Judul Buku : Maryamah Karpov (Mimpi-mimpi Lintang)
Penulis: Andrea Hirata
Penyunting: Imam Risdiyanto
Tebal: xii + 504 hlm; 20,5 cm
Penulis: Andrea Hirata
Penyunting: Imam Risdiyanto
Tebal: xii + 504 hlm; 20,5 cm
Cetakan: 1, November 2008
Penerbit: Bentang
Penerbit: Bentang
Perjuangan Cinta Lelaki Berwajah Dangdut
Dalam tulisan Andrea Hirata : Out of the Blue (Diphie Kuron, Edensor, hlm. 287), disebutkan jika Maryamah Karpov, buku keempat dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata "berkisah tentang perempuan dari satu sudut yang amat jarang diekspos penulis Indonesia dewasa ini". Pernyataan ini menciptakan sejumlah dugaan dalam benak saya ihwal isi novel pamungkas karya penulis kelahiran Belitong ini. Dengan judul Maryamah Karpov berilustrasi seorang perempuan sedang bermain biola pada sampul yang sudah diperkenalkan jauh sebelum novel terbit, saya menduga buku keempat ini akan berkisah tentang seorang perempuan Belitong yang sukses mendunia karena kepiawaiannya memainkan dawai biola. Ternyata saya keliru. Tidak ada permainan biola kelas internasional seperti Vanessa Mae atau Lucia Micarelli (yang sering tampil dalam konser Josh Groban). Bahkan, tidak ada kisah tentang Maryamah Karpov selain sekedar disinggung sedikit saja. Apa yang ditulis Diphie Kuron juga tidak ada gaungnya dalam novel ini.
Tetapi
baiklah, saya akan menulis garis besar novel ini. Ada 73 mozaik yang
menjadi isi buku. Katanya, Andrea menggunakan istilah mozaik (dan bukan
'bab' sebagaimana novel pertama) dengan alasan "ternyata perjalanan nasib seseorang tak ubahnya seperti ekstrapolasi potongan-potongan mozaik"
(Sang Pemimpi : 276). Tujuh puluh tiga mozaik itu menjadi dua bagian
yang diantarai judul "Seminggu Berselang" (yang sesungguhnya tidak
perlu mengingat novel ini menggunakan alur kilas balik). Penulis
mengawali novelnya dengan kisah kenaikan pangkat sang ayah sebagai kuli
Maskapai Timah yang dibatalkan. Oleh Orang Melayu Dalam peristiwa ini
disebut sebagai 'cobaan nan tak tertanggungkan'. Apa yang dialami sang
ayah, kemudian, disejajarkan Ikal dengan apa yang ia alami
bertahun-tahun kemudian. Boleh dibilang, bagian ini merupakan prolog
dari novel ini.
Setelah
kenangan akan peristiwa naik pangkat dan sebuah ruang pucat, Ikal
menerawang ke masa-masa sebelumnya. Ia lulus kuliah dari sebuah
universitas bergengsi di Eropa, Sorbonne (tadinya saya kira Ikal lulus
di Inggris karena dalam buku ketiga Edensor, disebutkan Ikal ikut exchange program
di Sheffield Hallam University karena Profesor Turnbull, supervisor
tesis Ikal pensiun dan pulang kampung, tetapi ternyata si prof muncul
juga di ruang ujian tesis Ikal di Sorbonne). Tanpa pekerjaan yang
pasti, Ikal , si wajah dangdut, kembali ke Belitong dengan perasaan
rindu dan masih setia memikirkan A Ling, cinta pertamanya. Bersamaan
dengan kedatangan Ikal, kampung Ikal mendapatkan seorang dokter gigi,
Budi Ardiaz. Budi Ardiaz datang untuk menyilih tata cara perdukunan
gigi yang sampai saat itu dipegang teguh masyarakat Belitong di kampung
Ikal.
Untuk
membuat kehadiran Budi Ardiaz dalam novel bermakna, Ikal pun
menderita sakit gigi. Ikal, yang lulusan luar negeri, ternyata tidak
mau menjadi pasien dokter gigi yang berkalung stetoskop (hlm. 462) ini
gara-gara trauma masa kecil yang tidak ada hubungannya dengan dokter
gigi. Di tengah-tengah upaya Ketua Karmun, kepala kampung, untuk
mendorong Ikal berobat ke klinik gigi, mendadak ditemukan mayat-mayat
di perairan Belitong. Salah satu mayat, seorang lelaki dengan tato
kupu-kupu, tato yang sama dengan yang dimiliki A Ling. Setelah
ditelusuri, diduga mereka adalah korban perompak penguasa Kepulauan
Batuan. Korban-korban tersebut adalah para pelintas batas yang hendak
menyeberang ke Singapura.
Maka,
Ikal bertekad mencari A Ling. Ia yakin, seperti mayat berajah itu,
perempuan kecintaanya yang pernah dilacaknya hingga Siberia berada di
Kepulauan Batuan (Apakah A Ling, yang dalam buku pertama, disebutkan
pergi ke Jakarta untuk tinggal dengan bibinya yang hidup sendiri dan
sekolah di sana kembali ke Belitong? Mungkin). Tetapi, untuk menjejak
Batuan, mau tidak mau Ikal mesti berhadapan dengan pemimpin perompak
penguasa Kepulauan Batuan, Tambok. Salah-salah, ia jadi mayat terapung
seperti yang lain. Untuk itu, ia harus terlebih dahulu minta bantuan
Tuk Bayan Tula, penguasa Selat Karimata dan Dayang Kaw, ketua tertinggi
kaum lanun (bajak laut). Mereka bisa menjadi perantara Ikal bertemu
Tambok.
Tidak
ada pelaut dan pemilik perahu yang mau menolong Ikal mencapai
Kepulauan Batuan. Padahal Ikal butuh perahu dan ia tidak cukup berduit
untuk bisa membeli perahu. Jalan satu-satunya adalah membuat perahu
sendiri. Teman-temannya tidak tinggal diam, terutama Lintang dan Mahar.
Mereka membantu Ikal memberi gagasan untuk pembuatan perahu. Hingga
akhirnya, seperti Nabi Nuh, setelah melewati berbagai kesulitan dari
hinaan-hinaan dari pihak tertentu, jadilah perahu Ikal yang diberi nama
Mimpi-mimpi Lintang, untuk menghormati sang sahabat.
Lalu, dimulailah perjalanan Mimpi-mimpi Lintang menuju
Kepulauan Batuan. Perjalanan yang tidak gampang karena alam tidak
segera bersepakat mempermulus upaya Ikal. Selain itu perjalanan ini
dibayang-bayangi ketakutan akan para bajak laut yang bisa dengan mudah
merenggut nyawa Ikal dan tiga rekan perjalanannya: Mahar, Kalimut, dan
Chung Fa.
Apakah
Ikal bisa menjejak Kepulauan Batuan? Lantas, benarkah A Ling ada di
sana? Pertanyaan-pertanyaan ini, tentu saja, akan terjawab dengan
membaca tuntas seluruh novel ini.
Seperti
novel yang lain, Andrea menunjukkan kemampuannya mengolah kalimat.
Banyak rangkaian kalimat yang dipadu dengan indah sehingga sedap
dibaca. Cara Andrea menuangkan panorama alam ke dalam tulisan juga
terasa sangat imajinatif. Hanya, tentu saja, pernyataan "kita akan merasakan betapa setiap kalimat yang diciptakan memiliki kekuatannya sendiri" (sampul belakang) terlalu berlebihan.
Andrea
masih menjual kisah-kisah mengharukan dalam novel ini. Mungkin, kisah
sejenis adalah kekuatannya dan sering kali memang menyentuh hati
pembaca. Namun, kian lama membaca, kian terasa berlebihan. Banyak
kebiasaan masyarakat Belitong yang diangkatnya ke permukaan dengan
kesan mengejek diri sendiri yang kentara, bermaksud menciptakan
kelucuan, yang sayangnya terasa konyol. Pemberian julukan yang antara
lain disebabkan pengalaman yang punya nama menjadi upaya melucu yang
tidak enak dibaca karena terkesan tidak edukatif (mengingat tetralogi
ini sering dikait-kaitkan dengan dunia pendidikan). Ikal, memang
julukan yang tidak cukup memalukan bagi Andrea. Tetapi kalau Andrea
Pembual? Ah, sungguh tidak enak didengar. Kalau Anda bertanya mengapa
saya sebut Pembual, Anda bisa menemukan tradisi membual Orang Melayu
Dalam (Andrea tentu saja termasuk di dalamnya) yang imajinatif (Mozaik
22 : Juru Muda Pompa). Pada banyak hal yang dibeberkan (seperti
kebiasaan tertentu masyarakat Belitong, taruhan bola pingpong A Ngong
dan A Tong, seluk beluk pembuatan perahu dan kecerdasan ilmu perahu
Lintang serta permainan biola Ikal) , memang aroma membual terasa cukup
menyengat. Andrea bak malihrupa Zainul "Helikopter" Arifin.
Setelah
sebelumnya menghasilkan 3 novel, Andrea masih termasuk penulis yang
kurang cermat. Imam Risdiyanto, yang telah menyunting novel Andrea
sejak buku kedua, Sang Pemimpi
(buku pertama disunting oleh Suhindrati A. Shinta) juga masih kurang
berdaya menghadirkan novel Andrea dengan suntingan yang amboi. Tugas
seorang penyunting seharusnya tidak hanya menyiangi kalimat-kalimat
yang dirangkai sang penulis, tetapi juga mempertimbangkan kelogisan dan
konsistensi cerita. Yang bikin saya heran, pada halaman 258 (baik
penulis maupun editor) bisa lalai hanya pada 1 (satu) halaman dan 2
(dua) alinea berturutan. Mana mungkin tinggi badan Harun, Ikal, dan
Syahdan di kelas 3 SMP lebih pendek dari saat mereka kelas 2? Konyol
kan?
Mengenai teman-temannya anggota Laskar Pelangi di halaman 268 (Mozaik 43: Rencana-rencana C), Andrea Ikal menulis: "Ajaib,
mereka tak pernah ke mana-mana, tak pernah meninggalkan sudut bumi di
pulau terpencil ini, tapi menemukan semua yang mereka cari". Sebuah inkonsistensi lagi. Sebab, dalam Laskar Pelangi (hlm. 492), disebutkan, Ikal, Syahdan, dan Kucai pergi ke Jawa (dalam Sang Pemimpi terjadi inkonsistensi juga, dikisahkan (hanya) Ikal dan Arai yang pergi ke Jawa). Dalam Laskar Pelangi
(Bab 32: Agnostik) juga dikisahkan Syahdan pergi ke Jakarta selepas
SMA. Ia pernah menjadi aktor figuran, kemudian berpindah profesi ke
bidang komputer dan bekerja di Tangerang (jadi, ia bukan tak pernah ke
mana-mana kan? Malah aneh sekali kalau mendadak ia meninggalkan
pekerjaan dan hadir memberi dukungan moril). Masih tentang Syahdan.
Dalam Maryamah Karpov ini, Syahdan mendadak muncul di hadapan Ikal. Disebutkan 1 kali dalam mozaik 40 (Perahu Asteroid), ditulis 3 kali dalam deskripsi pada mozaik 41 (Tiang Keramat) dan tidak pernah disebutkan lagi, bahkan pada mozaik 43 (Rencana-rencana C) ketika dengan singkat Ikal membahas teman-temannya. Sungguh janggal!
Novel ini juga masih memunculkan nama A Kiong. Padahal dalam Laskar Pelangi A Kiong telah memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman dan disebutkan jika "A Kiong tinggal sejarah, bagian dari sebuah masa lalu yan gelap" (Laskar Pelangi : 465). Masih soal A Kiong. Dalam Laskar Pelangi
(hlm. 466) disebutkan jika ia menikah dengan Sahara, punya anak lima
dan toko kelontong tempat sahabatnya, Samson, bekerja sebagai kuli.
Tetapi, dalam novel keempat ini, A Kiong sama sekali bukan suami
Sahara. A Kiong (hlm. 266) disebutkan membuka warung kopi di pasar ikan
dan Sahara (hlm. 267) telah mapan, bahagia dengan suami dan anak-anak.
Yang bukan A Kiong (meski tidak disebutkan namanya).
Tentang
Mahar juga. Dia sekarang adalah dukun kepada siapa A Kiong mengabdi.
Sungguh menggelikan jika mengenang (baca: membaca) perjalanan hidup
Mahar dalam buku pertama. Mahar dalam Laskar Pelangi
adalah seorang pengajar, penulis artikel kebudayaan, organisator
berbagai kegiatan budaya, pelatih beruk pemetik kelapa, kemudian
novelis yang membuat Syahdan cuti kerja, meninggalkan Bandung (bukan
Tangerang) dan pulang ke Belitong untuk menjadi panelis pada peluncuran
novel Mahar. Eh, kok dalam buku keempat ini Mahar malah jadi dukun,
pengagum setia Tuk Bayan Tula pula. Apa kata dunia? Bagaimana ini, Kak
Andrea? Katamu dalam Sang Pemimpi
kamu menulis memoar? (Sang Pemimpi: 275) Bagaimana mungkin memoarmu
tidak konsisten? Mungkin, seperti katamu (Sang Pemimpi: 273), kau "bukan
Truman Capote yang mampu melihat intelegensia pada setiap gelembung
peristiwa lalu menulis dengan presisi yang mengagumkan".
Judul novel yang tidak mencerminkan isi novel patut dipertanyakan, Kawan. Kenapa harus diberi tajuk Maryamah Karpov? Judul ini memang telah dimunculkan sejak buku kedua, Sang Pemimpi.
Dalam "Ucapan Terima Kasih", Andrea menyinggung Maryamah Karpov
sebagai novel terakhir yang membahas 'tentang penghormatan kepada kaum
perempuan' (Sang Pemimpi: 277). Tetapi setelah saya kelar
mengais-ngais isi buku ini, saya tidak menemukan 'penghormatan' yang
dimaksud. Andrea sekadar menyentil sedikit Mak Cik Maryamah yang sering
mengajari orang langkah-langkah catur Karpov di warung kopi (hlm.
240). Mungkin, kadung sudah diumumkan judul buku keempat, padahal
ceritanya belum usai ditulis, maka judul ini tetap dipertahankan dan
diberi sub judul Mimpi-mimpi Lintang. Apa hubungannya Maryamah Karpov dengan Mimpi-mimpi Lintang? Tidak ada! Dan terus terang, sub judulnya lebih tepat dibanding judulnya!
Akhirnya,
menurut saya, dengan novel pamungkas ini, tetralogi Laskar Pelangi
tidak hanya menjual keberanian bermimpi untuk meraih cita-cita
akademis, tetapi juga keberanian untuk memperjuangkan orang yang
dicintai. Hanya, akankah cinta Ikal kepada A Ling dikukuhkan dalam
ikatan pernikahan seperti cinta Arai kepada Zakiah Nurmala? Ekspresi
ayah Ikal yang akan memutuskan.
0 comments:
Post a Comment