Judul Buku: Tiga Burung Kecil
Pengarang: Mikha Ramadewi, Tjatursari Oetoro, Josefine Yaputri
Penyunting: Clara Ng
Tebal: 211 halaman
Cetakan: 1, Maret 2013
Penerbit: PlotPoint Publishing
BlueGreen Airlines, sebuah maskapai penerbangan internasional, merekrut
calon awak kabin pesawat -pramugari dan pramugara- dengan cara yang tidak
biasa. Berdasarkan gagasan perempuan bule bernama Pamela Maaler, maskapai
penerbangan ini mengadakan Lomba Blue for Green Crews untuk mengaplikasikan
kegiatan produknya secara ramah lingkungan.
Odette Utomo, Jessica Cantania, dan Samuel Bidarana lolos seleksi awal lomba
tersebut.
Odette adalah gadis keturunan Tionghoa dan putri dari pengusaha kaya. Ia
lari dari rumahnya dan mengikuti kompetisi ini karena hendak dikawinkan dengan
lelaki yang tidak dicintainya, Nicholas. Meskipun terkadang bersikap seenaknya
dan kurang peka, Odette suka pada tantangan dan mau bekerja keras untuk menghadapinya.
Dalam perjuangannya menjadi pramugari, Odette terus-menerus dibayang-bayangi Mami
dan Papinya yang tidak ingin anak mereka menyimpang dari jalan yang telah
mereka tentukan. Tapi, Odette yang keras kepala tidak akan menyerah, sebab ia
sudah bertekad kuat menjalani pilihan hidupnya sendiri. Pada akhirnya, kedua
orangtuanya pun tidak bisa berbuat apa-apa dan memilih menyerah.
Jess berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya yang tidak pernah
dimunculkan dan hanya sekadar disebutkan (hlm. 67) adalah pegawai negeri yang
jujur sedangkan ibunya pernah memiliki usaha katering. Jess bisa mencipta lagu, dan
salah satu lagunya yang kerap ia nyanyikan adalah lagu tentang tiga burung
kecil yang terbang bebas.
Sam, satu-satunya lelaki, datang dari keluarga dengan prinsip hidup
anti gratisan. Ia menjadi orangtua tunggal setelah kematian istrinya, Mira.
Kendati ingin memberikan Clarissa, putri semata wayangnya, seorang ibu baru,
sangat sulit bagi Sam untuk merealisasikannya. Sam meninggalkan pekerjaannya di
Singapura untuk ikut berkompetisi di The BlueGreen Project.
Setelah lulus seleksi awal, ketiganya mesti berkompetisi dengan para
peserta asal Indonesia lainnya, untuk menjadi perwakilan Indonesia di tingkat
Asia. Kompetisi tingkat Indonesia dilaksanakan di Tomohon, Sulawesi Utara. Jika
berhasil, mereka akan pergi ke Kyoto, Jepang, untuk berhadapan dengan para
peserta terpilih dari negara-negara Asia lainnya. Dan jika menang di tingkat
Asia, mereka akan mengikuti kompetisi terakhir yang akan dilaksanakan di Marrakesh,
Maroko.
Bertiga dalam satu tim bukanlah hal yang mudah karena mereka memiliki
perbedaan karakter. Saat berkompetisi di Tomohon, Odette dan Jess sempat merasa
kecewa karena ada kompetitor yang bermain curang. Sempat tebersit untuk
ikut-ikutan, tapi Sam bersikeras untuk tetap mengikuti aturan yang telah
ditetapkan. Tim penilai tidak menutup mata, dan akhirnya menetapkan mereka
sebagai pemenang yang akan mewakili Indonesia di tingkat Asia.
Selanjutnya tetap tidak mudah. Masing-masing harus berusaha menekan
lonjakan ego. Perang dingin dan pertikaian kecil-kecilan mudah terpicu. Ketika Sam
diam-diam mulai merasa jatuh cinta kepada Jess yang merawatnya pada saat sakit,
mau tidak mau, demi kepentingan tim, ia harus mengibaskan perasaannya. Sedangkan
Odette sendiri, harus menghadapi Nicholas yang tanpa pemberitahuan sebelumnya,
muncul di Kyoto.
Apakah mereka berhasil menundukkan ego dan tetap mampu mempertahankan
soliditas tim dengan godaan-godaan yang muncul? Kita sudah bisa menduganya,
sehingga ketika para pengarang mengungkapkannya, tidaklah mengejutkan. Meskipun
begitu, kisah tiga burung kecil yang mencoba melanglang angkasa ini, tetap menarik
untuk ditamatkan. Kita akan terus-menerus penasaran apa yang akan terjadi pada mereka.
Tiga Burung Kecil adalah novel kolaboratif tiga pengarang perempuan,
yaitu Mikha Ramadewi, Tjatursari Oetoro, dan Josefine Yaputri yang sebelumnya
telah mengikuti Kelas Novel Dasar bersama pengarang Clara Ng yang diselenggarakan
Penerbit PlotPoint. Novel ini ditulis dengan ringan, tanpa tendensi
merumit-rumitkan kisahnya. Plotnya begitu gampang ditebak, tidak ada kejutan-kejutan
yang signifikan, namun mengalir lancar. Secara keseluruhan. enak dibaca dan
kita tidak akan membutuhkan banyak waktu untuk menamatkannya.
Sesungguhnya, proses kreatif penulisan novel ini merupakan
aspek menarik yang membuat penasaran. Sayangnya, tidak ada penjelasan gamblang dari
para pengarang dan editornya, Clara Ng. Apakah ada pembicaraan mengenai
karakterisasi dan plotnya? Atau muncul secara spontan seiring berkembangnya kisah?
Dan, sempatkah mereka mengalami kebuntuan ide selama penulisan? Yang jelas,
metode apa pun yang mereka pakai, mereka berhasil menjaga karakterisasi ketiga
tokoh utamanya dengan baik, sejak awal hingga akhir. Tanpa perlu banyak
deskripsi, kita dengan mudah akan menyelami karakterisasi ketiga tokoh utamanya
melalui kejadian yang melibatkan mereka dan cara mereka mengambil keputusan.
Pertanyaan yang mengganggu selama membaca terutama terkait dengan Lomba
Blue for Green Crews. Meskipun berangkat dari gagasan mendekatkan perusahaan
penerbangan dengan lingkungan hidup, kegiatan yang dijalani para peserta sulit
dihubungkan dengan perilaku ramah lingkungan. Bahkan, terkesan ganjil. Misalnya,
apa hubungannya perilaku ramah lingkungan dengan membantu pedagang di Pasar
Tomohon menjual lima ekor anjing, lima ekor ular, lima ekor tikus hutan dan
lima ekor kelelawar? Bukan itu saja. Pada bagian-bagian
selanjutnya, kegiatan yang dilakukan dalam kompetisi ini tetap terasa tidak
masuk akal.
Hal-hal terkait aktivitas maskapai penerbangan BlueGreen Airlines yang sebenarnya paling krusial dan berhubungan dengan Blue for Green Crews pun tidak
memadai. Kita hanya mengetahui bahwa maskapai ini sedang melakukan seleksi awak kabin. Apa yang terjadi setelah nama para pemenang diumumkan, tidak disentil atau
diberi gambaran sedikit pun. Apakah setelah para pemenang dipekerjakan, mereka langsung
menjadi awak kabin tanpa pelatihan terkait pekerjaan mereka? Entahlah. Setelah
kisah perjuangan para kontestan berakhir, cerita segera beralih ke bagian epilog
yang terjadi tiga tahun kemudian. Padahal masih ada yang seharusnya bisa digali
dan dikembangkan, sehingga setelah menamatkan novel ini tidak ada perasaan
tidak puas yang mengendap.
1 comments:
Menulis tanpa menggali karakter, setting dan lain-lain yah...
Post a Comment