23 February 2012

Kekasih Marionette


Judul Buku: Kekasih Marionette
Pengarang: Dewi Ria Utari
Tebal: 144 hlm

Cetakan: 1, Juli 2009
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



 



Kumpulan cerita pendek Kekasih Marionette adalah buku pertama Francisca Dewi Ria Utari yang berisi 13 cerpen yang telah dimuat di berbagai media massa sejak 2003, ketika cerpennya, Kekasih, dimuat di majalah Djakarta. Menurut pengakuannya, setelah cerita pendeknya yang pertama dimuat dalam rubrik cerpen di majalah tersebut, muncullah keberanian dan kepercayaan diri untuk menulis lebih banyak lagi.

Selain sebagai wartawan dan penulis, Dewi Ria Utari kerap terlibat dalam sejumlah program  tari sebagai pengamat dan kurator, itulah sebabnya sewaktu membaca cerpen-cerpennya kita bisa menemukan karakter-karakter yang berkecimpung dalam dunia tari, juga idiom-idiom yang bersumber dari dunia yang sama.
 

*

Untuk membenarkan tindakan tidak patut yang telanjur dilakukan, seorang manusia seringkali mengais-ngais apa saja untuk dijadikan pembenaran tindakannya, inilah yang terbaca dalam cerpen pertama dalam kumcer ini, Kekasih. Rei, seorang penulis, bertemu dan terlibat percintaan dengan seorang fotografer ketika sedang berada di luar negeri dan jauh dari kekasihnya. Setelah tidur dengan pria yang mengaku akan lebih bergairah jika Rei menjalin hubungan dengan orang lain selain dirinya ini, Rei memutuskan keinginan pria ini sebagai gaya hidup ketika kembali ke tanah air. Sebagai kambing hitamnya adalah hubungannya dengan kekasihnya yang terhalang perbedaan agama.

Kay seorang penari dalam cerpen Malam Untukmu juga memiliki kambing hitam untuk apa yang akan ia lakukan pada Nat, pacar ketiganya. Kambing hitam Kay adalah angka tiga. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara, dilahirkan pada tanggal tiga bulan tiga dengan tahun di mana jika dua angka terakhir dikurangi akan menghasilkan angka tiga.  Kay percaya angka tiga yang mengepung hidupnya memiliki suatu maksud. Apalagi dalam Injil, angka tiga terlukis dalam beberapa peristiwa penting. Akibatnya, Kay merasa dirinya manusia yang diberkati dan berkewajiban untuk menjaga keperawanannya. Sikap Kay yang membingungkan dalam hal seks, membuat Nat kehilangan minat dan bermaksud meninggalkannya. Nat tentu saja tidak seperti Kay, sehingga ia tidak menghitung-hitung jika malam terakhirnya bersama Kay adalah malam ketiga puluh tiga.

Marionette yang dijadikan judul cerpen ketiga dalam koleksi ini adalah boneka kayu yang digerakkan oleh tali. Ungkapan marionette mengacu pada seseorang yang hidupnya diatur orang lain, tidak dapat menjadi tuan atas dirinya sendiri. Kehidupan Nadia bagaikan marionette. Ia ingin menjadi penari balet tetapi tidak disepakati orangtuanya. Karenanya, bukannya sekolah balet, Nadia belajar kedokteran. Dalam percintaan, Nadia pun tidak bisa menentukan hidupnya sendiri. Persis seperti Marionette, tarian yang diciptakannya untuk kekasihnya, sebagai representasi kehidupannya yang tak pernah diketahui banyak orang.

Manusia tidak gampang menerima orang lain yang memiliki kehidupan yang tidak sama dengannya. Dewi Ria Utari melukiskan kondisi ini dalam cerpen berjudul Rumah Hujan, yang ditulis dengan nuansa surealisme seperti Marionette. Narpati dan budenya adalah gambaran manusia-manusia dengan kehidupan berbeda. Kehadiran mereka di tengah masyarakat meresahkan, sehingga mencetuskan aksi anarkis.

Hari Kelima adalah satu-satunya cerpen percintaan remaja dalam koleksi ini, yang memang ditulis untuk majalah remaja, Spice. Sebagaimana beberapa cerpen lain dalam kumcer ini, Hari Kelima juga diramu sedemikian rupa sehingga tetap memberikan kejutan di penghujung. Peru, seorang gadis remaja mandiri, bekerja paruh waktu di sebuah kedai kopi dan menjadi penampung cerita cinta rekan sekampus bernama Karina, yang cantik dan kaya. Lima hari ia mendengar kemelut cinta Karina hingga akhirnya sebuah solusi muncul, yang merupakan kemenangan bagi kehidupan cinta Peru sendiri.

Seperti judulnya, Klise bermuatan cerita klise yang mengandalkan unsur kebetulan sebagai modal utama. Unsur kebetulan ini meracik sebuah dunia sempit dengan tiga penghuni utama: Sara, Handi, dan Lani. Secara kebetulan bak drama Holywood, Sara bertemu Handi, seorang lelaki menarik beranak satu, Kiara. Handi sedang dalam proses perceraian dengan istrinya, Lani. Kehadiran Sara, bagi Handi, berpotensi bagus untuk menyilih perempuan yang akan segera menjadi bekas istrinya, namun ternyata Sara telah menetapkan pilihan sendiri.

Dalam kepekatan surealisme, cerpen Aksara hadir memesona. Vidya, seorang penari dan koreografer yang dikenal dengan karya yang hanya memamerkan kemolekan tubuh, akan tampil menari secara telanjang di sebuah pementasan tari di Dublin. Celakanya, di sekujur tubuhnya bermunculan tulisan-tulisan yang bisa mengganggu performa telanjangnya. Dewi Ria Utari menggunakan salah satu dewa terkenal dalam pewayangan sebagai sosok yang menandai kepemilikannya atas tubuh Vidya. Pamungkas yang disajikannya terasa sangat imajinatif.

Gamelan adalah cerpen yang paling mengharukan dalam koleksi ini. Setelah istrinya meninggal,  seorang pria memutuskan tidak ada lagi yang bisa memainkan gamelan di rumahnya. Ia bahkan ingin menjual gamelan peninggalan istrinya, kendati putri semata wayangnya ingin memainkan alat musik itu. Secara diam-diam, tanpa sepengetahuan pria itu, seseorang mendatangi putrinya dan mengajarkannya bermain gamelan dan menari. Pengarang mengalirkan cerpen ini dengan sangat terjaga, naratornya seolah pengunjung yang tidak terkait dengan keluarga yang ia kunjungi.

Aku ingin bisa bermimpi lagi. Ada yang mencuri mimpiku. Aku baru menyadarinya setelah pertemuan kita. Sampai di rumah, aku ingin mengingatmu dalam mimpiku. Tapi aku tahu, aku tidak memiliki mimpi. Terakhir kali aku memilikinya saat aku berusia sepuluh tahun. Setelah itu aku tak pernah bisa bermimpi,” kata Dresden dalam cerpen Mimpi Untuk Dresden. Melihat seorang gadis kecil memandang kelopak-kelopak bunga yang berkejaran  menuju bulan adalah mimpi terakhir Dresden, lelaki pembuat tato dan pelukis tubuh. Dresden tidak pernah menyangka, tentu saja, ia akan bertemu perempuan dewasa yang dulunya gadis kecil yang pernah melihat kelopak-kelopak bunga terbang menuju bulan

Nama Sinai telah menjadi kutukan bagi perempuan dalam cerpen bertajuk Sinai. Ia dinamakan Sinai seperti gunung suci tempat Nabi Musa mendapatkan 10 perintah Allah sebagaimana tertulis dalam Injil. Ayahnya begitu fanatik menjadikan Sinai sesuci namanya. Untuk itu, ayahnya menerapkan jam malam yang mengharuskan Sinai berdoa dan membaca Injil setiap jam enam sore. Menurut ayahnya, pergantian waktu siang ke malam menandai dimulainya pencobaan bagi manusia untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi kegelapan. Prinsip ayahnya tidak terbantahkan hingga ia meninggal lalu Sinai pergi ke Manhattan dan menjadi pengunjung klab malam. Sinai telah jatuh dalam kesesatan, dan menciptakan kegelisahan dalam diri narator, yang kemudian memutuskan untuk melakukan pembasuhan dosa. Siapa sebenarnya si narator yang merasa bertanggung jawab atas hidup Sinai?

Pengarang tidak menyatakan, tetapi Merah Pekat adalah dongeng mutakhir tentang vampir. Kenangan akan kakek dan rumah benteng di atas bukit di belakang rumah kakeknya membuat Yasmin pulang dan bertemu kembali dengan Dante, bocah lelaki dari rumah benteng yang pernah memberikannya setangkai mawar merah pekat. Dante tidak berubah, masih sama dengan bocah yang ditemuinya 20 tahun silam. Hanya saja, tidak seperti dulu, pintu rumah benteng terbuka lebar, memberi pilihan kehidupan bagi Yasmin.

Walaupun bernuansa dongeng, cerpen berjudul Perbatasan berbeda dengan Merah Pekat. Cerpen ini mendedahkan situasi kacau balau yang ditimbulkan oleh kesewenang-wenangan terhadap kemanusiaan. Perempuan tidak boleh keluar malam, bergandeng tangan adalah tindakan melanggar hukum, perempuan atau lelaki tidak boleh tinggal bersama teman sesama gender. Tidak bisa tunduk pada berbagai aturan ini, banyak orang melarikan diri ke perbatasan, untuk menghirup udara kebebasan. Dua anak desa di luar perbatasan geram dengan situasi tersebut dan memutuskan pergi ke perbatasan, hanya untuk terseret dalam kekacauan yang merampas kemerdekaan mereka.

Perjuangan seorang ibu muda yang terpaksa harus menjadi tulang punggung keluarga digambarkan secara memiriskan dalam Topeng Nalar. Apa yang ia lakukan demi mengganti tugas laki-laki dalam keluarganya, membuatnya menjauh dari kedua anaknya, Nalar dan Danu. Ketika kehidupan semakin sulit, ia benar-benar kehilangan anak-anaknya.
 

*

Kumpulan cerpen Kekasih Marionette ini menghadirkan 13 cerpen variatif, tidak mandek dalam satu tema dan satu nuansa, meskipun tidak mengangsurkan sesuatu yang benar-benar baru. Dengan beragam gagasan, pengarang berkiprah di dunia realis, surealis, bahkan dengan mahir mengawinkannya demi menetaskan cerita yang menuntut pemikiran dan imajinasi pembaca. Harus diakui, tidak semua cerpen di sini merupakan karya unggulan yang memberikan pesona memabukkan, tetapi setiap keberanian dan kepercayaan pengarang untuk berkarya, tetap patut diapresiasi.

Ditunggu kumpulan cerpen -atau bahkan novel- selanjutnya!

Balada Ching-Ching (dan Balada Lainnya)


Judul Buku: Balada Ching-Ching (dan balada lainnya)
Pengarang: Maggie Tiojakin
Tebal: 180 hlm
Cetakan: 1, Juni 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




Tidak ada yang abadi di dunia, hanya sekelumat vignet kehidupan yang menjanjikan keabadian, meski tidak seorang pun pernah menikmatinya (hlm. 161)








Sepilihan fiksi -12 cerpen dan 1 novelet- dalam Balada Ching-Ching (dan Balada Lainnya) koleksi Maggie Tiojakin ini merupakan serangkaian vignet atau sketsa kehidupan yang menampilkan berbagai wajah manusia.

Anatomi Mukjizat. Sebagai seorang pekerja medis, Malik sudah pernah menyaksikan terjadinya mukjizat dalam diri pasien yang sedang sekarat. Namun, ia tidak tahu cara kerja mukjizat, sebab jika ia tahu, setiap waktu ia akan memanggil mukjizat. Misalnya, untuk Suci, gadis belia yang sedang menderita kerusakan jantung kronis. Ketika mukjizat tidak juga datang dan Suci terjerumus dalam koma, Malik panik. Lalu, ketika dengan persetujuan ibu Suci, eutanasia menjadi pilihan terbaik bagi Suci, Malik tersentak dengan satu kenyataan: bagaimana jika seperti Suci, mukjizat itu tidak datang ke dalam kehidupannya?

Liana, Liana. Seorang gadis remaja bernama Liana tidak pernah berperilaku praktis seperti kedua orangtuanya. Yang paling tidak praktis adalah pikirannya, sehingga dengan mudah ia bisa menjadi tawanan pikirannya sendiri. Saat ibunya pergi berbelanja ke supermarket dan belum pulang-pulang hingga berjam-jam, Liana segera merangkai berbagai skenario buruk dalam pikirannya tentang keterlambatan ibunya. Apalagi ketika ia membaca berita headline di surat kabar mengenai kematian seorang wanita karena tabrakan di jalan tol. Seiring berjalannya waktu, skenario di benaknya kian memburuk. Lalu, apakah memang terjadi sesuatu yang buruk pada ibunya?

Apa Yang kamu Lihat di Kartuku, Sayang? Seorang lelaki dicekal kegelisahan akibat ramalan yang dibaca kekasihnya dari setumpuk kartu permainan. Bahwa, pada ulangtahunnya yang ke-25, ia akan mati secara mengenaskan oleh sebab yang tidak bisa dipastikan. Maka, menjelang ulangtahun ke-25, ia berupaya melindungi dirinya sebaik-baiknya. Bahkan, ia memutuskan merayakan ulangtahunnya ini cukup di dalam apartemen yang dihuninya bersama sang kekasih, gadis pembaca kartu. Menghindari intimidasi, pada malam menjelang ulangtahunnya ia memutuskan membuang semua kartu permainan yang dibaca kekasihnya. Kartu-kartu itu dibuangnya ke dalam tong sampah, lalu ia menuangkan minyak sayur dan menyalakan korek, kemudian ia menunggu kekasihnya pulang dari kantor. Benarkah ramalan kekasihnya akan terjadi?

Kawin Lari. Sepasang anak muda menumpang bis Greyhound menuju Las Vegas untuk menikah. Dalam perjalanan, keraguan merambati hati si gadis sehubungan dengan keputusan si pemuda mengajaknya menikah. Ia memang tidak pernah tahu bagaimana caranya berhenti melakukan apa pun. Termasuk membiarkan dirinya hamil dan mencintai kekasihnya.

Balada Ching-Ching. Di sekolahnya, Ching-Ching, seorang gadis keturunan, selalu dijadikan bulan-bulanan ulah keterlaluan teman sekolahnya. Ia tidak bisa menceritakan apa yang ia alami kepada ayahnya, pemilik kedai kwetiau, karena ayahnya bukanlah ayah yang menyenangkan. Ching-Ching tidak mampu memahami perubahan sikap ayahnya semenjak kematian ibunya karena kanker. Di rumah, ia bukanlah ayah yang hangat, sementara di kedainya, ia adalah manusia yang dengan mudah bisa tertawa bersama stafnya.

Dua Sisi. Novelet satu-satunya dalam koleksi ini mengambil latar New York City sekitar runtuhnya menara kembar WTC yang mengguncangkan dunia. Apa yang terjadi, seperti layaknya sebuah peristiwa, paling tidak menimbulkan dua sisi penafsiran. Bagi Aysha, seorang gadis asal Beirut, para korban memang layak mendapat hukuman akibat ulah Amerika menciptakan kebinasaan di tempat asalnya. Bagi Andari Maimar, untuk alasan apapun, kekekerasan tidak bisa mendapatkan dukungan. Keduanya bertemu di antara reruntuhan menara kembar, saling melontar pendapat mengenai peristiwa mengenaskan yang baru terjadi. Diam-diam Aysha mengakui, dengan sikapnya, lelaki Indonesia itu telah membebaskan dirinya dari belenggu yang selama ini melilit dirinya terkait dengan impiannya mengenai dunia yang lebih baik. Tetapi, ketika Aysha menghilang setelah melewatkan malam percintaan membara dengan Andari, Andari berhadapan dengan kejutan yang sulit diterima nalar.

Ruang Tunggu. Kendati dilahirkan dalam keluarga Katolik dan pada masa kecil biasa pergi ke gereja, Nina Handoko pada umur 57 tahun, tidak percaya Tuhan lagi. Baginya hanya anak kecil yang percaya Tuhan, sehingga bahkan, di saat putus asa, ia tidak pernah ingat untuk mencari Tuhan. Tetapi, tentu saja, sebelum ia mendengar vonis yang disampaikan dokter bahwa sebenarnya, jantungnya berlubang. 

Luka. Dikisahkan menggunakan perspektif orang kedua, cerpen ini dituturkan oleh seorang terapis pijat refleksi yang menyilih pekerjaan yang biasa dilakoni terapis lain bernama Su. Sementara memijat kliennya, seorang perempuan, si terapis menemukan kaki kiri dengan sebuah jari yang hilang. Anehnya, si terapis menganggap cacat itu sesuatu yang indah, dan menyukainya.

Suami-Istri. Pada hari ulang tahunnya yang ke-56, seorang istri mendapatkan kejutan yang amat romantis dari suaminya, seuntai kalung emas yang diletakkan di dasar gelas sampanye. Mereka tampak bahagia, padahal selama 32 tahun menikah tidak memiliki keturunan untuk sebab yang tidak jelas. Padahal, si suami kerap terlibat dalam hubungan seks ekstramarital dengan perempuan lain. Di atas ranjang, menjelang pagi, setelah sempat bercinta, si suami diguncang penasaran: apakah istrinya pernah juga terlibat dengan pria lain?

Di Balik Sebuah Tatapan. “Nyaris semua kejadian penting dalam hidupku dimulai, dan diakhiri, dengan sebuah tatapan,” begitu kata Tri, perempuan hamil di luar nikah. Saat Krisna, mantan tunangannya mencampakkannya sebulan sebelum mereka menikah, Krisna menatapnya lekat. Demikian juga saat dua bulan kemudian, Tri memberi tahu Krisna kalau ia sedang hamil anaknya. Kali ini Tri yang menatap Krisna, hingga Krisna menangis seperti anak kecil. Maklum, Krisna seorang homoseksual.

Tawa Elisa. Johan adalah suami dan ayah satu orang anak, tetapi melibatkan diri dalam perselingkuhan dengan seorang pelacur, Elisa. Johan susah untuk melepaskan Elisa, karena seperti pengakuannya, tawa Elisa seperti kanabis dan afrodisiak baginya.

Sekali Seumur Hidup. Dalam hidupnya sebagai anak seorang perempuan keraton yang meninggalkan Yogyakarta gara-gara mengandung anak haram, Edi menyaksikan perjalanan nasib gadis tetangganya, Vitta. Gadis remaja yang lebih muda lima tahun darinya berayahkan pejabat dan beribukan perempuan yang mati gantung diri karena kepergok berselingkuh dengan anak buah ayahnya. Ditinggal mati ibunya, Vitta terseret arus mesum yang sama dan hamil di luar nikah.

Obsesi. Obsesi adalah permainan yang tak ada habisnya. Demikian juga obsesi seorang (mantan?) dokter yang didiagnosis mengidap manik depresif ringan. Ia mencintai Kemarau, wanita tercantik yang pernah hadir dalam hidupnya, tetapi cintanya membuat Kemarau melaporkannya ke polisi atas dasar gangguan jiwa.

Maggie, dengan cara berkisahnya yang cerdas dan tidak pernah terseret menghambur-hamburkan kata secara percuma karena memang tidak perlu, benar-benar mampu menjadi perancang vignet, yang dalam keheterogenannya selalu menggugah untuk disimak. Mungkin, melalui serangkaian vignet ini, kita akan terpaksa menemukan wajah kita berada di antaranya. Wajah yang sengaja digurat Maggie untuk lebih memahami siapa diri kita sebenarnya, sebagai manusia.

Balada Ching-Ching (dan Balada Lainnya) adalah koleksi kedua Maggie Tiojakin setelah koleksi berbahasa Inggris, Homecoming (And Other Stories). Dan memang, beberapa cerpen dalam koleksi ini sebelumnya ditulis dalam bahasa Inggris dan dimuat dalam media internasional. Apa Yang kamu Lihat di Kartuku, Sayang?, salah satu cerpen di sini, akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Burning the Cards.

Saya percaya pada tahun-tahun mendatang, Maggie akan tampil lebih banyak lagi, mengumpulkan sejumlah wajah, yang ia pungut dari belantara kehidupan, untuk dipindahkan ke dalam vignet kehidupan, di mana kita bisa menyaksikan kehidupan kita berkelebat di dalamnya.
 
15 February 2012

The Last Ember


Judul Buku: The Last Ember
Pengarang: Daniel Levin
Penerjemah: Fahmy Yamani

Cetakan: 1, Juni 2010
Penerbit: Serambi

 



 

Flavius Yosefus adalah ahli sejarah abad pertama berdarah Yahudi yang dikenal dengan karya-karya seperti The Jewish War (tahun 75) dan Antiquities of the Jews (94). Bernama Ibrani Yusuf bin Matias, Yosefus dikenal sebagai imam yang  memimpin perlawanan terhadap bangsa Romawi tahun 66 di Galilea. Ia mengalami kekalahan, dan menyusul tindakan bunuh diri anggota menyerah dan ditangkap.

Pada tahun 69 Yosefus dibebaskan dan direkrut menjadi penerjemah pribadi Jenderal Vespasian dan putranya, Titus -yang memimpin penyerangan dan penghancuran Yerusalem. Sesudah perang, oleh kaisar Vespasian, ia dianugerahi kewarganegaraan Romawi. Disebut-sebut bahwa begitu ditangkap, Yosefus memberikan kepada pihak Romawi informasi untuk menerobos dinding Yerusalem. Oleh karena itu, sejarah menobatkan Yosefus sebagai pengkhianat terhadap bangsanya. Meskipun demikian, ada kalangan yang meyakini jika Yosefus sesungguhnya bukanlah pengkhianat. Ia menyerah kepada pihak Romawi dengan maksud menjadi mata-mata di dalam istana Romawi. Alhasil, catatan sejarahnya mengenai pengepungan dan penghancuran Yerusalem yang banyak dicari di dunia Romawi diduga mengandung sejumlah ketidakbenaran. 

Tokoh sejarah inilah yang menjadi roh yang menyelubungi novel bertajuk The Last Ember karya perdana Daniel Levin, seorang pengacara yang membuka praktik hukum internasional di New York. Kemisteriusan kehidupan Yosefus ia coba ungkap melalui upaya penyelamatan yang diduga dilakukan Yosefus terhadap sebuah artefak dari Baitallah (Al Haram asy Syarif) di Yerusalem. Artefak itu telah menjadi target pencarian berbagai bangsa seperti Assyria, Babilonia, Persia, Romawi, dan Yunani.

Dikisahkan, Jonathan Marcus, seorang pengacara muda New York, ditugaskan ke Roma untuk terlibat persidangan kasus berkenaan dengan dua potong Forma Urbis Romae―peta kota Roma yang diukir pada batu besar berdiameter lebih dari 30 meter. Kementerian Kebudayaan Italia menuduh bahwa kedua potongan itu dicuri dari arsip kenegaraan Italia di Roma puluhan tahun silam. Saksi ahli kementerian, seorang pejabat PBB bernama Dr. Emili Travia, mengaku pernah melihat potongan itu saat menyelidiki penggalian ilegal di kompleks Baitallah di Yerusalem. Kedatangan Jonathan ke Roma, dengan modal pengetahuan dalam bidang studi klasik, diharapkan bisa mementahkan kesaksian sang doktor yang sebenarnya pernah memiliki romansa dengannya.

Tujuh tahun sebelumnya, Jonathan adalah mahasiswa program doktor bidang studi klasik Akademi Amerika di Roma. Berkat tesisnya mengenai Yosefus, ia memenangkan Penghargaan Roma pra-doktoral. Gairah penelitian membuatnya terlibat penggalian ilegal sebuah katakombe yang berakhir malapetaka. Gianpaolo Narcusi, salah satu dari tiga rekannya―yang lain Emili Travia dan Sharif Lebag―tewas. Jonathan dikeluarkan dari Akademi Amerika, mengambil kuliah hukum, lalu menjadi pengacara. Namun, ia tidak sepenuhnya meninggalkan bidang klasik. Latar belakangnya justru membuatnya menjadi komoditas yang diburu para pedagang barang antik yang terlilit masalah. Seperti halnya maksud kedatangannya kembali ke Roma.

Jonathan menemukan, ternyata, potongan Forma Urbis Romae itu menyimpan sebuah pesan steganografi yang berbunyi: Error Titi (Kesalahan Titus). Menurut sejarawan kuno, di penghujung hidupnya, Titus, yang juga ikut dalam penyerangan Yerusalem, pernah mengatakan: ”Aku membuat sebuah kesalahan”. Perkataan Titus ini telah menjadi misteri besar dari dunia kuno yang belum terjawab. Jonathan menemukan juga jika Potongan Forma Urbis Romae itu berkaitan dengan Yosefus.

Dalam persidangan terkuak, sebelumnya, Emili yang dikenal di dunia konservasi barang kuno sebagai Malaikat Artefak, tidak bisa mengabaikan laporan mengenai dugaan penghancuran arkeologi di bawah Baitallah yang dilakukan Dewan Wakaf. Ia hendak mendatangi kompleks Baitallah, tetapi yayasan perwalian rahasia Islam yang menangani Baitallah sejak 1187 tidak memberinya izin. Maka, secara diam-diam, ia melakukan penyelidikan bersama rekannya, Sharif Lebag. Di sanalah Emili melihat potongan Forma Urbis Romae ―dan gambar digital sejumlah halaman dari manuskrip Yosefus― sebelum Sharif Lebag tewas. Emili menduga kematian Lebag tidak bisa dilepaskan dari potongan itu.

Bukannya melawan dengan gigih, selanjutnya Jonathan justru bekerja sama dengan Emili untuk menguak misteri potongan Forma Urbis Romae.  Mereka menemukan sebuah tsurat ha-hidah (teka-teki simbolis), sebuah kalimat yang ditulis dalam bahasa Latin dan Yahudi, Kodosh Arbor Ohr’ (Pohon Cahaya Suci). Penemuan ini menghanyutkan mereka ke dalam arus petualangan yang melibatkan sejumlah karakter. Tidak hanya di bawah Colosseum yang menjadi asal Forma Urbis Romae, tetapi juga mengalir hingga kompleks Baitallah di Yerusalem. Mereka akan menjadi saksi mata penghapusan sejarah yang terjadi di bawah dua kota berjarak seribu enam ratus kilometer: Roma dan Yerusalem. Dalam petualangan mereka, terungkap kebenaran keberadaan artefak berumur dua ribu tahun, simbol sejarah yang dipandang lebih hebat dari mitos agama mana pun, yang bertaut erat dengan “Kesalahan Titus”.

“Kesalahan Titus” telah menjadi obsesi seorang lelaki bernama samaran Salahuddin. Obsesi itu merupakan obsesi beranting dari kakeknya, Mufti Agung Haji Amin al-Husaini, yang pernah memimpin Dewan Wakaf tahun 1930-an. Sang kakek telah memanfaatkan persahabatannya dengan Adolf Hitler untuk merampok arsip arkeologi di seluruh wilayah pendudukan Nazi untuk menggali maksud perkataan Titus. Penyelidikan sang mufti memunculkan keyakinan bahwa eksistensi bangsa Yahudi terkait dengan artefak yang diselamatkan Yosefus dari Baitallah. Sama seperti Titus, sampai mati, al-Husaini gagal menuntaskan obsesi antisemitis-nya. Saat ini, Salahuddin tidak ingin mengalami kegagalan yang sama.

Seiring dengan itu, di Roma, bersama timnya, Jacopo Profeta, komandan Pelindung Warisan Kebudayaan Italia―unit penyelidik kejahatan barang antik dalam kepolisian Italia, menemukan mayat wanita cantik tanpa busana yang diawetkan dalam sebuah pilar marmer kuno. Di tempat yang sama juga ditemukan sejumlah halaman yang dirobek dari manuskrip Yosefus. Investigasi yang dilakukan Profeta menggiringnya pada kesimpulan jika mayat wanita cantik itu diambil dari lokasi yang sama dengan tempat penggalian ilegal yang dilakukan Jonathan tujuh tahun sebelumnya.

Perguliran plot akan mengelupas lapis demi lapis siung yang membungkus pencarian misterius yang menghubungkan pasangan Jonathan-Emili, Salahuddin, dan Profeta. Di titik kulminasi, tidak hanya terungkap jejak terakhir  artefak dengan bara api penghabisannya, namun juga pengkhianatan yang dirancang dengan licik tanpa disadari para korbannya.

The Last Ember diramu menggunakan formula identik yang pernah digunakan pengarang seperti ―sebut saja― Dan Brown, Steve Berry, atau James Rollins. Petualangan berporos pada misteri zaman kuno yang menjadi obsesi sementara kalangan, sejoli protagonis yang terlibat romansa, dan karakter antagonis tak terduga. Tidak lupa, plot yang mengalir kencang, semakin meruncing seiring terungkapnya berbagai petunjuk penting, yang tentu saja selalu membuka jalan bagi para protagonis menuju kemenangan. 

Sebagai sarjana dalam bidang kebudayaan Romawi dan Yunani (Universitas Michigan), Levin mengangsurkan misteri kuno berlandaskan bidang yang dikuasainya. Meskipun apa yang menjadi misteri kuno di sini sesuatu yang fiktif, Levin memberikan latar belakang sejarah yang mampu membangun keyakinan pembaca terhadap apa yang ia suguhkan. Dampaknya, novel ini tersaji secara menarik, sejak awal hingga akhir.

Levin masih mengaduk kuali permasalahan keagamaan, tetapi tidak dalam kapasitas menyerang kubu agama tertentu demi melahirkan sensasi. Si karakter antagonis memiliki obsesi yang merupakan wujud rasa antipati pada eksistensi sebuah agama, tetapi dalam berbagai percakapannya, kita tidak akan menemukan ungkapan-ungkapan pedas yang menjelek-jelekkan keyakinan bersangkutan. Boleh dikatakan, berbicara soal agama, Levin tergolong santun.

Sejoli protagonis seperti telah menjadi kemestian dalam novel thriller. Rasanya ’kurang lezat’ jika pasangan protagonis merupakan pasangan perempuan ataupun laki-laki. Levin mengenal resep ini, dan melakukannya juga. Diberi latar belakang, ketertautan satu dengan yang lain, kecerdasan yang kurang lebih sama, dan bumbu romansa, The Last Ember pun hadir membawa bara bagi semua gender.

Karakter antagonis kerap mendatangkan kebencian di hati pembaca. Tetapi apa jadinya The Last Ember tanpa karakter antagonis? Karakter inilah sesungguhnya yang membuat sebuah novel thriller hidup hingga sanggup merampok perhatian pembaca. Levin menggarap karakter antagonisnya dengan daya guncang yang akan membuat pembaca mencelus ketika kedoknya tersingkap. Latar belakang yang diberikannya pada karakter antagonis ini terasa begitu kuat sehingga memberikan kelogisan pada semua tindakannya.

Meskipun merupakan karya perdana, The Last Ember adalah sebuah novel yang ditulis dengan mahir. Karenanya, para pembaca novel ini pastinya berharap Levin akan melanjutkan kiprahnya dalam dunia penulisan novel thriller. Melihat trend yang berkembang seolah tanpa henti di dunia perbukuan, bisa diduga, Jonathan Marcus -dan mungkin Emili Travia- masih akan muncul dalam novel-novel Levin berikutnya. Bagi penggemar fiksi thriller yang mengusung kemisteriusan dunia kuno, suguhan Levin akan selalu dinanti. 

Cemburu Itu Peluru



Judul Buku: Cemburu itu Peluru
Pengarang: Erdian Aji, Novita Poerwanto, Kika Dhersy Putri, Andy Tantono, Oddie Frente
Tebal: 160 hlm, 20 cm

Cetakan: 1, Maret 2011
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

 




Fiksimini atau sering disebut juga cerita kilat (flash fiction) adalah jenis fiksi berisikan cerita yang lebih pendek durasinya dari cerita pendek (cerpen). Gloria Watts dalam The Art of Flash Fiction mengatakan bahwa fiksimini adalah cerita superpendek yang biasanya terdiri dari 50 sampai 1000 kata. Menulis fiksimini terkesan gampang, tetapi untuk merangkainya penulis harus mampu mempergunakan keringkasannya untuk menciptakan sengatan yang bermakna bagi pembaca. Keuntungan yang bisa ditangguk dalam penulisan fiksimini adalah penulis akan terlatih memperkuat kemampuan menulisnya menggunakan kata-kata yang terbatas untuk menghasilkan kalimat-kalimat efektif. Dalam durasinya yang ketat, fiksimini seharusnya tetap memiliki elemen dasar sebuah fiksi: karakter, konflik, dan tentu saja, resolusi.

Twitter, jejaring sosial dunia maya, menjerat sejumlah individu untuk menulis fiksimini, antara lain dalam komunitas @fiksimini. Oddie Frente, Kika Dhersy Putri, Andy Tantono, Novita Poerwanto, dan Erdian Aji Prihartanto adalah penulis fiksimini dalam komunitas ini. Seperti yang diungkapkan Clara Ng  dalam bagian Catatan Rehat, mereka menjadikan fiksi sebagai ruang rehat dalam kesibukan pekerjaan dan oase untuk pemulihan diri. Mereka memulai dengan 140 karakter yang kemudian dibentuk ulang menjadi kumpulan fiksimini. Selanjutnya bahkan, enam dari fiksimini ini dialihkan menjadi film pendek, yang menjadi bonus buku kumpulan fiksi mini bertajuk Cemburu itu Peluru.

Oddie Frente, seorang karyawan swasta, menyumbangkan 20 fiksimini. Kika Dhersy Putri, creative director, mempersembahkan 21 fiksimini. Judul kumpulan ini diambil dari salah satu judul fiksimininya. Andy Tantono, pengusaha plastik daur ulang dan pemilik warnet, hadir dengan 19 fiksimini. Novita Poerwanto, pekerja dunia perbankan, menyuguhkan 19 fiksimini, sedangkan Erdian Aji Prihartanto, mantan guru bahasa Mandarin dan musisi, menyertakan 18 fiksimini. Mereka bercerita dengan gaya masing-masing, berusaha membiuskan sihir melalui setiap rangkaian kalimat dan bentuk. Kita akan dibuat terlena untuk terus menyusur halaman demi halaman hingga semua isinya habis dibaca.

Fiksimini semestinya meninggalkan gegar pada kalimat-kalimat penghabisan. Dalam kumpulan ini, tidak semua cerita berdaya gegar, tetapi ketika penulis melakukan, efeknya sangat membekas. Coba nikmati dan rasakan dampak yang timbul manakala kalimat terakhir ditandaskan dari Cerita Sebingkai Jendela dan Istriku si Mesin Tanya (Oddie Frente). Atau dari Culik dan Cerita Tentang Aku dan Ibuku (Kika Dhersy Putri). Atau dari  Di Doa Ibuku, Foto Di Atas Perapian, Kecupan Hangat Brandon, Kenangan Indah Dibalut Asap Rokok, Makan Malam Terakhir, Menunggu Yang Tercinta, Pak Nugroho, dan Pertunjukan Sirkus (Andy Tantono). Atau dari  Dim Sum Bersama Suamiku, Memori Tembok Kapur, Perempuan Di Seberang Jalan, dan Sehari Saja (Novita Poerwanto). Atau dari Harga Sebuah Loyalitas (Erdian Aji Prihartanto). Dalam buku ini semua penulis telah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Andy Tantono adalah mayoritas.

Sekedar informasi, buku ini dijual bersama CD yang berisi sembilan film pendek. Dari sembilan film pendek yang ada, hanya enam yang ada versi fiksimininya dalam buku ini yaitu: Tangan Keduanya dan Sehari Saja (Novita Poerwanto), Foto di Atas Perapian (Andy Tantono), dan Detik. Tik. Dor!Susi yang Tak Susi, dan Baby Blues (Kika). Tiga lainnya yaitu April Mop dan Aku Rindu Dada Montokmu (Erdian  Aji Prihartanto) serta Taman (Oddie Frente) tidak ada versi fiksimininya.

Sehabis membaca semua fiksimini dalam buku Cemburu itu Peluru ini, kita akan disadarkan bahwa sesungguhnya fiksimini bisa menjadi candu yang tidak pernah membosankan dinikmati. 

1 Perempuan 14 Laki-Laki

 

Judul Buku: 1 Perempuan 14 Laki-laki
Penulis: Djenar Maesa Ayu, dkk
Tebal: 124 hlm; 20 cm

Cetakan: 1, Januari 2011
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


 

Ide untuk menulis cerpen kolaborasi muncul dalam pikiran Djenar Maesa Ayu, setelah, seperti pengakuannya, mengalami kebuntuan dalam menulis fiksi selama empat tahun. Agus Noor, seorang penulis fiksi, menjadi laki-laki pertama yang diajak Djenar untuk terlibat dalam uji cobanya. Dalam waktu sehari, bersama Agus Noor, Djenar ternyata bisa menghasilkan satu cerpen.

Sukses dengan Agus Noor, Djenar ingin menjajal laki-laki lain. Seperti yang ia lakukan dengan Agus Noor, setiap laki-laki akan menulis cerpen bersamanya, secara bergantian mengisi ruang kosong, tanpa konsep sebelumnya. Siapakah yang akan jadi tokoh cerita, jalinan cerita akan menjadi seperti apa, tidak dibicarakan sebelumnya. Menurut Agus Noor, proses kreatif seperti ini ibarat dua petinju yang sedang saling tukar jurus pukulan, sementara bagi Djenar, bagaikan dua orang yang sedang kasmaran sehingga selalu ingin memahami dan menyenggamai masing-masing pikiran.

Djenar pun bekerja sama dengan 13 laki-laki lainnya demi ‘memburu orgasme pikiran’. Penulis fiksi dan bukan penulis fiksi. Mereka adalah: Arya Yudistira Syuman (kakak Djenar, koreografer), Butet Kartaredjasa (aktor teater), Enrico Soekarno (seniman lukisan, gambar, etsa, dan fotografi), Indra Herlambang (presenter, aktor, penulis), JRX (I Gede Ary Astina, musisi), Lukman Sardi (aktor), Mudji Sutrisno (romo, guru besar), Nugroho Suksmanto (penulis cerpen dan puisi), Richard Oh (penulis dan sutradara), Robertus Robert (dosen dan penulis nonfiksi), Sardono W. Kusumo (penari, koreografer, sutradara, guru besar ilmu seni tari), Sujiwo Tejo (budayawan), dan Totot Indrarto (kritikus film, praktisi periklanan). Hasil perburuan mereka mewujud sebagai kumpulan cerpen yang judulnya merepresentasikan perbandingan kelamin para penulisnya, 1 Perempuan 14 Laki-laki. Sebuah judul provokatif, yang akan membawa imajinasi pembaca cerpen-cerpen Djenar sebelumnya yang tidak lepas dari pergumulan psikologis terkait dengan percintaan dan seksualitas.

Dan memang, tidak ada yang baru dalam cerpen-cerpen kolaborasi 1 perempuan dan 14 laki-laki ini. Seolah bersetia dengan jalur yang diretas Djenar sejak awal, lahirlah cerita-cerita yang nyaris semuanya disemburati nuansa seksualitas khas Djenar.

Percintaan dan seksualitas langsung menabrak mata pembaca pada cerpen pertama, Kunang-kunang Dalam Bir (Agus Noor). Warna serupa menyebar dalam Ramaraib (Sardono W. Kusumo), Matahari di Klab Malam (Arya Yudistira Syuman), Rembulan Ungu di Kuru Setra (Sujiwo Tejo), Bukumuka (Nugroho Suksmanto), dan Dijerat Saklar (Robertus Robert).

Percintaan yang sedikit berbeda tampak dalam Kupunyakupu (Totot Indrarto), di sini cinta dan seks dimainkan dua manusia berkelamin identik. Sedangkan cinta wajar kendati tidak berlangsung mulus dijumpai Ra Kuadrat (Lukman Sardi) dan Napas Dalam Balon Karet (Richard Oh).

Bersama Enrico Soekarno, dalam Cat Hitam Berjari Enam, Djenar sedikit mengangsurkan tema berbeda. Dalam durasinya yang singkat, pembaca yang jeli akan langsung bisa menghubungkan tragedi di dalamnya dengan kasus yang pernah merebak di negeri ini.

Apa yang dijabarkan secara panjang lebar oleh Sekar Ayu Asmara dalam novelnya yang telah difilmkan, Pintu Terlarang, hadir secara ringkas dalam Menyeruput Kopi di Wajah Tampan. Cerpen ini ditulis Djenar bersama Indra Herlambang, yang pernah berkolaborasi dengannya menulis skenario film, Mereka Bilang Saya Monyet


Cerita jenaka pemicu senyum hadir dari kolaborasi Djenar dengan Butet Kartaredjasa. Mereka mengolah kecemburuan usang yang melibatkan aroma lavender antara sepasang suami-istri renta dalam Balsem Lavender.

Tidak semua cerita dalam kumpulan cerpen ini sedap dinikmati. Kulkas dari Langit (JRX) dan Polos (Mudji Sutrisno) adalah dua cerpen termasuk dalam kategori dimaksud.

Anda mungkin memiliki pendapat yang berbeda. 

Dari Datuk Ke Sakura Emas


 

Judul Buku: Dari Datuk Ke Sakura Emas
Pengarang: A. Fuadi, dkk.
Tebal: 168 hlm; 20 cm

Cetakan: 1, April 2011
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama




Seluruh royalti buku ini akan disumbangkan oleh para penulis kepada Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin.” Demikianlah yang terbaca di sampul belakang kumpulan cerita pendek bertajuk Dari Datuk Ke Sakura Emas. Bungarampai ini memang lahir sebagai aksi keprihatinan atas apa yang mengancam Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin (sering disingkat PDS). PDS yang didirikan secara pribadi oleh sastrawan dan kritikus HB Jassin yang kemudian beralih ke Pemda DKI terancam tidak bisa meneruskan kegiatan operasional sehari-harinya gara-gara pemotongan anggaran. Padahal PDS telah menyumbangkan jasa pada berbagai kalangan yang meneliti kesusastraan Indonesia, baik dari dalam maupun luar negeri, ataupun yang memanfaatkannya sebagai tempat pertemuan penulis, diskusi sastra, kegiataan kesenian, dan peluncuran buku.

Sebagaimana disebutkan dalam bagian Pengantar yang ditulis Eka Kurniawan, bersama Clara Ng, ia mendapat tugas sebagai tukang kumpul dan juru tagih cerpen pada penulis-penulis yang bersedia terlibat dalam proyek ini. Tidak lebih dari 2 minggu sejak gagasan ini lahir, 14 belas cerpen dari 14 penulis dengan latar belakang beragam pun bisa dihimpun. Maka terbitlah Dari Datuk Ke Sakura Emas, antologi beragam tema dan beragam gaya penulisan. 

Cerita pendek berjudul Datuk karya Ahmad Fuadi, penulis novel Negeri 5 Menara dan Ranah Tiga Warna ini membuka perjalanan pembaca menuju Sakura Emas karya Sitta Karina. Menjadi datuk bagi seorang Malin adalah sebuah pengabdian dan cita-cita. Lima tahun sudah ia menjadi Datuk Batungkek Ameh dan mengemban tugas sebagai pemangku adat bagi warga sukunya. Ia telah menjalankan tugasnya dengan ikhlas dan konsisten hingga beberapa peristiwa mengubah cara pandangnya terhadap pengabdian. Sawahnya yang hanya beberapa petak gagal panen, dua ekor sapi gembalaannya mati, dengan demikian ia kehilangan sandaran kehidupannya. Padahal Buyung, putra semata wayangnya akan tamat SMA dan kuliah di ibukota provinsi. Ketika sang datuk diundang untuk memimpin acara adat di Padang, dia membayangkan akan mendapat sedikit solusi untuk permasalahan ekonominya.

Sebelum tiba di Sakura Emas, kita akan dihadapkan dengan Sebuah Keputusan karya penulis belasan biografi pesohor dan novelis, Alberthiene Endah. Penerima penghargaan Adikarya Award 2005 melalui novel Jangan Beri Aku Narkoba ini mendedahkan isi hati kekasih seorang perempuan bernama Amelia yang memutuskan menikah dengan pria pilihan orangtuanya. Mereka telah hidup bersama selama tiga tahun, ia mencintai Amelia melebihi apa pun, Amelia sendiri mengaku merasa aman dan terlindungi bersamanya. Lantas, mengapa Amelia tidak bisa menikah dengannya? Kendati pengarang mencoba menyimpan identitas si narator untuk menciptakan kejutan di penghujung, saat cerita mengalir, dari caranya bertutur, kita sudah bisa menebak-nebak identitasnya.

Sebuah Keputusan mengantar kita Ke Seberang Dermaga. Andrei Aksana, pria penulis novel metropop, lagi-lagi mengulang tema yang hampir basi karena keseringan digarap penulis kita. Jika Alberthiene Endah mengumbar kehancuran hari seorang kekasih menyongsong keputusan perpisahan pasangannya, Aksana mengumbar kehancuran hati seorang istri yang menemukan perselingkuhan suaminya. Sembari mengurai perjalanan tanpa tujuan sang istri yang patah hati, secara paralel Aksana mengungkap sebab musabab kekecewaannya serta godaan untuk membalas kelakuan suaminya.

Setelah Ke Seberang Dermaga kita akan digedor kerinduan seorang emak untuk naik haji. Zein, putra si emak, mengenal kerinduan ibunya yang akan kian mengental di mata perempuan yang melahirkannya, setiap musim haji tiba. Pembuat lukisan kaligrafi ini pun bertekad mengantar ibunya ke Tanah Suci, sekalipun dia harus melakukan tindakan criminal. Cerpen Emak Ingin Naik Haji karya Asma Nadia ini sudah pernah diterbitkan dalam kumpulan karya sang penulis berjudul sama dan difilmkan. Karena sudah menyaksikan filmnya terlebih dahulu, cerpen ini nyaris kehilangan sentuhannya yang manis.

Emak Ingin Naik Haji diikuti sebuah kisah bertajuk Pagi di Taman. Karya menyentuh Avianti Armand, arsitek peraih penghargaan Cerpen Terbaik Kompas 2009, mengambil seting luar negeri dan bertutur tentang persahabatan dua lelaki tua, Sam dan Dom. Yang satu ditinggal mati istrinya, lainnya ditinggal pergi istrinya karena pria lain. Meskipun memiliki seorang anak perempuan, Dom tidak mudah menuntaskan kerinduannya bertemu anak itu. Dalam kesepian hidup di masa tua, bersama Sam, Dom meraih kesenangan dengan mengolok-olok sup bikinan Mathilda Mendez yang berbau sangit. Akan tetapi, “Sup Mathilda adalah salah satu hal yang membuat Dom dan Sam semakin merasa senasib sependeritaan” (hlm. 63). Tidak mentereng, tetapi saya suka cerpen karya penulis kumcer Negeri Para Peri (2009) yang juga telah menghasilkan kumpulan puisi berlatar belakang Kitab Perjanjian Lama –Perempuan Yang Dihapus Namanya- ini.

Eka Kurniawan, pengumpul dan juru tagih cerpen, tidak menyumbangkan cerpen seperti rekannya, Clara Ng. Perempuan penulis puluhan buku ini menyertakan cerpennya, Misalkan Ini Adalah Dongeng. Bertema pelecehan seksual yang menimpa anak-anak, Clara berkisah tentang Navis, bocah korban kekerasan seksual. Yang memiriskan, Navis adalah bocah autis, dan pelaku kekerasan seksual adalah psikolog, yang seharusnya menolong anak itu (hlm. 72).

Kisah yang membuat perasaan tidak nyaman ini diikuti oleh kisah menggelikan (namun tragis) berjudul Mencari Herman karya Dewi Lestari. Cerpen ini merupakan karya lawas Dee dan pernah menjadi bagian antologi tulisannya, Filosofi Kopi (2006). Gara-gara terpesona Herman Felany, seorang aktor, sejak usia 13 tahun Hera terobsesi laki-laki bernama Herman. Sangat panjang perjalanan obsesi Hera sebelum berakhir saat ia bertemu lelaki bernama Herman Suherman. Dee memang telah membuka dengan jenaka: ‘Seharusnya ada pepatah bijak yang berbunyi: “Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan”’ (hlm. 76).

Sehabis Mencari Herman, Dewi Ria Utari, penulis kumcer Kekasih Marionette dan novel remaja The Swan (2009) menggiring kita kepada Ingatan. Menggunakan seting Amerika, sang penulis melarung kisah “Dua jiwa dalam satu tubuh yang tak pernah terpisahkan” (hlm. 91) yang mencetuskan sebuah insiden kriminal. Cerpen ini menarik disimak kendati temanya tidak mutakhir lagi. Pengarang pun pernah mengungkap tema sejenis dalam cerpen Sinai (Kekasih Marionette, 2009).

Ingatan akan peristiwa menyedihkan ternyata tetap tumbuh dalam diri Opung yang linglung karena jatuh di kamar mandi (tentu saja bukan jatuh dari kamar mandi seperti yang ditulis sang pengarang). Otaknya boleh dibelit kabut kebingungan akan keluarganya yang masih hidup, tetapi tidak dengan Ary, putra bungsunya yang diculik 13 tahun sebelumnya. Opung yang linglung adalah karakter cerpen Kamis Ke-200 karya Happy Salma, aktris yang telah menghasilkan 2 kumcer: Pulang (2006) dan Telaga Fatamorgana (2008). Happy Salma dalam cerpennya yang ringkas jenaka mencoba mengajak pembaca untuk mengingat tragedi yang tidak pernah tuntas di negeri ini.

Icha Rahmanti yang dikenal melalui novel Cintapuccino (2004) dan Beauty Case (2005)  menyumbangkan cerpen berjudul Sambal Dadak. Ia menceritakan usaha seorang perempuan membuat sambal seperti bikinan ibunya. Sambil mengulek, pikirannya melanglang ke perjalanan kehidupannya, sejak timbulnya kecanduannya akan sambal, pertengkarannya dengan ibunya yang khas remaja, hingga pada realitas kehidupannya. Lulusan S2 Belanda, namun bukannya kerja kantoran malah menjadi istri yang berkewajiban memberikan kebahagiaan bagi suaminya. 

Cerpen Icha Rahmanti disusul dengan tiga cerpen beraroma mistis karya tiga pria. Indra Herlambang, penulis buku Kicau Kacau (2011) dengan cerpen Pagar Soka; M. Aan Mansyur, penulis puisi dan novel, dengan cerpen Di Tempatmu Berbaring Sekarang; Putu Fajar Arcana, wartawan Kompas dengan Perempuan Yang Berumah di Rumpun Bambu. Indra Herlambang mendedahkan usaha konyol seorang perempuan untuk merintangi pernikahan seorang kakek dengan seorang perempuan yang adalah dukun sakti. M. Aan Mansyur mengungkapkan kisah cinta segitiga mengharubiru yang disaksikan sebatang pohon keramat. Sedangkan Putu Fajar Arcana mendongengkan serumpun bambu yang menjadi asal suara tangisan perempuan dan berteka-teki hingga akhir untuk mempertanyakan: benarkah ibu dari narator cerpen ini peri yang menghuni rumpun bambu tersebut?

Setelah melewati 12 cerpen, dari Datuk karya A. Fuadi, akhirnya pembaca tiba di cerpen terakhir, Sakura Emas karya Sitta Karina, seorang penulis cerita remaja. Sakura Emas berkisah tentang Kania Shiro, gadis Indonesia yang bersekolah di Higa International School, Osaka, setelah ibunya menikahi pria Jepang. Ayah tirinya yang ia sebut Papa ingin dirinya menjadi pionir, yang membuatnya senasib dengan Kei Kaminari. Kei adalah cowok Jepang (bukan gadis Jepang seperti tercantum pada sampul belakang buku; baca hlm. 149) yang memiliki kemampuan menyusup dalam alam mimpi orang lain, tetapi tidak mimpi Kania. Ketika Kei berupaya mendobrak masuk mimpi Kania, ia melihat sesuatu yang membuatnya mampu memahami rumitnya kepribadian gadis itu.

Di penghujung perjalanan Dari Datuk Ke Sakura Emas tentu saja kita akan memiliki kesimpulan sendiri-sendiri. Bagi saya tidak semua cerpen yang ada merupakan karya unggulan para penyumbang dalam antologi ini. Tetapi mengusung kekhasan mereka walaupun masih berputar-putar pada tema lama, para penulis telah berupaya untuk melibatkan diri dalam proyek yang patut diapresiasi. Dan, karena keluhuran motivasi mereka, maka belilah buku ini untuk mendukung usaha mereka.  
14 February 2012

Anak Arloji


Judul Buku : Anak Arloji
Penulis: Kurnia Effendi
Editor: Endah Sulwesi
Tebal: 237 hlm
Cetakan: 1, Maret 2011
Penerbit: Serambi





Dokter Syarif Budiman, seorang dokter kandungan, memiliki tradisi unik setiap sukses membantu proses kelahiran bayi. Dokter yang dikenal bertangan dingin ini akan menghadiahkan arloji kepada orangtua si bayi. Ia selalu menyebut bayi yang lahir dengan bantuannya sebagai anak arloji. Alkisah, ketika bayi salah satu pasangan yang ditolongnya meninggal, arloji pemberiannya pun berhenti berdetak. Sang narator tentu saja dililit rasa kuatir manakala istrinya melahirkan dan dokter Syarif memberinya sebuah arloji. Apakah arloji itu akan berhenti berdetak juga?

Cerita misteri bertajuk Anak Arloji ini mewakili 13 cerpen lainnya untuk dijadikan judul kumpulan cerpen terbaru Kurnia Effendi yang diterbitkan Penerbit Serambi ini. Kecuali cerpen Penggali Makam, cerpen-cerpen dalam buku ini sudah pernah dipublikasikan pengarangnya di sejumlah media massa.

Yang dijadikan cerpen pembuka adalah Noriyu. Lewat cerpen ini tampaknya Kurnia Effendi hendak mengemukakan betapa pentingnya alter ego bagi seorang manusia. Noriyu seorang dokter, tetapi hatinya tidak terbuat dari aluminium, sehingga tidak bebas dari kerapuhan. Ia memerlukan sahabat untuk menghibur perasaan terlukanya, untuk menghalau temperamen rapuhnya. “…aku adalah bagian dirinya yang memisahkan diri saat perasaan kecewa, sedih, marah, atau kehilangan sedang meremas hatinya,” kata sang alter ego (hlm. 18).

Aromawar adalah cerpen misteri lain yang diuntai dari kalimat-kalimat memukau untuk membungkus muatan sensualitas di dalamnya. Marchy yang sedang berulang tahun menikmati kesendirian di sebuah puri ketika seorang lelaki tampan beraroma mawar yang menamakan diri Pangeran Rembulan mendatanginya. Ia menghadiahkan Marchy sebuah kado: percintaan semalam yang membuat sang gadis luluh lantak. Pada malam yang sama, di sebuah café, seorang pencipta parfum yang menyebut dirinya Pangeran Rembulan mengadakan launching parfum terbarunya, Aromawar.

Elemen misteri juga mewujud dalam Tetes Hujan Menjadi Abu. Andria memutuskan pulang kampung setelah menyaksikan hujan turun dan setiap tetes airnya berubah menjadi abu begitu menyentuh tanah. Ia teringat pesan neneknya bahwa jika hal ini terjadi, itu artinya ia harus segera pulang, karena sang nenek telah meninggal. Ayahnya, seorang duda yang tidak menunjukkan keinginan menikah lagi semangkat istrinya, bertanya-tanya bagaimana Andria bisa datang tepat waktu. Bukti yang disodorkan Andria, sama dipertanyakan, dengan alasan ayahnya tidak ingin menikah lagi.


Dalam Kuku Kelingking, pengarang mengisahkan tindakan cinta seorang ibu demi mengumpan tekak anak laki-lakinya. Bobby sulit makan sehingga menjadi kurus kerempeng. Banyak dokter dan ahli gizi dikerahkan, hanya untuk menyerah setelah upaya maksimal yang mereka lakukan. Baru, setelah ujung jari kelingking sang ibu tanpa sengaja dikorbankan, akhirnya selera makan Bobby merebak lagi.

Cinta seorang ibu kepada anaknya tampil kembali dalam Panggilan Sasha. Rosana, seorang ibu muda, memutuskan bekerja ketika kebutuhan hidup keluarga kian meningkat. Jika ia bekerja, terpaksa ia harus meninggalkan anaknya, Sasha,  untuk memulai sejak awal hidup mandiri. Padahal Sasha baru berumur 3 tahun. Sedikit lagi impian Rosana menjadi pekerja sukses akan terwujud, tetapi ia tidak bisa mengabaikan panggilan Sasha yang masih membutuhkannya.


Cinta ibu yang lain dihadirkan pengarang dalam Wangi Kaki Ibu. Setelah tiga tahun membawa adik perempuannya ke Jakarta dengan harapan bisa mengajar si adik menjadi manusia yang baik, seorang lelaki muda kembali ke kota kelahirannya. Peni, si adik perempuan, telah mati. Memang bukan ia yang membunuh Peni, namun kematian Peni menjadi bukti kegagalannya menunaikan janji kepada ibunya. Ia berharap akan mendapat hukuman dari ibunya. Namun seperti ditulis pengarangnya, “Hanya seorang ibu yang dapat memadukan antara sakit hati dan kasih sayang dengan nyaris sempurna” (hlm. 149).


Hubungan seorang anak laki-laki dengan ayahnya bisa dibaca dalam dua cerpen yaitu Laut Lepas Kita Pergi dan Kamar Anjing. Setelah kehilangan ibu dan dua adiknya dalam peristiwa tsunami di Aceh, Mustafa terpaksa menerima kepengecutan ayahnya. Ayahnya tidak mampu bertahan mengatasi kesedihan kehilangan keluarganya, dan menuntut Mustafa untuk tetap kuat sepeninggalnya. Mustafa boleh terkenang akan perkataan ayahnya bahwa ia adalah anak pemberani, bukan anak cengeng. Tetapi, bagaimana dengan kesepian karena hidup sebatang kara, tanpa keluarga? Ayahnya tidak pernah berpikir soal yang satu ini.


Dalam cerpen Kamar Anjing yang rumit, Sentot Karyoto adalah ayah seorang remaja putra bernama Aditya yang terlahir untuk bersaing dengan boneka ciptaan ayahnya, Chocky. Aditya benci pada Chocky karena kehadiran boneka itu menyisihkannya dari cinta seorang ayah. Saat akhirnya menyadari dampak kehadiran Chocky dalam hidup Aditya, Sentot membakar boneka yang pernah jadi sumber keuangan keluarga. Tetapi justru, setelah itu, Aditya tidak bisa menerima. Baginya, Chocky adalah dirinya. Membunuh Chocky berarti mengakhiri juga hidupnya, sehingga ia ingin membunuh ayahnya.


Cinta antara dua manusia berbeda gender masih menjadi kekuatan manis sang pengarang. Sepanjang Braga dalam kumpulan cerpen ini merupakan versi kelima sejak cerpen berjudul sama ditulis pertama kali tahun 1988 (bisa dibaca dalam kumcer Burung Kolibri Merah Dadu, 2007). Sihir jalan Braga, Bandung, yang menurut pengarangnya menyimpan masa silam Bandung, terus melahirkan cerpen yang beraroma sendu.


La Tifa
masih berbincang tentang cinta, antara dua manusia berbeda gender, namun berbeda usia, dan terlarang. Hubungan Latifa dengan Rayadi, seorang ayah dan suami, awalnya dibayang-bayangi figur almarhum ayahnya. Itulah yang diyakini Latifa, sebelum ia memiliki mimpi-mimpi liar terkait dengan Rayadi. Manakala mimpi-mimpi liar itu menampakkan wujudnya dalam persentuhan fisik yang melampaui batas, Latifa melihat dirinya sebagai seorang pendosa nan hina. Apa yang telah terjadi antara dirinya dan Rayadi mungkin bisa dihapus. Maka, Latifa mencoba mengubah cara menulis namanya. Ia bukan lagi Latifa, tetapi La Tifa. Pertanyaannya: “Akankah mengembalikan kesucian?” (hlm. 138).

Pertaruhan
menggambarkan gagasan-gagasan konyol yang bisa timbul dalam benak manusia, dipicu oleh hal yang tidak signifikan. Berkisah tentang pertaruhan demi pertaruhan yang dilakoni dua pemuda, Arya dan Iban, yang awalnya disebabkan oleh seorang gadis. Mereka ingin meraih julukan lelaki terhebat dengan melakukan serangkaian permainan berbahaya yang ditonton khayalak. Selain menyabung nyawa dalam kadang harimau di kebun binatang, keduanya pernah mereguk segelas kopi bercampur arsenik. Seolah tidak cukup, demi meraih supremasi kejantanan, mereka kian tertantang untuk mempertaruhkan nyawa dalam permainan yang tidak masuk akal. Pada pertaruhan yang penghabisan, apakah mereka akan keluar dengan selamat?

Penggali Makam
adalah kisah pergulatan pikiran seorang lelaki terkait dengan keyakinan agamanya. Ia adalah penggali makam satu-satunya setelah para penggali makam sebelumnya mencampakkan pekerjaan ini. Satu pertanyaan menggerogoti benaknya: tidak ada seorang pun di lingkungan tempat tinggalnya yang berniat menjadi penggali makam, jadi siapa yang akan menggali makam bagi dirinya jika ia meninggal? Sebelum pertanyaan ini terjawab, rentetan tanya telah menambah beban pikirannya. Apakah yang dimaksud dengan takdir? Mengapa setan akan dibakar api di neraka jika setan diciptakan dari api? Apakah Tuhan benar-benar ada?  Pengarang dengan cerdik akan memberikan jawaban yang akan menyembuhkan jiwa si penggali makam.

Ternyata aku hanya seorang pendongeng”. Kalimat ini disebutkan sebanyak empat kali dalam cerpen pamungkas dalam kumcer ini, Jalan Teduh Menuju Rumah. Cerpen ini merupakan khayalan Kurnia Effendi, sang pengrajin kata, mengenai masa depannya dan keluarganya. Tinggal di dusun lereng bukit, dikunjungi anak-anak, menantu dan cucunya saat lebaran. Tampaknya segala sesuatu begitu membahagiakan, tetapi apakah karena dirinya yang seorang pendongeng? Ternyata tidak, karena kegembiraan cucu-cucunya disebabkan oleh jalan teduh menuju rumah yang telah diupayakannya. Jalan teduh menuju rumah tidak hanya mengacu pada jalan yang dirindangi pepohonan cengkeh menuju rumahnya di lereng bukit, tetapi apa yang telah dilakukannya untuk menjadikan keluarganya sentosa dan bahagia, dengan cinta kasih.


Kumpulan cerpen Anak Arloji memberikan kita bacaan yang kaya nuansa. Di sini kita bisa menikmati kisah misteri yang menggedor, drama romantis yang mengigit hati, pergulatan psikologis manusia yang tidak habis-habisnya dalam memaknai kehidupan, dan cinta yang mewarnai jalinan antara anggota keluarga. Setiap ilham ditangkap dengan jitu dan digelar dalam untaian kalimat berbobot yang enak dibaca, sebagai salah satu kekuatan paling mencolok dari sang pengarang. Kata demi kata seolah diperhitungkan untuk meninggalkan jejak yang tidak gampang hilang dalam hati pembaca. Dalam keindahannya bertutur, bahasanya selalu wajar. Bahkan, ketika menggelontorkan kisah romantis seperti Aromawar. Pilihan diksinya memesona tetapi tidak membuatnya sok puitis. Saat menyampaikan cerita bermuatan pergumulan psikologis, ia pun memiliki kelebihan, ia tidak pernah larut dalam kalimat-kalimat pelik seperti banyak ditemukan dalam karya-karya serupa.

Buku yang dipersembahkan untuk ulang tahun setengah abadnya ini –Kurnia Effendi dilahirkan pada 20 Oktober 1960- merupakan kumpulan cerpen keenamnya. Sebelumnya telah terbit kumcer Senapan Cinta (2004), Bercinta di Bawah Bulan (2004), Aura Negeri Cinta (2005), Kincir Api (2005), dan Burung Kolibri Merah Dadu (2007).
 
13 February 2012

The House of the Spirits




Judul Buku: The House of the Spirits (Rumah Arwah)
Diterjemahkan dari: La casa de los espíritus
Pengarang: Isabel Allende (1982)
Penerjemah: Ronny Agustinus
Tebal: 600 halaman
Cetakan: 1, Juni 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

 

 

"Rumah besar di pojokan" adalah rumah yang dibangun Esteban Trueba, menjelang pernikahannya dengan Clara del Valle. Dirancang oleh arsitek Prancis, rumah itu sengaja dibuat berbeda dengan arsitektur lokal—sebuah rumah anggun dengan pilar-pilar putih, tangga lebar, serambi bermarmer putih, jendela lebar, dan taman ala Versailles. Pada waktunya, rumah itu akan dipenuhi kamar-kamar kosong karena setiap ada tamu baru, Clara pun menggagas pembangunan kamar baru. Saat arwah-arwah mengisiki keberadaan harta terpendam atau mayat yang belum dikubur semestinya di fondasinya, Clara akan meminta dinding diruntuhkan, sehingga rumah itu membiakkan banyak labirin. Sesungguhnya, rumah itu dibangun sebagai kompensasi atas kemelaratan yang dialami Esteban Trueba di masa kecilnya sekepergian ayahnya. Clara akan menjadi ruh dari rumah besar itu, maka begitu ia mangkat, tak pelak lagi zaman kemunduran melanda bangunan megah itu.

Clara del Valle, si cenayang, masih gadis cilik manakala Esteban Trueba merencanakan pernikahan dengan kakaknya, Rosa.  Sebelum pernikahan mereka digelar, Rosa si rambut dedalu dengan penampilan bak putri duyung tewas, menjadi tumbal bagi ayahnya, pengacara yang mulai berkarier di dunia politik. Ditengarai, racun tikus yang membunuh Rosa, sebenarnya ditujukan kepada ayahnya.

Meninggalkan pertambangan emas, di mana ia bekerja guna mendapatkan dana pernikahan, setelah kematian Rosa, Esteban Trueba tidak ingin lagi hidup miskin. Ia pergi ke Tres Marías, perkebunan ayahnya yang terbengkalai. Dengan keuletan tanpa kenal capai, Esteban Trueba berhasil mengembangkan Tres Marías, mengubah kehidupan orang-orang yang tinggal di sana, dan dengan segera menjelma menjadi tuan tanah kaya. Tuan tanah yang dengan serakah mengumbar syahwat pada gadis-gadis pedesaan dan tidak bertanggung jawab saat mereka berbadan dua. Bagi Esteban Trueba, gadis-gadis desa itu memang hanya sekadar pemuas berahi, lantaran istri yang didambakannya mesti datang dari kota.

Setelah membisu selama sembilan tahun sejak kematian Rosa, pada umur 19 tahun, Clara mengumumkan pernikahannya dengan Esteban Trueba. Bukan hal yang aneh, karena Clara memang memiliki kemampuan supranatural. Clara tidak hanya mampu menakbirkan mimpi, ia juga bisa memindai masa depan, dan mengenali maksud hati orang lain. Clara dapat menggerakkan benda tanpa menyentuhnya dan bermain piano tanpa membuka tudungnya. Sebagaimana kematian Rosa, Clara menikahi Esteban Trueba, seperti yang diumumkannya. Kecuali pergi ke Tres Marías di musim liburan, mereka menetap di rumah besar di pojokan itu. Ketiga anak mereka, si sulung Blanca dan kedua adik kembarnya, Jaime dan Nicolás, dilahirkan di rumah besar itu.

Dibandingkan dengan rumah besar di pojokan, Blanca lebih menyukai Tres Marías. Di sana ia menghabiskan masa-masa liburan dan menjalin persahabatan, yang seiring perjalanan waktu, berubah menjadi romansa penuh gairah, dengan Pedro Tercero García, anak mandor perkebunan. Hubungan cinta yang tidak berkenan di hati Esteban Trueba itu menciptakan serangkaian kekisruhan yang berakhir pada pemukulan yang mengompongkan Clara. Sejak peristiwa pemukulan itu, kendati hidup di bawah satu atap, Clara tidak pernah bicara pada suaminya lagi, seumur hidupnya.

Dengan harapan akan mendapat hadiah, Esteban García—cucu perempuan yang diperkosa Esteban—membocorkan tempat persembunyian Tercero. Akibatnya, pria yang senang bermain gitar itu, kehilangan tiga jari tangan kanannya. Permusuhan antara Tercero dengan ayah gadis yang dicintainya akan berlangsung hingga puluhan tahun kemudian sampai Esteban Trueba merasa tidak mampu membasmi cinta mereka.

Hamil dan ditinggalkan kekasihnya membuat Blanca menerima kehendak ayahnya untuk menikahkannya dengan seorang bangsawan Prancis, Jean de Satigny. Rumah tangga mereka tidak bertahan lama, Blanca akan meninggalkannya, pulang ke rumah besar di pojokan, dan tidak bertemu Jean hingga saat ajalnya. Sudah menjadi panggilan hidup Blanca, hanya mengenal satu cinta saja.

Alba yang berambut hijau seperti Rosa, lahir sungsang. Menurut Clara, Alba akan beruntung—bukan cuma karena sungsang disebut-sebut sebagai tanda keberuntungan—dan bahagia. Seorang bocah laki-laki yang menonton kelahiran Alba, kelak membuat Alba menampik niat baik kakeknya untuk kabur ke luar negeri, kala tanah airnya dikerakahi junta militer. Alba akan menyaksikan bahwa setelah neneknya mangkat, ramalannya tidak makbul lagi.

Rumah besar di pojokan itu berdiri melewati arus pergantian kekuasaan. Esteban Trueba tahu, diam-diam, rumah dengan banyak kamar itu telah menyembunyikan atau menjadi saluran bagi para pelarian untuk meninggalkan negeri yang diguncang prahara politik. Itulah takdir rumah yang dibangun Esteban Trueba dengan ambisius, setelah ditinggal mati Clara yang diikuti menghilangnya orang-orang para anggota semesta gaib di belakang rumah. Rumah itu terabaikan, diterpa usia, dan isinya satu demi satu dijual Alba. Belakangan, para arwah menyaksikan rumah ini direnovasi kembali menjelang kematian Esteban Trueba.

Di masa sepuhnya, Esteban tidak mampu menggapai semua perempuan yang pernah muncul dalam hidupnya. Kerap ia teringat kutukan Férula, sebelum kakak perempuannya itu hengkang dari rumah besar di pojokan, untuk selamanya. "Terkutuk kau, Esteban! Kau akan selalu sendirian! Mengkerutlah jiwa ragamu dan kau akan mati seperti anjing!"  (hlm. 191). Akankah kutukan ini mewujud dalam kehidupan Esteban? Yang jelas, setelah puluhan tahun hidup sebagai tuan atas dirinya sendiri, mendekati tenggat kehidupannya, Esteban Trueba akan menghadapi getirnya kebenaran. Meskipun telah berperan dalam penegakan junta militer di negerinya, ia tidak punya secuil pun otoritas untuk melindungi orang yang dicintainya.

The House of the Spirits yang ditulis dalam tradisi realisme magis adalah novel perdana Isabel Allende, pengarang berdarah Chili, yang pertama kali terbit dalam bahasa Spanyol di Barcelona tahun 1982. Di kampung halamannya, novel ini menjadi Best Novel of the Year 1982 dan membuatnya dianugerahi penghargaan Panorama Literario. Novel ini mulai ditulis saat Allende yang menetap di Venezuela—melarikan diri pasca kudeta militer di Chili—menerima kabar kematian kakeknya, 8 Januari 1981. Awalnya ia menulis surat yang ditujukan pada almarhum, tetapi kemudian berkembang menjadi novel ikhwal tiga generasi perempuan keluarga Trueba, yang mengalir dari perspektif seorang kakek dan cucu perempuannya. Tanggal 8 Januari menjadi momen penting bagi proses kreatif Allende. Menurut pengakuan pengarang kelahiran 2 Agustus 1942 ini, sejak The House of the Spirits,  ia selalu mulai menulis pada tanggal 8 Januari.

Kendati tidak sampai tahap ekstrem, tiga perempuan keluarga Trueba―Clara, Blanca, dan Alba―tak bisa lepas dari kegilaan. Clara mengakui, di dalam keluarganya, kegilaan terbagi rata buat semua, dan tak ada sisanya untuk dikuasai satu orang. Blanca dan Alba mungkin tidak mau mengakui, namun perjalanan hidup mereka akan memberi tahu pembaca bahwa sesungguhnya mereka memiliki kegilaan sendiri. Trueba yang berumur panjang, sama sekali tidak bisa menangkal kegilaan ketiga perempuan itu. Ia mengasihi mereka—sebenarnya—dan terpaksa pasrah pada pilihan hidup mereka.

Isabel Allende adalah pengarang dengan semangat mendongeng yang tinggi. Ia mengalirkan cerita dengan indah, pada setiap tikungan menerbitkan rasa penasaran. Kalimat-kalimat panjang yang digelontorkannya tidak menghambat aliran pesona yang disemburkannya sejak novel dibuka. Keulungannya kian terasa ketika membeberkan kenyentrikan para karakter perempuan ciptaannya.

Rumah besar yang digentayangi para arwah itu bisa jadi merupakan miniatur Chili—yang dijadikan seting novel—saat itu. Di dalamnya kita bisa menemukan menggeliatnya segi-segi magis dan percikan marxisme yang ditolerir salah satu dari tiga perempuan Trueba, tetapi tidak dikenan Esteban Trueba. Tentu saja, jika salah satu negara America Latin ini, benar-benar seperti yang dikatakan seseorang saat semangat marxisme mulai merebak: "Marxisme tak punya peluang sedikit pun di Amerika Latin. Kau tak tahu kalau Marxisme itu tidak mempertimbangkan segi-segi magis dari segala sesuatu? Ini doktrin yang ateistik, praktis, fungsional. Tidak mungkin bisa berhasil di sini!"  (hlm.428).

Allende menyebut-nyebut 'Sang Penyair' yang acap bertandang di rumah besar di pojokan itu. Tidak dipastikan identitasnya, namun tidak diragukan lagi, yang dimaksud Allende adalah Pablo Neruda yang puisinya dikutip sebelum novel dimulai.

Edisi Indonesia novel diterjemahkan dengan penguasaan kosakata bahasa Indonesia yang menakjubkan. Sambil menikmati dunia yang dibangun Allende, saya mesti membolak-balik KBBI, untuk memeriksa berbagai kata yang digunakan penerjemah. Walaupun begitu, saya tidak pernah merasa terganggu apalagi merasa bosan.
 
Apa yang saya rasakan selama membaca The House of the Spirits, sama dengan yang dinyatakan Allison Hoover Bartlett dalam bukunya "The Man Who Loved Books Too Much".  "Aku begitu menghargai keadaan larut dalam sebuah buku sehingga aku membatasi jumlah halaman yang boleh kubaca setiap hari agar bisa menangguhkan akhir yang tak terhindarkan, dan terusir dari dunia itu" (hlm. 13, Pustaka Alvabet, April 2010).

Six Suspects


Judul Buku: Six Suspects
Pengarang: Vikas Swarup
Penerjemah: Rini Indradini
Tebal: x + 662 hlm; 20,5 cm
Cetakan: 1, Mei 2010
Penerbit: Bentang






Six Suspects adalah novel Vikas Swarup, pengarang India yang sebelumnya telah menerbitkan dan menikmati kesuksesan karya perdananya, Q&A –yang difilmkan dengan judul Slumdog Millionaire. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam 24 bahasa dan akan difilmkan menyusul pendahulunya. Six Suspects adalah novel misteri pembunuhan yang ditulis dengan cara yang tidak biasa.

1. Pembunuhan
Arun Advani, seorang jurnalis investigasi, menulis dalam kolomnya: "Tak semua kematian setara. Dalam kematian pun ada sistem kasta. Penarik becak miskin yang ditikam sampai mati tidak lebih dari statistik, terkubur di halaman-halaman koran. Namun, pembunuhan seorang selebriti seketika menjadi berita utama. Karena orang-orang yang kaya dan terkenal jarang dibunuh. Mereka menjalani kehidupan bintang lima dan, kecuali mereka overdosis kokain atau mengalami kecelakaan ganjil, umumnya meninggal dalam kematian bintang lima ketika mereka sudah ubanan, setelah memilik banyak keturunan dan harta benda." (hlm. 4).

Vivek "Vicky" Rai, seorang industrialis muda dengan kehidupan ala selebritas, mati sebelum ubanan. Ia adalah putra Menteri Dalam Negeri Uttar Pradesh yang tersohor karena berkali-kali lolos dari jerat hukum, kendati melanggar hukum. Pernah menggilas mati enam orang pengemis dalam keadaan mabuk dan membunuh dua rusa hitam liar di sebuah suaka margasatwa, namun mendapatkan putusan tidak bersalah. Pada ulang tahunnya yang ke-25, ia membunuh Ruby Gill, mahasiswi doktoral Universitas Delhi yang bekerja paruh waktu di restoran tempat dilaksanakannya pesta ulang tahun. Ruby Gill ditembak mati lantaran menolak memberikan segelas tequila yang diminta Vicky. Kasus pembunuhan ini menyedot perhatian publik, hingga akhirnya, Vicky mendapatkan kembali impunitasnya. Putusan tidak bersalah kali ini dipestakan di rumah peternakannya di Mehrauli, pinggiran New Delhi. Di sana, ia mati dengan cara sama yang digunakannya membunuh Ruby Gill.

2. Tersangka
Arun Advani menulis lagi: "Para tersangka sangat beragam, kumpulan aneh yang terdiri dari si jahat, si cantik, dan si buruk rupa." (hlm. 9).

Polisi di TKP segera bertindak, menggeledah semua tamu. Enam orang ditetapkan sebagai tersangka, karena mereka membawa senjata api. Mohan Kumar, mantan Sekretaris Kepala Negara Bagian Uttar Pradesh yang dikenal sebagai koruptor dan pemburu wanita. Mr. Rick Myers, orang Amerika bebal yang mengaku sebagai produser Hollywood. Jiba Korwa, pemuda kulit hitam dengan tubuh setinggi lima kaki, berasal dari Jharkand dan dicurigai bagian dari kelompok Naxalite―gerakan revolusioner India yang ingin menggulingkan pemerintahan demokratis dan menggantikan dengan kepemimpinan garis keras― yang pernah mengancam akan membunuh Vicky terkait proyek Zona Ekonomi Khusus.  Munna Mobile, sarjana pengangguran, anak wanita tukang sapu kuil di Mehrauli, yang mendapatkan uang dengan jalan mencuri telepon seluler. Jagannath Rai, si Menteri Dalam Negeri, ayah kandung Vicky, seorang politisi ambisius. Shabnam Saxena,  satu-satunya wanita, aktris Bollywood dengan kemolekan yang menggelarinya "Mimpi Basah Nomor Satu". Ia digosipkan sedang digilai Vicky Rai.

Arun Advani melanjutkan: "Pembunuhan mungkin kusut, tapi kebenaran lebih kusut. Mengikat ujung-ujung yang terurai pasti sulit. Sejarah hidup keenam tersangka perlu disisir. Motif harus ditetapkan. Bukti perlu disusun. Dan baru setelah itu kita dapat menemukan pelaku sesungguhnya." (hlm. 10).

3. Motif

Mohan Kumar: Pensiunan Birokrat
Mohan Kumar mengatasi post power syndrome dengan bergiat sebagai anggota dewan enam perusahaan Vicky Rai dan memelihara wanita simpanan. Pasca menghadiri acara pemanggilan arwah Mahatma Gandhi, ia ditengarai mengidap kepribadian ganda, ada kalanya mengakui dirinya si Bapak Bangsa. Layaknya Gandhi, Mohan bersikap penuh kemuliaan: berpantang seks, berhenti mengonsumsi daging dan alkohol, serta berbusana laksana Mahatma Gandhi. Alhasil, ia menyandang julukan "Gandhi Baba" dan direkomendasikan menerima Nobel Perdamaian. Menanggapi kasus kematian Ruby Gill, Mohan berkata, "Dia adalah muridku yang terhebat. Dia sedang mengerjakan studi doktoral mengenai ajaranku sebelum hidupnya dengan tragis diakhiri terlalu dini." (hlm. 134). Selanjutnya, ia pun menandaskan, "... Aku selalu berpendapat bahwa ketika hanya ada pilihan antara kepengecutan dan kekerasan, aku lebih memilih kekerasan. Jauh lebih baik membunuh seorang pembunuh daripada membiarkannya membunuh lagi. Orang yang sukarela menerima ketidakadilan sama bersalahnya seperti orang yang melakukan ketidakadilan itu."  (hlm.192).

Shabnam Saxena: Aktris Bollywood
"Para pria di India menggolongkan perempuan ke dalam dua kategori―bisa dipakai dan tidak bisa dipakai. Perempuan yang disakralkan adalah ibu dan saudara perempuan mereka. Sisanya adalah hidangan bagi impian mesum dan fantasi mereka saat masturbasi," kata Shabnam Saxena (hlm. 40), si dewi seluloid pengagum Nietzsche. Sebagai wanita asal wilayah terpencil, walaupun tersohor, ia memiliki kebaikan hati. Ia mengundang Ram Dulari, seorang gadis asing berparas cantik ke dalam rumah, dan mengubah si gadis melalui Proyek Cinderella yang digagasnya. Kebaikannya dibalas dengan pengkhianatan yang berpotensi menghancurkan reputasinya. Di tengah problem yang menguras pikiran, adik perempuannya tersandung masalah. Solusinya hanya Vicky Rai. 

Mr. Rick Myers: Produser Hollywood
Bernama asli sama dengan salah satu pencipta Google―Larry Page, operator forklift asal Texas ini bodoh bukan kepalang. Ia datang ke India untuk menikahi sahabat penanya. Sebelum tiba di New Delhi, ia tahu telah ditipu. Ternyata, wanita idamannya telah mengirimkan foto-foto aktris Bolywood paling menggiurkan, Shabnam Saxena, sebagai dirinya. Tongpes, dipecat dari pekerjaan, kehilangan paspor, menggiring Larry dalam pusaran aksi penculikan kelompok teroris Al Qaeda. Kemujuran memihaknya, ia berkesempatan menjumpai Shabnam Saxena, di pesta pembebasan Vicky Rai.

Munna Mobile: Pencuri Ponsel
Meskipun bergelar sarjana, Munna Mobile tidak punya pekerjaan tetap. Mencuri telepon seluler dengan target utama mobil yang berhenti di lampu merah, menjadi pilihannya. Lantaran aksi pencuriannya, ia menemukan sebuah koper berisi uang 75 lakh (±150 miliar rupiah). Uang itu bak katalisator untuk mewujudkan mimpi-mimpi Munna, termasuk cinta kepada gadis cantik bernama Ritu. Nasib sangat suka mempermainkan Munna. Koper itu direbut darinya dan kekasihnya disiksa. "Cinta bisa membuatmu buta, tetapi keputusasaan bisa membuatmu nekat. Kuputuskan untuk membeli pistol," kata Munna (hlm. 268).

Jiba Korwa: Adivasi dari Jarkhand (?)
Eketi memperoleh nama Jiba Korwa dari Ashok Rajput, tanpa tahu konsekuensinya. Pemuda suku Onge―sebuah suku di Andaman Kecil, Teluk Bengali―pergi ke India bersama Ashok untuk mencari relik milik suku yang dicuri. Tanpa relik yang disebut ingetayi itu, suku Onge tidak akan bebas dari musibah, dan siapa pun yang menyimpan ingetayi, dan bukan suku Onge, akan tertimpa malapetaka. Seraya menebar kutukan, ingetayi berpindah tangan hingga meribetkan Eketi. Sempat terpisah dari Ashok, Eketi bergabung kembali dengan si pegawai Depsos pergi ke Mehrauli. Menurut Ashok, yang sebenarnya punya agenda pribadi, ingetayi ada di tangan Vicky Rai.  

Jagannath Rai: Politisi Ambisius
Jagannath Rai tidak pernah puas dengan jabatannya. Ambisi monumentalnya adalah menduduki posisi Menteri Koordinator yang sangat bergengsi. Untuk melancarkan ambisinya, Jagannath tidak pantang menghalalkan segala cara, termasuk memanfaatkan jasa pembunuh bayaran. Yang membuatnya naik pitam, kendala datang dari dalam keluarganya sendiri.  Kendala itu bernama Vicky Rai yang kebebasannya disambut murka publik yang siap menjegal karier politik sang ayah. "Apa kau pernah dengar tentang Ibrahim?" tanya Jagannath kepada pembunuh bayaran-nya. "Setiap Muslim pernah mendengarnya. Dia adalah pria hebat yang siap mengorbankan putranya demi menyenangkan Allah," sahut Mukhtar Ansari (hlm. 313). 

4.  Bukti
Apa sebetulnya yang terjadi pada di sekitar tewasnya Vicky Rai?  Swarup akan mengurainya pada bagian "Bukti" di mana kita menemukan berbagai peristiwa tak terduga. Mohan Kumar akan dipulihkan dari kesurupan. Larry Page akan merasa marah seperti 'pria berkaki satu dalam pertandingan tendang pantat'. Jagannath Rai akan mengambil keputusan penting selaras konsep pengorbanan Ibrahim. Munna Mobile akan menuntaskan kesumatnya. Eketi akan melakukan penebusan dosa, dan Shabnam Saxena akan menegaskan masa depannya. Tapi, siapa yang telah menarik pelatuk dan melepaskan peluru mematikan? Bagian "Bukti" akan memberikan sejumlah kejutan, tapi belum menghadirkan jawaban.

5. Solusi
Di tengah-tengah kegemparan publik, Arun Advani menghamburkan hipotesis dalam kolomnya dan kian memanaskan situasi. Sayangnya, misteri pembunuhan terus bergulir, berbagai fakta saling sengkarut. Ada yang mesti dijadikan korban karena penyidikan terhambat menghasilkan jawaban. Ada yang menangguk keuntungan dari kegerahan situasi. Sesungguhnya, belum ada SOLUSI.

6. Pengakuan
Bagaimanapun, dalam sebuah novel, setiap misteri akan tetap terjawab. Setelah memberikan peluang yang sama bagi setiap karakter untuk mengisahkan perjalanan kehidupan mereka menuju rumah peternakan Vicky Rai, Swarup memutuskan untuk memberikan jawaban. Secara umum, gaya yang ia gunakan mengingatkan pada gaya Agatha Christie ketika menggarap beberapa novelnya. Tapi, tentu saja, Swarup menguasai teknik mutakhir untuk membuat karyanya, dari segi penulisan, menjadi lebih menggairahkan. Keenam tersangka yang dihidupkan secara karikatural diperagakan dengan berbagai cara, termasuk menggunakan pembicaraan telepon dan penulisan catatan harian.

Sang pembunuh berkata, "Epos besar kita mengisahkan kepada kita bahwa, saat kejahatan merajalela, Dewa turun ke bumi untuk memulihkan kebaikan. Dengan segala hormat, itu omong kosong. Tak seorang pun turun dari kahyangan untuk membereskan kekacauan di bumi. Kau harus membersihkan kotoran itu sendiri. Kau harus melepas sepatumu, menggulung celanamu, dan mengarungi got basah berlumpur." (hlm. 651).  Untuk meligitimasi  tindakannya, ia berdalih, "Kuanggap tindakanku sebagai keadilan preventif. Tindakan seorang warga negara yang menerapkan hukum dengan tangannya sendiri ketika tindakan pihak berwenang tidaklah cukup."

Apakah Anda tahu untuk membunuh seseorang Anda butuh tiga hal?  "Motif yang kuat, nyali yang teguh, dan senjata yang bagus," kata si pembunuh (hlm. 655). Swarup menunjukkan bahwa, di India masa kini,  tidaklah sukar mendapatkan ketiganya.

Novel berakhir, kejahatan tidak.  Si pembunuh tahu, pembunuhan bisa menjadi candu (hlm. 659).

Swarup mengindikasikan diri sebagai novelis genial yang piawai meracik tragedi dan komedi kehidupan kontemporer, ke dalam kisah mentereng berlapis yang saat dibaca seakan-akan tengah mengelupas siung bawang. Seks, romansa beda kasta, budaya kekeluargaan, ritual religius, pengontaminasian keadilan, KKN, kriminalitas, ambisi politik, kutukan benda keramat, keglamoran selebritas, dan imbesilitas orang Amerika berkelindan cemerlang dan meriah. Melalui kisah yang bergerak cepat dengan dialog-dialog menggelitik, terjadi pembiakan plot yang pada gilirannya akan membentuk harmonisasi. Menghindar tipikal kisah misteri ―tanpa besutan adegan-adegan detektif guna membekuk si pembunuh― di penghujung novel,  motif dan aksi si pembunuh akan menggugat nurani kita. Menakjubkan ketika mengetahui, si korban memiliki agenda spesial pada saat dibunuh.

Selama membaca novel ini, selera humor kita akan diporot oleh keimbesilan Larry Page. Saking idiot, Larry tidak tahu kediaman presiden negaranya, tidak bisa menyanyikan "The Star-Spangled Banner" bahkan mengira lagu itu ditulis Stevie Wonder. Banyak kalimatnya yang 'kurang waras'.  Sebagai contoh: Aku rela berjalan melewati neraka dengan pakaian dalam anti-api demi dirimu/ Hidup ini bagaikan roti isi tahi―semakin banyak roti yang kaumiliki, semakin sedikit kotoran yang harus kau makan/ Pengetahuanku tentang internet tidak lebih dari pengetahuan babi tentang cara main piano/ Kau bisa memasukkan sepatu botmu ke oven, tapi itu tidak menjadikannya biskuit/ Kau membuatku lebih bahagia daripada babi yang disinari matahari. Masih ada lagi, tapi sudah cukuplah untuk memberi gambaran kalau pengarang suka mengolok-olok orang Amerika.

Kasus pembunuhan yang menggulingkan Vicky Rai dalam pertempuran opini publik didasarkan pada pembunuhan Jessica Lall, model India, di sebuah bar di New Delhi, 29 April 1999. Manu Sharma, 24 tahun, putra Venod Sharma, seorang politisi kaya,  melepaskan dua peluru; salah satunya fatal.  Selain untuk kasus pembunuhan Ruby Gill, kisah dua peluru ini juga akan mewarnai pembunuhan Vicky Rai.

Kendati mengaku sulit menulis buku ini, Vikas Swarup tetap bisa menuntaskan pada waktu senggang di tengah-tengah pekerjaannya sebagai diplomat di Afrika Selatan (2006-2009). Keuletannya berbuah manis, karena buku ini menjadi salah satu karya pengarang India modern yang laik dibaca. Bukan sekadar karena cerita dan gaya penulisan yang mengesankan, tapi juga karena seting yang memberikan pengetahuan realita kehidupan India masa kini bagi pembaca.


Catatan: Tulisan ini ditulis seperti pembagian cerita dalam buku

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan