12 February 2012

Orange



Judul Buku: Orange
Pengarang: Windry Ramadhina
Tebal: vi + 290 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2008
Penerbit: GagasMedia



Di dalam hubungan percintaan, terkadang para pelakunya diperhadapkan pada situasi yang mengharuskan mereka memilih dan melepaskan. Sebabnya bisa beragam, tetapi selalu pelik. Memberi kesempatan lelaki yang ia cintai untuk memilih dan melepaskan menjadi tantangan yang mesti dihadapi seorang pecinta bernama Faye.

Tanpa mengenal Diyan Adnan sebelumnya, mendadak Faye –Fayrani Muid- dijodohkan dengan CEO perusahaan keluarga yang mendominasi industri properti dan jasa distribusi di Indonesia itu. Faye bukanlah Cinderella –perempuan miskin yang disunting pangeran tampan kaya raya. Ia adalah putri semata wayang keluarga Muid -Ahmad dan Meilanie Muid, konglomerat yang memiliki begitu banyak hak waralaba asing dan bisnis perhotelan. Sebenarnya, tanpa bekerja, Faye bisa hidup nyaman tanpa memikirkan bagaimana cara mengais uang. Namun, dunia fotografi memanggilnya, ia mencintai dunia ini, sehingga bukannya meneruskan bisnis keluarga, Faye bekerja sebagai fotografer junior di studio milik Erod Martin. Kemandiriannya dipertegas dengan meninggalkan rumah keluarga yang mahal di Pondok Indah lalu tinggal di sebuah apartemen.

Dijodohkan dengan Diyan –sulung dari dua putra Tyo dan Indra Adnan, yang memilih menggeluti bisnis keluarga, menjadi pilihan, tidak hanya untuk mempererat pertemanan kedua keluarga, tetapi juga agar ada yang bisa meneruskan bisnis keluarga Muid. Diyan adalah seorang laki-laki muda yang penuh ambisi, hidupnya dibangun oleh kerja keras dan pengejaran akan prestasi. Benar-benar calon menantu yang tepat bagi keluarga Muid.

Seolah-olah menikahi perempuan yang tidak ia cintai bukan hal yang krusial, Diyan menerima permintaan perjodohan dari orangtuanya dan menyatakan akan menikahi Faye.  Setelah beberapa kali pertemuan, mereka pun bertunangan. Tidak bisa disangkal, pesona Diyan –ketampanan dan ciumannya- berhasil merampas perhatian dan cinta Faye. Sekalipun pada malam pertunangan mereka, Diyan meninggalkan Faye untuk bertemu Rera, mantan kekasih yang datang ke Jakarta dalam rangka tur Asia salah satu produk kecantikan yang menjadikannya spokeperson. (Untuk diketahui, Rera menghubungi Diyan menggunakan ponsel dengan nomor yang terus aktif sampai setahun setelah ia tinggalkan di Jakarta).

Rera adalah model berdarah Indonesia-Prancis. Luar biasa cantik, putih dan bersih, selalu beraroma mawar dan chypre. Tahun sebelumnya, Rera telah menolak tawaran pernikahan Diyan. Bagi Rera, terkadang cinta saja tidak cukup. Mereka sama-sama memiliki ambisi yang besar –Rera sebagai model yang ingin memiliki agensi sendiri dan Diyan sebagai pengusaha yang terobsesi prestasi, dan inilah yang menjadi penyebab perpisahan mereka, setelah menjalin hubungan lebih dari tiga tahun.  "Kau tidak bisa bersama Diyan dengan ambisi yang besar," kata Rera (hlm. 194).

Faye memang tidak bisa disandingkan dengan Rera dalam hal kemolekan ragawi dan penampilan eksternal. Kendati tidak pernah kekurangan uang, Faye selalu berpenampilan seadanya. Ia tidak bersolek untuk menonjolkan kecantikannya, ia tidak mengenal Jimmy Cho, tubuhnya kerap beraroma cairan developer, penampilan kesehariannya adalah mengenakan kaus, celana jeans, dan rambut dikuncir kuda. Sedangkan Rera, terbiasa mewakili dunia yang digumulinya, mengedepankan kecantikan yang terawat dan mahal. Namun, segemilang apa pun penampilan Rera, hal itu tidak bisa meminderkan Faye. Pengetahuan Rera akan apa yang disukai Diyan lah yang menohok perasaan Faye. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Diyan –misalnya- lebih suka espresso, dan dari Lavazza, ketimbang black coffee. Kenyataan ini menerbitkan satu keputusan terpenting dalam hidup Faye. Ia harus memberikan kesempatan kepada Diyan untuk memilih. Meskipun untuk itu, ia harus mempertaruhkan cintanya.  

Siapa yang akan dilepaskan Diyan? Rera, yang selalu ia cintai –kendati tidak disukai ibunya karena pekerjaannya sebagai model- atau Faye, yang selalu menghadirkan kejutan dalam hidupnya?

Di tengah-tengah kegalauan perasaan Diyan, Zaki Adnan, adik kandung Diyan, meningkah. Zaki berhubungan dengan Faye untuk kepentingan bisnis advertising yang dikelola bersama teman-temannya. Lulus dari Delft –bermodalkan beasiswa dan bukan dana keluarga, Zaki yang kerap idealis dan bertipe pemberontak tidak berkenan berkecimpung dalam bisnis keluarga. Ia meninggalkan rumah keluarganya yang megah di Menteng, tinggal di tempat kos yang sempit, dan membiarkan hubungannya dengan keluarga terus memburuk. Sikap Faye yang spontan, energik, dan ekspresif membuat Zaki tidak bisa menghalau cinta yang berkembang di dalam hatinya.

Orange adalah novel perdana Windry Ramadhina, penulis yang berprofesi sebagai arsitek, yang mulai menulis di komunitas penulis online. Judul novel merefleksikan kehidupan yang mesti dilalui para tokoh novel. "Jeruk itu seperti hidup. Bittersweet," kata Faye. Selain fotografi, jeruk adalah hal lain yang tidak bisa dipisahkan dari Faye;  Diyan tidak bisa membayangkan Faye tanpa jeruk. Bahkan, ketika Faye berada di Hong Kong, kepada kedua Adnan bersaudara, ia mengirimkan jeruk mandarin yang sedang musim. Pameran foto perdana Faye pun mengandung kata jeruk -Life in Bittersweet ORANGE. Kehidupan percintaan yang dilambangkan dengan jeruk terlukis dalam tag-line novel yang berbunyi: Bagian tersulit saat mencintaimu adalah melihatmu mencintai orang lain.

Sebagai novel perdana, Orange boleh dibilang tampil berkelas dalam genrenya. Bukan karena latar belakang yang dimanfaatkan Ramadhina, tentu saja. Keluarga konglomerat, dunia bisnis, fotografi, dan modeling hanya akan menciptakan jarak yang lebar bagi pembaca yang tidak akrab, kecuali jika para tokoh dan konflik yang dihadirkan digarap dengan baik. Apalagi ide yang diusung Ramadhina bukan sesuatu yang anyar atau megah. Percintaan yang dilematis telah stereotipikal dalam novel-novel chicklit atau metropop yang sangat mudah ditemukan di dunia buku Indonesia. Namun, di dalam wilayah imajinasi Ramadhina, kisah cinta berhasil dialirkan ke dalam plot yang menghanyutkan. Ia menguasai cara mengikat fokus pembaca, yang membuat pembaca tidak keberatan menghabiskan seluruh novel tanpa terjerumus kebosanan. Kita tidak akan menemukan narasi berlarat-larat yang sejatinya bukan hal asing dalam novel-novel romantis. Alhasil, kendati tidak bisa lepas dari romantisme Holywood –termasuk hubungan seksual ekstramarital yang terkesan lumrah- Orange menjadi bacaan yang layak dibaca.

Dari segi pemanfaatan dan pengolahan kata, Ramadhina sudah bagus dan selektif. Tambahan pengalaman menulis dipastikan membuatnya lebih tangkas dalam permainan kata. Hanya saja, terasa tidak sedap saat membaca dialog-dialog sesama bangsa Indonesia yang dipaksakan menggunakan bahasa Inggris. Juga terasa ganjil membaca dialog-dialog Rera dan Jean, manajernya –yang sama-sama berdarah Prancis- menggunakan bahasa Inggris.

Selesai membaca novel ini, saya masih terheran-heran akan adanya kesempitan pikiran seorang perempuan dari keluarga modern dan edukatif, yang memandang tidak genah pekerjaan sebagai model yang ditekuni Rera. "Bukan gadis baik-baik. Seorang model. Aku tidak bisa membayangkan jika Diyan benar-benar menikah dengan gadis itu. Mau ditaruh di mana muka ini!" begitu kata Indra, ibu Diyan (hlm. 29-30). Sementara di sisi lain, Faye yang menjadi pilihan Indra, dengan gampang mau merespons undangan bersetubuh dari Diyan.

GagasMedia sebagai penerbit perlu memperhatikan dua hal yang menjadi kekurangan buku ini. Pertama, dari segi penyuntingan, Orange belum menampakkan kerja penyuntingan yang unggul. Kedua, hasil cetakan buku ini terkesan murahan, ada bagian-bagian yang luntur bahkan hilang gara-gara cetakan yang buruk sehingga sangat mengganggu kenikmatan membaca. 

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan