12 February 2012

Have a Little Faith

Judul Buku: Have a Little Faith
Pengarang: Mitch Albom (2009)
Penerjemah: Rani R. Moediarta
Tebal: 270 hlm; 13,5  x 20 cm
Cetakan: 1, November 2009
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



"Ini kisah tentang keyakinan terhadap sesuatu dan dua orang yang sangat berbeda yang mengajariku tentang cara beriman," demikian tulis Mitch Albom di halaman kedua dari bukunya yang bertajuk Have a Little Faith. "Penulisannya membuatku mendatangi gereja dan sinagoga daerah pinggiran dan kota, dan membawaku ke konsep 'kita' versus 'mereka' yang memecah-belah keyakinan di seluruh dunia."



Albert Lewis adalah seorang rabi tua dari Temple Beth Sholom di pinggiran New Jersey, sedangkan Henry Covington adalah pastor Afro-Amerika dari Gereja I Am My Brother's Keeper, di Trumbull, Detroit. Bagi Albom, mereka berdua adalah Manusia Pilihan Tuhan. Mereka hidup di antara kesementaraan bumi dan keabadian langit; Tuhan di atas sana, kita di bawah sini, dan keduanya berada di antaranya (hlm. 37).

Albert yang dipanggil Reb –panggilan kehormatan dalam bahasa Ibrani- dan Henry yang oleh jemaatnya disapa Rebbey Reb tidak saling kenal. Tetapi, Mitch menemukan ada persamaan di antara mereka. Baik Reb maupun Henry senang menyanyi, menyampaikan khotbah yang hebat, sepanjang karier menjadi gembala satu jemaat, memiliki satu istri dan anak-anak yang terdiri dari satu putra dan dua putri. Mereka juga sama-sama pernah merasakan kehilangan satu orang anak. Dan di dalam perjalanan pelayanan mereka, keduanya telah merasakan berkhotbah di gedung ibadat yang atapnya rontok. Bedanya, jemaat Reb banyak menyumbang untuk perbaikan sedangkan jemaat Reb tidak punya uang untuk disumbangkan. 

Mitch telah mengenal Reb sepanjang hidupnya. Reb adalah rabi Yahudi di sinagoga yang dijadikan tempat beribadat oleh keluarga Mitch. Henry baru dikenal Mitch ketika ia dewasa, menikah, dan tinggal di Detroit.

Sebelum bertemu kedua Manusia Pilihan Tuhan itu, menurut pengakuan Mitch, ia telah terseret, menyimpang dari jalan yang telah dibentuk sejak masa kanak-kanaknya. Mitch belajar di sekolah agama Yahudi; ia telah melalui upaca bar mitzvah; melafalkan Taurat; belajar Kitab Keluaran, Ulangan, Raja-Raja, dan Amsal dalam bahasa asli; belajar bahasa Aram kuno untuk menerjemahkan ulasan-ulasan Kitab Talmud. Ia bahkan tergabung dalam kelompok pemuda sinagoga. Tetapi, setelah bekerja sebagai jurnalis, ia berubah apatis. Keadaan yang baik-baik saja, sehat, menghasilkan uang membuatnya merasa tidak mesti pergi ke sinagoga lagi. Ia mengencani perempuan dari berbagai keyakinan, kemudian menikahi perempuan Arab beragama Kristen.

Seolah-olah sudah ditakdirkan, kehidupan Mitch bersinggungan kembali dengan Albert Lewis. Lelaki tua ini mendatanginya di sebuah acara dan mencetuskan pertanyaan aneh, "Maukah kau menyampaikan eulogi terakhir untukku?" Padahal si Rabi tidak sedang sekarat dan tidak sakit pula. Hari kematiannya masih jauh di waktu yang akan datang. Mitch sepakat; ia hanya membutuhkan sejumlah pertemuan untuk lebih mengenal kehidupan pribadi Reb. Tidak disangkanya, pertemuan-pertemuan itu akan berlangsung selama delapan tahun sebelum ia memastikan menulis eulogi untuk orang yang berangsur-angsur disayanginya.

Dalam pertemuan-pertemuannya dengan Reb, sembari menikmati kisah kehidupannya, Mitch merasakan kebangkitan sesuatu yang telah lama mati suri dalam dirinya. Reb membuatnya belajar mengenai dirinya sendiri, orang lain dan –terutama- Tuhan. Maka, ketika kita melembari halaman-halaman buku ini kita akan menemukan pembahasan menarik mengenai eksistensi Tuhan dan ketidaktahuan akan kehendak Tuhan atas hal-hal buruk yang terjadi dalam hidup orang-orang baik; perang agama yang tanpa henti gara-gara konsep 'kita' versus 'mereka'; kebahagiaan manusia; kematian kedua; cinta sejati; lembaga perkawinan yang nyaris punah; rahasia perkawinan yang berhasil; komposisi perbedaan agama yang menciptakan musik; pengampunan; fitrah manusia, bahkan kehidupan setelah mati.

Di dalam hidupnya Reb tidak pernah menyerang agama lain atau memburukkan ketaatan orang lain, walaupun secara diam-diam. "Aku tahu apa yang kuyakini. Itu ada di dalam jiwaku. Namun, aku terus-menerus mengatakan kepada orang-orang itu: kalian harus yakin dengan keautentikan yang kalian miliki, tetapi kalian juga harus cukup berendah hati bahwa kita tidak tahu segalanya, kita harus menerima bahwa orang lain mungkin meyakini hal lain." (hlm. 169). Ia juga percaya ada kebaikan dalam diri manusia. Untuk pertanyaan 'mengapa kita melakukan banyak sekali kejahatan?' Reb menjawab,  "Karena satu hal yang diberikan Tuhan kepada kita –dan aku takut kadang-kadang itu terlalu banyak- yakni kehendak bebas. Kebebasan untuk memilih. Aku percaya bahwa Tuhan memberi kita apa saja yang diperlukan untuk membangun dunia yang indah, jika kita memilih dengan arif. Tetapi, kita juga dapat memilih secara keliru. Dan kita bisa menimbulkan sesuatu yang buruk." (hlm. 207).

Reb juga mengatakan bahwa: "Memiliki lebih banyak tidak menghentikan kita untuk menginginkan lebih banyak" (hlm. 108). Lalu ia bercerita, "Ketika bayi lahir ke dunia tangannya mengepal. Karena bayi, belum mengetahui mana yang lebih baik, ingin menggenggam apa pun untuk mengatakan, "Seluruh dunia ini milikku." Lalu ketika seseorang yang sudah tua meninggal, bagaimana ia mati? Dengan tangan terbuka. Mengapa? Karena ia telah mendapatkan pelajaran itu. Kita tidak dapat membawa serta apa pun."

Apa yang dituturkan Reb kerap filosofis, tetapi tidak membosankan untuk dibaca. Ia juga memiliki sejumlah koleksi cerita yang selalu berpotensi menciptakan suasana riang ketika disampaikan dalam khotbah ataupun dalam percakapan sehari-hari. Kita akan menemukan pertanyaan seorang anak kecil dalam sebuah kelas mengenai keberadaan tanduk orang Yahudi (hlm. 73); permohonan seorang pendeta gereja Episkopal kepada jemaat Reb untuk membantu pemimpin mereka menerima Yesus sebagai penyelamat agar –katanya- tidak masuk neraka (hlm. 74); kemarahan seorang pastor Katolik yang merasa wilayahnya dijarah pada hari raya Yahudi High Holiday (hlm. 75). Kita juga akan menemukan kisah seorang dokter ateis yang saudara lelakinya meninggal. "Saya iri pada Anda, " kata si dokter. "Karena, kalau Anda kehilangan seseorang yang Anda cintai, Anda bisa mengutuk Tuhan. Anda bisa berteriak. Anda bisa menyalahkan-Nya. Anda bisa menuntut untuk mengetahui mengapa. Namun, saya tidak percaya pada Tuhan. Siapa yang dapat saya salahkan?" (hlm. 88). Atau bagi yang pernah membaca Kitab Kejadian (Kejadian 5: 5), tahukah Anda mengapa Adam mati pada umur 930 tahun? (baca hlm 193-194).

Di sela perjalanannya menemui Reb, kehidupan Mitch bersinggungan dengan Henry Covington. Saat itu Mitch sedang menulis tentang misi bantuan Kristen di sebuah rumah penampungan di Detroit. Pengalamannya di sana mencetuskan ide untuk mendirikan badan amal bagi para tunawisma. Gereja I Am My Brother's Keeper di Trumbull yang merawat para tunawisma beberapa malam dalam seminggu menjadi salah satu target bantuan. Di gereja yang telah melapuk dengan atap bocor itu, Mitch mengenal Henry.

Dari perbincangan dengan Henry, Mitch mengetahui bahwa menjadi pastor sesungguhnya bukanlah cita-cita Henry. Ibunyalah yang berkhayal bahwa suatu hari anaknya akan menjadi pengkhotbah. Kendati telah menjadi Kristen, menerima Yesus Kristus sebagai penyelamatnya pada usia muda, ia sama sekali tidak saleh. Berbagai tindakan nista telah ia lakukan seputar pencurian dan perampokan bersenjata. Ia tidak pernah tertangkap sampai dijebak melakukan pembunuhan keji dan harus mendekam di penjara selama tujuh tahun. Sekeluarnya dari penjara, ia menjadi pengedar narkoba sekaligus sebagai pecandu. Pada usia 30 tahun ia nyaris kehilangan segalanya, termasuk nyawanya. Ia merampok bandar narkoba yang suatu malam menyatroni rumahnya untuk menghabisi nyawanya. Dalam kondisi terjepit ia bertanya, "Apakah Engkau akan menyelamatkanku, Yesus? Kalau aku berjanji untuk menyerahkan diri kepada-Mu, apakah Engkau menyelamatkan aku malam ini?" Ajaibnya, ia memang diselamatkan. Pada Hari Minggu Paskah setelah malam mencekam itu, Henry memutuskan benar-benar menjadi ciptaan baru dan mengikuti sang Juruselamat.

Awalnya Mitch merasa skeptis dengan mantan penjahat yang menjadi pastor. Namun, setelah lebih mengenal Henry ia menyadari pastor ini tidak termasuk dalam deretan pemimpin agama yang terjebak kemunafikan religius. Henry yang merasa pantas masuk neraka telah memutuskan untuk bekerja dengan dan untuk orang-orang miskin. Ia tidak menerima gaji atau memungut iuran, ia tidak mengambil keuntungan dari jemaat yang memang tidak punya apa-apa. Ia sudah merasa cukup dan bersyukur karena keajaiban dalam hidupnya: Yesus telah mendaur ulang hidupnya yang laksana sampah dan memberikannya metamorfosis yang indah sebagaimana yang tergambar dalam lagu Amazing Grace karya John Newton. Menolong orang-orang yang kehidupannya juga seperti sampah untuk berjumpa dengan Tuhan menjadi ganjaran bagi kebobrokan masa lalunya. Hidupnya sepenuhnya hanya tergantung pada belas kasihan Tuhan. Maka, sekalipun bangunan gereja berada dalam kondisi tidak layak, ia tetap mengajak jemaatnya untuk berserah kepada Tuhan.

Keluhuran budi yang tumbuh dari tunggul masa lalu yang hitam ini menyentuh hati Mitch. Ia bertekad menggoncang pohon kemurahan yang masih ada di dunia ini dengan menulis tentang gereja dan jemaatnya pastor Henry. Ketika salah satu anggota jemaat mengucapkan terima kasih untuk apa yang telah ia lakukan, Mitch menulis, "Aku tidak tahu apakah ucapan terima kasih seperti yang ia ucapkan itu akan pernah kuterima lagi" (hlm. 242).

Have a Little Faith (Sadarlah) adalah buku keenam yang telah diterbitkan Mitch Albom, seorang jurnalis yang juga menulis naskah drama dan skenario film. Sebelumnya di Indonesia, ia telah dikenal dengan memoar bertajuk Tuesdays with Morrie dan dua novel laris berjudul The Five People You Meet in Heaven dan For One More Day.  Sekarang ia menetap di Michigan dan terlibat dalam tiga badan amal. Sepersepuluh keuntungan penjualan Have a Little Faith disumbangkan ke badan amal termasuk gereja, sinagoga, dan penampungan tunawisma yang diceritakan di dalam buku ini.

Seperti yang tercantum di sampul muka, buku yang ditulis dengan gaya novel ini adalah sebuah kisah nyata. Albert Lewis dan Henry Covington memang benar-benar ada. Buku ini ditulis berdasarkan percakapan dan pengalaman Mitch Albom bersama mereka yang dirangkai dengan cerita keluarga atau sahabat kedua gembala itu. Seperti yang ditulis dalam buku, Albert Lewis telah meninggal pada usia 90 tahun. Dengan menulis buku ini, Mitch Albom tidak bermaksud memberikan pedoman mengenai cara-cara menjalankan keyakinan tertentu, tetapi berharap pembaca –dari keyakinan apa pun- bisa menemukan sesuatu yang universal di dalamnya.

Mitch Albom menulis dengan penuh semangat –sesekali meningkahi kisah Reb dan Henry dengan kutipan khotbah Reb- yang hasilnya sedap dibaca, menerapkan ekonomi kata-kata, menggelontor segenap sihir kata-kata yang mampu membujuk kue keluar dari stoplesnya. Teknik penulisan yang digunakannya menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru dalam menyajikan karya berbentuk memoar berikutnya. Ia berhasil karena di tangannya kisah nyata tersaji anggun sebagai bacaan yang lembut tetapi menggoncangkan dan menyenangkan hati.

Bersama Mitch, pembaca bisa mempelajari kehidupan dalam skala yang luas, terutama kehidupan dengan keyakinan yang tidak tunggal. Betapa toleransi penting dan kemerdekaan memeluk keyakinan tertentu adalah hak prerogatif seseorang. Di sini juga pembaca yang mungkin sedang kehilangan iman boleh belajar eksistensi Tuhan untuk menemukan kembali imannya. Setidaknya, "Jauh lebih menyenangkan merasa bahwa Tuhan mendengarkanmu dan mengatakan tidak, ketimbang merasa tak ada siapa pun yang mendengarkannya," kata Reb (hlm. 88). Lalu kita semua akan tiba pada hakikat keberadaan kita di dunia ini seperti yang diyakini Reb: untuk berbagi dengan sesama, untuk memuja Tuhan, dan untuk menikmati dan menghargai dunia di mana ia ditempatkan (hlm. 107). Sungguh sangat indah!

Edisi Indonesia buku yang latar waktunya terjadi dalam rentang waktu delapan tahun ini sama sekali tidak mengecewakan. Terjemahannya keren walau masih ada bagian yang mengganggu. Ada baiknya semua nama Alkitab yang  dimasukkan Mitch Albom dalam buku dialihkan ke dalam bahasa kita. Tidak hanya Daud, Musa, Yesaya, Yunus atau Elia, tetapi juga Bileam (Balaam, hlm. 39), Esther (Ester), dan Mordechi (Mordekhai) (hlm. 174). Kemudian ada terjemahan yang agaknya meleset –kecuali kalau Mitch Albom yang keliru. "Yakub dengan angin puting beliung. " (hlm. 39) dan "Ia membukanya tepat pada halaman Kitab Yakub, yang mengisahkan saat Yakub mengutuk hari kelahirannya."(hlm. 66). Yang dimaksud pengarang pasti Ayub (Job) dan bukan Yakub (Jacob).

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan