Pengarang: Windry Ramadhina
Tebal: vi + 290 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2008
Penerbit: GagasMedia
Di dalam hubungan percintaan, terkadang para pelakunya diperhadapkan pada situasi yang mengharuskan mereka memilih dan melepaskan. Sebabnya bisa beragam, tetapi selalu pelik. Memberi kesempatan lelaki yang ia cintai untuk memilih dan melepaskan menjadi tantangan yang mesti dihadapi seorang pecinta bernama Faye.
Tanpa
mengenal Diyan Adnan sebelumnya, mendadak Faye –Fayrani Muid-
dijodohkan dengan CEO perusahaan keluarga yang mendominasi industri
properti dan jasa distribusi di Indonesia itu. Faye bukanlah Cinderella
–perempuan miskin yang disunting pangeran tampan kaya raya. Ia adalah
putri semata wayang keluarga Muid -Ahmad dan Meilanie Muid, konglomerat
yang memiliki begitu banyak hak waralaba asing dan bisnis perhotelan.
Sebenarnya, tanpa bekerja, Faye bisa hidup nyaman tanpa memikirkan
bagaimana cara mengais uang. Namun, dunia fotografi memanggilnya, ia
mencintai dunia ini, sehingga bukannya meneruskan bisnis keluarga, Faye
bekerja sebagai fotografer junior di studio milik Erod Martin.
Kemandiriannya dipertegas dengan meninggalkan rumah keluarga yang mahal
di Pondok Indah lalu tinggal di sebuah apartemen.
Dijodohkan
dengan Diyan –sulung dari dua putra Tyo dan Indra Adnan, yang memilih
menggeluti bisnis keluarga, menjadi pilihan, tidak hanya untuk
mempererat pertemanan kedua keluarga, tetapi juga agar ada yang bisa
meneruskan bisnis keluarga Muid. Diyan adalah seorang laki-laki muda
yang penuh ambisi, hidupnya dibangun oleh kerja keras dan pengejaran
akan prestasi. Benar-benar calon menantu yang tepat bagi keluarga Muid.
Seolah-olah
menikahi perempuan yang tidak ia cintai bukan hal yang krusial, Diyan
menerima permintaan perjodohan dari orangtuanya dan menyatakan akan
menikahi Faye. Setelah beberapa kali pertemuan,
mereka pun bertunangan. Tidak bisa disangkal, pesona Diyan –ketampanan
dan ciumannya- berhasil merampas perhatian dan cinta Faye. Sekalipun
pada malam pertunangan mereka, Diyan meninggalkan Faye untuk bertemu
Rera, mantan kekasih yang datang ke Jakarta dalam rangka tur Asia salah
satu produk kecantikan yang menjadikannya spokeperson. (Untuk
diketahui, Rera menghubungi Diyan menggunakan ponsel dengan nomor yang
terus aktif sampai setahun setelah ia tinggalkan di Jakarta).
Rera adalah model berdarah Indonesia-Prancis. Luar biasa cantik, putih dan bersih, selalu beraroma mawar dan chypre.
Tahun sebelumnya, Rera telah menolak tawaran pernikahan Diyan. Bagi
Rera, terkadang cinta saja tidak cukup. Mereka sama-sama memiliki
ambisi yang besar –Rera sebagai model yang ingin memiliki agensi
sendiri dan Diyan sebagai pengusaha yang terobsesi prestasi, dan inilah
yang menjadi penyebab perpisahan mereka, setelah menjalin hubungan
lebih dari tiga tahun. "Kau tidak bisa bersama Diyan dengan ambisi yang besar," kata Rera (hlm. 194).
Faye
memang tidak bisa disandingkan dengan Rera dalam hal kemolekan ragawi
dan penampilan eksternal. Kendati tidak pernah kekurangan uang, Faye
selalu berpenampilan seadanya. Ia tidak bersolek untuk menonjolkan
kecantikannya, ia tidak mengenal Jimmy Cho, tubuhnya kerap beraroma
cairan developer, penampilan kesehariannya adalah mengenakan kaus,
celana jeans, dan rambut dikuncir kuda. Sedangkan Rera, terbiasa
mewakili dunia yang digumulinya, mengedepankan kecantikan yang terawat
dan mahal. Namun, segemilang apa pun penampilan Rera, hal itu tidak bisa
meminderkan Faye. Pengetahuan Rera akan apa yang disukai Diyan lah
yang menohok perasaan Faye. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Diyan
–misalnya- lebih suka espresso, dan dari Lavazza, ketimbang black coffee.
Kenyataan ini menerbitkan satu keputusan terpenting dalam hidup Faye.
Ia harus memberikan kesempatan kepada Diyan untuk memilih. Meskipun
untuk itu, ia harus mempertaruhkan cintanya.
Siapa
yang akan dilepaskan Diyan? Rera, yang selalu ia cintai –kendati tidak
disukai ibunya karena pekerjaannya sebagai model- atau Faye, yang
selalu menghadirkan kejutan dalam hidupnya?
Di
tengah-tengah kegalauan perasaan Diyan, Zaki Adnan, adik kandung
Diyan, meningkah. Zaki berhubungan dengan Faye untuk kepentingan bisnis
advertising yang dikelola bersama teman-temannya.
Lulus dari Delft –bermodalkan beasiswa dan bukan dana keluarga, Zaki
yang kerap idealis dan bertipe pemberontak tidak berkenan berkecimpung
dalam bisnis keluarga. Ia meninggalkan rumah keluarganya yang megah di
Menteng, tinggal di tempat kos yang sempit, dan membiarkan hubungannya
dengan keluarga terus memburuk. Sikap Faye yang spontan, energik, dan
ekspresif membuat Zaki tidak bisa menghalau cinta yang berkembang di
dalam hatinya.
Orange adalah novel perdana Windry Ramadhina, penulis yang berprofesi sebagai arsitek, yang mulai menulis di komunitas penulis online. Judul novel merefleksikan kehidupan yang mesti dilalui para tokoh novel. "Jeruk itu seperti hidup. Bittersweet," kata Faye. Selain fotografi, jeruk adalah hal lain yang tidak bisa dipisahkan dari Faye; Diyan
tidak bisa membayangkan Faye tanpa jeruk. Bahkan, ketika Faye berada
di Hong Kong, kepada kedua Adnan bersaudara, ia mengirimkan jeruk
mandarin yang sedang musim. Pameran foto perdana Faye pun mengandung
kata jeruk -Life in Bittersweet ORANGE. Kehidupan percintaan yang dilambangkan dengan jeruk terlukis dalam tag-line novel yang berbunyi: Bagian tersulit saat mencintaimu adalah melihatmu mencintai orang lain.
Sebagai novel perdana, Orange
boleh dibilang tampil berkelas dalam genrenya. Bukan karena latar
belakang yang dimanfaatkan Ramadhina, tentu saja. Keluarga konglomerat,
dunia bisnis, fotografi, dan modeling hanya akan menciptakan jarak
yang lebar bagi pembaca yang tidak akrab, kecuali jika para tokoh dan
konflik yang dihadirkan digarap dengan baik. Apalagi ide yang diusung
Ramadhina bukan sesuatu yang anyar atau megah. Percintaan yang dilematis
telah stereotipikal dalam novel-novel chicklit atau metropop
yang sangat mudah ditemukan di dunia buku Indonesia. Namun, di dalam
wilayah imajinasi Ramadhina, kisah cinta berhasil dialirkan ke dalam
plot yang menghanyutkan. Ia menguasai cara mengikat fokus pembaca, yang
membuat pembaca tidak keberatan menghabiskan seluruh novel tanpa
terjerumus kebosanan. Kita tidak akan menemukan narasi berlarat-larat
yang sejatinya bukan hal asing dalam novel-novel romantis. Alhasil,
kendati tidak bisa lepas dari romantisme Holywood –termasuk hubungan
seksual ekstramarital yang terkesan lumrah- Orange menjadi bacaan yang
layak dibaca.
Dari
segi pemanfaatan dan pengolahan kata, Ramadhina sudah bagus dan
selektif. Tambahan pengalaman menulis dipastikan membuatnya lebih
tangkas dalam permainan kata. Hanya saja, terasa tidak sedap saat
membaca dialog-dialog sesama bangsa Indonesia yang dipaksakan
menggunakan bahasa Inggris. Juga terasa ganjil membaca dialog-dialog
Rera dan Jean, manajernya –yang sama-sama berdarah Prancis- menggunakan
bahasa Inggris.
Selesai
membaca novel ini, saya masih terheran-heran akan adanya kesempitan
pikiran seorang perempuan dari keluarga modern dan edukatif, yang
memandang tidak genah pekerjaan sebagai model yang ditekuni Rera. "Bukan
gadis baik-baik. Seorang model. Aku tidak bisa membayangkan jika Diyan
benar-benar menikah dengan gadis itu. Mau ditaruh di mana muka ini!"
begitu kata Indra, ibu Diyan (hlm. 29-30). Sementara di sisi lain,
Faye yang menjadi pilihan Indra, dengan gampang mau merespons undangan
bersetubuh dari Diyan.
GagasMedia sebagai penerbit perlu memperhatikan dua hal yang menjadi kekurangan buku ini. Pertama, dari segi penyuntingan, Orange belum
menampakkan kerja penyuntingan yang unggul. Kedua, hasil cetakan buku
ini terkesan murahan, ada bagian-bagian yang luntur bahkan hilang
gara-gara cetakan yang buruk sehingga sangat mengganggu kenikmatan
membaca.
0 comments:
Post a Comment