpen Lelaki Berpayung dan Gadis yang Mencintai Hujan selalu membawa payung. Ia tidak menyukai hujan dan basah karena kehujanan. Tapi Erina, gadis yang dijuluki Tetto sebagai Gadis Hujan, sangat mencintai hujan. Setiap kali hujan turun, ia akan menari di bawah guyuran hujan. Hujan membuat Erina merasa lebih hidup. Bagi Erina, dengan membawa payung, Tetto sebenarnya tidak menikmati hidup. "Jika memang hujan itu masalah buatmu, mestinya kau menghadapinya langsung, bukan malah menghindarinya dengan memakai payung. Kau tidak menikmati hidup jika terus lari dari masalah." (hlm. 41-42). Akankah Tetto menerima keyakinan Erina dalam hidupnya meskipun suatu hari Erina tidak pernah lagi menari di bawah guyuran hujan?

Di Goa Maria -kolam renang yang menjadi judul cerpen, Suhana bertemu Wanto, laki-laki yang dicintai dan mencintainya. Tapi cinta mereka tidak sepadan karena Wanto hanyalah anak dari seorang tukang jual sayur, sementara Suhana putri seorang haji (yang kaya, pastinya). Perbedaan status itu membuat Wanto tidak memiliki semangat untuk memperjuangkan cinta mereka. "Mendekatimu dan berpikir dapat memiliki dirimu, bagai mengangkat ayahku tinggi-tinggi ke langit, lalu menjatuhkannya kembali akibat tak disetujui oleh orangtuamu. Maka aku memilih yang lebih patut untukku saja, juga untuk ayahku," kata Wanto (hlm. 56). Tapi Suhana tetap mencintai Wanto dan memutuskan untuk menunggu kekasihnya itu di Goa Maria. Mungkinkah Wanto akan muncul dan mengulang kenangan pertemuan pertama mereka?

Tikungan mengisahkan tentang tikungan misterius di sebuah kompleks pemukiman. Tikungan itu banyak mendatangkan masalah dan menyebabkan sejumlah kecelakaan. Apa sebenarnya yang salah dengan tikungan itu? Setelah kecemasan demi kecemasan yang melanda penduduk kompleks pemukiman, kita akan dibuat tersenyum oleh pengungkapan identitas sumber masalah itu.

Jung dalam cerpen yang memakai namanya sebagai judul adalah gadis yang buta sejak dilahirkan. Tapi meskipun buta, ia bisa melihat kematian, termasuk kematian pada seorang pemuda yang memotretnya. Tanpa diketahui Jung, dengan cara yang sama, pemuda itu bisa melihat kematiannya juga. Mengapa mereka bisa melihat kematian satu sama lain? Kita harus menengok ke masa lalu mereka yang menyedihkan untuk mendapatkan jawaban.

Suatu malam, pintu kamar narator cerpen Pintu yang Yang Tak Terkunci -dikembangkan dari puisi Robert Frost yang berjudul The Lockless Door- diketuk. Ketukan itu berulang dan lambat laun menjelmakan ketakutan dalam dirinya. Ia pun bergerak menjauh dari pintu hingga ke jendela kamarnya. Siapa yang sedang mengetuk pintu kamarnya? Pertanyaan itu baru akan terjawab setelah ia mempersilakan si pengetuk pintu masuk, karena pintu kamarnya memang tidak dikunci. Kau mungkin akan terkejut kemudian tertawa begitu si pengetuk pintu memperkenalkan diri.

Adakah cermin yang mampu mempertontonkan pantulan yang membuat kita tampak jauh lebih cantik atau tampan dari wujud asli? Cermin yang dimaksud hanya ada dalam cerpen berjudul Cermin. Wono, laki-laki berwajah buruklah yang memiliki cermin itu sebagai warisan dari ayahnya yang sudah meninggal dunia. Wono mengagumi Maila tapi selalu minder jika berhadapan dengan perempuan tercantik di desanya itu. Meskipun sudah cantik tanpa membutuhkan cermin untuk penegasan, Maila tergoda untuk melihat wajahnya tampak jauh lebih cantik di depan cermin. Ia pun mengadakan sayembara. Bagi siapa yang bisa membawakan cermin yang diinginkannya, apa pun akan diberikannya pada orang itu. Maka Wono menggali cermin yang telah dikuburkannya dan membawanya kepada Maila. Cermin adalah sebuah kisah yang diracik dari elemen dongeng, komedi, dan tragedi. Cermin mungkin akan memperlihatkan kelebihan-kelebihan lahiriah kita, tapi hati-hati dengan narsisme yang bisa muncul karena pantulan cermin.

Malaikat mengisahkan kesedihan yang dirasakan seorang ibu. Cerita tentang malaikat yang disampaikan Ibu Guru selalu menyita perhatian Lou. Tapi tidak bisa memberikan bayangan jelas di benaknya seperti apa rupa dan wujud malaikat. Saat Lou dirawat di rumah sakit karena demam berdarah dan Ibu Guru tidak menjenguk untuk bercerita tentang malaikat, Lou memutuskan menggambar malaikat versinya sendiri. Siapa sebenarnya malaikat? Apakah hanya sekadar makhluk bersayap penghuni surga? Ternyata, bagi seorang ibu, anaknya pun adalah malaikat, yang didatangkan Tuhan untuk menyelamatkan hidupnya.

Awalnya laki-laki penulis surat dan Fa dalam cerpen Surat Untuk Fa adalah sepasang sahabat. Tapi lalu, persahabatan mereka berkembang menjadi cinta. Sayangnya, si laki-laki terlalu pengecut untuk menjelaskannya dan Fa terlalu takut untuk mengakuinya. Kelamaan dipendam, mereka tak mampu menahan perasaan dan mewujudkannya dengan kecupan yang panjang dan dalam. Anehnya, setelah kecupan itu, hubungan mereka pun merenggang. Bukan sahabat, bukan kekasih. Fa meninggalkan kota tempat tinggal mereka, pindah ke tempat lain, dan menghindar. Sepuluh tahun lamanya si laki-laki menulis surat untuk Fa dan tidak pernah menerima balasan. Apa salahnya? Ia memang telah menyatakan cintanya pada Fa. Tapi Fa terlalu mandiri, ingin mengurus semuanya sendiri, dan tidak membutuhkannya. Salahkah dia kalau akhirnya menjalin hubungan dengan perempuan lain, yang membutuhkannya?

"Selalu empat putaran. Setiap hari. Hanya empat putaran berlari keliling boulevard kampus pada pukul lima lewat tiga puluh pagi. Kurang dari itu, saya malu. Lebih dari itu, saya tidak mampu," kata pemuda bertubuh gemuk dalam cerpen Hanya Empat Putaran (hlm.121). "Aku perempuan. Dan aku bisa berlari lebih jauh daripada pria mana pun di dunia ini. Tidak pernah empat putaran. Itu terlalu memalukan," kata gadis yang mengamati empat putaran yang dilakukan si pemuda gemuk itu. Mereka tidak saling mengenal dan berlari untuk tujuan berbeda. Tapi empat putaran yang dilakukan si pemuda gemuk itu ternyata menjadi penyelamat bagi gadis itu. "Selama ini, aku pikir aku butuh lebih dari empat putaran. Butuh berkali-kali lipat empat putaran untuk melupakan luka itu. Namun ternyata aku hanya butuh empat putaran. Tepat empat putaran, untuk menemukan kamu yang baru dan memberikan arti lagi pada setiap langkahku." (hlm. 130).

Seorang gadis hadir di kafe setiap malam dan memperhatikan seorang pianis laki-laki membawakan lagu-lagu Diana Krall. Karena dipikirnya si gadis sangat menikmati lagu The Girl from Ipanema (dibawakan Diana Krall menjadi The Boy from Ipanema), sang pianis selalu membawakan lagu ini. Tidak bisa disangkal lagi, sang pianis jatuh cinta pada gadis yang tak dikenalnya itu. Bahkan setelah si gadis menghilang dan tidak pernah muncul lagi di kafe, bahkan setelah laki-laki itu meninggalkan pekerjaannya di kafe untuk mengejar karier dan popularitas. Semalam dengan Diana Krall, sungguh sebuah cerpen mengharukan yang membangkitkan harapan akan cinta sejati.

Kekasih laki-laki dalam cerpen The Beautiful Stranger meninggalkannya karena jatuh cinta pada orang asing yang baru dijumpainya beberapa kali. Laki-laki itu nyaris tidak percaya. Semudah itu kekasihnya pindah ke lain hati? Ya, semudah itu, jawab mantan kekasihnya. "Bisa kalian bayangkan betapa hancurnya perasaan saya mendengar jawaban dan alasannya itu? Jatuh hati pada orang asing? Oh, please! Sungguh konyol!"  (hlm. 150). Tapi benarkah jatuh hati pada orang asing yang baru dijumpai itu sungguh konyol? Saat ia pergi ke Starbucks, menikmati iced hazelnut latte, dan merampungkan pekerjaannya, ia akan mendapat jawaban bagi dirinya sendiri.

Bagi si perempuan, laki-laki yang menjadi temannya itu adalah Red Velvet. Karena selain penggemar warna merah, laki-laki itu berjanji akan membelikan red velvet cake bagi si perempuan bila bukunya diterbitkan. Bagi si laki-laki, perempuan itu adalah Bubur Cikini, tempat mereka pertama kali bertemu kemudian menjalin pertemanan. Setelah pertemuan demi pertemuan, Red Velvet tidak bisa mengingkari perasaannya. Ia mencintai Bubur Cikini dan perempuan itu pun tampaknya mengimbangi perasaannya. Tapi apakah kedua karakter cerpen Semangkuk Bubur Cikini dan Sepotong Red Velvet ini berpeluang menjadi sepasang kekasih?  

Hampir tidak ada tema baru dalam lima belas cerpen Bernard Batubara yang dihimpun dalam kumcer ini. Semua cerpennya masih membincang tentang cinta, keluarga, dan problematika kehidupan yang mencetuskan kesedihan yang sudah kerap diangkat dalam banyak karya fiksi. Tapi membaca cerpen-cerpennya bukan berarti akan membuat kita terjebak dalam kekecewaan. Bagaimanapun Bernard Batubara memiliki teknik penyajian dengan kekuatan merangkai kalimat dan pemilihan diksi yang mahir dan anggun. Semua cerpen dihadirkan dalam kesegaran rangkaian kalimat  indah, puitis tapi tidak hiperbolis. Alhasil, meskipun hampir semua tema yang diusungnya tergolong mainstream, dengan mudah bisa dinafikan oleh kemampuannya berkisah. Kelemahannya hanya terletak pada penggunaan lebih dari satu narator orang pertama dalam satu cerpen tapi tidak menunjukkan kekhasaan suara masing-masing narator.

Kesedihan adalah warna dominan dalam kumcer ini. Selain Tikungan dan Pintu yang Tak Terkunci, kesedihan melekat dalam dalam cerpen-cerpen lainnya. Tapi tidak semua kesedihan yang ada bersifat kekal dan menyesakkan. Terkadang diawali dengan kesedihan, para karakter dalam beberapa cerpen akan menjemput kebahagiaan.

Jika diminta memilih cerpen yang paling mengesankan dalam kumcer ini saya akan memilih Semalam dengan Diana Krall dan Cermin. Cerpen pertama sangat mengharukan dan indah, sedangkan yang kedua, selain sangat orisinil, merupakan dongeng modern dengan ending yang membuat saya tercekat.






Tentang Pengarang:

Bernard Batubara yang dipanggil Bara, lahir 9 Juli 1989 di Pontianak. Ia mulai giat menulis pada pertengahan 2007. Buku-bukunya yang sudah diterbitkan adalah Angsa-Angsa Ketapang (kumpulan puisi, 2010), Radio Galau FM: Frekuensi Patah Hati & Cinta yang Kandas (kumpulan cerita, 2011), dan Kata Hati (novel remaja, 2012). Radio Galau FM: Frekuensi Patah Hati & Cinta yang Kandas dan Kata Hati telah difilmkan dengan judul sama oleh Rapi Films. Milana: Perempuan yang Menunggu Senja (2013) adalah buku keempat sekaligus kumpulan cerpen sastra pertamanya. Sebelumnya, Bara telah menyertakan cerpen Kemenangan Apuk dalam antologi cerpen sebelas pengarang bertajuk Singgah (2013).


3 comments:

Steven S said... Reply Comment

Kumcernya BB yang ini patut dibaca berarti.

Moch. Ibra Akbar said... Reply Comment

Aku hadir disini di 2021 hai kak terimkasih atas resensi nya, buat tugas:)💛

Lia Milana said... Reply Comment

Yaa Allah,,, sungguh surprise ada buku yang judulnya sama dengan namaku (Maaf agak GR) :) :) ,,, sukses terus yaa Bang Bernard Batubara,,, Oya, saya langsung order buku ini di Shopee,,, selain karena judulnya yang menarik sesuai namaku,,, tapi sepertinya kisah-kisahnya juga menarik untuk dibaca,,, Sukses terus yaa Bang,,,

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan